The power of vulnerability | Brené Brown | TED

Translator: Judge Pau Reviewer: Irma Amelia

Saya akan mulai dengan ini

So, I'll start with this: a couple years ago, an event planner called me

dua tahun yang lalu, seorang panitia acara menelpon saya

karena saya ikut dalam suatu ceramah

because I was going to do a speaking event.

waktu menelpon, dia bilang

And she called, and she said,

"Saya kesulitan dengan apa

"I'm really struggling with how to write about you on the little flyer."

yang harus saya tulis tentang anda di selebaran acara."

And I thought, "Well, what's the struggle?"

Saya pikir, "Lho, apa sih susahnya "

dia bilang, "Saya pernah melihat ceramah anda

And she said, "Well, I saw you speak,

tadinya saya akan sebut anda peneliti

and I'm going to call you a researcher, I think,

but I'm afraid if I call you a researcher, no one will come,

tapi saya khawatir akan jadi sepi pengunjung

karena anda akan dianggap membosankan dan tidak penting

because they'll think you're boring and irrelevant."

(tertawa)

(Laughter)

Baiklah

And I was like, "Okay."

And she said, "But the thing I liked about your talk

lalu dia bilang, "Tapi yang saya suka dari ceramah anda

adalah anda pandai bercerita.

is you're a storyteller.

So I think what I'll do is just call you a storyteller."

Jadi saya akan sebut saja anda ini pendongeng."

And of course, the academic, insecure part of me

Tentu saja sisi intelektual saya yang rendah diri protes

was like, "You're going to call me a what?"

"Anda akan sebut saya apa ?"

Dia menegaskan, "Saya sebut saja anda ini pendongeng."

And she said, "I'm going to call you a storyteller."

And I was like, "Why not 'magic pixie'?"

saya pikir, "Kenapa tidak pesulap saja sekalian ?"

(Laughter)

(tertawa)

I was like, "Let me think about this for a second."

Jadi saya bilang, "Coba saya pikir dulu ya."

Saya memberanikan diri

I tried to call deep on my courage.

And I thought, you know, I am a storyteller.

untuk mengakui saya ini pendongeng.

I'm a qualitative researcher.

Saya peneliti kualitatif.

I collect stories; that's what I do.

Saya memang bekerja dengan cerita-cerita.

And maybe stories are just data with a soul.

Mungkin cerita adalah data yang punya jiwa.

And maybe I'm just a storyteller.

Mungkin saya memang pendongeng.

And so I said, "You know what?

Jadi saya bilang, "tahu nggak ?

Why don't you just say I'm a researcher-storyteller."

Bagaimana kalau sebut saja saya ini peneliti-pendongeng."

And she went, "Ha ha. There's no such thing."

dia tergelak, "Haha... mana ada sebutan seperti itu."

(Laughter)

(tertawa)

So I'm a researcher-storyteller, and I'm going to talk to you today --

Jadi saya adalah peneliti-pendongeng

dan saya akan bicarakan hari ini --

we're talking about expanding perception --

temanya kan memperluas persepsi --

and so I want to talk to you and tell some stories

jadi saya akan berbicara tentang beberapa cerita

dari salah satu penelitian saya

about a piece of my research that fundamentally expanded my perception

yang memperluas persepsi saya secara mendasar

and really actually changed the way that I live and love

dan secara nyata mengubah cara saya hidup dan mencintai

and work and parent.

dan bekerja dan mengasuh anak.

And this is where my story starts.

Dan ceritanya berawal begini.

When I was a young researcher, doctoral student,

Ketika saya mulai jadi peneliti, waktu mengambil gelar doktor,

my first year, I had a research professor who said to us,

tahun pertama saya dibimbing seorang profesor

yang mengajarkan

"Here's the thing, if you cannot measure it, it does not exist."

"Begini ya,

apa yang anda tidak bisa ukur, tidak pernah ada."

Waktu itu saya pikir dia cuma mau mengambil hati saya

And I thought he was just sweet-talking me.

Saya bilang, "Yang benar ?" dan dia jawab, "Pasti."

I was like, "Really?" and he was like, "Absolutely."

And so you have to understand

Sebelumnya mungkin anda harus paham

bahwa gelar S1 saya di ilmu sosial, gelar S2 saya di ilmu sosial,

that I have a bachelor's and a master's in social work,

dan saya akan mengambil Ph.D di ilmu sosial juga

and I was getting my Ph.D. in social work, so my entire academic career

jadi seluruh karir akademik saya

saya habiskan dengan orang-orang

was surrounded by people who kind of believed in the "life's messy, love it."

yang percaya bahwa

hidup itu tidak sempurna, cintai saja.

And I'm more of the, "life's messy, clean it up, organize it

Padahal saya ini lebih percaya, hidup tidak sempurna,

bereskan, rapikan

and put it into a bento box."

dan masukkan ke nampan bento.

(Laughter)

(tertawa)

Jadi kalau dipikir, jalan yang saya pilih,

And so to think that I had found my way, to found a career that takes me --

karir yang saya pilih itu --

really, one of the big sayings in social work is,

Bagaimana ya, salah satu prinsip dalam ilmu sosial

"Lean into the discomfort of the work."

adalah mengakrabi penderitaan dalam pekerjaan.

And I'm like, knock discomfort upside the head

Sedangkan saya, singkirkan semua penderitaan yang ada

and move it over and get all A's.

buang dan dapatkan nilai A semua.

That was my mantra.

Itulah mantra saya.

So I was very excited about this.

Jadi saya sangat girang dengan ajaran profesor itu

And so I thought, you know what, this is the career for me,

dan saya begitu yakin, bahwa ini karir yang tepat buat saya

because I am interested in some messy topics.

karena saya tertarik dengan hal-hal yg berantakan

But I want to be able to make them not messy.

dan saya ingin untuk bisa merapikan hal-hal itu.

Saya mau memahaminya.

I want to understand them.

I want to hack into these things that I know are important

Saya mau meretas hal-hal ini

yang saya yakin adalah penting

and lay the code out for everyone to see.

dan saya akan paparkan pada semua orang.

So where I started was with connection.

Jadi yang saya pilih sebagai topik adalah hubungan.

Because, by the time you're a social worker for 10 years,

Karena, kalau anda berkecimpung dalam bidang sosial selama 10 tahun

anda akan sadari

what you realize is that connection is why we're here.

kita ada karena hubungan.

It's what gives purpose and meaning to our lives.

Hubunganlah yang memberi arti dan tujuan pada hidup.

Hubungan adalah intinya.

This is what it's all about.

It doesn't matter whether you talk to people

Tidak masalah apakah anda tengah berhubungan dengan

orang dibidang sosial, dibidang kejiwaan, dibidang kriminal,

who work in social justice, mental health and abuse and neglect,

faktanya adalah hubungan itu,

what we know is that connection, the ability to feel connected, is --

kemampuan memiliki hubungan, adalah --

kodrat kita secara neurobiologis --

neurobiologically that's how we're wired --

it's why we're here.

adalah tujuan hidup kita.

So I thought, you know what, I'm going to start with connection.

Jadi waktu itu, saya pikir, saya akan mulai dengan hubungan.

Nah tahu kan situasi dimana

Well, you know that situation

where you get an evaluation from your boss,

ketika anda dievaluasi atasan anda,

and she tells you 37 things that you do really awesome,

dan dia memuji 37 hal tentang diri anda,

and one "opportunity for growth?"

dan menyinggung satu hal lainnya -- peluang untuk perbaikan ?

(Laughter)

(tertawa)

Dan anda akhirnya terpaku hanya pada peluang untuk perbaikan itu

And all you can think about is that opportunity for growth, right?

Well, apparently this is the way my work went as well,

Ternyata jalannya penelitian saya seperti itu juga,

because, when you ask people about love, they tell you about heartbreak.

karena, ketika anda bertanya tentang cinta pada orang,

yang mereka bicarakan adalah waktu patah hatinya.

When you ask people about belonging,

Waktu anda bertanya tentang peranan mereka

mereka akan berbicara tentang pengalaman terburuk mereka

they'll tell you their most excruciating experiences of being excluded.

ketika mereka dikucilkan.

And when you ask people about connection,

Dan ketika anda bertanya tentang hubungan,

the stories they told me were about disconnection.

cerita yang anda dapat adalah tentang putusnya hubungan itu.

Jadi dengan cepat -- sekitar 6 minggu sejak penelitian dimulai --

So very quickly -- really about six weeks into this research --

saya menemukan teka-teki ini

I ran into this unnamed thing that absolutely unraveled connection

yang menyelimuti hubungan

dengan cara yang belum pernah saya pahami atau ketahui.

in a way that I didn't understand or had never seen.

Jadi saya hentikan penelitiannya

And so I pulled back out of the research

dan berpikir, saya perlu cari tahu apa ini.

and thought, I need to figure out what this is.

And it turned out to be shame.

Yang ternyata adalah rasa malu.

Rasa malu biasanya dengan sederhana dipahami

And shame is really easily understood as the fear of disconnection:

sebagai rasa takut terhadap putusnya sebuah hubungan.

Apa ada sesuatu tentang diri saya

Is there something about me that, if other people know it or see it,

yang, kalau diketahui atau dilihat orang,

that I won't be worthy of connection?

membuat saya dianggap tidak pantas punya hubungan.

Yang sedang saya bicarakan ini

The things I can tell you about it:

berlaku universal, ada pada diri kita semua.

It's universal; we all have it.

The only people who don't experience shame

Orang yang tidak pernah mengalami rasa malu

tidak punya kemampuan berempati atau berhubungan dengan manusia.

have no capacity for human empathy or connection.

Tidak ada yang mau membicarakannya,

No one wants to talk about it,

and the less you talk about it, the more you have it.

dan makin sedikit anda bicarakan makin banyak anda miliki.

What underpinned this shame, this "I'm not good enough," --

Yang mendasari rasa malu,

yang bikin orang bilang, "saya tidak cukup baik," --

yang kita semua tahu bagaimana rasanya.

which, we all know that feeling:

"I'm not blank enough. I'm not thin enough,

"Saya tidak cukup bule, saya tidak cukup langsing,

rich enough, beautiful enough, smart enough, promoted enough."

tidak cukup kaya, tidak cukup cantik, tidak cukup pintar,

tidak cukup berhasil."

The thing that underpinned this was excruciating vulnerability.

Hal yang mendasari semua itu

adalah kerapuhan,

This idea of, in order for connection to happen,

kesadaran

bahwa untuk bisa berhubungan

we have to allow ourselves to be seen, really seen.

kita harus memperlihatkan diri kita

yang sesungguhnya

Dan anda tahu bagaimana pendapat saya tentang kerapuhan, saya benci kerapuhan.

And you know how I feel about vulnerability. I hate vulnerability.

Jadi saya pikir, ini kesempatan saya.

And so I thought, this is my chance to beat it back with my measuring stick.

Saya hajar kerapuhan ini dengan ilmu pengetahuan saya.

I'm going in, I'm going to figure this stuff out,

Saya akan masuk, saya akan analisa hal ini,

I'm going to spend a year, I'm going to totally deconstruct shame,

saya akan habiskan setahun, untuk memereteli rasa malu,

I'm going to understand how vulnerability works,

saya akan tahu luar dalam tentang kerapuhan ini,

dan saya akan temukan jalan keluarnya.

and I'm going to outsmart it.

So I was ready, and I was really excited.

Jadi saya siap dan penuh semangat.

Seperti biasanya, semuanya berantakan.

As you know, it's not going to turn out well.

(tertawa)

(Laughter)

You know this.

Anda pasti sudah menebaknya.

So, I could tell you a lot about shame,

Saya bisa cerita banyak tentang rasa malu

but I'd have to borrow everyone else's time.

tapi akan makan banyak waktu

But here's what I can tell you that it boils down to --

tapi saya bisa sampaikan bahwa intinya adalah --

and this may be one of the most important things that I've ever learned

dan ini mungkin salah satu hal terpenting yang saya pelajari

in the decade of doing this research.

dalam kurun waktu 10 tahun penelitian saya.

Yang rencananya setahun itu

My one year turned into six years:

menjadi enam tahun,

ribuan cerita,

Thousands of stories, hundreds of long interviews, focus groups.

ratusan wawancara, grup fokus.

At one point, people were sending me journal pages

Sampai ada orang yang mengirimkan salinan buku hariannya

dan mengirimkan ceritanya --

and sending me their stories --

thousands of pieces of data in six years.

ribuan data dalam enam tahun.

Dan saya merasa bisa mengatasinya.

And I kind of got a handle on it.

I kind of understood, this is what shame is, this is how it works.

Saya merasa paham, apa rasa malu itu sebenarnya,

beginilah cara kerjanya.

Saya tuliskan dalam sebuah buku,

I wrote a book, I published a theory, but something was not okay --

saya terbitkan sebuah teori,

tapi ada yang tidak beres --

and what it was is that, if I roughly took the people I interviewed

dan yang tidak beres itu adalah --

kalau saya bagi secara kasar orang-orang yang saya wawancara

and divided them into people who really have a sense of worthiness --

menjadi kelompok orang yang

sungguh-sungguh menghargai dirinya sendiri

dan inilah inti segalanya,

that's what this comes down to, a sense of worthiness --

menghargai diri sendiri --

they have a strong sense of love and belonging --

kecintaan dan keberperanan mereka sangat kuat --

and folks who struggle for it,

dengan orang-orang yang masih bergulat dengan isu itu,

and folks who are always wondering if they're good enough.

dengan orang-orang yang selalu ragu apa mereka cukup baik.

Hanya ada satu variabel

There was only one variable that separated

yang memisahkan orang-orang

the people who have a strong sense of love and belonging

yang kuat kecintaan dan keberperanannya

and the people who really struggle for it.

dengan orang-orang yang masih bergulat dgn isu itu

And that was, the people who have a strong sense of love and belonging

variabel itu adalah orang-orang yg

punya kecintaan dan keberperanan yang kuat

believe they're worthy of love and belonging.

percaya mereka berharga untuk dicintai dan untuk berperan.

That's it.

Hanya itu.

They believe they're worthy.

Mereka percaya mereka cukup berharga.

And to me, the hard part of the one thing that keeps us out of connection

Buat saya, bagian terberat adalah

satu-satunya hal yang menghalangi kita untuk berhubungan

is our fear that we're not worthy of connection,

adalah kekhawatiran kita tidak pantas untuk sebuah hubungan,

was something that, personally and professionally,

hal ini, baik secara profesional maupun secara pribadi

penting buat saya untuk dipahami

I felt like I needed to understand better.

So what I did is I took all of the interviews

jadi apa yg saya lakukan adalah

saya kaji ulang semua wawancara yg telah dilakukan

where I saw worthiness, where I saw people living that way,

pada wawancara dimana penghargaan diri muncul, ketika orang hidup seperti itu

and just looked at those.

saya amati baik-baik.

What do these people have in common?

Apa kesamaan dari orang-orang ini ?

I have a slight office supply addiction, but that's another talk.

Saya penderita ketagihan barang-barang kantor

tapi itu topik lain.

So I had a manila folder, and I had a Sharpie,

Jadi saya siapkan map manila dan sebuah spidol

and I was like, what am I going to call this research?

lalu saya bingung, apa judul penelitian ini ya ?

Kata pertama yang muncul di benak

And the first words that came to my mind were "whole-hearted."

adalah kesungguhan.

These are whole-hearted people, living from this deep sense of worthiness.

Mereka adalah orang yang bersungguh-sungguh, yang sangat menghargai diri mereka sendiri.

Jadi saya cantumkan kata itu di map manilanya,

So I wrote at the top of the manila folder,

dan saya mulai memroses data yang ada.

and I started looking at the data.

Mula-mula

In fact, I did it first in a four-day, very intensive data analysis,

saya lakukan 4 hari

analisa data yang sangat intensif

where I went back, pulled the interviews, the stories, pulled the incidents.

dimana saya gali lagi semua wawancara, cerita dan peristiwa-peristiwa.

What's the theme? What's the pattern?

Apa temanya ? Dimana polanya ?

My husband left town with the kids

Suami saya keluar kota bersama anak-anak

because I always go into this Jackson Pollock crazy thing,

karena saya berubah jadi seperti Jackon Pollock,

where I'm just writing and in my researcher mode.

dan mencorat-coret dimana-mana

kalau sedang bekerja.

And so here's what I found.

Dan akhirnya ini yang saya temukan

Apa kesamaan dari orang-orang ini

What they had in common was a sense of courage.

adalah courage (keberanian)

And I want to separate courage and bravery for you for a minute.

dan saya ingin membedakan courage dan bravery (keberanian juga) disini

Courage, the original definition of courage,

Courage, definisi aslinya adalah

waktu pertama diserap bahasa inggris --

when it first came into the English language --

berasal dari kata latin cor, yg artinya hati --

it's from the Latin word "cor," meaning "heart" --

and the original definition was to tell the story of who you are

dan definisi aslinya

adalah menceritakan siapa diri anda dengan sepenuh-hati.

with your whole heart.

Jadi orang-orang ini

And so these folks had, very simply, the courage to be imperfect.

secara sederhana, hanya punya keberanian

untuk jadi tidak sempurna.

They had the compassion to be kind to themselves first and then to others,

Mereka punya belas kasih

untuk berbaik hati pada dirinya sendiri dulu sebelum pada orang lain,

because, as it turns out,

karena, ternyata, kita tidak bisa berbelas kasih pada orang lain

we can't practice compassion with other people

kalau kita tidak memperlakukan diri kita sendiri dengan baik

if we can't treat ourselves kindly.

And the last was they had connection, and -- this was the hard part --

dan yang terakhir adalah mereka punya hubungan

dan -- ini bagian sulitnya --

as a result of authenticity,

sebagai wujud dari kejujuran,

they were willing to let go of who they thought they should be

mereka bersedia tidak menjadi sosok ideal yang ingin mereka capai

in order to be who they were, which you have to absolutely do that

demi menjadi dirinya sendiri

yang harus anda lakukan

for connection.

kalau mau berhubungan.

The other thing that they had in common was this:

hal lain yang jadi benang merah diantara mereka

adalah ini.

They fully embraced vulnerability.

Mereka sepenuhnya mengakrabi kerapuhan.

They believed that what made them vulnerable made them beautiful.

Mereka percaya

bahwa apa yang membuat mereka rapuh

membuat mereka jadi indah.

Mereka tidak menganggap kerapuhan

They didn't talk about vulnerability being comfortable,

itu menyenangkan

nor did they really talk about it being excruciating --

tapi juga tidak menganggapnya sebagai penderitaan --

as I had heard it earlier in the shame interviewing.

seperti yang banyak saya dengar di sesi wawancara.

Mereka menganggapnya sebagai suatu keperluan.

They just talked about it being necessary.

They talked about the willingness to say, "I love you" first ...

Mereka berbicara tentang kesediaan

untuk lebih dulu mengatakan "Saya cinta padamu",

kesediaan

the willingness to do something where there are no guarantees ...

untuk melakukan sesuatu

yang tidak ada jaminan,

the willingness to breathe through waiting for the doctor to call

kesediaan

menunggu telpon dari dokter

after your mammogram.

setelah menjalani mammogram.

They're willing to invest in a relationship

Mereka bersedia menjalani hubungan

that may or may not work out.

yang akan atau tidak akan membahagiakan.

They thought this was fundamental.

Buat mereka ini luar biasa penting.

I personally thought it was betrayal.

Saya pribadi menganggapnya sebagai pengkhianatan.

I could not believe I had pledged allegiance to research, where our job --

Saya terlanjur membaktikan diri

pada penelitian --

you know, the definition of research is to control and predict,

definisi dari penelitian

adalah mengendalikan dan meramalkan, mempelajari fenomena

to study phenomena for the explicit reason to control and predict.

hanya untuk satu tujuan

untuk mengendalikan dan meramalkan.

And now my mission to control and predict

Tapi sekarang misi saya

untuk mengontrol dan meramalkan

had turned up the answer that the way to live is with vulnerability

malah membawa saya pada kesimpulan bahwa untuk hidup kita harus rapuh

dan berhenti mengendalikan dan meramalkan

and to stop controlling and predicting.

This led to a little breakdown --

Ini membuat stres

(Laughter)

(tertawa)

-- which actually looked more like this.

yang kurang lebih tampak seperti ini.

(Laughter)

(tertawa)

And it did.

Dan memang begitu

I call it a breakdown; my therapist calls it a spiritual awakening.

Saya anggap ini stres, terapis saya menyebutnya sebagai kebangkitan spiritual.

(Laughter)

A spiritual awakening sounds better than breakdown,

Kebangkitan spiritual lebih enak didengar ketimbang stres,

tapi percayalah saya stres waktu itu.

but I assure you, it was a breakdown.

Saya sampai perlu meninggalkan pekerjaan dan mencari terapis.

And I had to put my data away and go find a therapist.

Dan saya beri tahu ya, anda akan mengenal diri anda lebih baik

Let me tell you something: you know who you are

ketika anda menelpon teman-teman anda untuk minta, "Sepertinya saya butuh pertolongan

when you call your friends and say, "I think I need to see somebody.

Punya rekomendasi tidak ?"

Do you have any recommendations?"

Because about five of my friends were like,

karena sekitar 5 teman saya langsung,

"Wooo, I wouldn't want to be your therapist."

"Waduh... kasihan deh terapisnya."

(Laughter)

(tertawa)

I was like, "What does that mean?"

Saya bilang, "Apa sih ?"

And they're like, "I'm just saying, you know.

Dan mereka bilang, "saya cuma pikir, itu lho.

Don't bring your measuring stick."

Jangan debat teknis ya."

(Laughter)

Saya bilang, "Ya deh."

I was like, "Okay."

So I found a therapist.

Akhirnya saya temukan seorang terapis

My first meeting with her, Diana --

Pertemuan pertama dengan dia, Diana --

saya bawa data saya

I brought in my list of the way the whole-hearted live, and I sat down.

tentang bagaimana orang-orang yang bersungguh-sungguh hidup dan saya duduk.

And she said, "How are you?"

Dia tanya, "Apa kabar ?"

And I said, "I'm great. I'm okay."

Saya bilang, "Baik..baik"

She said, "What's going on?"

Dia tanya, "Jadi, ada apa ya ?"

And this is a therapist who sees therapists,

Ini terapis yang memerlukan terapis

because we have to go to those, because their B.S. meters are good.

karena kami lakukan semua,

karena basa basinya basi.

(Laughter)

(tertawa)

And so I said, "Here's the thing, I'm struggling."

Jadi saya langsung saja

"Masalahnya begini, saya punya konflik."

And she said, "What's the struggle?"

Dia bertanya, "Konflik tentang apa?"

Saya bilang, "Saya punya masalah dengan kerapuhan.

And I said, "Well, I have a vulnerability issue.

And I know that vulnerability is the core of shame and fear

Saya tahu kerapuhan itu inti

dari rasa malu dan ketakutan

dan pergulatan kita dengan penghargaan diri,

and our struggle for worthiness,

but it appears that it's also the birthplace of joy, of creativity,

tapi ternyata kerapuhan juga sumber

dari kebahagiaan, kreatifitas,

of belonging, of love.

keberperanan, cinta.

And I think I have a problem, and I need some help."

Jadi itulah konfliknya

dan saya butuh bantuan."

Saya lanjut dengan, "Tapi begini ya

And I said, "But here's the thing: no family stuff, no childhood shit."

jangan bahas soal keluarga,

atau soal masa kecil segala."

(Laughter)

(tertawa)

"I just need some strategies."

"Saya cuma perlu strategi."

(Laughter)

(tertawa)

(Applause)

(tepuk tangan)

Terima kasih

Thank you.

So she goes like this.

Dia lakukan ini.

(Laughter)

(tertawa)

And then I said, "It's bad, right?"

Jadi saya tanya, "Parah ya ?"

And she said, "It's neither good nor bad."

Dia bilang, "Bisa jadi, bisa jadi juga tidak."

(Laughter)

(tertawa)

"It just is what it is."

"Ini apa adanya."

And I said, "Oh my God, this is going to suck."

Saya pikir, "Gusti... Cape deh.."

(Laughter)

(tertawa)

And it did, and it didn't.

Dan awalnya memang repot tapi kemudian membaik.

And it took about a year.

Setelah berjalan setahun.

And you know how there are people

Dan tahu kan orang-orang

that, when they realize that vulnerability and tenderness are important,

yang ketika sadar kerapuhan dan kelembutan itu penting

langsung menyerah dan menjiwainya habis-habisan.

that they surrender and walk into it.

A : Saya tidak termasuk orang-orang itu

A: that's not me,

dan B : Saya bahkan tidak "main" dengan orang-orang seperti itu.

and B: I don't even hang out with people like that.

(Laughter)

(tertawa)

For me, it was a yearlong street fight.

Buat saya, terapi itu pertempuran sepanjang tahun

It was a slugfest.

Kontes adu jotos.

Vulnerability pushed, I pushed back.

Kerapuhan menyerang, saya balas.

I lost the fight,

Saya kalah

but probably won my life back.

tapi mungkin mendapatkan kembali hidup saya.

And so then I went back into the research

Jadi ketika saya kembali bekerja

and spent the next couple of years

dan menghabiskan dua tahun berikutnya

really trying to understand what they, the whole-hearted,

benar-benar mencoba memahami mereka, orang-orang yang bersungguh-sungguh,

what choices they were making, and what we are doing with vulnerability.

apa yang mereka putuskan untuk perbuat

apa yang kita lakukan

dengan kerapuhan.

Why do we struggle with it so much?

Mengapa kita punya problem dengan kerapuhan ?

Am I alone in struggling with vulnerability?

Apa saya sendirian yang punya problem ini ?

Tidak.

No.

So this is what I learned.

Jadi ini hasilnya

We numb vulnerability --

Kita bungkam kerapuhan --

when we're waiting for the call.

ketika kita menunggu panggilan.

It was funny, I sent something out on Twitter and on Facebook

Ada yang lucu, saya posting lewat twitter dan facebook

dan bertanya, "Apa definisi anda tentang kerapuhan ?

that says, "How would you define vulnerability?

Apa yang membuat anda merasa rapuh ?"

What makes you feel vulnerable?"

Dan dalam satu setengah jam, saya dapat 150 respon.

And within an hour and a half, I had 150 responses.

Because I wanted to know what's out there.

Karena saya mau tahu

apa yang mereka bilang antara lain.

Minta tolong pada suami

Having to ask my husband for help because I'm sick, and we're newly married;

karena saya sakit tapi kami pengantin baru;

minta berhubungan intim dengan suami;

initiating sex with my husband;

initiating sex with my wife;

minta berhubungan intim dengan istri;

ditolak waktu mengajak orang kencan

being turned down; asking someone out;

menunggu telpon dari dokter;

waiting for the doctor to call back;

dipecat, memecat orang.

getting laid off; laying off people.

This is the world we live in.

Ini adalah dunia dimana kita hidup.

We live in a vulnerable world.

Kita hidup di dunia yang rapuh

And one of the ways we deal with it is we numb vulnerability.

dan salah satu cara kita menghadapinya

adalah kita bungkam kerapuhan.

And I think there's evidence --

Dan rasanya ada bukti --

and it's not the only reason this evidence exists,

dan ini bukan satu-satunya alasan bukti ini ada

but I think it's a huge cause --

tapi menurut saya ini penyebab utama --

We are the most in-debt ...

kita adalah generasi yang paling banyak hutang

kegemukan,

obese ...

addicted and medicated adult cohort in U.S. history.

paling gemar obat-obatan

dalam sejarah Amerika.

The problem is -- and I learned this from the research --

Problemnya adalah -- dan ini juga saya dapat dari penelitian saya --

that you cannot selectively numb emotion.

anda tidak bisa membungkam emosi tertentu.

You can't say, here's the bad stuff.

Anda tidak bisa bilang, ok ini yang jelek.

Here's vulnerability, here's grief, here's shame,

Ini yang rapuh, ini kesedihan, ini malu,

here's fear, here's disappointment.

ini takut, ini kekecewaan,

I don't want to feel these.

saya tidak mau merasakan ini.

I'm going to have a couple of beers and a banana nut muffin.

Saya cukup minum dua gelas bir dan bolu rasa pisang saja.

(Laughter)

(tertawa)

Saya tidak mau merasakan itu

I don't want to feel these.

And I know that's knowing laughter.

dan saya tahu dari cara tertawa anda.

I hack into your lives for a living.

Saya cari makan dengan meretas hidup orang.

God.

Gusti

(Laughter)

(tertawa)

You can't numb those hard feelings

Anda tidak bisa bungkam perasaan dasar itu

without numbing the other affects, our emotions.

tanpa ikut membungkam akibatnya, emosi kita.

Anda tidak bisa pilih tebang dalam membungkam

You cannot selectively numb.

So when we numb those,

jadi ketika kita bungkam perasaan-perasaan itu

we numb joy,

kita bungkam kesenangan,

kita bungkam rasa syukur,

we numb gratitude,

we numb happiness.

kita bungkam kebahagiaan.

Kita jadi sengsara,

And then, we are miserable,

dan kita mencari tujuan dan makna,

and we are looking for purpose and meaning,

lalu merasa rapuh,

and then we feel vulnerable,

so then we have a couple of beers and a banana nut muffin.

lalu kita minum dua gelas bir dan bolu pisang lagi.

And it becomes this dangerous cycle.

ini jadi lingkaran yang berbahaya.

One of the things that I think we need to think about

Salah satu hal yang menurut saya harus kita renungkan

is why and how we numb.

adalah kenapa dan bagaimana kita membungkam.

And it doesn't just have to be addiction.

Bentuknya tidak mesti berupa ketagihan.

Hal lain yang kita lakukan

The other thing we do is we make everything that's uncertain certain.

adalah kita bikin segala hal yang tidak pasti jadi pasti.

Religion has gone from a belief in faith and mystery to certainty.

Agama yang tadinya soal kepercayaan dan misteri

jadi dogma

"I'm right, you're wrong. Shut up."

Saya benar, kamu salah. Diam.

Selesai

That's it.

Yang pasti-pasti saja.

Just certain.

Makin takut kita, makin rapuh kita,

The more afraid we are, the more vulnerable we are,

makin menjadi ketakutan kita.

the more afraid we are.

Inilah wajah kehidupan politik kita sekarang.

This is what politics looks like today.

Tidak ada lagi diskusi.

There's no discourse anymore.

There's no conversation.

Tidak ada lagi dialog.

There's just blame.

Yang ada hanya tuduhan.

You know how blame is described in the research?

Tahu tidak apa definisi tuduhan dalam penelitian ?

A way to discharge pain and discomfort.

Sebuah cara untuk melampiaskan kesakitan dan ketidaknyamanan.

Kita sempurnakan.

We perfect.

If there's anyone who wants their life to look like this, it would be me,

Kalau ada yang mau hidup mereka tampak seperti ini, saya orangnya

tapi tidak begitu yang terjadi.

but it doesn't work.

Because what we do is we take fat from our butts and put it in our cheeks.

Karena yang kita lakukan hanya memindahkan lemak dari pinggul

ke pipi.

(Laughter)

(tertawa)

Which just, I hope in 100 years, people will look back and go, "Wow."

Yang cukup, moga-moga seratus tahun kedepan

orang akan menengok ke masa lalu dan kaget, "Waduh..."

(Laughter)

(tertawa)

And we perfect, most dangerously, our children.

Dan kita sempurnakan, yang paling berbahaya,

anak-anak kita.

Let me tell you what we think about children.

Saya beri tahu apa makna anak-anak buat kita.

They're hardwired for struggle when they get here.

Mereka dikodratkan untuk berjuang ketika terlahir.

And when you hold those perfect little babies in your hand,

Dan ketika bayi sempurna itu ada dalam pelukan anda,

our job is not to say, "Look at her, she's perfect.

tugas kita bukan untuk bilang, "Lihat dia, dia sempurna.

Tugas saya adalah mempertahankan kesempurnaan itu --

My job is just to keep her perfect --

pastikan dia masuk tim tennis waktu SMP dan masuk Yale selepas SMA."

make sure she makes the tennis team by fifth grade and Yale by seventh."

Bukan itu tugas kita

That's not our job.

Our job is to look and say,

Tugas kita adalah untuk menatap mereka dan bilang,

"You know what? You're imperfect, and you're wired for struggle,

"Tahu tidak ? Kamu tidak sempurna, dan dikodratkan untuk berjuang,

but you are worthy of love and belonging."

tapi kamu pantas dicintai dan berperan."

Itu tugas kita.

That's our job.

Tunjukkan generasi yang dibesarkan seperti itu

Show me a generation of kids raised like that,

dan kita akan akhiri semua problem yang ada sekarang.

and we'll end the problems, I think, that we see today.

We pretend that what we do doesn't have an effect on people.

Kita bertindak seolah perbuatan kita

tidak berdampak ke orang lain.

We do that in our personal lives.

Kita lakukan itu dalam kehidupan pribadi,

We do that corporate --

dan di masyarakat --

whether it's a bailout, an oil spill ...

dalam mensubsidi, tumpahan minyak,

atau pemecatan --

a recall.

We pretend like what we're doing

kita bertindak seolah perbuatan kita

doesn't have a huge impact on other people.

tidak berdampak besar pada orang lain.

I would say to companies, this is not our first rodeo, people.

Saya akan bilang pada perusahaan itu, kita bukan anak kemarin sore.

We just need you to be authentic and real and say ...

Kami cuma mau anda jujur dan tulus

untuk bilang, "Kami minta maaf.

"We're sorry. We'll fix it."

Kami akan perbaiki."

But there's another way, and I'll leave you with this.

Tapi ada cara lain, dan ini pesan penutup dari saya

Ini temuan saya

This is what I have found:

To let ourselves be seen, deeply seen, vulnerably seen ...

supaya orang lain bisa melihat kita

sampai ke dasar hati

dengan segala kerapuhan kita

to love with our whole hearts, even though there's no guarantee --

supaya kita bisa mencintai dengan sepenuh hati

meski pun tidak ada jaminannya --

dan itu hal yg sulit,

and that's really hard,

and I can tell you as a parent, that's excruciatingly difficult --

dan sebagai orang tua saya tahu pasti, itu luar biasa sulit --

supaya kita bisa bersyukur dan bahagia

to practice gratitude and joy in those moments of terror,

di momen-momen menakutkan

when we're wondering, "Can I love you this much?

ketika kita bimbang , "Apa saya bisa mencintaimu seperti itu?

Bisakah saya mempercayai ini dengan penuh perasaan ?

Can I believe in this this passionately?

Bisakah saya seteguh itu ?"

Can I be this fierce about this?"

just to be able to stop and, instead of catastrophizing what might happen,

supaya kita bisa berhenti, dan alih-alih membayangkan yang jelek-jelek,

malah bilang, "Saya sangat bersyukur,

to say, "I'm just so grateful,

because to feel this vulnerable means I'm alive."

karena perasaan rapuh ini bukti saya masih hidup."

And the last, which I think is probably the most important,

Dan terakhir, yang menurut saya yang paling penting,

adalah untuk meyakini bahwa kita sudah pantas.

is to believe that we're enough.

Because when we work from a place, I believe, that says, "I'm enough" ...

Karena kalau kita mulai

dengan keyakinan, "saya sudah pantas."

then we stop screaming and start listening,

kita akan berhenti berteriak dan mulai mendengar,

we're kinder and gentler to the people around us,

kita jadi lebih baik, lebih lembut pada orang-orang

dan kita jadi lebih baik dan lembut pada diri kita sendiri

and we're kinder and gentler to ourselves.

Sekian dari saya. Terima kasih

That's all I have. Thank you.

(Applause)

(Tepuk tangan)