Embracing otherness, embracing myself | Thandiwe Newton

Translator: Arief Rakhman Reviewer: Antonius Yudi Sendjaja

Embracing otherness.

Merangkul perbedaan.

When I first heard this theme,

Ketika aku pertama kali mendengar tema ini,

I thought, well, embracing otherness

Aku berpikir, merangkul perbedaan

is embracing myself.

berarti merangkul diri sendiri.

And the journey to that place

Dan perjalanan menuju ke sana,

of understanding and acceptance

kepada pemahaman dan penerimaan

has been an interesting one for me,

telah menjadi sangat menarik bagiku,

and it's given me an insight

dan itu memberikan sebuah pemahaman

into the whole notion of self,

ke dalam keseluruhan ide tentang kedirian,

which I think is worth sharing with you today.

yang aku pikir pantas untuk dibagikan kepada Anda hari ini.

We each have a self,

Kita masing-masing punya sebuah diri,

but I don't think that we're born with one.

namun aku pikir kita tidak dilahirkan dengan diri itu.

You know how newborn babies

Anda tahu bagaimana bayi yang baru lahir

believe they're part of everything;

percaya bahwa mereka adalah bagian dari segalanya;

they're not separate?

tidak terpisah.

Well that fundamental sense of oneness

Namun perasaan dasar akan kesatuan itu

is lost on us very quickly.

hilang dari diri kita dengan sangat cepat.

It's like that initial stage is over --

Sepertinya tingkat awal itu berakhir --

oneness: infancy,

kesatuan: masa kecil,

unformed, primitive.

tidak berbentuk, primitif.

It's no longer valid or real.

Sudah tidak lagi berlaku atau nyata.

What is real is separateness,

Yang nyata adalah pemisahan.

and at some point in early babyhood,

Dan pada suatu titik dalam kehidupan awal bayi,

the idea of self

ide kedirian

starts to form.

mulai terbentuk.

Our little portion of oneness is given a name,

Bagian kecil dari kesatuan kita diberi sebuah nama,

is told all kinds of things about itself,

diberitahu segala hal tentang diri.

and these details,

Dan detil ini,

opinions and ideas

opini dan ide

become facts,

menjadi fakta,

which go towards building ourselves,

yang selanjutnya membentuk diri kita,

our identity.

identitas kita.

And that self becomes the vehicle

Dan diri itu menjadi kendaraan

for navigating our social world.

untuk menjelajahi dunia sosial kita.

But the self is a projection

Namun diri adalah sebuah proyeksi

based on other people's projections.

berdasarkan proyeksi orang lain.

Is it who we really are?

Apakah itu benar-benar diri kita?

Or who we really want to be, or should be?

Atau diri yang kita inginkan, atau diri kita seharusnya?

So this whole interaction

Maka seluruh interaksi

with self and identity

dengan diri dan identitas ini

was a very difficult one for me growing up.

adalah sesuatu yang sangat sulit bagiku untuk tumbuh.

The self that I attempted to take out into the world

Diri yang kucoba bawa ke dunia

was rejected over and over again.

ditolak lagi dan lagi.

And my panic

Dan kepanikanku

at not having a self that fit,

karena tidak memiliki diri yang sesuai,

and the confusion that came

dan kebingungan yang datang

from my self being rejected,

dari diriku yang ditolak,

created anxiety, shame

menciptakan kecemasan, malu

and hopelessness,

dan keputusasaan,

which kind of defined me for a long time.

yang seperti menggambarkan diriku untuk waktu yang lama.

But in retrospect,

Namun dalam peninjauan kembali,

the destruction of my self was so repetitive

penghancuranku terulang lagi dan lagi,

that I started to see a pattern.

sampai aku mulai melihat sebuah pola.

The self changed,

Diri itu berubah,

got affected, broken, destroyed,

terpengaruh, rusak, hancur,

but another one would evolve --

namun yang lain akan berkembang --

sometimes stronger,

terkadang menjadi lebih kuat,

sometimes hateful,

terkadang penuh kebencian,

sometimes not wanting to be there at all.

terkadang tidak ingin berada di sana sama sekali.

The self was not constant.

Diri itu tidak tetap.

And how many times

Dan berapa kali

would my self have to die

diriku harus mati

before I realized

sebelum aku menyadari

that it was never alive in the first place?

bahwa diri itu tidak pernah hidup sejak awal?

I grew up on the coast of England

Aku tumbuh di pantai Inggris

in the '70s.

pada tahun 70-an.

My dad is white from Cornwall,

Ayahku berkulit putih dari Cornwall,

and my mom is black from Zimbabwe.

dan ibuku berkulit hitam dari Zimbabwe.

Even the idea of us as a family

Bahkan ide tentang kami sebagai sebuah keluarga

was challenging to most people.

sangat menantang bagi kebanyakan orang.

But nature had its wicked way,

Namun alam mempunyai cara kerasnya sendiri,

and brown babies were born.

dan bayi berkulit coklat lahir.

But from about the age of five,

Namun sejak mulai umur lima tahun,

I was aware that I didn't fit.

Aku menyadari bahwa aku tidak sesuai.

I was the black atheist kid

Aku adalah anak kulit hitam ateis

in the all-white Catholic school run by nuns.

di sekolah katolik kulit putih yang dijalankan oleh suster.

I was an anomaly,

Aku adalah sebuah keanehan.

and my self was rooting around for definition

Dan diriku mencoba mencari penjelasan

and trying to plug in.

dan mencoba untuk menyesuaikan diri.

Because the self likes to fit,

Karena diri menyukai kesesuaian,

to see itself replicated,

untuk melihat dirinya sendiri direplikasi,

to belong.

untuk masuk.

That confirms its existence

Yang menegaskan keberadaan

and its importance.

dan arti pentingnya.

And it is important.

Dan hal itu penting.

It has an extremely important function.

Diri mempunyai fungsi yang sangat penting.

Without it, we literally can't interface with others.

Tanpanya, kita tidak bisa berhubungan dengan orang lain.

We can't hatch plans

Kita tidak dapat membuat rencana

and climb that stairway of popularity,

dan menuju puncak popularitas,

of success.

kesuksesan.

But my skin color wasn't right.

Namun warna kulitku tidak pas.

My hair wasn't right.

Rambutku tidak pas.

My history wasn't right.

Sejarahku tidak pas.

My self became defined

Diriku terdefinisi

by otherness,

dengan keberbedaan,

which meant that, in that social world,

yang berarti bahwa, dalam dunia sosial itu,

I didn't really exist.

Aku tidak benar-benar ada.

And I was "other" before being anything else --

Dan aku berbeda sebelum menjadi apapun yang lain--

even before being a girl.

bahkan sebelum menjadi seorang anak perempuan.

I was a noticeable nobody.

Aku tidak berarti namun nyata.

Another world was opening up

Dunia yang lain sedang terbuka

around this time:

sekitar waktu itu:

performance and dancing.

pertunjukan dan tarian.

That nagging dread of self-hood

Diri yang takut dan menggerutu itu

didn't exist when I was dancing.

hilang saat aku menari.

I'd literally lose myself.

Aku benar-benar kehilangan diriku.

And I was a really good dancer.

Dan aku benar-benar penari yang baik.

I would put

Aku akan memasukkan

all my emotional expression

seluruh emosiku

into my dancing.

ke dalam tarianku.

I could be in the movement

Aku dapat menjadi bagian dari gerakan

in a way that I wasn't able to be

dengan cara yang dulunya aku tidak bisa

in my real life, in myself.

dalam kehidupan nyata, dalam diriku.

And at 16,

Dan pada umur 16 tahun,

I stumbled across another opportunity,

aku mendapat kesempatan lain,

and I earned my first acting role in a film.

dan aku mendapat peran pertamaku dalam sebuah film.

I can hardly find the words

Sulit untuk mengungkapkan

to describe the peace I felt

untuk menjelaskan kedamaian yang aku rasakan

when I was acting.

ketika aku sedang menari.

My dysfunctional self

Diriku yang tidak berfungsi

could actually plug in

benar-benar dapat memasuki

to another self, not my own,

diri berbeda yang bukan milikku.

and it felt so good.

Dan itu terasa sangat menyenangkan.

It was the first time that I existed

Itu adalah pertama kalinya aku ada

inside a fully-functioning self --

dalam sebuah diri yang berfungsi sepenuhnya --

one that I controlled,

diri yang aku kuasai,

that I steered,

yang aku kendalikan,

that I gave life to.

yang kuberikan kehidupan.

But the shooting day would end,

Namun hari syuting akan berakhir,

and I'd return

dan aku kembali

to my gnarly, awkward self.

pada diriku yang degil dan canggung.

By 19,

Pada umur 19 tahun,

I was a fully-fledged movie actor,

Aku menjadi aktor film yang benar-benar dewasa,

but still searching for definition.

namun masih mencari penjelasan.

I applied to read anthropology

Aku mencoba mempelajari antropologi

at university.

di universitas.

Dr. Phyllis Lee gave me my interview,

Dr. Phyllis Lee mewawancaraiku,

and she asked me, "How would you define race?"

dan dia bertanya, "Bagaimana kamu mendefinisikan ras?"

Well, I thought I had the answer to that one,

Aku pikir aku tahu jawabannya.

and I said, "Skin color."

Dan aku menjawab, "Warna kulit."

"So biology, genetics?" she said.

"Jadi biologi, genetika?" katanya.

"Because, Thandie, that's not accurate.

"Karena, Thandie, itu tidaklah tepat.

Because there's actually more genetic difference

Karena sebenarnya ada lebih banyak perbedaan genetik

between a black Kenyan

antara orang Kenya berkulit hitam

and a black Ugandan

dan seorang Uganda berkulit hitam

than there is between a black Kenyan

daripada antara seorang Kenya berkulit hitam

and, say, a white Norwegian.

dan, katakanlah, seorang Norwegia berkulit putih.

Because we all stem from Africa.

Karena semua berasal dari suku bangsa Afrika.

So in Africa,

Jadi di Afrika,

there's been more time

ada lebih banyak waktu

to create genetic diversity."

untuk membuat perbedaan genetik."

In other words,

Dengan kata lain,

race has no basis

ras tidak punya basis

in biological or scientific fact.

dalam fakta biologi atau ilmiah.

On the one hand, result.

Di satu sisi, hasil.

Right?

Benar?

On the other hand, my definition of self

Dan di sisi lain, pengertianku atas diri

just lost a huge chunk of its credibility.

baru saja kehilangan sebongkah besar kredibilitasnya.

But what was credible,

Namun apa yang dapat dipercaya,

what is biological and scientific fact,

dari fakta biologi dan ilmiah,

is that we all stem from Africa --

adalah bahwa kita semua berasal dari Afrika --

in fact, from a woman called Mitochondrial Eve

adalah fakta, dari seorang wanita yang disebut Hawa Mitokondria

who lived 160,000 years ago.

yang hidup 160.000 tahun lalu.

And race is an illegitimate concept

Dan ras adalah sebuah konsep yang tidak dikenali (haram)

which our selves have created

yang telah kita ciptakan

based on fear and ignorance.

berdasarkan rasa takut dan ketidaktahuan.

Strangely, these revelations

Anehnya, pemberitahuan ini

didn't cure my low self-esteem,

tidak mengobati kerendah-dirianku,

that feeling of otherness.

rasa keberbedaan itu.

My desire to disappear

Keinginanku untuk menghilang

was still very powerful.

masih sangat kuat.

I had a degree from Cambridge;

Aku mendapat gelar dari Cambridge;

I had a thriving career,

Aku punya karir yang berkembang;

but my self was a car crash,

namun diriku sendiri berantakan ibarat kecelakaan mobil,

and I wound up with bulimia

dan aku menderita bulimia

and on a therapist's couch.

dan berada di atas kursi seorang terapis.

And of course I did.

Dan tentu saja.

I still believed

Aku masih percaya

my self was all I was.

diriku adalah semua itu.

I still valued self-worth

Aku masih menghargai nilai-diri

above all other worth,

di atas semua nilai lain.

and what was there to suggest otherwise?

Dan apakah yang dapat menimbulkan pikiran sebaliknya?

We've created entire value systems

Kita telah menciptakan seluruh sistem nilai

and a physical reality

dan realita fisik

to support the worth of self.

untuk mendukung nilai diri.

Look at the industry for self-image

Lihatlah industri citra diri

and the jobs it creates,

dan pekerjaan yang dibuatnya,

the revenue it turns over.

pendapatan yang dihasilkannya.

We'd be right in assuming

Kita mungkin benar dalam anggapan

that the self is an actual living thing.

bahwa diri adalah sesuatu yang benar-benar hidup.

But it's not. It's a projection

Namun tidak; itu adalah sebuah proyeksi,

which our clever brains create

yang diciptakan otak cerdas kita

in order to cheat ourselves

untuk menipu diri kita

from the reality of death.

dari realita kematian.

But there is something

Namun ada sesuatu

that can give the self

yang dapat memberikan diri

ultimate and infinite connection --

hubungan terakhir dan tidak terbatas --

and that thing is oneness,

dan sesuatu itu adalah kesatuan,

our essence.

hekekat kita.

The self's struggle

Perjuangan diri

for authenticity and definition

untuk keunikan dan definisi

will never end

tidak akan berakhir

unless it's connected to its creator --

kecuali ia terhubung pada Penciptanya --

to you and to me.

pada dirimu dan pada diriku.

And that can happen with awareness --

Dan itu dapat terjadi dengan kesadaran --

awareness of the reality of oneness

kesadaran akan realita kesatuan

and the projection of self-hood.

dan proyeksi kedirian.

For a start, we can think about

Untuk permulaan, kita bisa berpikir tentang

all the times when we do lose ourselves.

seluruh waktu ketika kita kehilangan diri kita.

It happens when I dance,

Itu terjadi ketika aku menari,

when I'm acting.

ketika aku berperan.

I'm earthed in my essence,

Aku membumi dalam hakekatku,

and my self is suspended.

dan diriku tergantung.

In those moments,

Pada saat itu,

I'm connected to everything --

aku terhubung dengan segalanya --

the ground, the air,

tanah, udara,

the sounds, the energy from the audience.

suara, energi dari penonton,

All my senses are alert and alive

Seluruh inderaku terjaga dan hidup

in much the same way as an infant might feel --

dalam cara yang sama seperti yang dirasakan seorang bayi --

that feeling of oneness.

perasaan kesatuan itu.

And when I'm acting a role,

Dan ketika aku berakting sebuah peran,

I inhabit another self,

aku menghuni diri yang lain,

and I give it life for awhile,

dan aku memberinya kehidupan untuk sementara.

because when the self is suspended

Karena ketika diri tergantung

so is divisiveness

terjadilah keterpisahan

and judgment.

dan penghakiman.

And I've played everything

Dan aku telah memerankan semuanya

from a vengeful ghost in the time of slavery

dari hantu pendendam dalam masa perbudakan

to Secretary of State in 2004.

sampai Sekretaris Negara di tahun 2004.

And no matter how other

Dan tidak peduli bagaimana berbedanya

these selves might be,

diri-diri ini,

they're all related in me.

mereka semua terhubung denganku.

And I honestly believe

Dan aku jujur mengakui

the key to my success as an actor

kunci kesuksesanku sebagai seorang aktor

and my progress as a person

dan perkembanganku sebagai seseorang

has been the very lack of self

adalah kekurangan diri

that used to make me feel

yang biasanya membuatku merasa

so anxious and insecure.

sangat cemas dan tidak aman.

I always wondered

Aku selalu membayangkan

why I could feel others' pain so deeply,

mengapa aku dapat merasakan rasa sakit orang lain begitu mendalam,

why I could recognize

mengapa aku dapat mengenali

the somebody in the nobody.

seseorang dalam diri orang yang bukan siapa-siapa.

It's because I didn't have a self to get in the way.

Itu karena aku tidak mempunyai diri untuk menghalangiku.

I thought I lacked substance,

Aku pikir aku kekurangan hakikat,

and the fact that I could feel others'

dan fakta bahwa aku dapat merasakan perasaan orang lain

meant that I had nothing of myself to feel.

berarti bahwa aku tidak punya sesuatu untuk dirasakan oleh diriku.

The thing that was a source of shame

Sesuatu yang merupakan sumber rasa malu

was actually a source of enlightenment.

sebenarnya adalah sumber pencerahan.

And when I realized

Dan ketika aku menyadari

and really understood

dan benar-benar memahami

that my self is a projection and that it has a function,

bahwa diriku adalah sebuah proyeksi dan ia memiliki sebuah fungsi,

a funny thing happened.

sesuatu yang lucu terjadi.

I stopped giving it so much authority.

Aku berhenti memberinya begitu banyak kekuasaan.

I give it its due.

Aku memberikan haknya.

I take it to therapy.

Aku membawanya ke terapi.

I've become very familiar

Aku menjadi sangat akrab

with its dysfunctional behavior.

dengan disfungsi tingkah lakunya.

But I'm not ashamed of my self.

Namun aku tidak malu atas diriku.

In fact, I respect my self

Kenyataannya, aku menghormati diriku

and its function.

dan fungsinya.

And over time and with practice,

Dan waktu demi waktu dan dengan latihan,

I've tried to live

Aku berusaha untuk hidup

more and more from my essence.

lebih dari hakikatku.

And if you can do that,

Dan jika kalian bisa melakukannya,

incredible things happen.

sesuatu yang luar biasa terjadi.

I was in Congo in February,

Pada bulan Februari lalu aku pergi ke Kongo

dancing and celebrating

menari dan merayakan

with women who've survived

dengan wanita yang selamat

the destruction of their selves

dari penghancuran diri mereka sendiri

in literally unthinkable ways --

dalam cara yang benar-benar tidak terpikirkan --

destroyed because other brutalized, psychopathic selves

dihancurkan karena diri lain yang disiksa dan sakit jiwa

all over that beautiful land

di seluruh daratan indah itu

are fueling our selves' addiction

mengisi kecanduan diri kami sendiri

to iPods, Pads, and bling,

pada iPod, Pad, dan bling,

which further disconnect ourselves

yang memutus diri kami lebih jauh

from ever feeling their pain,

dari merasakan kesakitan mereka,

their suffering,

penderitaan mereka,

their death.

kematian mereka.

Because, hey,

Karena, hei,

if we're all living in ourselves

jika kita semua hidup dalam diri kita sendiri

and mistaking it for life,

dan keliru menganggapnya sebagai kehidupan,

then we're devaluing

maka kita kurang menghargai

and desensitizing life.

dan mengurangi pengaruh kehidupan.

And in that disconnected state,

Dan dalam keadaan tak terhubung itu,

yeah, we can build factory farms with no windows,

ya, kami dapat menciptakan pabrik pertanian tanpa jendela,

destroy marine life

menghancurkan kehidupan laut

and use rape as a weapon of war.

dan menggunakan pemerkosaan sebagai senjata perang.

So here's a note to self:

Jadi ini adalah catatan kepada diri:

The cracks have started to show

Retakan sudah mulai muncul

in our constructed world,

dalam bangunan dunia kita,

and oceans will continue

dan lautan akan terus

to surge through the cracks,

tersedot melalui retakan,

and oil and blood,

minyak bumi dan darah,

rivers of it.

menganak sungai.

Crucially, we haven't been figuring out

Yang terpenting lagi, kita belum menemukan

how to live in oneness

bagaimana hidup dalam kesatuan

with the Earth and every other living thing.

dengan Bumi dan semua makhluk hidup lain.

We've just been insanely trying to figure out

Kita hanya mencoba mencari tahu dengan membabi-buta

how to live with each other -- billions of each other.

bagaimana cara hidup dengan yang lain -- jutaan orang lain.

Only we're not living with each other;

Hanya saja kita tidak hidup dengan yang lain;

our crazy selves are living with each other

diri kita yang gila hidup dengan yang lain

and perpetuating an epidemic

dan melanggengkan sebuah epidemik

of disconnection.

ketidakterhubungan.

Let's live with each other

Mari kita hidup dengan yang lain

and take it a breath at a time.

dan memahaminya sekaligus.

If we can get under that heavy self,

Jika kita dapat menjadi diri yang besar itu,

light a torch of awareness,

menghidupkan obor kesadaran,

and find our essence,

dan menemukan hakikat kita,

our connection to the infinite

hubungan kita pada ketidakterbatasan

and every other living thing.

dan setiap kehidupan yang lain.

We knew it from the day we were born.

Kita mengetahuinya sejak kita lahir.

Let's not be freaked out

Ktia tidak perlu terkejut

by our bountiful nothingness.

dengan ketiadaan kita sangat banyak.

It's more a reality

Itu lebih nyata

than the ones our selves have created.

daripada sesuatu yang diri kita telah ciptakan.

Imagine what kind of existence we can have

Bayangkan jenis eksistensi yang dapat kita miliki

if we honor inevitable death of self,

jika kita menghargai kematian diri yang tidak terelakkan,

appreciate the privilege of life

menghargai hak kehidupan

and marvel at what comes next.

dan mengagumi apa yang datang selanjutnya.

Simple awareness is where it begins.

Kesadaran sederhana adalah awal semuanya.

Thank you for listening.

Terima kasih telah mendengarkan.

(Applause)

(Tepuk tangan)