3 rules to spark learning | Ramsey Musallam

Translator: Joseph Geni Reviewer: Morton Bast

Translator: Laksmi Wijayanti Reviewer: Antonius Yudi Sendjaja

I teach chemistry.

Saya mengajar Kimia.

(Explosion)

(Suara ledakan)

All right, all right.

Baiklah, baiklah.

So more than just explosions,

Kimia bukan hanya sekedar serentetan ledakan,

chemistry is everywhere.

kimia ada dimana-mana.

Have you ever found yourself at a restaurant spacing out

Apakah Anda pernah berada di sebuah restoran

just doing this over and over?

dan terus melamun tanpa henti?

Some people nodding yes.

Beberapa orang mengangguk.

Recently, I showed this to my students,

Baru-baru ini, saya menunjukkan ini ke murid-murid saya,

and I just asked them to try and explain why it happened.

dan saya meminta mereka untuk mencoba menjelaskan mengapa hal itu terjadi.

The questions and conversations that followed

Pertanyaan dan percakapan yang terjadi selanjutnya

were fascinating.

sangatlah menarik.

Check out this video that Maddie

Coba lihat video yang dikirim Maddie,

from my period three class sent me that evening.

murid saya dari kelas tiga sore itu.

(Clang) (Laughs)

(Tang) (Tawa)

Now obviously, as Maddie's chemistry teacher,

Tentu saja, sebagai guru Kimia,

I love that she went home and continued to geek out

saya senang dia kembali pulang dan terus mencari tahu

about this kind of ridiculous demonstration

mengenai demonstrasi konyol

that we did in class.

yang kami lakukan di kelas.

But what fascinated me more is that Maddie's curiosity

Tapi yang membuat saya paling tertarik adalah keingintahuan Maddie

took her to a new level.

membawanya ke level yang lebih lanjut.

If you look inside that beaker,

Apabila Anda melihat ke dalam gelas kimia tersebut,

you might see a candle.

mungkin Anda dapat melihat sebuah lilin.

Maddie's using temperature to extend this phenomenon

Maddie menggunakan suhu untuk membuat skenario baru

to a new scenario.

dari fenomena ini.

You know, questions and curiosity like Maddie's

Anda tahu, pertanyaan dan keingintahuan seperti yang dimiliki Maddie

are magnets that draw us towards our teachers,

merupakan magnet yang membawa kita mendekat kepada para pengajar kita,

and they transcend all technology

dan mereka menembus segala macam teknologi

or buzzwords in education.

maupun kata-kata kosong di bidang pendidikan.

But if we place these technologies before student inquiry,

Tapi jika kita menggunakan seperangkat teknologi canggih sebelum mereka bertanya,

we can be robbing ourselves

kita mungkin akan kehilangan alat

of our greatest tool as teachers: our students' questions.

yang paling hebat yang kita miliki sebagai pengajar: pertanyaan-pertanyaan mereka.

For example, flipping a boring lecture from the classroom

Misalnya, memindahkan kuliah yang membosankan dari dalam kelas

to the screen of a mobile device

ke layar perangkat seluler dan semacamnya

might save instructional time,

mungkin akan menghemat waktu untuk menjelaskan,

but if it is the focus of our students' experience,

tapi kalau fokus kita adalah pengalaman dan proses belajar murid-murid,

it's the same dehumanizing chatter

sama saja kita mengumbar kata-kata kosong

just wrapped up in fancy clothing.

yang sekadar kita permak dengan gaya.

But if instead we have the guts

Tapi jika sebaliknya kita cukup berani

to confuse our students, perplex them,

untuk membuat murid-murid kita kebingungan,

and evoke real questions,

dan memicu pertanyaan-pertanyaan yang murni dari mereka,

through those questions, we as teachers have information

kita sebagai pengajar memiliki informasi

that we can use to tailor robust

yang dapat kita gunakan untuk merancang metode

and informed methods of blended instruction.

yang terdiri dari bermacam-macam instruksi yang berguna.

So, 21st-century lingo jargon mumbo jumbo aside,

Jadi, terlepas dari istilah-istilah membingungkan abad 21,

the truth is, I've been teaching for 13 years now,

kenyataannya, saya telah mengajar selama 13 tahun,

and it took a life-threatening situation

dan sebuah situasi yang mengancam nyawa saya-lah

to snap me out of 10 years of pseudo-teaching

yang membuat saya akhirnya membuang metode lama yang telah saya gunakan selama 10 tahun

and help me realize that student questions

dan menyadarkan saya bahwa pertanyaan-pertanyaan para murid

are the seeds of real learning,

adalah bibit dari proses belajar yang sesungguhnya,

not some scripted curriculum

dan bukan semacam kurikulum yang telah distruktur

that gave them tidbits of random information.

yang hanya memberikan secungkil informasi acak.

In May of 2010, at 35 years old,

Pada bulan Mei 2010, di usia saya yang ke-35,

with a two-year-old at home and my second child on the way,

saya telah mempunyai anak batita dan anak kedua yang masih dikandung,

I was diagnosed with a large aneurysm

dan saya mengalami pembengkakan besar

at the base of my thoracic aorta.

di aorta dada saya (aneurisma aorta dada).

This led to open-heart surgery. This is the actual real email

Saya harus menjalani operasi jantung. Ini adalah email yang

from my doctor right there.

dikirim oleh dokter saya.

Now, when I got this, I was -- press Caps Lock --

Nah, saat saya menerima email ini, saya -- coba pakai huruf kapital --

absolutely freaked out, okay?

benar-benar PANIK.

But I found surprising moments of comfort

Tapi saya mendapat momen-momen penghiburan yang mengejutkan

in the confidence that my surgeon embodied.

dari kepercayaan diri dokter bedah saya.

Where did this guy get this confidence, the audacity of it?

Darimana beliau mendapatkan kepercayaan diri semacam itu?

So when I asked him, he told me three things.

Saat saya menanyakan ini, dan beliau memberi tahu tiga hal:

He said first, his curiosity drove him

Pertama, keingintahuanlah yang mendorongnya

to ask hard questions about the procedure,

untuk bertanya pertanyaan-pertanyaan rumit tentang prosedur yang ada,

about what worked and what didn't work.

yang mana yang berhasil dan yang tidak.

Second, he embraced, and didn't fear,

Kedua, proses percobaan dan kegagalan yang cukup ruwet tidaklah menjadi momok

the messy process of trial and error,

bagi beliau. Malah, beliau menerima proses yang tidak terhindarkan ini

the inevitable process of trial and error.

apa adanya.

And third, through intense reflection,

Dan ketiga, melalui introspeksi yang intens,

he gathered the information that he needed

beliau mengumpulkan informasi yang ia perlukan

to design and revise the procedure,

untuk merancang dan merevisi prosedur yang ada,

and then, with a steady hand, he saved my life.

dan kemudian, dengan mantap, beliau menyelamatkan saya.

Now I absorbed a lot from these words of wisdom,

Sekarang saya berusaha menyerap sebanyak mungkin kata-kata bijaksana beliau,

and before I went back into the classroom that fall,

dan sebelum saya kembali mengajar di musim gugur,

I wrote down three rules of my own

saya menulis 3 peraturan saya sendiri

that I bring to my lesson planning still today.

yang masih saya terapkan di silabus saya hari ini.

Rule number one: Curiosity comes first.

Peraturan pertama: Rasa ingin tahu selalu nomor satu.

Questions can be windows to great instruction,

Pertanyaan bisa memfasilitasi instruksi yang bagus,

but not the other way around.

tapi tidak sebaliknya.

Rule number two: Embrace the mess.

Peraturan nomor dua: Terimalah kekacauan yang terjadi.

We're all teachers. We know learning is ugly.

Kita semua pengajar. Kita tahu proses belajar itu tidak selalu menyenangkan dan indah.

And just because the scientific method is allocated

Dan hanya karena metode ilmiah di buku terletak

to page five of section 1.2 of chapter one

di halaman lima bagian 1.2 bab satu

of the one that we all skip, okay,

dari bagian yang kita semua lewatkan, oke lah,

trial and error can still be an informal part

proses mencoba dan kegagalan masih bisa menjadi bagian informal

of what we do every single day

dari apa yang kita lakukan setiap hari

at Sacred Heart Cathedral in room 206.

di sekolah Sacred Heart Cathedral di ruang 206.

And rule number three: Practice reflection.

Dan peraturan ketiga: Introspeksi diri.

What we do is important. It deserves our care,

Apa yang kita lakukan sangatlah penting, dan kita perlu memperhatikan

but it also deserves our revision.

dan juga merevisinya.

Can we be the surgeons of our classrooms?

Bisakah kita menjadi dokter-dokter bedah di kelas-kelas kita?

As if what we are doing one day will save lives.

Anggaplah apa yang kita lakukan akan menyelamatkan banyak nyawa suatu hari nanti.

Our students our worth it.

Para murid kita layak menerimanya.

And each case is different.

Dan tidak ada satu kasus yang sama.

(Explosion)

(Ledakan)

All right. Sorry.

Baiklah. Maaf.

The chemistry teacher in me just needed to get that

Figur guru kimia di dalam diri saya perlu untuk

out of my system before we move on.

melakukan hal ini sebelum kita melanjutkan.

So these are my daughters.

Jadi inilah putri-putri saya.

On the right we have little Emmalou -- Southern family.

Di sebelah kiri ada si kecil Emmalou

And, on the left, Riley.

Dan, di sebelah kanan adalah Riley.

Now Riley's going to be a big girl in a couple weeks here.

Beberapa minggu lagi, Riley akan merayakan

She's going to be four years old,

ulang tahunnya yang ke-4,

and anyone who knows a four-year-old

dan semua orang tahu anak berumur 4 tahun

knows that they love to ask, "Why?"

suka sekali bertanya, "Mengapa?"

Yeah. Why.

Ya. Mengapa.

I could teach this kid anything

Saya dapat mengajarkan semua hal

because she is curious about everything.

karena dia ingin tahu mengenai semua hal.

We all were at that age.

Kita semua pernah berumur 4 tahun.

But the challenge is really for Riley's future teachers,

Tapi tantangan terbesar justru dihadapi para calon guru Riley,

the ones she has yet to meet.

para guru yang belum ia temui.

How will they grow this curiosity?

Bagaimana mereka akan memicu rasa ingin tahunya?

You see, I would argue that Riley is a metaphor for all kids,

Bagi saya Riley adalah metafor saya untuk semua anak kecil,

and I think dropping out of school comes in many different forms --

dan menurut saya putus sekolah memiliki jenis yang berbeda-beda --

to the senior who's checked out before the year's even begun

bagi murid kelas senior keluar bahkan sebelum tahun ajaran baru dimulai

or that empty desk in the back of an urban middle school's classroom.

atau kursi kosong di bagian belakang kelas di SMP di kota.

But if we as educators leave behind

Tapi apabila kita sebagai pengajar menanggalkan

this simple role as disseminators of content

tugas sederhana kita sebagai pembagi informasi

and embrace a new paradigm

dan menerima paradigma baru

as cultivators of curiosity and inquiry,

yaitu menanamkan rasa ingin tahu dan keinginan bertanya,

we just might bring a little bit more meaning

mungkin kita bisa membawa sedikit arti bermakna

to their school day, and spark their imagination.

ke dalam hari-hari para murid di sekolah dan memicu imajinasi mereka.

Thank you very much.

Terima kasih banyak.

(Applause)

(Tepuk tangan)