Grit: the power of passion and perseverance | Angela Lee Duckworth

Translator: Joseph Geni Reviewer: Morton Bast

Translator: Herwindy Maria Tedjaatmadja Reviewer: Rommy Rustami

When I was 27 years old,

Ketika saya berusia 27 tahun,

I left a very demanding job in management consulting

Saya meninggalkan pekerjaan saya yang sangat penuh tuntutan di bidang konsultan manajemen

for a job that was even more demanding: teaching.

untuk sebuah pekerjaan yang bahkan lebih menuntut: mengajar.

Saya mengajar Matematika untuk Kelas 7 (SMP Kelas 1)

I went to teach seventh graders math

in the New York City public schools.

di sekolah-sekolah negeri kota New York.

Dan seperti guru lainnya, saya membuat beberapa kuis dan ujian.

And like any teacher, I made quizzes and tests.

I gave out homework assignments.

Saya memberi tugas pekerjaan rumah (PR).

Dan ketika tugas-tugas tersebut dikumpulkan, saya memberi nilai.

When the work came back, I calculated grades.

What struck me was that IQ was not the only difference

Hal yang mengagetkan saya adalah IQ bukanlah satu-satunya perbedaan

between my best and my worst students.

di antara siswa-siswa terbaik dan terburuk saya.

Beberapa dari mereka yang mendapatkan nilai terbaik

Some of my strongest performers did not have stratospheric IQ scores.

tidak memiliki IQ yang luar biasa tinggi.

Beberapa dari anak-anak yang paling cerdas tidak begitu berhasil.

Some of my smartest kids weren't doing so well.

And that got me thinking.

Dan ini membuat saya berpikir.

The kinds of things you need to learn in seventh grade math,

Beberapa hal yang perlu Anda pelajari di Matematika untuk SMP kelas 1,

sure, they're hard: ratios, decimals, the area of a parallelogram.

tentu saja, sangat sulit: perbandingan, desimal,

luas jajaran genjang.

But these concepts are not impossible,

Tapi konsep-konsep ini bukannya tidak mungkin,

and I was firmly convinced that every one of my students

dan saya sangat yakin bahwa setiap murid saya

could learn the material

dapat mempelajari materi tersebut

jika mereka bekerja cukup keras dan lama.

if they worked hard and long enough.

After several more years of teaching,

Setelah beberapa tahun mengajar,

I came to the conclusion that what we need in education

saya menyimpulkan bahwa yang kita perlukan dalam pendidikan

adalah pemahaman yang lebih baik tentang murid dan pembelajaran

is a much better understanding of students and learning

from a motivational perspective,

dari sudut pandang motivasi,

from a psychological perspective.

dari sudut pandang psikologis.

In education, the one thing we know how to measure best is IQ.

Dalam pendidikan, salah satu alat ukur terbaik yang kita ketahui

adalah I.Q., tetapi bagaimana bila keberhasilan di sekolah dan kehidupan

But what if doing well in school and in life

depends on much more

tergantung lebih banyak lagi pada

than your ability to learn quickly and easily?

hal- hal selain dari kemampuan Anda untuk belajar dengan cepat dan mudah?

So I left the classroom,

Jadi saya meninggalkan kelas,

and I went to graduate school to become a psychologist.

dan saya pergi ke sekolah pascasarjana untuk menjadi seorang psikolog.

I started studying kids and adults

Saya mulai mempelajari anak-anak dan orang dewasa

dari semua jenis latar belakang yang sangat menantang,

in all kinds of super challenging settings,

and in every study my question was,

dan dalam setiap studi, pertanyaan saya adalah,

who is successful here and why?

Siapa yang berhasil di sini dan mengapa?

My research team and I went to West Point Military Academy.

Saya dan tim penelitian saya pergi ke Akademi Militer West Point.

We tried to predict which cadets

Kami mencoba untuk memprediksi kadet mana

would stay in military training and which would drop out.

yang akan tetap tinggal di pelatihan militer dan siapa yang akan keluar.

We went to the National Spelling Bee

Kami pergi ke National Spelling Bee (Lomba Mengeja Nasional)

and tried to predict which children would advance farthest in competition.

dan mencoba memprediksi anak-anak mana yang akan maju

terjauh dalam kompetisi.

We studied rookie teachers working in really tough neighborhoods,

Kami mempelajari guru-guru baru

yang bekerja di lingkungan yang benar-benar sulit, dan bertanya

asking which teachers are still going to be here in teaching

guru-guru mana yang masih akan tetap mengajar

by the end of the school year,

pada akhir tahun ajaran sekolah,

and of those, who will be the most effective

dan siapa di antara mereka yang paling efektif

at improving learning outcomes for their students?

dalam meningkatkan hasil pembelajaran bagi siswa mereka?

We partnered with private companies, asking,

Kami bermitra dengan perusahaan-perusahaan swasta, dan bertanya,

which of these salespeople is going to keep their jobs?

siapakah di antara staf penjualan yang akan tetap bekerja?

And who's going to earn the most money?

Dan siapa yang akan menghasilkan uang paling banyak?

In all those very different contexts,

Dalam semua konteks yang sangat berbeda itu,

one characteristic emerged as a significant predictor of success.

sebuah karakteristik muncul

sebagai prediksi keberhasilan yang signifikan dan penting.

And it wasn't social intelligence.

Dan hal itu bukanlah kecerdasan sosial.

It wasn't good looks, physical health,

Itu bukanlah penampilan yang menarik, kesehatan fisik, dan bukan juga I.Q.

and it wasn't IQ.

It was grit.

Hal itu adalah tekad.

Grit is passion and perseverance for very long-term goals.

Tekad adalah semangat dan ketekunan untuk tujuan-tujuan jangka panjang.

Grit is having stamina.

Tekad berarti memiliki stamina.

Grit is sticking with your future, day in, day out,

Tekad melekat dengan masa depan Anda setiap hari,

not just for the week, not just for the month,

bukan hanya selama seminggu, bukan pula satu bulan,

but for years,

tapi untuk bertahun-tahun, dan bekerja benar-benar keras

and working really hard to make that future a reality.

untuk membuat masa depan itu menjadi kenyataan.

Grit is living life like it's a marathon, not a sprint.

Tekad adalah menjalani hidup seperti sebuah pertandingan lari maraton, bukan lomba lari jarak dekat.

Beberapa tahun yang lalu, saya mulai mempelajari tentang tekad

A few years ago,

I started studying grit in the Chicago public schools.

di sekolah-sekolah negeri Chicago.

Saya minta pada ribuan siswa SMP

I asked thousands of high school juniors

to take grit questionnaires,

untuk mengisi kuesioner tentang tekad,

and then waited around more than a year

kemudian menunggu satu tahun lebih

to see who would graduate.

untuk melihat siapa yang akan lulus.

Turns out that grittier kids

Ternyata anak-anak yang lebih bertekad

were significantly more likely to graduate,

akan jauh lebih mungkin untuk lulus,

even when I matched them on every characteristic I could measure,

bahkan ketika saya mencocokkan mereka dengan setiap karakteristik yang saya bisa ukur,

things like family income,

hal-hal seperti pendapatan keluarga,

nilai ujian pencapaian standar (ujian akhir),

standardized achievement test scores,

even how safe kids felt when they were at school.

bahkan seberapa rasa aman anak-anak ketika mereka berada di sekolah.

So it's not just at West Point or the National Spelling Bee

Jadi tidak hanya di West Point atau National Spelling Bee

that grit matters.

tekad itu penting. Hal ini juga berlaku di sekolah,

It's also in school,

especially for kids at risk for dropping out.

terutama pada anak-anak yang beresiko putus sekolah.

To me, the most shocking thing about grit

Bagi saya, hal yang paling mengejutkan tentang tekad

adalah betapa sedikit yang kita ketahui,

is how little we know,

how little science knows, about building it.

betapa sedikit yang ilmu pengetahuan ketahui, tentang membangun tekad.

Setiap hari, orang tua dan guru bertanya pada saya,

Every day, parents and teachers ask me,

"How do I build grit in kids?

"Bagaimana saya membangun tekad pada anak-anak?

What do I do to teach kids a solid work ethic?

Apa yang harus saya lakukan untuk mengajar anak-anak etos kerja yang kuat?

How do I keep them motivated for the long run?"

Bagaimana cara menjaga mereka untuk tetap termotivasi dalam jangka panjang?"

The honest answer is,

Jawaban yang jujur adalah, saya tidak tahu. (Tawa)

I don't know.

(Laughter)

What I do know is that talent doesn't make you gritty.

Apa yang saya ketahui adalah bahwa bakat tidak membuat anda memiliki tekad.

Our data show very clearly

Data kami menunjukkan dengan sangat jelas

that there are many talented individuals

bahwa ada banyak individu-individu berbakat

yang tidak mengikuti komitmen mereka.

who simply do not follow through on their commitments.

In fact, in our data, grit is usually unrelated

Pada kenyataannya, dalam data kami, tekad biasanya tidak berhubungan

atau bahkan berbanding terbalik dengan besarnya bakat.

or even inversely related to measures of talent.

So far, the best idea I've heard about building grit in kids

Sejauh ini, ide terbaik yang pernah saya dengar tentang membangun tekad pada anak-anak

is something called "growth mindset."

adalah sesuatu yang disebut "pola pikir yang berkembang."

This is an idea developed at Stanford University by Carol Dweck,

Ini adalah sebuah ide yang dikembangkan di Universitas Stanford

oleh Carol Dweck, dan itu adalah kepercayaan

and it is the belief that the ability to learn is not fixed,

bahwa kemampuan untuk belajar dapat berubah,

that it can change with your effort.

bahwa hal itu dapat berubah dengan usaha Anda.

Dr. Dweck has shown

Dr. Dweck telah menunjukkan bahwa ketika anak-anak membaca dan belajar

that when kids read and learn about the brain

tentang otak dan bagaimana otak berubah dan berkembang

and how it changes and grows in response to challenge,

dalam menanggapi tantangan,

they're much more likely to persevere when they fail,

mereka cenderung lebih tekun saat mereka gagal,

because they don't believe that failure is a permanent condition.

karena mereka tidak percaya bahwa kegagalan

adalah kondisi permanen.

Jadi pola pikir yang berkembang adalah ide yang bagus untuk membangun tekad.

So growth mindset is a great idea for building grit.

But we need more.

Tapi kita perlu lebih banyak.

And that's where I'm going to end my remarks,

Dan disini saya akan mengakhiri ucapan saya,

because that's where we are.

karena di sanalah tempat kita berada.

Itu adalah pekerjaan yang ada di hadapan kita.

That's the work that stands before us.

We need to take our best ideas, our strongest intuitions,

Kita perlu mengambil ide-ide terbaik kita, intuisi kita yang terkuat,

and we need to test them.

dan kita perlu untuk menguji mereka.

We need to measure whether we've been successful,

Kita perlu untuk mengukur apakah kita telah berhasil,

and we have to be willing to fail, to be wrong,

dan kita harus bersedia untuk gagal, untuk menjadi salah,

to start over again with lessons learned.

untuk mulai dari awal lagi dengan apa yang sudah kita pelajari.

Dengan kata lain, kita perlu bertekad

In other words, we need to be gritty

about getting our kids grittier.

untuk membuat anak-anak kita menjadi lebih bertekad.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)