What it was like to grow up under China's one-child policy | Nanfu Wang

Translator: Michael Yapriadi Reviewer: Dzaki Jabbar Mahdi

My name is Nanfu.

Nama saya Nanfu

In Chinese, "nan" means "man."

Dalam Bahasa China, "nan" berarti "laki-laki"

And "fu" means "pillar."

Dan "fu" berarti "pilar"

My family had hoped for a boy,

Keluarga saya berharap punya anak laki-laki

who would grow up to be the pillar of the family.

yang akan tumbuh sebagai penopang keluarga

And when I turned out to be a girl,

Dan saat saya terlahir sebagai perempuan,

they named me Nanfu anyway.

mereka tetap memberi nama saya Nanfu

(Laughter)

(Tertawa)

I was born in 1985,

Saya lahir pada tahun 1985,

six years before China announced its one-child policy.

enam tahun sebelum China mengesahkan peraturan satu anak.

Right after I was born,

Tepat setelah saya lahir,

the local officials came and ordered my mom to be sterilized.

Petugas setempat datang dan meminta ibuku untuk disterilkan.

My grandpa stood up to the officials,

Kakek saya menentang petugas tersebut,

because he wanted a grandson to carry on the family name.

dia ingin seorang cucu laki-laki yang dapat meneruskan nama keluarga.

Eventually, my parents were allowed to have a second child,

Untungnya, orang tua saya diperbolehkan untuk memiliki anak kedua,

but they had to wait for five years

tapi mereka harus menunggu selama lima tahun

and pay a substantial fine.

dan membayar denda substansial.

Growing up, my brother and I

Saat bertumbuh dewasa, saya dan kakak saya

were surrounded by children from one-child families.

dikelilingi anak-anak dari keluarga yang beranak tunggal.

I remember feeling a sense of shame

Saya ingat merasakan rasa malu

because I had a younger brother.

karena saya memiliki adik laki-laki.

I felt like our family did something wrong for having two children.

Saya merasa keluarga saya melakukan kesalahan dengan memiliki dua anak.

At the time, I didn't question

Saat itu, saya tidak bertanya

where this sense of shame and guilt came from.

di mana rasa malu dan bersalah itu datang.

A year and a half ago, I had my own first child.

Satu setengah tahun lalu, saya memiliki anak pertama saya.

It was the best thing that ever happened in my life.

Merupakan hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidup saya.

Becoming a mother

Menjadi seorang ibu

gave me a totally new perspective on my own childhood,

memberikan saya sebuah perspektif baru tentang masa kecil saya sendiri

and it brought back my memories of early life in China.

yang menghidupkan kembali kenangan tentang masa kecil saya di negeri China.

For the past three decades,

Selama tiga dekade terakhir,

everyone in my family had to apply for a permission from the government

setiap orang dalam keluarga saya harus meminta izin dari pemerintah

to have a child.

untuk memiliki anak.

And I wondered

Dan aku bertanya-tanya

what it was like for people who lived under the one-child policy.

apa rasanya bagi orang-orang yang hidup di bawah peraturan hanya satu anak.

So I decided to make a documentary about it.

Jadi saya memutuskan untuk membuat film dokumenter tentang itu.

One of the people I interviewed

Salah satu orang yang saya wawancarai

was the midwife who delivered all of the babies born in my village,

adalah seorang bidan yang membantu persalinan seluruh bayi di desa saya,

including myself.

termasuk saya sendiri.

She was 84 years old when I interviewed her.

Dia berusia 84 tahun ketika saya mewawancarainya.

I asked her,

Saya bertanya kepadanya.

"Do you remember how many babies you delivered throughout your career?"

"Apakah Anda ingat selama bekerja, berapa bayi yang telah Anda bantu persalinannya?"

She didn't have a number for deliveries.

Dia tidak mengingat jumlahnya.

She said she had performed

Dia mengatakan bahwa telah melakukan

60,000 forced abortions and sterilizations.

60.000 aborsi paksa dan sterilisasi.

Sometimes, she said,

Kadang, dia berkata,

a late-term fetus would survive an abortion,

fetus pada tahap akhir akan selamat dari aborsi

and she would kill the baby after delivering it.

dan dia akan membunuh bayi itu setelah persalinan.

She remembered how her hands would tremble

Dia ingat bagaimana tangannya akan gemetar

as she did the work.

saat melakukan hal itu.

Her story shocked me.

Cerita dia mengejutkan saya.

When I set out to make the film,

Saat saya bersiap membuat film,

I expected it would be a simple story of perpetrators and victims.

Saya pikir ceritanya akan menjadi sederhana antara pelaku dengan korban.

People who carried out the policy

Orang yang melaksanakan peraturan itu

and people who are living with the consequences.

dan orang-orang yang hidup dengan konsekuensinya.

But that wasn't what I saw.

Tapi bukan hal itu yang saya lihat.

As I was finishing my interview with the midwife,

Saat saya menyelesaikan wawancara dengan bidan itu,

I noticed an area in her house

saya menyadari area di rumah dia

that was decorated with elaborate homemade flags.

yang dihiasi dengan bendera rumahan.

And each flag has a picture of a baby on it.

Dan setiap bendera terdapat foto bayi.

These were flags that were sent by families

Bendera-bendera itu dikirimkan oleh keluarga

whom she helped treat their infertility problems.

yang telah dia bantu dalam hal infertilitas.

She explained that she had had enough

Dia menjelaskan bahwa sudah cukup

of performing abortions and sterilizations --

melakukan aborsi dan sterilisasi --

that the only work she did now was to help families have babies.

dan hal yang dia lakukan sekarang hanyalah menolong keluarga untuk memiliki anak.

She said she was full of guilt

Dia mengatakan dia merasa sangat menyesal

for carrying out the one-child policy,

untuk menjalankan peraturan memiliki satu anak,

and she hoped that by helping families have babies,

dan dia berharap dengan menolong keluarga untuk memiliki anak,

she could counteract what she did in the past.

dia dapat menebus kesalahan yang telah dia lakukan dahulu.

It became clear to me she, too, was a victim of the policy.

Dan menurut saya semakin jelas, bahwa dia juga adalah korban dari peraturan itu.

Every voice was telling her

Semua orang memberitahu dia.

that what she did was right and necessary for China's survival.

apa yang lakukannya itu benar dan penting bagi kelangsungan negeri China

And she did what she thought was right for her country.

Dan dia melakukan apa yang dia anggap benar untuk negaranya.

I know how strong that message was.

Saya sadar betapa kuat pesan yang disampaikan itu.

It was everywhere around myself when I grew up.

Di mana pun saya bertumbuh dewasa.

It was printed on matches,

Tercetak pada kotak korek api,

playing cards,

kartu,

textbooks, posters.

buku, poster.

The propaganda praising the one-child policy

Propaganda peraturan memiliki satu anak

was everywhere around us.

ada di sekitar kita semua.

[Anyone who refuses to sterilize will be arrested.]

[Semua yang menolak disteril akan ditangkap.]

And so were the threats against disobeying it.

Dan ancaman bagi yang melanggarnya.

The message seeped into our minds

Pesan itu sangat meresap ke dalam pikiran kita semua

so much so that I grew up feeling embarrassed

sehingga saya tumbuh dalam rasa malu

for having a younger brother.

karena memiliki seorang adik laki-laki.

With each person I filmed,

Melalui setiap orang yang saya rekam,

I saw how their minds and hearts can be influenced by the propaganda,

saya dapat melihat bagaimana akal dan hati mereka terpapar dengan propaganda,

and how their willingness to make sacrifices for the greater good

dan bagaimana keinginan mereka untuk berkorban demi sesuatu yang baik

can be twisted into something very dark and tragic.

dapat berubah menjadi sesuatu yang kelam dan tragis.

China is not the only place where this happens.

Bukan hanya di negeri China hal seperti ini terjadi.

There is no country on earth where propaganda isn't present.

Tidak ada negara di bumi ini yang tidak memiliki propaganda.

And in societies that are supposed to be more open and free than China,

Dan di masyarakat yang lebih terbuka daripada negeri China,

it can be even harder to recognize what propaganda looks like.

bahkan akan lebih sulit mengungkap propaganda.

It hides in plain sight as news reports,

Tersembunyi dalam laporan berita,

TV commercials, political campaigning

iklan TV, kampanye politik,

and in our social media feeds.

dan dalam umpan media sosial kita.

It works to change our minds without our knowledge.

Cara kerjanya dengan mengubah pola pikir kita tanpa sepengetahuan kita semua.

Every society is vulnerable to accepting propaganda as truth,

Setiap masyarakat sangat rentan untuk menerima propaganda sebagai kebenaran,

and no society where propaganda replaces the truth

dan tidak ada masyarakat dengan

propaganda menggantikan kebenaran dapat benar-benar bebas

can be truly free.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)