Your Body Language May Shape Who You Are | Amy Cuddy | TED

Translator: Joseph Geni Reviewer: Morton Bast

Translator: Indra Wibisana Reviewer: Arief Rakhman

So I want to start by offering you a free no-tech life hack,

Saya ingin mulai dengan menawarkan sebuah cara gratis

dan sederhana,

and all it requires of you is this:

dan Anda hanya perlu

that you change your posture for two minutes.

mengubah sikap tubuh Anda selama dua menit.

But before I give it away, I want to ask you to right now

Tapi sebelum saya memberikannya, saya ingin meminta Anda sekarang untuk

do a little audit of your body and what you're doing with your body.

sedikit memeriksa tubuh Anda dan apa yang Anda lakukan dengan tubuh Anda.

So how many of you are sort of making yourselves smaller?

Jadi, berapa dari Anda membuat diri Anda tampak lebih kecil?

Maybe you're hunching, crossing your legs, maybe wrapping your ankles.

Mungkin Anda sedang membungkuk, menyilangkan kaki Anda

mungkin memeluk pergelangan kaki.

Sometimes we hold onto our arms like this.

Kadang-kadang kita menyilangkan tangan kita seperti ini.

Sometimes we spread out. (Laughter)

Kadang-kadang kita membukanya lebar-lebar. (Tawa)

I see you.

Saya bisa melihat Anda. (Tawa)

So I want you to pay attention to what you're doing right now.

Jadi, saya ingin Anda memperhatikan apa yang sedang Anda lakukan sekarang.

We're going to come back to that in a few minutes,

Kita akan kembali membahas tentang itu dalam beberapa menit,

dan saya berharap jika Anda belajar untuk sedikit mengubahnya,

and I'm hoping that if you learn to tweak this a little bit,

it could significantly change the way your life unfolds.

hal ini dapat secara signifikan mengubah cara hidup Anda.

So, we're really fascinated with body language,

Jadi, kami benar-benar kagum dengan bahasa tubuh,

and we're particularly interested in other people's body language.

dan khususnya sangat tertarik

dengan bahasa tubuh orang lain.

You know, we're interested in, like, you know — (Laughter) —

Anda tahu, kita tertarik kepada hal-hal seperti, misalnya - (Tawa) -

an awkward interaction, or a smile,

sebuah interaksi yang canggung, atau senyuman,

or a contemptuous glance, or maybe a very awkward wink,

atau pandangan merendahkan, atau mungkin kedipan yang sangat canggung,

or maybe even something like a handshake.

atau bahkan mungkin sesuatu seperti jabat tangan.

Narrator: Here they are arriving at Number 10.

Narator: Tibalah mereka di No. 10, dan lihat ini

polisi beruntung bisa berjabat tangan dengan Presiden

This lucky policeman gets to shake hands with the President of the United States.

Amerika Serikat. Oh, dan inilah

Here comes the Prime Minister -- No. (Laughter) (Applause)

Perdana Menteri dari ...? Tidak. (Tawa) (Tepuk tangan)

(Laughter) (Applause)

(Tawa) (Tepuk tangan)

Amy Cuddy: So a handshake, or the lack of a handshake,

Amy Cuddy: Jadi, sebuah jabat tangan, atau tanpa jabat tangan,

can have us talking for weeks and weeks and weeks.

bisa kita bahas selama berminggu-minggu.

Even the BBC and The New York Times.

Bahkan di BBC dan The New York Times.

So obviously when we think about nonverbal behavior,

Jadi, jelas ketika kita berpikir tentang perilaku nonverbal,

or body language -- but we call it nonverbals as social scientists --

atau bahasa tubuh - kami menyebutnya nonverbal sebagai ilmuwan sosial -

it's language, so we think about communication.

itu adalah bahasa, jadi kita berpikir tentang komunikasi.

When we think about communication, we think about interactions.

Saat kita berpikir tentang komunikasi, kita berpikir tentang interaksi.

Jadi, apa yang bahasa tubuh Anda komunikasikan kepada saya?

So what is your body language communicating to me?

What's mine communicating to you?

Bahasa tubuh apa yang sedang saya komunikasikan kepada Anda?

And there's a lot of reason to believe that this is a valid way to look at this.

Dan ada begitu banyak alasan untuk percaya bahwa ini adalah suatu cara yang valid

untuk melihat ini. Jadi, ilmuwan sosial telah menghabiskan banyak waktu

So social scientists have spent a lot of time

untuk melihat efek dari bahasa tubuh kita,

looking at the effects of our body language,

atau bahasa tubuh orang lain, pada penilaian.

or other people's body language, on judgments.

And we make sweeping judgments and inferences from body language.

Dan kita membuat penilaian sepintas dan membaca kesimpulan dari bahasa tubuh.

And those judgments can predict really meaningful life outcomes

Dan penilaian-penilaian tersebut bisa menentukan pencapaian hidup yang sungguh penting

like who we hire or promote, who we ask out on a date.

seperti siapa yang kita pekerjakan atau promosikan, siapa yang kita ajak berkencan.

For example, Nalini Ambady, a researcher at Tufts University,

Contohnya, Nalini Ambady, seorang peneliti di Universitas Tufts,

shows that when people watch 30-second soundless clips

menunjukkan bahwa ketika orang menonton 30 detik klip tanpa suara

of real physician-patient interactions,

tentang interaksi nyata antara dokter-pasien,

their judgments of the physician's niceness

penilaian mereka akan keramahan dokter

predict whether or not that physician will be sued.

juga menentukan apakah dokter itu akan dituntut atau tidak.

So it doesn't have to do so much

Jadi ini tidak terlalu berhubungan dengan apakah

with whether or not that physician was incompetent,

dokter tersebut kompeten atau tidak, tapi apakah kita menyukainya

but do we like that person and how they interacted?

dan bagaimana mereka berinteraksi?

Even more dramatic, Alex Todorov at Princeton

Secara lebih dramatis, Alex Todorov di Princeton telah menunjukkan kepada kita

has shown us that judgments of political candidates' faces

bahwa penilaian pada wajah-wajah kandidat politik

in just one second predict 70 percent

dalam satu detik saja menentukan 70 persen hasil dari pemilihan anggota senat Amerika

of U.S. Senate and gubernatorial race outcomes,

dan hasil pemilihan kegubernuran,

and even, let's go digital,

dan bahkan, di dunia digital,

emoticons used well in online negotiations

emoticon yang digunakan dengan baik dalam negosiasi online

can lead you to claim more value from that negotiation.

dapat memberikan nilai tambah bagi Anda dalam negosiasi tersebut.

If you use them poorly, bad idea. Right?

Kalau Anda memakainya dengan buruk, bisa gawat. Bukan?

So when we think of nonverbals, we think of how we judge others,

Jadi ketika kita berpikir tentang nonverbal, kita berpikir tentang bagaimana kita menilai orang lain,

how they judge us and what the outcomes are.

bagaimana mereka menilai kita dan apa akibatnya.

We tend to forget, though, the other audience

Tapi, kita cenderung lupa, masih ada penonton lain

that's influenced by our nonverbals, and that's ourselves.

yang terpengaruhi oleh nonverbal kita, yaitu diri kita sendiri.

We are also influenced by our nonverbals,

Kita juga dipengaruhi oleh nonverbal kita, pikiran kita

our thoughts and our feelings and our physiology.

dan perasaan kita, dan fisiologi kita.

So what nonverbals am I talking about?

Jadi nonverbal apa yang saya maksud di sini?

I'm a social psychologist. I study prejudice,

Saya seorang psikolog sosial. Saya mempelajari prasangka,

and I teach at a competitive business school,

dan saya mengajar di sebuah sekolah bisnis yang kompetitif,

so it was inevitable that I would become interested in power dynamics.

jadi tanpa terelakkan lagi saya jadi tertarik pada dinamika kekuatan.

I became especially interested in nonverbal expressions

Saya jadi sangat tertarik dengan ekspresi nonverbal

of power and dominance.

dari kekuatan dan kekuasaan.

And what are nonverbal expressions of power and dominance?

Dan apa ekspresi nonverbal dari kekuatan dan kekuasaan?

Well, this is what they are.

Nah, inilah mereka.

So in the animal kingdom, they are about expanding.

Dalam kerajaan hewan, ini berkaitan dengan ekspansi.

So you make yourself big, you stretch out,

Jadi, Anda membuat diri Anda kelihatan besar, Anda merentang,

you take up space, you're basically opening up.

Anda mengambil tempat lebih besar, pada dasarnya Anda membuka diri.

It's about opening up.

Ini adalah tentang membuka diri. Dan ini nyata terjadi

And this is true across the animal kingdom.

di dunia hewan. Tidak hanya terbatas pada primata.

It's not just limited to primates.

Dan manusia melakukan hal yang sama. (Tawa)

And humans do the same thing. (Laughter)

So they do this both when they have power sort of chronically,

Jadi mereka melakukannya baik ketika mereka memiliki kekuatan yang berkesinambungan,

and also when they're feeling powerful in the moment.

maupun ketika mereka merasa kuat sesaat.

And this one is especially interesting because it really shows us

Dan yang satu ini sangat menarik karena ini benar-benar menunjukkan

how universal and old these expressions of power are.

betapa universal dan tuanya ekspresi kekuatan ini.

This expression, which is known as pride,

Ekspresi ini, yang dikenal sebagai kebanggaan,

Jessica Tracy has studied.

telah dipelajari oleh Jessica Tracy. Dia menunjukkan bahwa

She shows that people who are born with sight

orang yang dilahirkan dengan penglihatan

and people who are congenitally blind do this

dan orang yang buta sejak lahir sama-sama melakukannya

when they win at a physical competition.

ketika mereka memenangkan suatu kompetisi fisik.

So when they cross the finish line and they've won,

Jadi saat mereka melewati garis akhir dan menang,

it doesn't matter if they've never seen anyone do it.

walaupun mereka belum pernah melihat orang lain melakukannya.

Mereka melakukan ini.

They do this.

Kedua tangan terangkat seperti "V", dagu sedikit diangkat.

So the arms up in the V, the chin is slightly lifted.

What do we do when we feel powerless?

Apa yang kita lakukan saat kita merasa lemah? Kita melakukan kebalikannya.

We do exactly the opposite.

Kita menutup. Kita membungkus diri kita.

We close up. We wrap ourselves up.

We make ourselves small.

Kita membuat diri kita kecil. Kita takut menyenggol orang di sebelah kita.

We don't want to bump into the person next to us.

So again, both animals and humans do the same thing.

Jadi sekali lagi, baik hewan maupun manusia melakukan hal yang sama.

And this is what happens when you put together high and low power.

Dan ini yang terjadi bila Anda mempertemukan yang kuat

dan yang lemah. Jadi yang cenderung kita lakukan

So what we tend to do when it comes to power

ketika dihadapkan dengan kekuatan adalah kita bereaksi terhadap nonverbal orang lain.

is that we complement the other's nonverbals.

So if someone is being really powerful with us,

Jadi jika ada seseorang yang jauh lebih berkuasa daripada kita,

we tend to make ourselves smaller. We don't mirror them.

kita cenderung membuat diri kita lebih kecil. Kita tidak meniru bahasa tubuh mereka.

We do the opposite of them.

Kita lakukan kebalikannya.

So I'm watching this behavior in the classroom,

Jadi saya memperhatikan perilaku ini di ruang kelas,

and what do I notice?

dan apa yang saya lihat? Saya lihat bahwa mahasiswa MBA

I notice that MBA students really exhibit the full range of power nonverbals.

benar-benar menunjukkan seluruh rentang kekuatan nonverbal.

So you have people who are like caricatures of alphas,

Jadi ada orang yang seperti karikatur alfa,

really coming into the room, they get right into the middle of the room

masuk ke dalam ruangan, mereka langsung ke tengah ruangan

bahkan sebelum kelas dimulai, seakan mereka benar-benar ingin menguasai daerahnya.

before class even starts, like they really want to occupy space.

When they sit down, they're sort of spread out.

Ketika mereka duduk, mereka seperti membuka lebar.

They raise their hands like this.

Mereka mengangkat tangan seperti ini.

You have other people who are virtually collapsing

Yang lainnya ada yang kelihatan menciut

when they come in. As soon they come in, you see it.

ketika mereka memasuki ruangan. Begitu mereka masuk, Anda bisa melihatnya.

You see it on their faces and their bodies,

Anda melihatnya di wajah mereka dan tubuh mereka, dan mereka duduk

and they sit in their chair and they make themselves tiny,

di kursi mereka dan mereka membuat diri mereka kecil,

and they go like this when they raise their hand.

dan mereka berbuat seperti ini ketika mereka mengangkat tangan.

I notice a couple of things about this.

Saya perhatikan beberapa hal tentang ini.

Satu, Anda tak akan terkejut.

One, you're not going to be surprised.

It seems to be related to gender.

Hal ini tampaknya berkaitan dengan jenis kelamin.

So women are much more likely to do this kind of thing than men.

Jadi wanita sangat cenderung untuk melakukan seperti ini dibandingkan pria.

Women feel chronically less powerful than men,

Wanita selalu merasa lebih lemah daripada pria,

so this is not surprising.

jadi hal ini tidak mengejutkan. Tapi hal lain yang saya perhatikan adalah

But the other thing I noticed

is that it also seemed to be related to the extent

tampaknya hal ini juga berkaitan dengan sejauh mana

to which the students were participating, and how well they were participating.

para mahasiswa berpartisipasi, dan seberapa baik partisipasi mereka.

And this is really important in the MBA classroom,

Dan hal ini sangat penting dalam ruang kelas MBA,

because participation counts for half the grade.

karena partisipasi berbobot setengah dari nilai.

So business schools have been struggling with this gender grade gap.

Jadi sekolah-sekolah bisnis telah bergumul dengan kesenjangan nilai antar jenis kelamin.

You get these equally qualified women and men coming in

Anda mendapatkan para wanita dan pria dengan kualifikasi yang setara saat mendaftar

and then you get these differences in grades,

dan ketika Anda menemukan kesenjangan dalam nilai,

and it seems to be partly attributable to participation.

dan tampaknya mungkin sebagian disebabkan oleh perbedaan tingkat partisipasi.

So I started to wonder, you know, okay,

Jadi saya mulai ingin tahu, begitu, oke,

so you have these people coming in like this, and they're participating.

jadi ada orang-orang yang datang seperti ini,

dan mereka berpartisipasi. Mungkinkah kita dapat membuat orang-orang untuk "berpura-pura"

Is it possible that we could get people to fake it

and would it lead them to participate more?

dan kemudian itu membuat mereka dapat lebih berpartisipasi?

Jadi rekan utama saya, Dana Carney, di Berkeley,

So my main collaborator Dana Carney, who's at Berkeley,

and I really wanted to know, can you fake it till you make it?

dan saya benar-benar ingin tahu, apakah kita dapat "berpura-pura" sampai kita berhasil?

Like, can you do this just for a little while

Dapatkah kita melakukan ini sebentar dan kemudian benar-benar

and actually experience a behavioral outcome

mengalami perubahan sikap sehingga membuat kita tampak lebih kuat?

that makes you seem more powerful?

So we know that our nonverbals govern how other people

Jadi kita mengetahui bahwa nonverbal kita mempengaruhi bagaimana

think and feel about us. There's a lot of evidence.

pikiran dan perasaan orang tentang kita. Ada banyak bukti.

Namun pertanyaan kita sebenarnya adalah, apakah nonverbal kita

But our question really was,

do our nonverbals govern how we think and feel about ourselves?

mempengaruhi bagaimana pikiran dan perasaan kita tentang kita sendiri?

There's some evidence that they do.

Terdapat bukti bahwa mereka memang berpengaruh.

So, for example, we smile when we feel happy,

Sebagai contoh, kita tersenyum ketika kita merasa bahagia,

but also, when we're forced to smile

namun juga, ketika kita dipaksa tersenyum

by holding a pen in our teeth like this, it makes us feel happy.

dengan menggigit bolpen seperti ini, ini membuat kita merasa bahagia.

So it goes both ways.

Jadi ini bekerja dua arah. Ketika berhubungan dengan kekuatan,

When it comes to power, it also goes both ways.

ini juga bekerja dua arah. Kalau Anda merasa kuat,

So when you feel powerful,

you're more likely to do this,

Anda cenderung melakukan ini, tetapi mungkin juga

but it's also possible that when you pretend to be powerful,

ketika Anda berpura-pura kuat, ada kemungkinan Anda juga

you are more likely to actually feel powerful.

jadi benar-benar merasa lebih kuat.

So the second question really was, you know,

Jadi pertanyaan keduanya adalah, begini,

so we know that our minds change our bodies,

jadi kita tahu bahwa pikiran kita mempengaruhi tubuh kita,

but is it also true that our bodies change our minds?

tapi apakah tubuh kita juga sungguh mempengaruhi pemikiran kita?

And when I say minds, in the case of the powerful,

Dan ketika saya mengatakan pikiran, pada orang yang kuat,

what am I talking about?

apa yang saya maksudkan?

So I'm talking about thoughts and feelings

Jadi saya berbicara tentang pemikiran dan perasaan

and the sort of physiological things that make up our thoughts and feelings,

dan segala hal fisiologis yang membentuk pemikiran dan perasaan kita,

dan dalam kasus ini, itu adalah hormon. Saya meneliti hormon.

and in my case, that's hormones. I look at hormones.

So what do the minds of the powerful versus the powerless look like?

Jadi bagaimana pemikiran yang kuat dan yang lemah

apabila dibandingkan?

So powerful people tend to be, not surprisingly,

Orang yang sangat kuat cenderung untuk, tentu saja,

more assertive and more confident, more optimistic.

lebih tegas, dan lebih percaya diri, lebih optimis.

They actually feel they're going to win even at games of chance.

Mereka sungguh merasa bahwa mereka akan menang bahkan dalam permainan peluang.

Mereka juga cenderung untuk mampu berpikir secara lebih abstrak.

They also tend to be able to think more abstractly.

So there are a lot of differences. They take more risks.

Jadi terdapat beberapa perbedaan. Mereka mengambil lebih banyak resiko.

There are a lot of differences between powerful and powerless people.

Terdapat banyak perbedaan antara orang yang kuat dan orang yang lemah.

Secara fisiologi, terdapat pula perbedaan pada dua

Physiologically, there also are differences

on two key hormones: testosterone, which is the dominance hormone,

hormon utama: testosteron, yang merupakan hormon dominasi,

and cortisol, which is the stress hormone.

dan kortisol, yang merupakan hormon stres.

So what we find is that high-power alpha males in primate hierarchies

Jadi yang kita temukan adalah bahwa

pejantan alfa dalam hirarki primata

have high testosterone and low cortisol,

mempunyai testosteron yang tinggi dan kortisol yang rendah,

and powerful and effective leaders

dan pemimpin yang kuat dan efektif juga mempunyai

also have high testosterone and low cortisol.

testosteron yang tinggi dan kortisol yang rendah.

So what does that mean? When you think about power,

Jadi apa artinya hal ini? Bila Anda berpikir tentang kekuatan,

people tended to think only about testosterone,

orang cenderung berpikir bahwa ini hanyalah tentang testosteron,

because that was about dominance.

karena itu berkaitan dengan dominasi.

But really, power is also about how you react to stress.

Tapi sebenarnya, kekuatan juga berkaitan dengan bagaimana Anda bereaksi terhadap tekanan.

So do you want the high-power leader that's dominant,

Apakah Anda ingin mempunyai pemimpin yang kuat, yang dominan,

high on testosterone, but really stress reactive?

testosteron tinggi, namun mudah dipengaruhi stres?

Probably not, right?

Mungkin tidak, bukan? Anda menginginkan orang

You want the person who's powerful and assertive and dominant,

yang kuat dan tegas dan dominan,

but not very stress reactive, the person who's laid back.

tetapi tidak terlalu reaktif, orang yang santai.

So we know that in primate hierarchies,

Jadi kita tahu bahwa dalam hirarki primata, bila seekor alfa

if an alpha needs to take over,

ingin mengambil alih kekuasaan, bila suatu individu ingin mengambil alih

if an individual needs to take over an alpha role sort of suddenly,

peran alfa secara mendadak,

within a few days, that individual's testosterone has gone up

dalam beberapa hari, testosteron individu tersebut telah naik

significantly and his cortisol has dropped significantly.

secara signifikan, dan kortisol telah turun secara signifikan.

So we have this evidence, both that the body can shape

Jadi kita punya bukti ini, bahwa tubuh dapat mempengaruhi

the mind, at least at the facial level,

pikiran, setidaknya pada tingkat wajah,

and also that role changes can shape the mind.

dan juga bahwa perubahan peran dapat membentuk pikiran.

So what happens, okay, you take a role change,

Jadi apa yang terjadi, misalnya, Anda mengambil perubahan peran,

what happens if you do that at a really minimal level,

apa yang terjadi kalau Anda melakukannya pada tingkat minimal,

like this tiny manipulation, this tiny intervention?

seperti manipulasi kecil, intervensi kecil berikut?

"For two minutes," you say, "I want you to stand like this,

"Untuk dua menit," Anda katakan, "saya ingin Anda berdiri seperti ini,

and it's going to make you feel more powerful."

dan ini akan membuat Anda merasa lebih kuat."

So this is what we did.

Jadi inilah yang kami lakukan. Kami memutuskan untuk membawa orang

We decided to bring people into the lab and run a little experiment,

ke dalam lab. dan menjalankan eksperimen kecil, dan orang-orang ini

and these people adopted, for two minutes,

mengambil, selama dua menit, antara pose kekuatan besar

either high-power poses or low-power poses,

atau pose kekuatan rendah, dan saya hanya akan menunjukkan kepada Anda

and I'm just going to show you five of the poses,

lima pose, walaupun sebenarnya hanya ada dua jenis.

although they took on only two.

So here's one.

Jadi ini satu.

Dua lagi.

A couple more.

Yang ini dijuluki pose "Wonder Woman"

This one has been dubbed the "Wonder Woman" by the media.

oleh media.

Here are a couple more.

Dan ini dua lagi.

So you can be standing or you can be sitting.

Jadi Anda bisa saja berdiri atau Anda dapat duduk.

And here are the low-power poses.

Dan ini adalah pose kekuatan rendah.

So you're folding up, you're making yourself small.

Jadi Anda melipat tangan, dan membuat diri Anda lebih kecil.

This one is very low-power.

Yang satu ini kekuatan sangat rendah.

When you're touching your neck, you're really protecting yourself.

Ketika Anda menyentuh leher,

Anda seperti sedang melindungi diri.

So this is what happens.

Jadi inilah yang terjadi. Mereka masuk,

They come in, they spit into a vial,

mereka meludah ke dalam tabung kecil,

for two minutes, we say, "You need to do this or this."

kami menginstruksikan, "Selama dua menit, Anda harus melakukan ini atau itu."

They don't look at pictures of the poses.

Mereka tidak melihat foto pose. Kami tidak ingin memancing mereka

We don't want to prime them with a concept of power.

dengan konsep kekuatan. Kami ingin mereka merasakan kekuatan, bukan?

We want them to be feeling power.

Jadi selama dua menit mereka melakukan ini.

So two minutes they do this.

We then ask them, "How powerful do you feel?" on a series of items,

Kemudian kami bertanya kepada mereka, "Anda merasa sekuat apa?" pada serangkaian kondisi,

and then we give them an opportunity to gamble,

kemudian kami beri mereka kesempatan untuk berjudi,

and then we take another saliva sample.

dan kemudian kami ambil sekali lagi contoh ludah.

That's it. That's the whole experiment.

Itu saja. Itu keseluruhan eksperimen.

So this is what we find.

Jadi inilah yang kami temukan. Toleransi resiko, dalam hal ini berjudi,

Risk tolerance, which is the gambling,

we find that when you are in the high-power pose condition,

yang kami temukan adalah bahwa ketika Anda berada dalam kondisi pose kekuatan tinggi,

86 persen orang akan berjudi.

86 percent of you will gamble.

When you're in the low-power pose condition,

Ketika seseorang berada pada kondisi pose kekuatan rendah

only 60 percent, and that's a whopping significant difference.

hanya 60 persen, dan ini merupakan perbedaan yang sungguh sangat besar.

Here's what we find on testosterone.

Inilah yang kami temukan tentang testosteron.

From their baseline when they come in,

Berdasarkan kondisi awal ketika mereka datang, orang dengan kekuatan tinggi

high-power people experience about a 20-percent increase,

mengalami kenaikan sekitar 20 persen,

and low-power people experience about a 10-percent decrease.

dan orang dengan kekuatan rendah mengalami penurunan sekitar 10 persen.

So again, two minutes, and you get these changes.

Jadi sekali lagi, dua menit, dan Anda mendapatkan perubahan ini.

Here's what you get on cortisol.

Inilah yang Anda dapatkan tentang kortisol. Orang dengan kekuatan tinggi

High-power people experience about a 25-percent decrease,

mengalami penurunan sekitar 25 persen,

and the low-power people experience about a 15-percent increase.

dan orang dengan kekuatan rendah mengalami kenaikan sekitar 15 persen.

So two minutes lead to these hormonal changes

Jadi dua menit menyebabkan perubahan-perubahan hormonal ini

that configure your brain

yang pada dasarnya mengatur otak Anda untuk menjadi antara

to basically be either assertive, confident and comfortable,

tegas, percaya diri dan nyaman,

or really stress-reactive, and feeling sort of shut down.

atau mudah terpengaruh oleh stress, dan merasa

seperti dimatikan. Dan kita semua pernah merasakannya, bukan?

And we've all had the feeling, right?

So it seems that our nonverbals do govern how we think and feel about ourselves,

Jadi tampaknya nonverbal kita sungguh mempengaruhi

bagaimana pikiran dan perasaan kita tentang diri kita sendiri,

so it's not just others, but it's also ourselves.

jadi ini bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga untuk kita sendiri.

Also, our bodies change our minds.

Juga, tubuh kita dapat mengubah pikiran kita.

But the next question, of course,

Namun pertanyaan berikutnya, tentunya, adalah

is, can power posing for a few minutes

dapatkah melakukan pose kekuatan selama beberapa menit

sungguh mengubah hidup Anda secara berarti?

really change your life in meaningful ways?

This is in the lab, it's this little task, it's just a couple of minutes.

Jadi ini di lab. Ini hal kecil, begitulah,

hanya dua menit. Di mana Anda bisa benar-benar

Where can you actually apply this?

menerapkan ini? Yang sungguh menarik bagi kita, tentunya.

Which we cared about, of course.

And so we think where you want to use this is evaluative situations,

Dan jadi kami pikir inilah, yang sungguh penting,

di mana Anda ingin menggunakan ini adalah situasi evaluatif

like social threat situations.

seperti situasi ancaman sosial. Di mana Anda sedang dievaluasi,

Where are you being evaluated, either by your friends?

baik oleh teman-teman anda? Seperti remaja di meja makan siang.

For teenagers, it's at the lunchroom table.

For some people it's speaking at a school board meeting.

Bisa juga, misalnya, untuk orang-orang yang berbicara

di pertemuan dewan sekolah. Mungkin memberikan presentasi singkat

It might be giving a pitch or giving a talk like this

atau berbicara di muka umum seperti ini

or doing a job interview.

atau melakukan suatu wawancara kerja.

We decided that the one that most people could relate to

Kami memutuskan bahwa satu yang mengena untuk banyak orang

because most people had been through, was the job interview.

karena sebagian besar orang pernah mengalaminya

adalah wawancara kerja.

So we published these findings,

Jadi kami mempublikasikan temuan ini, dan media

and the media are all over it,

and they say, Okay, so this is what you do

mencermatinya, dan mereka berkata, "Oke, jadi ini yang Anda lakukan

ketika Anda pergi untuk wawancara kerja, bukan?" (Tawa)

when you go in for the job interview, right?

(Laughter)

Begitulah, jadi kita tentu saja terkejut, dan berkata,

You know, so we were of course horrified, and said,

Oh my God, no, that's not what we meant at all.

"Ya ampun, bukan. Bukan. Sebenarnya bukan itu yang kami maksudkan.

For numerous reasons, no, don't do that.

Untuk banyak alasan, jangan. Jangan. Jangan lakukan itu."

Again, this is not about you talking to other people.

Sekali lagi, ini bukan tentang Anda berbicara kepada orang lain.

It's you talking to yourself.

Ini adalah Anda berbicara kepada diri Anda sendiri. Apa yang Anda lakukan

What do you do before you go into a job interview? You do this.

sebelum Anda pergi ke sebuah wawancara kerja? Anda melakukan ini.

You're sitting down. You're looking at your iPhone --

Betul? Anda duduk. Anda melihat ke iPhone

atau Android Anda, tanpa mengganggu siapa pun.

or your Android, not trying to leave anyone out.

You're looking at your notes,

Anda, begitulah, Anda melihat catatan Anda,

you're hunching up, making yourself small,

Anda membungkuk, membuat diri Anda lebih kecil,

when really what you should be doing maybe is this,

ketika sesungguhnya yang seharusnya Anda lakukan mungkin adalah ini,

like, in the bathroom, right? Do that. Find two minutes.

misalnya, di kamar mandi, bukan? Lakukanlah itu. Sempatkan dua menit.

So that's what we want to test. Okay?

Jadi inilah yang ingin kami uji. Oke?

So we bring people into a lab,

Jadi kami bawa orang ke sebuah lab,

and they do either high- or low-power poses again,

dan mereka melakukan lagi antara pose kekuatan tinggi atau rendah,

they go through a very stressful job interview.

kemudian mereka melalui sebuah wawancara kerja yang sangat menegangkan.

It's five minutes long. They are being recorded.

Selama lima menit. Mereka direkam.

They're being judged also,

Mereka juga dinilai, dan para penilai

and the judges are trained to give no nonverbal feedback,

telah terlatih untuk tidak memberikan sedikit pun feedback nonverbal

so they look like this.

jadi mereka tampak seperti ini. Bayangkan

Imagine this is the person interviewing you.

ini adalah orang yang mewawancarai Anda.

So for five minutes, nothing, and this is worse than being heckled.

Jadi selama lima menit, tidak ada apa-apa, dan ini lebih buruk daripada dicela.

People hate this.

Orang-orang membenci ini. Ini adalah situasi yang disebut oleh Marianne LaFrance sebagai

It's what Marianne LaFrance calls "standing in social quicksand."

"berdiri di dalam pasir apung sosial." (percakapan membosankan yang tidak bisa dihentikan)

So this really spikes your cortisol.

Jadi ini benar-benar menaikkan kortisol Anda secara drastis.

So this is the job interview we put them through,

Jadi ini adalah wawancara kerja yang harus mereka lalui,

karena kami benar-benar ingin melihat apa yang terjadi.

because we really wanted to see what happened.

We then have these coders look at these tapes, four of them.

Kemudian kami meminta empat orang penilai untuk menonton rekaman wawancara.

They're blind to the hypothesis. They're blind to the conditions.

Hipotesis kami tidak diinformasikan kepada mereka. Dan mereka tidak tahu situasi dan kondisinya.

They have no idea who's been posing in what pose,

Mereka tidak tahu siapa yang sedang berpose seperti apa,

and they end up looking at these sets of tapes,

dan mereka akhirnya melihat rekaman ini,

and they say, "We want to hire these people,"

dan mereka bilang, "Oh, kami mau mempekerjakan orang-orang ini,"

- semua yang berpose kekuatan tinggi - "kami tidak mau mempekerjakan orang-orang ini,

all the high-power posers.

"We don't want to hire these people.

We also evaluate these people much more positively overall."

Hasil evaluasi kami terhadap orang-orang ini jauh lebih baik secara keseluruhan."

Tetapi apa yang mendorong hal ini? Ini bukan tentang isi pembicaraan.

But what's driving it?

It's not about the content of the speech.

It's about the presence that they're bringing to the speech.

Ini tentang pembawaan yang mereka bawa dalam pembicaraan.

Because we rate them on all these variables

Juga, karena kami menilai mereka berdasarkan semua variabel ini

secara berhubungan dengan kompetensi, seperti: sebaik apa struktur pembicaraan?

related to competence, like, how well-structured is the speech?

Sebaik apa pembicaraan? Apa kualifikasi mereka?

How good is it? What are their qualifications?

Tidak ada pengaruh pada variabel kompetensi tersebut. Yang terpengaruh adalah ini,

No effect on those things. This is what's affected.

These kinds of things.

hal seperti ini: orang membawa kepribadian asli mereka,

People are bringing their true selves, basically.

They're bringing themselves.

pada dasarnya. Mereka membawa diri mereka sendiri.

Mereka membawa ide mereka, tetapi sebagai diri mereka sendiri,

They bring their ideas, but as themselves,

with no, you know, residue over them.

tanpa, sebutlah, sisa diri mereka.

So this is what's driving the effect, or mediating the effect.

Jadi inilah hal yang mendorong pengaruh, atau membawa pengaruh.

So when I tell people about this,

Jadi ketika saya bercerita tentang hal ini,

that our bodies change our minds and our minds can change our behavior,

bahwa tubuh kita mengubah pikiran kita dan pikiran kita mengubah perilaku kita,

dan perilaku kita dapat mengubah hasil usaha kita, mereka berkata kepada saya,

and our behavior can change our outcomes, they say to me,

"Saya tidak... Ini terasa menipu." Bukankah begitu?

"It feels fake." Right?

So I said, fake it till you make it.

Jadi kubilang, "Berpura-puralah sampai Anda berhasil." - "Saya tidak bisa... Ini bukan saya.

It's not me.

I don't want to get there and then still feel like a fraud.

Saya tidak ingin mencapai ke sana dan kemudian masih merasa seperti curang.

I don't want to feel like an impostor.

Saya tidak mau merasa seperti penipu.

I don't want to get there only to feel like I'm not supposed to be here.

Saya tidak mau mencapai ke sana hanya untuk kemudian merasa tidak pantas ada di sana."

And that really resonated with me,

Dan itu sungguh pernah saya rasakan juga,

because I want to tell you a little story about being an impostor

karena saya akan menceritakan kepada Anda sebuah cerita pendek tentang

menjadi seorang penipu dan merasa seperti tidak pantas berada di sini.

and feeling like I'm not supposed to be here.

When I was 19, I was in a really bad car accident.

Ketika saya berusia 19, saya mengalami kecelakaan yang sangat parah.

I was thrown out of a car, rolled several times.

Saya terlempar keluar dari mobil, terguling-guling beberapa kali.

I was thrown from the car.

Saya terlempar dari mobil. Dan saya bangun di bangsal rehabilitasi untuk cedera di kepala,

And I woke up in a head injury rehab ward,

dan saya mengundurkan diri dari perkuliahan,

and I had been withdrawn from college,

and I learned that my IQ had dropped by two standard deviations,

dan saya akhirnya mengetahui bahwa IQ saya turun sebesar dua standar deviasi.

which was very traumatic.

yang merupakan hal yang sangat traumatis.

I knew my IQ because I had identified with being smart,

Saya tahu IQ saya karena saya biasa dianggap cerdas

and I had been called gifted as a child.

dan dulu saya dianggap anak berbakat.

So I'm taken out of college, I keep trying to go back.

Jadi saya keluar dari universitas, saya terus berusaha untuk kembali.

They say, "You're not going to finish college.

Mereka bilang, "Kamu tidak akan bisa menyelesaikan kuliah.

Masih ada hal-hal lain yang bisa kamu lakukan,

Just, you know, there are other things for you to do,

but that's not going to work out for you."

tetapi kuliah bukan jalan untukmu."

So I really struggled with this, and I have to say,

Jadi saya sungguh berjuang dengan ini, dan saya harus katakan,

having your identity taken from you, your core identity,

kehilangan identitas Anda, identitas penting Anda,

and for me it was being smart,

dan bagi saya merupakan sebagai orang yang cerdas,

having that taken from you,

hal itu diambil darimu, tidak ada hal yang membuat Anda merasa lebih tidak berdaya daripada itu.

there's nothing that leaves you feeling more powerless than that.

So I felt entirely powerless.

Jadi saya merasa sungguh tidak berdaya. Saya berjuang dan berjuang dan bejuang,

I worked and worked, and I got lucky,

dan saya mendapat keberuntungan, dan berjuang, dan beruntung lagi, dan berjuang lagi

and worked, and got lucky, and worked.

Eventually I graduated from college.

Akhirnya saya lulus kuliah.

It took me four years longer than my peers,

Saya membutuhkan empat tahun lebih lama daripada rekan-rekan saya.

and I convinced someone, my angel advisor, Susan Fiske,

dan saya meyakinkan seseorang, malaikat pembimbing saya, Susan Fiske,

to take me on, and so I ended up at Princeton,

Untuk membimbing saya, dan akhirnya sama diterima di Princeton,

and I was like, I am not supposed to be here.

dan saya merasa seperti, saya tidak pantas berada di sini.

I am an impostor.

Saya seorang penipu.

And the night before my first-year talk,

Dan malam sebelum pidato tahun pertama

dan pidato tahun pertama di Princeton adalah pidato 20 menit

and the first-year talk at Princeton is a 20-minute talk to 20 people.

di hadapan 20 orang. Itu saja.

That's it.

I was so afraid of being found out the next day

Saya begitu takut akan ketahuan di keesokan harinya

that I called her and said, "I'm quitting."

sampai saya menelfon dia dan bilang, "Saya mau keluar."

She was like, "You are not quitting,

Dia bilang, "Kamu tidak boleh keluar,

because I took a gamble on you, and you're staying.

karena saya sudah mendukung kamu dengan segala resikonya, dan kamu harus bertahan.

You're going to stay, and this is what you're going to do.

Kamu akan bertahan, dan inilah yang akan kamu lakukan.

Kamu akan berpura-pura.

You are going to fake it.

You're going to do every talk that you ever get asked to do.

Kamu akan memberi pidato setiap kali kamu diminta untuk pidato.

You're just going to do it and do it and do it,

Kamu hanya akan melakukan dan melakukannya dan melakukannya,

walaupun kamu merasa ketakutan dan merasa lumpuh

even if you're terrified and just paralyzed

and having an out-of-body experience,

dan hampir pingsan, sampai kamu mencapai

until you have this moment where you say, 'Oh my gosh, I'm doing it.

saat itu ketika kamu bilang, 'Ya ampun, saya melakukannya.

Like, I have become this. I am actually doing this.'"

Seperti saya telah menjadi pantas untuk ini. Saya benar-benar melakukannya.'"

So that's what I did.

Jadi itulah yang kulakukan. Lima tahun di sekolah pascasarjana,

Five years in grad school,

a few years, you know, I'm at Northwestern,

waktu yang cukup singkat, saya di daerah Barat Laut,

I moved to Harvard, I'm at Harvard,

Saya pindah ke Harvard, saya di Harvard sekarang,

I'm not really thinking about it anymore, but for a long time I had been thinking,

saya tidak memikirkannya lagi, tetapi untuk beberapa waktu yang lama, saya terus berpikir,

"Not supposed to be here."

"Tidak pantas berada di sini. Tidak pantas berada di sini."

So at the end of my first year at Harvard,

Jadi pada akhir dari tahun pertama saya di Harvard,

a student who had not talked in class the entire semester,

seorang mahasiswi yang belum pernah berbicara di kelas sepanjang semester,

who I had said, "Look, you've gotta participate or else you're going to fail,"

saya pernah bilang kepadanya, "Begini, kamu harus berpartisipasi, kalau tidak, kamu tidak akan lulus,"

came into my office. I really didn't know her at all.

dia datang ke kantor saya. Saya sungguh tidak mengenalnya sama sekali.

Dan dia bilang, dia datang, dengan putus asa, dan dia bilang,

She came in totally defeated, and she said,

"I'm not supposed to be here."

"Saya tidak seharusnya ada di sini."

Dan itulah saatnya untuk saya. Karena dua hal terjadi.

And that was the moment for me.

Because two things happened.

One was that I realized,

Yang pertama adalah: saya menjadi sadar,

oh my gosh, I don't feel like that anymore.

"Ya ampun, saya tidak merasa seperti itu lagi." Begitulah.

I don't feel that anymore, but she does, and I get that feeling.

Saya tidak merasakan itu lagi, tetapi dia merasa demikian, dan saya sangat mengerti perasaan itu.

And the second was, she is supposed to be here!

Dan yang kedua adalah: dia memang pantas ada di sini!

Like, she can fake it, she can become it.

Seperti, dia bisa berpura-pura, dia bisa menjadi itu.

So I was like, "Yes, you are! You are supposed to be here!

Jadi saya katakan, "Iya, betul kok! Kamu memang pantas berada di sini!

And tomorrow you're going to fake it,

Dan besok kamu akan berpura-pura bisa,

kamu akan membuat dirimu kuat, dan, begitulah,

you're going to make yourself powerful, and, you know --

(Applause)

kamu akan - " (Tepuk Tangan)

(Tepuk Tangan)

"Dan kamu akan pergi ke ruang kelas,

And you're going to go into the classroom,

and you are going to give the best comment ever."

dan kamu akan memberikan komentar yang terbaik."

You know? And she gave the best comment ever,

Tahukah Anda? Dia benar-benar memberikan komentar terbaik yang pernah saya dengar,

and people turned around and were like,

dan orang-orang menengok dan mereka seakan berkata,

"Ya Tuhan, Saya bahkan tidak pernah memperhatikan dia duduk di sana."

oh my God, I didn't even notice her sitting there. (Laughter)

Dia datang kembali kepada saya beberapa bulan kemudian, dan saya menyadari

She comes back to me months later,

and I realized that she had not just faked it till she made it,

bahwa dia bukan sekedar berpura-pura sampai dia berhasil,

she had actually faked it till she became it.

dia telah benar-benar berpura-pura sampai dia menjadi benar-benar menjadi itu.

So she had changed.

Jadi dia telah berubah.

And so I want to say to you, don't fake it till you make it.

Dan jadi saya ingin katakan kepada Anda, jangan hanya berpura-pura sampai berhasil,

Fake it till you become it.

Berpura-puralah sampai Anda benar-benar menjadi seperti itu.

Do it enough until you actually become it and internalize.

Lakukanlah terus sampai Anda benar-benar menjadi seperti itu dari dalam diri Anda.

The last thing I'm going to leave you with is this.

Hal terakhir yang akan saya berikan kepada Anda adalah ini:

Tiny tweaks can lead to big changes.

Perubahan kecil dapat membawa perubahan besar.

So, this is two minutes.

Jadi ini adalah dua menit.

Two minutes, two minutes, two minutes.

Dua menit, dua menit, dua menit.

Before you go into the next stressful evaluative situation,

Sebelum Anda akan masuk dalam situasi evaluatif yang menegangkan

for two minutes, try doing this, in the elevator,

untuk dua menit, coba lakukan ini, di dalam lift,

in a bathroom stall, at your desk behind closed doors.

di dalam toilet, di meja kerja, di belakang pintu.

That's what you want to do.

Itulah yang perlu Anda lakukan. Mengatur otak Anda

Configure your brain to cope the best in that situation.

untuk menghadapi situasi itu dengan kemampuan terbaik.

Get your testosterone up. Get your cortisol down.

Naikkan testosteron Anda. Turunkan kortisol Anda.

Don't leave that situation feeling like, oh, I didn't show them who I am.

Jangan tinggalkan situasi itu sambil merasa seperti, "Aduh, tadi saya tidak menunjukkan siapa saya sebenarnya."

Leave that situation feeling like,

Tinggalkan situasi itu sambil merasa seperti, "Oh, saya sungguh merasa bahwa

I really feel like I got to say who I am and show who I am.

saya telah mengatakan siapa saya dan menunjukkan siapa saya."

So I want to ask you first, you know, both to try power posing,

Jadi saya ingin meminta Anda,

untuk mencoba pose kekuatan

and also I want to ask you to share the science, because this is simple.

dan juga saya ingin meminta Anda

untuk membagikan ilmu ini, karena ini sederhana.

I don't have ego involved in this. (Laughter)

Saya tidak punya kepentingan pribadi dalam hal ini.

Give it away. Share it with people,

Berikan. Bagikan dengan orang-orang,

because the people who can use it the most

karena orang yang dapat paling banyak dapat menggunakannya adalah

are the ones with no resources and no technology

tanpa sumber daya dan tanpa teknologi

and no status and no power.

dan tanpa status dan tanpa kekuatan. Berikan kepada mereka

Give it to them because they can do it in private.

karena mereka dapat melakukannya diam-diam.

Mereka hanya perlu tubuh mereka, sedikit keleluasaan pribadi, dan dua menit,

They need their bodies, privacy and two minutes,

and it can significantly change the outcomes of their life.

dan ini secara signifikan dapat meningkatkan pencapaian dalam hidup mereka.

Thank you.

Terima kasih. (Tepuk tangan)

(Applause)

(Tepuk tangan)