A simple way to break a bad habit | Judson Brewer | TED

Translator: Febrina H. Ariendhita Reviewer: Maria Nainggolan

When I was first learning to meditate,

Saat pertama belajar bermeditasi,

the instruction was to simply pay attention to my breath,

saya hanya diminta fokus pada pernapasan,

and when my mind wandered, to bring it back.

dan saat pikiran mengembara, kembali fokus.

Sounded simple enough.

Kedengarannya cukup simpel.

Yet I'd sit on these silent retreats,

Tapi saya duduk diam,

sweating through T-shirts in the middle of winter.

berkeringat sampai menembus kaus di tengah musim dingin.

I'd take naps every chance I got because it was really hard work.

Saya tidur sebentar setiap bisa karena itu sungguh sangat sulit.

Actually, it was exhausting.

Bahkan melelahkan.

The instruction was simple enough

Instruksinya cukup simpel,

but I was missing something really important.

tapi ada hal sangat penting yang saya lewatkan.

So why is it so hard to pay attention?

Jadi, kenapa sulit sekali untuk fokus?

Well, studies show

Riset menunjukkan

that even when we're really trying to pay attention to something --

bahwa saat kita benar-benar mencoba untuk fokus pun --

like maybe this talk --

seperti fokus pada ceramah ini --

at some point,

pada suatu saat, kira-kira separuh dari kita akan mulai melamun

about half of us will drift off into a daydream,

or have this urge to check our Twitter feed.

atau terdorong untuk mengecek Twitter.

So what's going on here?

Jadi, apa yang terjadi?

Ternyata kita sedang melawan salah satu proses belajar

It turns out that we're fighting one of the most evolutionarily-conserved

learning processes currently known in science,

yang paling tak berubah sepanjang sejarah sains,

one that's conserved

yang berasal dari sistem saraf paling dasar yang dikenal manusia.

back to the most basic nervous systems known to man.

This reward-based learning process

Proses belajar berbasis manfaat ini disebut penguatan positif dan negatif,

is called positive and negative reinforcement,

and basically goes like this.

dan intinya seperti ini.

We see some food that looks good,

Kita lihat makanan yang tampak enak,

our brain says, "Calories! ... Survival!"

otak kita bilang, "Kalori, selamatkan diri!"

We eat the food, we taste it --

Kita cicipi makanannya, ternyata enak.

it tastes good.

And especially with sugar,

Terutama dengan gula,

our bodies send a signal to our brain that says,

tubuh mengirim sinyal ke otak yang bilang,

"Ingat apa yang kamu makan dan di mana menemukannya."

"Remember what you're eating and where you found it."

We lay down this context-dependent memory

Kita membentuk memori yang bergantung pada konteks ini

dan belajar mengulang prosesnya lain kali.

and learn to repeat the process next time.

See food,

Lihat makanan, makan, merasa senang, ulangi.

eat food, feel good,

repeat.

Trigger, behavior, reward.

Pemicu, perilaku, manfaat.

Simple, right?

Simpel, kan?

Well, after a while, our creative brains say,

Setelah beberapa lama, otak kreatif bilang,

"Kamu tahu?

"You know what?

You can use this for more than just remembering where food is.

Ini tak hanya bisa digunakan untuk mengingat di mana makanan itu.

You know, next time you feel bad,

Jika kapan-kapan perasaan kamu tak enak lagi,

why don't you try eating something good so you'll feel better?"

coba saja makan makanan enak agar perasaanmu senang."

We thank our brains for the great idea,

Kita berterima kasih atas ide hebat otak kita,

try this and quickly learn

mencobanya, dan segera tahu

that if we eat chocolate or ice cream when we're mad or sad,

bahwa jika kita makan cokelat atau es krim saat marah atau sedih,

we feel better.

kita jadi lebih senang.

Same process,

Prosesnya sama, yang berbeda hanya pemicunya.

just a different trigger.

Instead of this hunger signal coming from our stomach,

Bukannya sinyal lapar dari perut,

this emotional signal -- feeling sad --

sinyal emosi ini -- perasaan sedih --

triggers that urge to eat.

memicu dorongan untuk makan.

Maybe in our teenage years,

Mungkin saat remaja,

we were a nerd at school,

kita kutu buku di sekolah

and we see those rebel kids outside smoking and we think,

dan lihat anak-anak nakal merokok di luar dan berpikir,

"Hey, I want to be cool."

"Hei, aku ingin jadi keren."

So we start smoking.

Jadi, kita mulai merokok.

The Marlboro Man wasn't a dork, and that was no accident.

Perokok itu bukan orang aneh, dan itu bukan kebetulan.

See cool,

Lihat ada yang keren,

smoke to be cool,

merokok agar keren,

feel good. Repeat.

merasa senang, ulangi.

Trigger, behavior, reward.

Pemicu, perilaku, manfaat.

And each time we do this,

Setiap melakukan ini, kita belajar mengulangi prosesnya,

we learn to repeat the process

and it becomes a habit.

dan itu menjadi kebiasaan.

So later,

Jadi, nantinya,

feeling stressed out triggers that urge to smoke a cigarette

perasaan stres memicu dorongan untuk merokok

or to eat something sweet.

atau makan makanan manis.

Now, with these same brain processes,

Dengan proses otak yang sama ini,

we've gone from learning to survive

kita beralih dari belajar bertahan hidup

jadi mencelakakan diri dengan kebiasaan ini.

to literally killing ourselves with these habits.

Obesity and smoking

Obesitas dan merokok

adalah beberapa penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia yang bisa dicegah.

are among the leading preventable causes of morbidity and mortality in the world.

So back to my breath.

Kembali ke pernapasan saya.

What if instead of fighting our brains,

Bagaimana jika bukannya melawan otak,

or trying to force ourselves to pay attention,

atau mencoba memaksakan diri untuk fokus,

we instead tapped into this natural, reward-based learning process ...

kita manfaatkan proses belajar alami berbasis manfaat ini,

but added a twist?

tapi beri sentuhan lain?

What if instead we just got really curious

Bagaimana jika kita jadi penasaran

about what was happening in our momentary experience?

tentang apa yang terjadi di pengalaman singkat kita?

Saya akan beri contoh.

I'll give you an example.

In my lab,

Di lab, kami belajar apa latihan kesadaran bisa bantu orang berhenti merokok.

we studied whether mindfulness training could help people quit smoking.

Now, just like trying to force myself to pay attention to my breath,

Seperti mencoba memaksakan diri untuk fokus pada pernapasan saya,

they could try to force themselves to quit smoking.

mereka bisa coba memaksakan diri untuk berhenti merokok.

And the majority of them had tried this before and failed --

Kebanyakan sudah mencoba ini sebelumnya dan gagal --

on average, six times.

rata-rata enam kali.

Now, with mindfulness training,

Dengan latihan kesadaran, kami buang sedikit soal memaksa

we dropped the bit about forcing and instead focused on being curious.

dan fokus pada rasa penasaran.

In fact, we even told them to smoke.

Bahkan, kami menyuruh mereka merokok.

What? Yeah, we said, "Go ahead and smoke,

Apa? Ya, kami bilang, "Silakan merokok,

just be really curious about what it's like when you do."

tapi benar-benar penasaran bagaimana rasanya saat merokok."

And what did they notice?

Apa yang mereka perhatikan?

Well here's an example from one of our smokers.

Ini contoh dari salah satu perokok kami.

She said, "Mindful smoking:

Katanya, "Merokok dengan penuh sadar:

smells like stinky cheese

baunya seperti keju bau, dan rasanya seperti bahan kimia.

and tastes like chemicals,

YUCK!"

Jijik!"

Now, she knew, cognitively that smoking was bad for her,

Dia tahu secara kognitif bahwa merokok itu tak baik baginya,

that's why she joined our program.

makanya dia ikut program kami.

What she discovered just by being curiously aware when she smoked

Yang dia temukan hanya dengan sadar dan penasaran saat merokok

was that smoking tastes like shit.

adalah merokok itu rasanya tak enak.

(Laughter)

(Tertawa)

Now, she moved from knowledge to wisdom.

Dia beralih dari pengetahuan ke kebijaksanaan.

She moved from knowing in her head that smoking was bad for her

Dia beralih dari tahu di pikirannya bahwa merokok itu buruk baginya

to knowing it in her bones,

menjadi sangat yakin,

dan pesona merokok pun hilang.

and the spell of smoking was broken.

She started to become disenchanted with her behavior.

Dia mulai tersadar dari perilakunya.

Now, the prefrontal cortex,

Prefrontal cortex,

that youngest part of our brain from an evolutionary perspective,

bagian termuda dari otak kita dari sudut pandang evolusi--

it understands on an intellectual level that we shouldn't smoke.

paham pada tingkat intelektual bahwa sebaiknya kita tak merokok,

And it tries its hardest to help us change our behavior,

dan berusaha sekuat tenaga membantu kita mengubah perilaku,

to help us stop smoking,

membantu berhenti merokok,

to help us stop eating that second, that third, that fourth cookie.

membantu berhenti makan kue kedua, ketiga, keempat itu.

We call this cognitive control.

Ini disebut kontrol kognitif.

We're using cognition to control our behavior.

Kognisi digunakan untuk mengontrol perilaku.

Unfortunately,

Sayangnya,

ini juga bagian pertama dari otak yang tak aktif saat kita stres,

this is also the first part of our brain

that goes offline when we get stressed out,

dan itu tak terlalu membantu.

which isn't that helpful.

Now, we can all relate to this in our own experience.

Kita semua bisa kaitkan ini dengan pengalaman kita.

We're much more likely to do things like yell at our spouse or kids

Kita cenderung lakukan hal-hal seperti membentak pasangan atau anak

when we're stressed out or tired,

saat stres atau lelah meski tahu itu tak akan membantu.

even though we know it's not going to be helpful.

Kita tak bisa menahan diri.

We just can't help ourselves.

When the prefrontal cortex goes offline,

Saat prefrontal cortex tak aktif,

we fall back into our old habits,

kita kembali ke kebiasaan lama,

which is why this disenchantment is so important.

makanya kita harus menyadarkan diri.

Seeing what we get from our habits

Melihat hasil kebiasaan kita

membantu kita memahaminya di tingkat lebih dalam,

helps us understand them at a deeper level --

to know it in our bones

benar-benar meyakininya

so we don't have to force ourselves to hold back

agar tak perlu memaksa untuk menahan atau membatasi diri dari perilaku.

or restrain ourselves from behavior.

Kita hanya kurang tertarik untuk melakukannya sejak awal.

We're just less interested in doing it in the first place.

And this is what mindfulness is all about:

Inilah inti kesadaran:

melihat dengan sangat jernih hasilnya saat kita terjebak dalam perilaku,

Seeing really clearly what we get when we get caught up in our behaviors,

becoming disenchanted on a visceral level

menyadarkan diri pada tingkat yang mendalam,

and from this disenchanted stance, naturally letting go.

dan dengan menyadarkan diri ini, tentu kita akan melepaskannya.

This isn't to say that, poof, magically we quit smoking.

Bukan berarti kita tiba-tiba berhenti merokok.

But over time, as we learn to see more and more clearly

Tapi seiring kita belajar melihat hasil tindakan kita dengan lebih jernih,

the results of our actions,

we let go of old habits and form new ones.

kita lepaskan kebiasaan lama dan membentuk kebiasaan baru.

The paradox here

Paradoksnya di sini

is that mindfulness is just about being really interested

adalah inti kesadaran hanyalah benar-benar tertarik

in getting close and personal

untuk lebih mengenali

with what's actually happening in our bodies and minds

apa yang sebenarnya terjadi di tubuh dan pikiran

dari waktu ke waktu.

from moment to moment.

Kesediaan untuk mengamati pengalaman,

This willingness to turn toward our experience

rather than trying to make unpleasant cravings go away as quickly as possible.

bukannya mencoba menghilangkan hasrat buruk secepat mungkin.

And this willingness to turn toward our experience

Kesediaan untuk mengamati pengalaman ini

is supported by curiosity,

didukung oleh rasa penasaran,

which is naturally rewarding.

yang tentunya bermanfaat.

Seperti apa rasa penasaran?

What does curiosity feel like?

It feels good.

Rasanya menyenangkan.

Apa yang terjadi saat kita penasaran?

And what happens when we get curious?

We start to notice that cravings are simply made up of body sensations --

Kita mulai perhatikan bahwa hasrat hanya terdiri dari sensasi tubuh --

oh, there's tightness, there's tension,

ada sesak, ada ketegangan,

there's restlessness --

ada kegelisahan --

and that these body sensations come and go.

dan sensasi tubuh ini datang dan pergi.

These are bite-size pieces of experiences

Ini adalah potongan kecil dari pengalaman

that we can manage from moment to moment

yang bisa kita tangani dari waktu ke waktu,

rather than getting clobbered by this huge, scary craving

bukannya dihajar hasrat besar dan menakutkan

that we choke on.

yang membuat kita tercekik.

In other words, when we get curious,

Dengan kata lain, saat penasaran,

kita keluar dari pola kebiasaan lama yang reaktif dan berdasarkan rasa takut,

we step out of our old, fear-based, reactive habit patterns,

and we step into being.

dan kita menjadi ada.

Kita jadi berjiwa ilmuwan

We become this inner scientist

where we're eagerly awaiting that next data point.

yang tak sabar menunggu poin data berikutnya.

Now, this might sound too simplistic to affect behavior.

Mungkin ini terdengar terlalu simpel untuk memengaruhi perilaku.

But in one study, we found that mindfulness training

Tapi dalam satu riset, kami dapati latihan kesadaran

was twice as good as gold standard therapy at helping people quit smoking.

dua kali lebih baik dari terapi terbaik dalam membantu orang berhenti merokok.

So it actually works.

Jadi, itu benar-benar berhasil.

And when we studied the brains of experienced meditators,

Saat meneliti otak ahli meditasi berpengalaman,

we found that parts of a neural network of self-referential processing

kami menemukan jaringan saraf yang aktif saat mengaitkan informasi dengan diri,

called the default mode network

yang disebut jaringan mode default, ternyata aktif.

were at play.

Now, one current hypothesis is that a region of this network,

Satu hipotesis saat ini adalah wilayah jaringan

called the posterior cingulate cortex,

yang disebut posterior cingulate cortex ini

is activated not necessarily by craving itself

belum tentu diaktifkan oleh hasrat itu sendiri,

but when we get caught up in it, when we get sucked in,

tapi saat kita terjebak di dalamnya, saat kita hanyut,

and it takes us for a ride.

itu akan menipu kita.

In contrast, when we let go --

Sebaliknya, saat kita melepaskan --

step out of the process

keluar dari proses itu

just by being curiously aware of what's happening --

hanya dengan menyadari apa yang sedang terjadi --

this same brain region quiets down.

wilayah otak ini menjadi tenang.

Now we're testing app and online-based mindfulness training programs

Kami sedang menguji aplikasi dan program latihan kesadaran daring

that target these core mechanisms

yang menargetkan mekanisme inti ini

and, ironically, use the same technology that's driving us to distraction

dan, ironisnya, menggunakan teknologi yang membuat perhatian kita teralih

untuk membantu kita keluar dari pola kebiasaan tak sehat,

to help us step out of our unhealthy habit patterns

of smoking, of stress eating and other addictive behaviors.

yaitu merokok, makan saat stres, dan perilaku adiktif lainnya.

Now, remember that bit about context-dependent memory?

Ingat memori yang bergantung pada konteks itu?

We can deliver these tools to peoples' fingertips

Kami bisa membuat alat ini mudah dijangkau orang

in the contexts that matter most.

dalam konteks yang paling penting

So we can help them

agar kami bisa membantu mereka memanfaatkan kapasitas bawaan

tap into their inherent capacity to be curiously aware

untuk sadar dan penasaran itu

right when that urge to smoke or stress eat or whatever arises.

tepat saat hasrat untuk merokok, makan stres, atau apa pun itu muncul.

So if you don't smoke or stress eat,

Jika tak merokok atau makan saat stres,

maybe the next time you feel this urge to check your email when you're bored,

mungkin jika Anda merasakan dorongan untuk mengecek surel saat bosan,

atau coba mengalihkan perhatian dari pekerjaan,

or you're trying to distract yourself from work,

or maybe to compulsively respond to that text message when you're driving,

atau mungkin secara kompulsif menanggapi pesan teks saat mengemudi,

see if you can tap into this natural capacity,

coba manfaatkan kapasitas alami ini,

just be curiously aware

sadar dan penasaran saja

of what's happening in your body and mind in that moment.

tentang apa yang terjadi di tubuh dan pikiran saat itu.

It will just be another chance

Itu akan jadi kesempatan untuk mengabadikan

to perpetuate one of our endless and exhaustive habit loops ...

salah satu lingkaran kebiasaan yang tak ada habisnya dan melelahkan

or step out of it.

atau keluar dari itu.

Instead of see text message, compulsively text back,

Daripada melihat pesan teks dan membalasnya secara kompulsif,

buat perasaan sedikit lebih baik --

feel a little bit better --

notice the urge,

perhatikan dorongannya,

get curious,

jadi penasaran,

feel the joy of letting go

rasakan nikmatnya melepaskan,

and repeat.

dan ulangi.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)