Atheism 2.0 | Alain de Botton

Translator: Indrawan Prabaharyaka Reviewer: Arinta Puspitasari

One of the most common ways of dividing the world

Salah satu cara paling umum membagi dunia

is into those who believe

ialah mengelompokkan mereka 'yang percaya'

and those who don't --

dan mereka yang 'tidak percaya' --

into the religious and the atheists.

kaum religius dan kaum ateis.

And for the last decade or so,

Dan selama beberapa dekade terakhir,

it's been quite clear

semakin tampak jelas

what being an atheist means.

apa artinya menjadi seorang ateis.

There have been some very vocal atheists

Beberapa ateis sangat lantang

who've pointed out,

menunjukkan

not just that religion is wrong,

bukan hanya salah, agama juga

but that it's ridiculous.

merupakan hal yang konyol.

These people, many of whom have lived in North Oxford,

Orang-orang ini, yang banyak tinggal di North Oxford,

have argued --

telah berargumentasi

they've argued that believing in God

bahwa mempercayai Tuhan

is akin to believing in fairies

sama dengan mempercayai peri

and essentially that the whole thing

dan pada dasarnya, semua itu

is a childish game.

adalah permainan yang kekanak-kanakan.

Now I think it's too easy.

I think it's too easy

Saya pikir terlalu mudah

to dismiss the whole of religion that way.

untuk mengabaikan agama seperti itu.

And it's as easy as shooting fish in a barrel.

Semudah membalik telapak tangan.

And what I'd like to inaugurate today

Dan yang ingin saya perkenalkan hari ini

is a new way of being an atheist --

adalah jalan baru menjadi orang ateis

if you like, a new version of atheism

suatu versi baru ateisme

we could call Atheism 2.0.

yang bisa kita sebut dengan Ateisme 2.0.

Now what is Atheism 2.0?

Sekarang, apakah itu Ateisme 2.0?

Well it starts from a very basic premise:

Semuanya diawali dengan premis dasar:

of course, there's no God.

tentu saja, tidak ada Tuhan.

Of course, there are no deities or supernatural spirits

Tentu saja, tidak ada dewa atau hal gaib

or angels, etc.

atau malaikat dan sebagainya.

Now let's move on; that's not the end of the story,

Nah, selanjutnya, itu bukanlah akhir cerita,

that's the very, very beginning.

melainkan sebuah awal mula.

I'm interested in the kind of constituency

Saya tertarik pada kelompok

that thinks something along these lines:

yang memiliki pemikiran, seperti ini:

that thinks, "I can't believe in any of this stuff.

yang berpikir, “Saya tidak bisa mempercayai hal-hal gaib.

I can't believe in the doctrines.

Saya tidak bisa mempercayai doktrin.

I don't think these doctrines are right.

Saya rasa doktrin itu tidak benar.

But," a very important but, "I love Christmas carols.

Tetapi, ini ‘tetapi’ yang sangat penting, “Saya menyukai senandung Natal.

I really like the art of Mantegna.

Saya sangat menyukai karya seni Mantegna.

I really like looking at old churches.

Saya senang melihat gereja-gereja tua.

I really like turning the pages of the Old Testament."

Saya senang membuka-buka Perjanjian Lama.”

Whatever it may be,

Apapun itu,

Anda tahu apa yang saya maksud --

you know the kind of thing I'm talking about --

people who are attracted to the ritualistic side,

orang-orang yang tertarik pada sisi ritual,

the moralistic, communal side of religion,

moral dan kebersamaan di agama,

but can't bear the doctrine.

tetapi tidak setuju dengan doktrin.

Until now, these people have faced a rather unpleasant choice.

Hingga kini, mereka menghadapi pilihan yang tak menyenangkan.

It's almost as though either you accept the doctrine

Seperti memilih menerima doktrin

and then you can have all the nice stuff,

dan Anda mendapat hal-hal yang menyenangkan itu,

or you reject the doctrine and

atau Anda menolak doktrin dan

you're living in some kind of spiritual wasteland

Anda hidup dalam padang gersang spiritual

under the guidance of CNN and Walmart.

di bawah petunjuk korporasi semacam CNN dan Walmart.

So that's a sort of tough choice.

Sebuah pilihan yang sepertinya sulit.

I don't think we have to make that choice.

Saya pikir kita tak harus mengambil pilihan semacam itu.

I think there is an alternative.

Saya pikir ada sebuah alternatif.

I think there are ways --

Saya pikir ada jalan-jalan lain --

and I'm being both very respectful and completely impious --

dan saya bersikap sangat menghormati dan sepenuhnya lancang

of stealing from religions.

dengan mencuri dari agama.

If you don't believe in a religion,

Jika anda tidak mempercayai suatu agama,

there's nothing wrong with picking and mixing,

tidak ada hal yang salah dengan mengambil dan mencampur,

with taking out the best sides of religion.

aspek-aspek terbaik dari agama.

And for me, atheism 2.0

Dan bagi saya, Ateisme 2.0

is about both, as I say,

adalah keduanya, seperti yang saya sebutkan sebelumnya,

a respectful and an impious way

jalan menghormati dan lancang

of going through religions and saying, "What here could we use?"

dengan cara menelusuri berbagai agama dan berkata, “Apa saja yang berguna (dari agama) bagi kita?”

The secular world is full of holes.

Dunia sekular penuh dengan lubang-lubang.

We have secularized badly, I would argue.

Argumen saya: kita telah menjadi sangat sekular.

And a thorough study of religion

Dan sebuah studi agama yang menyeluruh

could give us all sorts of insights

mampu memberi kita berbagai macam pencerahan

into areas of life that are not going too well.

tentang bagian-bagian hidup kita yang tidak berjalan terlalu baik.

And I'd like to run through a few of these today.

Dan saya hendak menyampaikan sebagian kecil pencerahan tersebut hari ini.

I'd like to kick off by looking at education.

Saya hendak memulai dengan mengamati pendidikan.

Now education is a field

Kini, pendidikan adalah sebuah bidang

the secular world really believes in.

yang benar-benar dipercayai oleh dunia sekular.

When we think about how we're going to make the world a better place,

Ketika kita berpikir tentang bagaimana kita akan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik,

we think education; that's where we put a lot of money.

kita berpikir tentang pendidikan; tempat kita menyalurkan sebagian besar uang kita.

Education is going to give us, not only commercial skills, industrial skills,

Pendidikan akan memberi kita; tidak hanya keahlian komersial, industri,

it's also going to make us better people.

tetapi juga membuat kita menjadi orang yang lebih baik.

You know the kind of thing a commencement address is, and graduation ceremonies,

Anda mengetahui apa itu sidang penyambutan mahasiswa baru, dan upacara wisuda,

those lyrical claims

klaim-klaim serupa

that education, the process of education -- particularly higher education --

bahwa edukasi, proses pendidikan -- khususnya pendidikan tinggi --

will make us into nobler and better human beings.

akan membuat kita menjadi manusia yang lebih baik dan bermartabat.

That's a lovely idea.

Hal-hal tersebut adalah ide yang menyenangkan.

Interesting where it came from.

Darimana asal muasal hal-hal tersebut adalah kisah yang menarik.

In the early 19th century,

Pada awal abad ke-19,

church attendance in Western Europe

jumlah jamaat gereja di Eropa Barat

started sliding down very, very sharply, and people panicked.

mulai merosot sangat sangat drastis, dan orang-orang menjadi panik

They asked themselves the following question.

Mereka bertanya pada diri mereka sendiri tentang pertanyaan-pertanyaan berikut.

They said, where are people going to find the morality,

Mereka bertanya, di mana orang-orang akan menemukan moralitas,

where are they going to find guidance,

di mana mereka akan menemukan petunjuk,

and where are they going to find sources of consolation?

di mana mereka akan menemukan sumber ketenangan?

And influential voices came up with one answer.

Dan suara-suara berpengaruh datang dengan sebuah jawaban.

They said culture.

Budaya.

It's to culture that we should look

Kepada budaya, kita sebaiknya mencari

for guidance, for consolation, for morality.

petunjuk, ketenangan, moralitas.

Let's look to the plays of Shakespeare,

Mari kita beralih pada drama-drama Shakespeare,

the dialogues of Plato, the novels of Jane Austen.

dialog-dialog Plato, novel-novel Jane Austen

In there, we'll find a lot of the truths

Di dalam hal-hal tersebut, kita akan menemukan banyak kebenaran

that we might previously have found in the Gospel of Saint John.

yang sebelumnya kita temukan dalam Gospel Saint John.

Now I think that's a very beautiful idea and a very true idea.

Sekarang saya berpikir itu adalah ide yang sangat indah dan tepat.

They wanted to replace scripture with culture.

Mereka ingin mengganti ayat-ayat dengan budaya.

And that's a very plausible idea.

Dan itu adalah sebuah ide yang sangat memuaskan.

It's also an idea that we have forgotten.

Juga sebuah ide yang telah kita lupakan.

If you went to a top university --

Jika anda pernah bersekolah di universitas nomor satu --

let's say you went to Harvard or Oxford or Cambridge --

semisal Harvard, Oxford, atau Cambridge --

and you said, "I've come here

dan anda berkata, “Saya telah datang ke sini

because I'm in search of morality, guidance and consolation;

karena saya sedang berada dalam pencarian moralitas, petunjuk, dan ketenangan:

I want to know how to live,"

saya ingin tahu bagaimana caranya hidup,”

they would show you the way to the insane asylum.

maka universitas tersebut akan merespon dengan menunjukkan anda jalan menuju rumah sakit jiwa.

This is simply not what our grandest and best institutes of higher learning

Secara sederhana, ini (moralitas, petunjuk, dan ketenangan) bukanlah urusan

are in the business of.

institusi-institusi pendidikan tinggi termegah dan terbaik.

Why? They don't think we need it.

Kenapa? Universitas tersebut tidak berpikir bahwa kita membutuhkan moralitas, petunjuk, dan ketenangan.

They don't think we are in an urgent need of assistance.

Universitas tersebut tidak berpikir bahwa kita sedang membutuhkan bantuan mendesak.

They see us as adults, rational adults.

Universitas tersebut melihat kita sebagai manusia dewasa, yang rasional.

What we need is information.

Yang kita butuhkan adalah informasi.

We need data, we don't need help.

Kita membutuhkan data, bukan bantuan.

Now religions start from a very different place indeed.

Senyampang dengan itu, agama-agama memulai dari titik yang berbanding terbalik.

All religions, all major religions,

Semua agama, semua agama besar

at various points call us children.

memanggil kita sebagai 'anak-anak' di berbagai kesempatan.

And like children,

Dan seperti anak-anak,

they believe that we are in severe need of assistance.

agama-agama percaya bahwa kita teramat sangat membutuhkan bantuan.

We're only just holding it together.

Kita hanya sama-sama berpegangan pada kepercayaan tersebut.

Perhaps this is just me, maybe you.

Mungkin ini hanya kepercayaan saya, atau anda.

But anyway, we're only just holding it together.

Meskipun demikian, kita hanya sama-sama berpegangan pada kepercayaan tersebut.

And we need help. Of course, we need help.

Dan kita membutuhkan bantuan. Tentu saja, kita membutuhkan bantuan.

And so we need guidance and we need didactic learning.

Dan lalu kita membutuhkan bantuan serta pembelajaran didaktik.

You know, in the 18th century in the U.K.,

Anda tahu, di awal abad ke-18 di UK,

the greatest preacher, greatest religious preacher, was a man called John Wesley,

penceramah terbesar, penceramah keagamaan terbesar, adalah seorang pria bernama John Wesley,

who went up and down this country delivering sermons,

seseorang yang jatuh bangun menyampaikan ceramah di negeri ini,

advising people how they could live.

memberi saran tentang jalan hidup bagi orang-orang.

He delivered sermons on the duties of parents to their children

Dia menyampaikan khotbah tentang kewajiban orangtua terhadap anak mereka

and children to their parents,

dan kewajiban anak-anak terhadap orangtua,

the duties of the rich to the poor and the poor to the rich.

kewajiban orang kaya terhadap orang miskin dan kewajiban orang miskin terhadap orang kaya.

He was trying to tell people how they should live

Dia mencoba memberi tahu orang-orang bagaimana mereka bisa hidup

through the medium of sermons,

melalui medium khotbah,

the classic medium of delivery of religions.

medium klasik penyampaian agama-agama.

Now we've given up with the idea of sermons.

Sekarang kita telah menyerah pada ide tentang khotbah.

If you said to a modern liberal individualist,

Jika anda berkata pada seorang individualis liberal modern,

"Hey, how about a sermon?"

“Hei, bagaimana jika anda mendengarkan sebuah khotbah?”

they'd go, "No, no. I don't need one of those.

mereka akan menjawab, “Tidak, tidak. Saya tidak membutuhkan hal-hal seperti itu.

I'm an independent, individual person."

Saya seorang individu merdeka.”

What's the difference between a sermon

Apakah perbedaan antara khotbah

and our modern, secular mode of delivery, the lecture?

dan kuliah, sebuah cara penyampaian sekular?

Well a sermon wants to change your life

Sebuah khotbah ingin mengubah hidup anda

and a lecture wants to give you a bit of information.

dan sebuah kuliah ingin memberi anda secuil informasi.

And I think we need to get back to that sermon tradition.

Dan saya pikir kita butuh kembali pada tradisi khotbah.

The tradition of sermonizing is hugely valuable,

Tradisi berkhotbah sangatlah bernilai,

because we are in need of guidance,

karena kita membutuhkan petunjuk,

morality and consolation --

moralitas dan ketenangan --

and religions know that.

dan agama-agama memahami hal-hal tersebut.

Another point about education:

Sebuah poin lain tentang edukasi:

we tend to believe in the modern secular world

kita cenderung percaya pada dunia sekular modern

that if you tell someone something once, they'll remember it.

bahwa jika anda memberitahu seorang satu kali, mereka akan mengingatnya

Sit them in a classroom, tell them about Plato

Dudukkan mereka dalam ruang kelas, ajari mereka kisah Plato

at the age of 20, send them out for a career in management consultancy for 40 years,

di usia 20 tahun, kirimkan mereka untuk meniti karir konsultansi manajemen selama 40 tahun,

and that lesson will stick with them.

dan pelajaran tersebut akan lekat dalam ingatan mereka.

Religions go, "Nonsense.

Agama-agama akan berkata, “Mustahil.

You need to keep repeating the lesson 10 times a day.

Anda butuh terus mengulang pelajaran yang sama 10 kali tiap hari.

So get on your knees and repeat it."

Maka berlututlah dan ulangi itu.”

That's what all religions tell us:

Itulah yang diajarkan oleh semua agama:

"Get on you knees and repeat it 10 or 20 or 15 times a day."

“Berlututlah dan ulangi itu 10 atau 20 atau 15 kali setiap hari.”

Otherwise our minds are like sieves.

Bila tidak dilakukan berulang kali, hal-hal penting tak akan melekat dalam ingatan kita.

So religions are cultures of repetition.

Maka, agama-agama adalah budaya pengulangan.

They circle the great truths again and again and again.

Mereka mengulang kebenaran-kebenaran agung berkali-kali dan lagi dan lagi.

We associate repetition with boredom.

Kita mengasosiasikan pengulangan dengan kebosanan.

"Give us the new," we're always saying.

“Berikan kami hal baru,” adalah hal yang selalu kita katakan.

"The new is better than the old."

“Hal baru lebih baik daripada yang lama.”

If I said to you, "Okay, we're not going to have new TED.

Jika saya berkata pada anda, “Baiklah, kita tidak akan mengadakan TED lagi.

We're just going to run through all the old ones

Kita hanya akan menayangkan ulang TED sebelumnya

and watch them five times because they're so true.

dan menontonnya lima kali karena tayangan tersebut sangatlah benar.

We're going to watch Elizabeth Gilbert five times

Kita akan menonton Elizabeth Gilbert sebanyak lima kali

because what she says is so clever," you'd feel cheated.

karena apa-apa yang dia katakan adalah sesuatu yang cerdas,” lalu anda akan merasa dicurangi.

Not so if you're adopting a religious mindset.

Tapi, anda tidak akan terlalu merasa dicurangi jika anda memiliki pola pikir religius.

The other things that religions do

Hal lain yang dilakukan oleh agama-agama

is to arrange time.

adalah pengaturan waktu.

All the major religions give us calendars.

Semua agama besar memberi kita kalender.

What is a calendar?

Apakah yang dimaksud dengan kalender?

A calendar is a way of making sure that across the year

Sebuah kalender adalah cara untuk memastikan bahwa di sepanjang tahun

you will bump into certain very important ideas.

anda akan bertemu dengan ide-ide khusus yang sangat penting.

In the Catholic chronology, Catholic calendar,

Dalam kronologi Katolik, kalender Katolik,

at the end of March you will think about St. Jerome

di akhir bulan Maret anda akan berpikir tentang St. Jerome

and his qualities of humility and goodness

dan sifat-sifatnya: kesederhanaannya, kebaikannya,

and his generosity to the poor.

dan kedermawanannya pada orang-orang miskin.

You won't do that by accident; you will do that because you are guided to do that.

Anda tidak akan melakukan itu secara tidak sengaja; anda akan melakukan itu karena ada tergiring untuk melakukan itu.

Now we don't think that way.

Sekarang kita tidak berpikir seperti itu.

In the secular world we think, "If an idea is important, I'll bump into it.

Kita berpikir dalam dunia sekular, “Jika sebuah ide sangatlah penting, saya akan bertemu dengan ide tersebut,

I'll just come across it."

saya akan berpapasan dengan ide tersebut.”

Nonsense, says the religious world view.

Mustahil, kata orang-orang dengan sudut pandang dunia religius.

Religious view says we need calendars, we need to structure time,

Sudut pandang religius mengatakan bahwa kita membutuhkan kalender, kita butuh menstrukturkan waktu,

we need to synchronize encounters.

kita butuh mensinkronisasikan pertemuan-pertemuan.

This comes across also

Cara-cara tersebut juga dilaksanakan

in the way in which religions set up rituals

oleh agama untuk mempersiapkan ritual

around important feelings.

yang berkaitan dengan perasaan-perasaan (emosi) penting.

Take the Moon. It's really important to look at the Moon.

Sebagai contoh, Bulan. Sangatlah penting mengamati Bulan.

You know, when you look at the Moon,

Anda tahu, ketika anda menatap Bulan,

you think, "I'm really small. What are my problems?"

anda berpikir, “Saya sangatlah kecil. Ada apa dengan saya?”

It sets things into perspective, etc., etc.

Pengamatan Bulan membuat kita jadi tersadar, dst, dst.

We should all look at the Moon a bit more often. We don't.

Kita sebaiknya lebih sering mengamati Bulan. Tapi kita tidak melakukan itu.

Why don't we? Well there's nothing to tell us, "Look at the Moon."

Mengapa kita tidak melakukan itu? Tidak ada yang memberitahu kita, “Amatilah Bulan.”

But if you're a Zen Buddhist in the middle of September,

Tetapi jika anda seorang Zen Buddhist di pertengahan September,

you will be ordered out of your home, made to stand on a canonical platform

anda akan diperintahkan keluar rumah, berdiri di atas sebuah landasan berpijak

and made to celebrate the festival of Tsukimi,

dan diajak untuk merayakan festival Tsukimi,

where you will be given poems to read

dimana anda akan diberikan puisi-puisi untuk dibacakan

in honor of the Moon and the passage of time

sebagai bentuk penghormatan Bulan, dan perjalanan waktu,

and the frailty of life that it should remind us of.

dan kerentanan hidup, sehingga memberi kita peringatan

You'll be handed rice cakes.

Anda akan diberi kue-kue beras.

And the Moon and the reflection on the Moon

Dan Bulan serta refleksi tentang Bulan

will have a secure place in your heart.

akan mendapatkan tempat yang aman di hati anda.

That's very good.

Menakjubkan.

The other thing that religions are really aware of

Hal lain yang sungguh-sungguh diperhatikan oleh agama adalah:

is: speak well --

berbicara dengan fasih

I'm not doing a very good job of this here --

saya bukanlah pembicara yang baik tentang hal ini

but oratory, oratory is absolutely key to religions.

tapi oratoria, oratoria adalah kunci bagi agama-agama.

In the secular world, you can come through the university system and be a lousy speaker

Dalam dunia sekular, anda bisa datang dari sistem pendidikan tinggi dan menjadi pembicara yang buruk

and still have a great career.

dan masih memiliki karir yang cemerlang.

But the religious world doesn't think that way.

Tetapi dunia religius tidak berpikir seperti itu.

What you're saying needs to be backed up

Apa yang anda katakan butuh didukung

by a really convincing way of saying it.

oleh suatu seni berbicara yang sangat meyakinkan.

So if you go to an African-American Pentecostalist church

Jika anda mendatangi sebuah gereja African American Pantecostalist

in the American South

di Amerika Selatan

and you listen to how they talk,

dan anda mendengarkan cara mereka berbicara,

my goodness, they talk well.

sungguh, mereka berbicara sangat fasih.

After every convincing point, people will go, "Amen, amen, amen."

Di setiap poin yang meyakinkan, orang-orang akan bergemuruh, “Amen, amen, amen.”

At the end of a really rousing paragraph, they'll all stand up,

Di akhir paragraf yang sangat membangkitkan sukma, mereka akan berdiri

and they'll go, "Thank you Jesus, thank you Christ, thank you Savior."

lalu bergemuruh.“Terimakasih Yesus, terimakasih Kristus, terimakasih Juru Selamat.”

If we were doing it like they do it --

Jika kita melakukan seperti yang mereka lakukan --

let's not do it, but if we were to do it --

bukan meniru dalam arti sebenarnya tetapi mencoba berandai-andai

I would tell you something like, "Culture should replace scripture."

saya akan berbicara pada anda, “Budaya sebaiknya menggantikan ayat-ayat.”

And you would go, "Amen, amen, amen."

Dan anda akan membalas dengan bergemuruh, “Amen, amen, amen.”

And at the end of my talk, you would all stand up

Dan di akhir ceramah saya, anda semua akan berdiri dan bergemuruh,

and you would go, "Thank you Plato, thank you Shakespeare, thank you Jane Austen."

“Terimakasih Plato, terimakasih Shakespeare, terimakasih Jane Austen.”

And we'd know that we had a real rhythm going.

Dan kita akan tersadar bahwa kita mendapatkan sebuah ritme yang sungguh-sungguh.

All right, all right. We're getting there. We're getting there.

Baiklah, baiklah. Kita akan sampai ke sana. Kita akan sampai ke sana.

(Applause)

Aplaus

The other thing that religions know is we're not just brains,

Hal lain yang agama-agama ketahui adalah; kita bukan sekedar otak,

we are also bodies.

tapi juga tubuh.

And when they teach us a lesson,

Dan ketika agama-agama mengajarkan sebuah pelajaran,

they do it via the body.

agama-agama mengajarkannya lewat tubuh.

So for example,

Sebagai contoh,

take the Jewish idea of forgiveness.

ide Yahudi tentang permaafan.

Jews are very interested in forgiveness

Yahudi sangat tertarik dengan permaafan

and how we should start anew and start afresh.

dan bagaimana kita sebaiknya memulai sesuatu yang baru dan segar.

They don't just deliver us sermons on this.

Mereka tidak hanya menyampaikan khotbah tentang permaafan.

They don't just give us books or words about this.

Mereka tidak hanya memberikan buku atau kata-kata tentang permaafan.

They tell us to have a bath.

Mereka mengajarkan kita untuk mandi.

So in Orthodox Jewish communities, every Friday you go to a Mikveh.

Jadi, di masyarakat Yahudi Ortodoks, anda melakukan Mikveh (semacam mandi besar) tiap Jumat

You immerse yourself in the water,

Anda merendam diri anda dalam air,

and a physical action backs up a philosophical idea.

dan gerakan tubuh tersebut mendukung suatu ide filosofis.

We don't tend to do that.

Kita cenderung tidak melakukan itu.

Our ideas are in one area and our behavior with our bodies is in another.

Ide-ide kita ada di satu tempat dan perilaku serta tubuh kita di tempat yang lain.

Religions are fascinating in the way they try and combine the two.

Agama-agama adalah sesuatu yang mempesona ketika agama-agama mencoba menggabungkan kedua hal tersebut (gerakan tubuh dan ide filosofis).

Let's look at art now.

Mari kita menengok seni sekarang.

Now art is something that in the secular world,

Seni adalah sesuatu yang di dunia sekular,

we think very highly of. We think art is really, really important.

dianggap agung. Kita berpikir bahwa seni teramat sangat penting.

A lot of our surplus wealth goes to museums, etc.

Sebagian besar surplus kekayaan kita mengalir ke museum-museum, dsb.

We sometimes hear it said

Kita terkadang mendengar perumpamaan

that museums are our new cathedrals, or our new churches.

bahwa museum adalah katedral, atau gereja kita yang baru.

You've heard that saying.

Anda pasti pernah mendengarkan perumpamaan seperti itu.

Now I think that the potential is there,

Sekarang saya berpikir bahwa ada sebuah potensi di sana,

but we've completely let ourselves down.

tetapi kita telah sungguh-sungguh mengecewakan diri kita sendiri.

And the reason we've let ourselves down

Dan alasan kita mengecewakan diri kita sendiri.

is that we're not properly studying

adalah kita tidak sungguh-sungguh mempelajari

how religions handle art.

cara agama-agama mengelola seni.

The two really bad ideas that are hovering in the modern world

Dua ide buruk yang mengombang-ambingkan dunia modern

that inhibit our capacity to draw strength from art:

dan menghambat kapasitas kita untuk menyerap kekuatan dari seni:

The first idea is that art should be for art's sake --

Ide pertama adalah ‘seni untuk seni’ --

a ridiculous idea --

sebuah ide yang konyol --

an idea that art should live in a hermetic bubble

sebuah ide yang menyatakan bahwa seni sebaiknya hidup dalam gelembung kedap

and should not try to do anything with this troubled world.

dan sebaiknya tidak mencoba untuk melakukan apapun untuk dunia ini yang penuh dengan masalah.

I couldn't disagree more.

Saya sungguh tidak setuju.

The other thing that we believe is that art shouldn't explain itself,

Hal lain yang kita percaya adalah bahwa ‘seni tak perlu menjelaskan dirinya sendiri’,

that artists shouldn't say what they're up to,

bahwa para seniman sebaiknya tidak mengatakan apa yang mereka maksudkan,

because if they said it, it might destroy the spell

karena jika mereka mengatakannya, mantra sihir seni akan hancur

and we might find it too easy.

dan kita mungkin merasa seni tersebut terlalu picisan.

That's why a very common feeling when you're in a museum --

Kini, agama-agama memiliki perilaku yang lebih masuk akal terhadap seni.

let's admit it --

mari kita akui itu --

is, "I don't know what this is about."

perasaan bahwa, "Saya tidak tahu maksud dari karya seni ini."

But if we're serious people, we don't admit to that.

Tapi jika kita adalah orang-orang serius, kita tak mengakui perasaan itu.

But that feeling of puzzlement is structural

Meskipun demikian, perasaan kebingungan tersebut adalah hal mendasar

to contemporary art.

dari seni kontemporer.

Now religions have a much saner attitude to art.

Kini, agama-agama memiliki perilaku yang lebih masuk akal terhadap seni.

They have no trouble telling us what art is about.

Agama-agama tidak memiliki kesulitan dalam memberitahu kita apa makna dari seni.

Art is about two things in all the major faiths.

Seni bermakna dua hal dalam agama-agama besar.

Firstly, it's trying to remind you

Pertama, seni mencoba mengingatkan anda

of what there is to love.

tentang apa yang bisa anda cintai.

And secondly, it's trying to remind you

Dan kedua, seni mencoba mengingatkan anda

of what there is to fear and to hate.

apa yang bisa anda takuti dan benci.

And that's what art is.

Dan itulah makna dari seni.

Art is a visceral encounter with the most important ideas of your faith.

Seni adalah perjumpaan intuitif dengan ide-ide terpenting dari keimanan anda.

So as you walk around a church,

Jadi ketika anda berjalan mengelilingi sebuah gereja,

or a mosque or a cathedral,

atau sebuah masjid atau sebuah katedral,

what you're trying to imbibe, what you're imbibing is,

apa yang anda coba serap, apa yang anda coba serap,

through your eyes, through your senses,

melalui ‘penglihatan’ anda, melalui ‘penginderaan’ anda,

truths that have otherwise come to you through your mind.

adalah kebenaran yang biasanya terserap melalui ‘pemikiran’ anda.

Essentially it's propaganda.

Pada dasarnya, hal-hal tersebut adalah propaganda.

Rembrandt is a propagandist

Rembrandt adalah seorang ahli propaganda

in the Christian view.

dari sudut pandang Kristen.

Now the word "propaganda" sets off alarm bells.

Sekarang, kata “propaganda” terdengar seperti suara sirine bencana.

We think of Hitler, we think of Stalin. Don't, necessarily.

Kita berpikir tentang Hitler, kita berpikir tentang Stalin. Tak perlu berpikir seperti itu.

Propaganda is a manner of being didactic in honor of something.

Propaganda adalah sebuah cara didaktik untuk mengenang sesuatu.

And if that thing is good, there's no problem with it at all.

Dan jika hal yang kita kenang adalah hal yang baik, maka tidak ada masalah sama sekali.

My view is that museums should take a leaf out of the book of religions.

Pandangan saya adalah museum-museum sebaiknya meniru apa yang telah dilakukan oleh buku-buku keagamaan.

And they should make sure that when you walk into a museum --

Dan sebaiknya museum-museum meyakinkan bahwa ketika anda melangkah masuk ke dalam sebuah museum --

if I was a museum curator,

saya adalah seorang kurator museum,

I would make a room for love, a room for generosity.

saya akan memberikan ruang untuk kasih sayang, sebuah ruang untuk berbagi.

All works of art are talking to us about things.

Semua karya seni berbicara pada kita tentang hal-hal tertentu.

And if we were able to arrange spaces

Dan jika kita mampu menata ruang-ruang

where we could come across works

dimana kita bisa memaknai karya seni

where we would be told, use these works of art

yang mengajarkan kita, gunakan karya seni

to cement these ideas in your mind,

untuk menyemen ide-ide tersebut dalam benak anda,

we would get a lot more out of art.

maka kita akan memperoleh lebih banyak lagi dari seni.

Art would pick up the duty that it used to have

Seni akan mampu mengambil tugas yang pernah diemban

and that we've neglected because of certain mis-founded ideas.

dan telah kita abaikan karena beberapa ide yang salah kaprah.

Art should be one of the tools

Seni sebaiknya menjadi salah satu perkakas

by which we improve our society.

untuk mengembangkan masyarakat.

Art should be didactic.

Seni sebaiknya menjadi didaktik.

Let's think of something else.

Mari kita memikirkan hal lain.

The people in the modern world, in the secular world,

Orang-orang di dunia modern, di dunia sekular,

who are interested in matters of the spirit,

yang tertarik pada persoalan jiwa,

in matters of the mind,

persoalan pikiran,

in higher soul-like concerns,

persoalan kesadaran yang lebih tinggi,

tend to be isolated individuals.

biasanya adalah orang-orang yang cenderung tertutup.

They're poets, they're philosophers, they're photographers, they're filmmakers.

Mereka adalah sastrawan, mereka adalah filsuf, mereka adalah fotografer, mereka adalah sinematografer.

And they tend to be on their own.

Dan mereka cenderung peduli pada diri mereka sendiri.

They're our cottage industries. They are vulnerable, single people.

Mereka tak terorganisir dan tersebar meski begitu produktif. Mereka adalah orang-orang penyendiri dan rapuh.

And they get depressed and they get sad on their own.

Dan mereka mudah depresi serta merasa sedih sendiri.

And they don't really change much.

Dan mereka tidak berubah begitu banyak.

Now think about religions, think about organized religions.

Sekarang mari kita pikirkan tentang agama-agama, pikirkan tentang agama-agama yang terorganisir.

What do organized religions do?

Apakah yang dilakukan oleh agama-agama terorganisir?

They group together, they form institutions.

Agama-agama tersebut berkelompok, dan membentuk institusi-institusi.

And that has all sorts of advantages.

Dan agama-agama terorganisir memiliki berbagai keunggulan.

First of all, scale, might.

Yang pertama dan utama adalah skala, kekuatan.

The Catholic Church pulled in 97 billion dollars last year

Gereja Katolik berhasil mengumpulkan 97 milyar dollar tahun lalu.

according to the Wall Street Journal.

menurut Wall Street Journal.

These are massive machines.

Agama-agama terorganisir adalah mesin-mesin masif.

They're collaborative, they're branded, they're multinational,

Agama-agama terorganisir berkolaborasi, memiliki branding, multinasional,

and they're highly disciplined.

dan sangat disiplin.

These are all very good qualities.

Kolaborasi, branding, multinasional, dan disiplin adalah sifat-sifat yang sangat baik.

We recognize them in relation to corporations.

Kita mengenali sifat tersebut seperti pada perusahaan-perusahaan.

And corporations are very like religions in many ways,

Dan perusahaan-perusahaan memiliki keserupaan dengan agama-agama di berbagai hal,

except they're right down at the bottom of the pyramid of needs.

kecuali perusahaan berada pada bagian dasar dari ‘piramida kebutuhan’.

They're selling us shoes and cars.

Perusahaan-perusahaan menjual sepatu dan mobil.

Whereas the people who are selling us the higher stuff --

orang-orang yang menjual kebutuhan yang lebih tinggi --

the therapists, the poets --

para terapis, para sastrawan --

are on their own and they have no power,

adalah orang-orang yang bekerja sendiri-sendiri dan tak punya kuasa,

they have no might.

mereka tak punya kekuatan.

So religions are the foremost example

Maka agama-agama adalah teladan terdepan

of an institution that is fighting for the things of the mind.

dari suatu institusi yang berjuang untuk kebutuhan-kebutuhan pikiran.

Now we may not agree with what religions are trying to teach us,

Sekarang kita mungkin tak setuju dengan apa yang diajarkan agama-agama pada kita,

but we can admire the institutional way

tetapi kita bisa mengagumi jalan institusional

in which they're doing it.

yang diambil oleh agama dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pikiran.

Books alone, books written by lone individuals,

Buku-buku saja, buku-buku yang ditulis oleh individu-individu penyendiri,

are not going to change anything.

tidak akan mengubah apapun.

We need to group together.

Kita butuh berkelompok.

If you want to change the world, you have to group together, you have to be collaborative.

Jika anda ingin mengubah dunia, anda harus berkelompok, anda harus berkolaborasi.

And that's what religions do.

Dan itulah yang dilakukan oleh agama-agama.

They are multinational, as I say,

Seperti yang saya katakan sebelumnya, agama-agama bersifat multinasional,

they are branded, they have a clear identity,

agama-agama memiliki branding, agama-agama memiliki suatu identitas yang jelas,

so they don't get lost in a busy world.

sehingga mereka tak tersesat dalam dunia yang penuh sesak.

That's something we can learn from.

Itu adalah pelajaran berharga yang bisa kita dapat.

I want to conclude.

Saya ingin menyimpulkan.

Really what I want to say

Apa yang ingin saya sampaikan adalah;

is for many of you who are operating in a range of different fields,

bagi anda yang bekerja di berbagai bidang,

there is something to learn from the example of religion --

ada sesuatu yang bisa dipelajari dari teladan agama --

even if you don't believe any of it.

meski anda tidak mempercayainya.

If you're involved in anything that's communal,

Jika anda terlibat dalam apapun yang bersifat kebersamaan,

that involves lots of people getting together,

melibatkan banyak orang bersama-sama,

there are things for you in religion.

maka banyak hal yang bisa anda pelajari dari agama.

If you're involved, say, in a travel industry in any way,

Jika anda terlibat, katakanlah, dalam sebuah industri travel,

look at pilgrimage.

maka perhatikanlah ritual ziarah.

Look very closely at pilgrimage.

Perhatikan baik-baik ritual ziarah.

We haven't begun to scratch the surface

Kita bahkan belum mulai memahami di permukaan

of what travel could be

tentang apa yang bisa dilakukan oleh travel

because we haven't looked at what religions do with travel.

karena kita belum memperhatikan apa yang telah agama-agama lakukan dengan travel.

If you're in the art world,

Jika anda berada dalam dunia seni,

look at the example of what religions are doing with art.

perhatikanlah apa yang telah dilakukan agama dengan seni.

And if you're an educator in any way,

Dan jika anda adalah seorang pengajar, sekali lagi,

again, look at how religions are spreading ideas.

perhatikan bagaiman cara agama-agama menyebarkan ide-ide.

You may not agree with the ideas,

Anda mungkin tidak setuju dengan ide-ide keagamaan, tapi sungguh,

but my goodness, they're highly effective mechanisms for doing so.

ide-ide keagamaan memiliki mekanisme penyebaran yang luar biasa efektif.

So really my concluding point

Jadi, sesungguhnya poin kesimpulan saya adalah:

is you may not agree with religion,

anda mungkin tak setuju dengan agama-agama,

but at the end of the day,

tapi pada akhirnya,

religions are so subtle, so complicated,

agama-agama sangatlah lembut tapi menghanyutkan, sangat rumit,

so intelligent in many ways

sangat cerdas di berbagai cara

that they're not fit to be abandoned to the religious alone;

sehingga agama-agama tidak tepat untuk ditinggalkan hanya bagi umat beragama saja:

they're for all of us.

(kebaikan) agama-agama adalah untuk kita semua.

Thank you very much.

Terima kasih banyak.

(Applause)

(Aplaus)

Chris Anderson: Now this is actually a courageous talk,

Chris Anderson: Apa yang anda lakukan sekarang adalah ceramah yang sangat berani,

because you're kind of setting up yourself in some ways

karena anda seperti menjebak diri anda sendiri

to be ridiculed in some quarters.

agar dilecehkan di berbagai tempat;

AB: You can get shot by both sides.

AB: Siapapun bisa diserang dari kedua sisi.

You can get shot by the hard-headed atheists,

Siapapun anda, anda bisa diserang oleh para ateis garis keras,

and you can get shot by those who fully believe.

dan anda juga bisa diserang oleh mereka yang beragama kuat.

CA: Incoming missiles from North Oxford at any moment.

Sudah siap untuk kritik pedas dari North Oxford (ateis garis keras) di setiap saat?

AB: Indeed.

AB: Tentu saja.

CA: But you left out one aspect of religion

CA: Tetapi anda melewatkan satu aspek dari agama

that a lot of people might say

yang menurut banyak orang

your agenda could borrow from,

mungkin bisa dimanfaatkan oleh agenda anda (Ateisme 2.0),

which is this sense --

yaitu perasaan ini --

that's actually probably the most important thing to anyone who's religious --

yang sebenarnya mungkin adalah hal terpenting bagi siapapun yang religius --

of spiritual experience,

pengalaman spiritual,

of some kind of connection

semacam keterhubungan

with something that's bigger than you are.

dengan sesuatu yang lebih besar dari anda.

Is there any room for that experience in Atheism 2.0?

Apakah ada ruang bagi pengalaman tersebut dalam Ateisme 2.0?

AB: Absolutely. I, like many of you, meet people

AB: Pasti. Saya, seperti sebagian besar dari anda, bertemu orang-orang

who say things like, "But isn't there something bigger than us,

yang bertanya, “Tapi tidak adakah yang lebih besar dari kita,

something else?"

sesuatu yang lain?”

And I say, "Of course." And they say, "So aren't you sort of religious?"

Dan saya menjawab, “Tentu saja.” Dan mereka berkata, “Jadi bukankah anda sepertinya religius?”

And I go, "No." Why does that sense of mystery,

Dan saya akan menjawab, “Tidak.” Mengapa perasaan aneh

that sense of the dizzying scale of the universe,

akan kebesaran semesta yang membingungkan,

need to be accompanied by a mystical feeling?

harus disertai dengan perasaan mistis?

Science and just observation

Sains dan observasi semata

gives us that feeling without it,

mampu memberi kita perasaan (spiritual) serupa tanpa kesan mistis,

so I don't feel the need.

sehingga saya tak membutuhkan perasaan mistis.

The universe is large and we are tiny,

Semesta sangat luas dan kita begitu kecil,

without the need for further religious superstructure.

tanpa membutuhkan penjelasan superstruktur (istilah Marxist) agama yang lebih jauh.

So one can have so-called spiritual moments

Jadi seseorang bisa memperoleh momen-momen ‘spiritual’

without belief in the spirit.

tanpa kepercayaan akan adanya ‘spirit’.

CA: Actually, let me just ask a question.

CA: Sebenarnya, saya ingin meminta izin untuk sebuah pertanyaan.

How many people here would say

Berapa banyak audiens di sini

that religion is important to them?

yang menganggap agama adalah hal yang penting?

Is there an equivalent process

Apakah ada suatu proses yang setara

by which there's a sort of bridge

untuk menjembatani

between what you're talking about and what you would say to them?

apa yang anda telah bicarakan? dan apa yang ingin anda katakan pada mereka?

AB: I would say that there are many, many gaps in secular life

AB: Saya hendak mengatakan bahwa terdapat banyak, banyak sekali lubang-lubang dalam hidup sekular

and these can be plugged.

dan lubang tersebut bisa diisi.

It's not as though, as I try to suggest,

Ini bukan seperti, yang telah saya coba sarankan

it's not as though either you have religion

ini bukan berarti anda harus memilih antara beragama

and then you have to accept all sorts of things,

dan anda menerima hal-hal yang menyertai agama,

or you don't have religion

atau anda tidak beragama

and then you're cut off from all these very good things.

dan anda terputus dari hal-hal baik yang menyertai agama.

It's so sad that we constantly say,

Kita terus-terusan mengatakan hal yang menyedihkan,

"I don't believe so I can't have community,

“Saya tidak percaya jadi saya tidak bisa memiliki komunitas,

so I'm cut off from morality,

sehingga saya terputus dari moralitas,

so I can't go on a pilgrimage."

jadi saya tak bisa pergi berziarah.”

One wants to say, "Nonsense. Why not?"

Seseorang yang lain ingin berkata, “Mustahil. Mengapa tidak?”

And that's really the spirit of my talk.

Dan itu adalah semangat dari ceramah saya.

There's so much we can absorb.

Banyak hal yang bisa kita serap.

Atheism shouldn't cut itself off from the rich sources of religion.

Ateisme sebaiknya tidak memutus diri dari sumber melimpah agama.

CA: It seems to me that there's plenty of people in the TED community

CA: Sepertinya banyak orang dalam komunitas TED

who are atheists.

yang ateis.

But probably most people in the community

Tetapi kemungkinan sebagian besar orang dalam komunitas TED

certainly don't think that religion is going away any time soon

jelas tidak berpikir bahwa agama akan menghilang dalam waktu dekat

and want to find the language

dan ingin menemukan suatu bahasa

to have a constructive dialogue

untuk sebuah dialog konstruktif

and to feel like we can actually talk to each other

dan merasa bahwa kita sesungguhnya bisa berbicara satu sama lain (antara teis dan ateis),

and at least share some things in common.

dan berbagi kesamaan yang kita miliki.

Are we foolish to be optimistic

Apakah kita bodoh ketika menjadi optimis

about the possibility of a world

tentang kemungkinan sebuah dunia

where, instead of religion being the great rallying cry

dimana, ketimbang agama menjadi seruan

of divide and war,

perpecahan dan perang,

that there could be bridging?

bahwa ada kemungkinan menjembatani?

AB: No, we need to be polite about differences.

AB: Tidak, kita perlu menjadi santun dalam menghadapi perbedaan.

Politeness is a much-overlooked virtue.

Kesantunan adalah kebaikan yang terlampau terabaikan.

It's seen as hypocrisy.

Sepertinya itu adalah omong kosong.

But we need to get to a stage when you're an atheist

Tetapi kita perlu sampai pada satu tahap dimana anda dalam posisi ateis

and someone says, "Well you know, I did pray the other day,"

dan ketika seseorang berkata, “Apakah anda tahu? Saya berdoa kemarin,"

you politely ignore it.

anda secara santun tidak memusingkannya.

You move on.

Anda terus melangkah.

Because you've agreed on 90 percent of things,

Karena anda menyetujui 90 persen hal-hal tertentu,

because you have a shared view on so many things,

karena anda pandangan bersama dalam berbagai hal,

and you politely differ.

dan anda berbeda secara santun.

And I think that's what the religious wars of late have ignored.

Dan saya pikir itu adalah hal yang terabaikan dalam perang pemikiran religius (antara teis dan ateis).

They've ignored the possibility of harmonious disagreement.

Mereka telah mengabaikan kemungkinan ketidaksepakatan dalam keselarasan.

CA: And finally, does this new thing that you're proposing

CA: Dan pada akhirnya, apakah hal baru yang anda tawarkan

that's not a religion but something else,

bukan sebuah agama tetapi sesuatu yang lain (Ateisme 2.0),

does it need a leader,

apakah sesuatu yang lain itu membutuhkan seorang pemimpin,

and are you volunteering to be the pope?

dan apakah anda bersedia secara sukarela menjadi ‘paus’-nya?

(Laughter)

(Tawa)

AB: Well, one thing that we're all very suspicious of

AB: Baiklah, satu hal yang kita semua curigai

is individual leaders.

adalah para pemimpin tunggal.

It doesn't need it.

Ateisme 2.0 tak membutuhkan itu.

What I've tried to lay out is a framework

Apa yang telah saya berikan adalah sebuah kerangka kerja

and I'm hoping that people can just fill it in.

dan saya berharap orang-orang bisa dengan mudah melengkapinya.

I've sketched a sort of broad framework.

Saya telah mensketsa sebuah kerangka kerja kasar.

But wherever you are, as I say, if you're in the travel industry, do that travel bit.

Tetapi di manapun anda berada, seperti yang saya katakan sebelumnya, bila anda berada dalam industri travel, maka lakukanlah bagian travel tersebut.

If you're in the communal industry, look at religion and do the communal bit.

Jika anda berada dalam industri komunal, maka perhatikanlah agama dan lakukanlah bagian komunal tersebut.

So it's a wiki project.

Jadi Ateisme 2.0 adalah sebuah proyek wiki.

(Laughter)

(Tawa)

CA: Alain, thank you for sparking many conversations later.

CA: Alain, terimakasih banyak telah membangkitkan banyak diskusi di kemudian hari.

(Applause)

(Aplaus)