Courage is contagious | Damon Davis

Translator: Rahayu Nur Hidayah Reviewer: Badaruddin Saahe

So, I'm afraid.

Saya takut.

Right now,

Sekarang,

on this stage,

di panggung ini,

I feel fear.

saya merasa ketakutan.

In my life, I ain't met many people

Dalam hidup saya, saya tak banyak bertemu orang

that will readily admit when they are afraid.

yang akan mengaku kalau mereka ketakutan.

And I think that's because deep down,

Menurut saya, itu karena di lubuk hati mereka

they know how easy it spreads.

mereka tahu rasa takut itu menular.

See, fear is like a disease.

Ketakutan itu layaknya wabah.

When it moves, it moves like wildfire.

Ia menyebar seperti api.

But what happens when,

Tapi apa yang terjadi ketika,

even in the face of that fear,

bahkan saat dilanda ketakutan,

Anda melakukan apa yang seharusnya Anda lakukan?

you do what you've got to do?

That's called courage.

Itu disebut keberanian.

And just like fear,

Layaknya ketakutan,

courage is contagious.

keberanian juga menular.

See, I'm from East St. Louis, Illinois.

Saya dari East St. Louis, Illinois.

That's a small city

Sebuah kota kecil

across the Mississippi River from St. Louis, Missouri.

melintasi sungai Mississippi dari St Louis, Missouri.

I have lived in and around St. Louis my entire life.

Saya sudah tinggal di sekitar St. Louis seumur hidup saya.

When Michael Brown, Jr.,

Ketika Michael Brown, Jr.,

an ordinary teenager,

seorang remaja biasa,

was gunned down by police in 2014 in Ferguson, Missouri --

ditembak polisi pada tahun 2014 di Ferguson, Missouri...

another suburb, but north of St. Louis --

di pinggiran kota lain, di timur St. Louis...

I remember thinking,

Saya ingat saat itu berpikir,

he ain't the first,

dia bukanlah yang pertama,

and he won't be the last young kid to lose his life to law enforcement.

dan bukan pula anak muda terakhir

yang kehilangan nyawa di tangan penegak hukum.

But see, his death was different.

Tapi kematiannya berbeda.

When Mike was killed,

Ketika Mike terbunuh,

I remember the powers that be trying to use fear as a weapon.

saya ingat ada kelompok yang mencoba menggunakan ketakutan sebagai senjata.

The police response to a community in mourning was to use force

Respon polisi terhadap masyarakat yang berduka ketika itu

adalah menggunakan kekuatan fisik untuk menanamkan ketakutan:

to impose fear:

fear of militarized police,

rasa takut pada polisi militer,

imprisonment,

hukuman penjara,

fines.

denda.

The media even tried to make us afraid of each other

Media bahkan coba membuat kami takut satu sama lain,

by the way they spun the story.

dengan memutarbalikan cerita.

And all of these things have worked in the past.

Memang semua cara ini berhasil di masa lalu.

But like I said, this time it was different.

Tapi seperti saya katakan tadi, kali ini berbeda.

Michael Brown's death and the subsequent treatment of the community

Kematian Michael Brown, dan perlakuan kepada masyarakat setelahnya

led to a string of protests in and around Ferguson and St. Louis.

membawa pada rentetan protes di sekitar Ferguson, dan St. Louis.

When I got out to those protests about the fourth or fifth day,

Saat saya bergabung di aksi protes itu pada hari keempat atau kelima,

it was not out of courage;

itu bukan karena keberanian,

it was out of guilt.

tapi karena rasa bersalah.

See, I'm black.

Lihat, saya berkulit hitam.

I don't know if y'all noticed that.

Entah apa Anda bisa melihatnya.

(Laughter)

(tertawa)

But I couldn't sit in St. Louis, minutes away from Ferguson,

Namun karena saya tidak tenang di St. Louis, dekat dari Ferguson,

and not go see.

dan tidak tahu keadaan.

So I got off my ass to go check it out.

Jadi, saya pergi untuk mencari tahu.

When I got out there,

Ketika saya di sana,

I found something surprising.

saya menemukan sesuatu yang mengejutkan.

I found anger; there was a lot of that.

Saya temukan kemarahan, banyak kemarahan.

But what I found more of was love.

Tapi saya menemukan lebih banyak cinta.

People with love for themselves.

Cinta kepada diri mereka sendiri.

Love for their community.

Cinta kepada masyarakat mereka.

And it was beautiful --

suatu hal yang indah...

until the police showed up.

sampai ketika polisi muncul.

Then a new emotion was interjected into the conversation:

Lalu emosi baru tersisip dalam percakapan,

fear.

rasa takut.

Now, I'm not going to lie;

Saya tidak akan berbohong,

when I saw those armored vehicles,

ketika melihat kendaraan lapis baja itu,

and all that gear

dan semua roda gigi itu,

and all those guns

dan semua senapan itu,

and all those police

dan semua polisi itu,

I was terrified --

Saya ketakutan...

personally.

Dalam hati saya.

And when I looked around that crowd,

Waktu saya lihat kerumunan itu,

I saw a lot of people that had the same thing going on.

saya lihat banyak orang merasakan hal yang sama.

But I also saw people with something else inside of them.

Tapi saya juga lihat mereka

dengan sesuatu yang lain dalam hatinya.

That was courage.

Yaitu keberanian.

See, those people yelled,

Orang-orang itu berteriak,

and they screamed,

mereka menjerit,

and they were not about to back down from the police.

dan tidak mau mundur dari polisi.

They were past that point.

Mereka melewati hal itu.

And then I could feel something in me changing,

Lalu sesuatu dalam diri saya berubah,

so I yelled and I screamed,

jadi, saya berteriak dan menjerit,

and I noticed that everybody around me was doing the same thing.

dan saya sadar semua orang di sekitar melakukan hal yang sama.

And there was nothing like that feeling.

Tak ada yang sepadan dengan perasaan itu.

So I decided I wanted to do something more.

Lalu saya putuskan melakukan hal lain.

I went home, I thought: I'm an artist. I make shit.

Saya pulang ke rumah, berpikir, saya seniman, harus membuat sesuatu.

So I started making things specific to the protest,

Jadi, saya mulai merancang kreasi yang sesuai dengan aksi protes itu,

things that would be weapons in a spiritual war,

sesuatu yang bisa jadi senjata dalam perang spriritual,

things that would give people voice

sesuatu yang akan membantu orang bersuara,

and things that would fortify them for the road ahead.

dan alat yang akan menguatkan mereka untuk langkah ke depan.

I did a project where I took pictures of the hands of protesters

Saya buat proyek, dengan gambar dari tangan-tangan para pemrotes,

and put them up and down the boarded-up buildings

lalu memasangnya di atas, dan di bawah gedung-gedung bertingkat,

and community shops.

dan toko-toko sekitar.

My goal was to raise awareness and to raise the morale.

Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran, dan moral mereka.

And I think, for a minute at least,

Terus saya berpikir, setidaknya sejenak,

it did just that.

itu saja.

Then I thought, I want to uplift the stories of these people

Lalu saya ingin mengangkat cerita orang-orang itu.

I was watching being courageous in the moment.

Saya menjadi berani pada saat itu.

And myself and my friend,

Saya bersama seorang teman,

and filmmaker and partner Sabaah Folayan

dan pembuat film, serta rekan Sabaah Folayan

did just that with our documentary,

membuat itu dengan film dokumenter kami,

"Whose Streets?"

"Jalan Milik Siapa?"

I kind of became a conduit

Saya seperti menjadi corong

for all of this courage that was given to me.

dengan semua keberanian yang dianugerahkan kepada saya.

And I think that's part of our job as artists.

Saya pikir ini adalah bagian dari pekerjaan kami sebagai seniman.

I think we should be conveyors of courage in the work that we do.

Saya rasa kami harus jadi penyemangat lewat pekerjaan yang kami lakukan.

And I think that we are the wall between the normal folks

Saya pikir kami adalah tembok pembatas di antara rakyat biasa,

and the people that use their power to spread fear and hate,

dan mereka yang memakai kekuasaan untuk menebar ketakutan dan kebencian,

especially in times like these.

terutama di saat-saat seperti ini.

So I'm going to ask you.

Jadi, saya memohon kepada Anda.

Y'all the movers and the shakers,

Semua tokoh dan pelaku politik,

you know, the thought leaders:

para pemikir terkemuka.

What are you gonna do

Apa yang akan Anda lakukan

with the gifts that you've been given

dengan kompetensi yang Anda miliki

to break us from the fear the binds us every day?

untuk membebaskan kita dari rasa takut yang menghantui?

Because, see, I'm afraid every day.

Karena saya ketakutan setiap hari.

I can't remember a time when I wasn't.

Saya lupa kapan tidak merasa ketakutan.

But once I figured out that fear was not put in me to cripple me,

Tapi begitu saya menyadari bahwa ketakutan tidak sampai melumpuhkan,

it was there to protect me,

dia pun ada untuk melindungi saya,

and once I figured out how to use that fear,

dan ketika mengetahui cara menggunakannya,

I found my power.

saya menemukan kekuatan.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(tepuk tangan)