Tracy Chevalier: Finding the story inside the painting

Translator: Thu-Huong Ha Reviewer: Youna Jung

Translator: Antonius Yudi Sendjaja Reviewer: Yustina Suryanti

I'm going to tell you about an affliction I suffer from.

Saya ingin menceritakan penyakit yang saya derita.

And I have a funny feeling that quite a few of you

Dan saya memiliki firasat lucu bahwa ada beberapa dari Anda

suffer from it as well.

yang menderita penyakit ini juga.

When I'm walking around an art gallery,

Saat saya berjalan-jalan di galeri seni,

rooms and rooms full of paintings,

ruangan demi ruangan penuh dengan lukisan,

after about 15 or 20 minutes,

setelah sekitar 15 hingga 20 menit,

I realize I'm not thinking about the paintings.

saya menyadari saya tidak berpikir tentang lukisan.

I'm not connecting to them.

Saya tidak terhubung dengan lukisan itu.

Instead, I'm thinking about that cup of coffee

Namun, saya berpikir tentang segelas kopi

I desperately need to wake me up.

yang sangat saya perlukan untuk membuat saya terjaga.

I'm suffering from gallery fatigue.

Saya menderita "kelelahan galeri."

How many of you out there suffer from --

Berapa banyak dari Anda yang menderita --

yes. Ha ha, ha ha!

ya, Ha ha ha ha!

Now, sometimes you might last longer

Terkadang, ini bisa terjadi lebih lama

than 20 minutes, or even shorter,

atau lebih singkat dari 20 menit,

but I think we all suffer from it. And do you have

namun saya rasa kita semua menderita penyakit itu.

the accompanying guilt?

Dan apa Anda juga merasa bersalah?

For me, I look at the paintings on the wall

Bagi saya, saat melihat lukisan di dinding

and I think, somebody has decided to put them there,

dan berpikir, seseorang memutuskan untuk memasangnya di sana

thinks they're good enough to be on that wall,

berpikir lukisan itu cukup bagus untuk dipasang di dinding itu,

but I don't always see it.

namun saya tidak selalu melihatnya.

In fact, most of the time I don't see it.

Sebenarnya, kebanyakan saya tidak melihatnya.

And I leave feeling actually unhappy.

Dan saya pergi dengan perasaan tidak senang.

I feel guilty and unhappy with myself,

Saya merasa bersalah dan tidak senang dengan diri saya

rather than thinking there's something wrong with the painting,

dan tidak berpikir bahwa ada yang salah dengan lukisan itu.

I think there's something wrong with me.

Saya merasa ada yang salah dengan diri saya.

And that's not a good experience, to leave a gallery like that.

Dan keluar dari galeri seperti itu bukanlah pengalaman yang menyenangkan.

(Laughter)

(Tawa)

The thing is, I think we should give ourselves a break.

Masalahnya adalah, kita harus beristirahat sejenak.

If you think about going into a restaurant,

Jika Anda berpikir tentang pergi ke rumah makan,

when you look at the menu, are you expected to order

saat Anda melihat menunya, apakah Anda akan

every single thing on the menu?

memesan semua yang ada di menu?

No! You select.

Tidak! Anda memilihnya.

If you go into a department store to buy a shirt,

Jika Anda pergi ke toserba untuk membeli kemeja,

are you going to try on every single shirt

apakan Anda akan mencoba setiap kemeja

and want every single shirt?

dan menginginkan setiap kemeja itu?

Of course not, you can be selective. It's expected.

Tentu saja tidak, Anda bisa memilih. Itu bisa diduga.

How come, then, it's not so expected

Lalu, mengapa tidak ada yang menduga

to be selective when we go to an art gallery?

bahwa kita menjadi pemilih saat pergi ke galeri seni?

Why are we supposed to have a connection with every single painting?

Mengapa kita diharapkan untuk merasakan hubungan dengan setiap lukisan?

Well I'm trying to take a different approach.

Saya akan mengambil pendekatan yang berbeda.

And there's two things I do:

Inilah dua hal yang saya lakukan:

When I go into a gallery, first of all, I go quite fast,

Saat pergi ke galeri, pertama-tama, saya berjalan cepat

and I look at everything, and I pinpoint the ones

dan melihat semuanya, dan saya memilih lukisan

that make me slow down for some reason or other.

yang membuat saya memperlambat langkah karena alasan apapun.

I don't even know why they make me slow down, but something

Saya tidak tahu mengapa lukisan itu membuat saya memperlambat langkah,

pulls me like a magnet

namun ada yang menarik saya seperti magnet

and then I ignore all the others, and I just go to that painting.

lalu saya mengabaikan semua lukisan lainnya dan pergi hanya ke lukisan itu.

So it's the first thing I do is, I do my own curation.

Jadi itulah yang pertama saya lakukan, saya melakukan pemilihan sendiri.

I choose a painting. It might just be one painting in 50.

Saya memilih lukisan, mungkin hanya 1 di antara 50.

And then the second thing I do is I stand in front of that painting,

Lalu hal kedua yang saya lakukan adalah saya berdiri di depan lukisan itu

and I tell myself a story about it.

dan menceritakan kisah mengenai lukisan itu.

Why a story? Well, I think that we are wired,

Mengapa bercerita? Saya rasa kita semua diprogram,

our DNA tells us to tell stories.

DNA kita menyuruh kita untuk bercerita.

We tell stories all the time about everything,

Kita bercerita tentang segala hal setiap saat,

and I think we do it because the world is kind of a crazy, chaotic place,

dan saya rasa kita melakukannya karena dunia ini adalah tempat yang gila dan kacau,

and sometimes stories, we're trying to make sense of the world a little bit,

dan terkadang dengan kisah, kita mencoba sedikit memahami dunia kita,

trying to bring some order to it.

mencoba membuat dunia menjadi teratur.

Why not apply that to our looking at paintings?

Mengapa tidak menerapkannya pada lukisan?

So I now have this sort of restaurant menu

Jadi kini saya memiliki semacam menu rumah makan

visiting of art galleries.

saat mengunjungi galeri seni.

There are three paintings I'm going to show you now

Ada tiga lukisan yang ingin saya tunjukkan kali ini

that are paintings that made me stop in my tracks

yaitu lukisan yang membuat saya menghentikan langkah

and want to tell stories about them.

dan membuat saya ingin bercerita tentang mereka.

The first one needs little introduction --

Lukisan pertama memerlukan sedikit pengenalan --

"Girl with a Pearl Earring" by Johannes Vermeer,

"Gadis dengan anting mutiara" karya Johannes Vermeer,

17th-century Dutch painter.

pelukis Belanda di abad ke-17.

This is the most glorious painting.

Ini adalah lukisan yang paling megah.

I first saw it when I was 19,

Saya pertama kali melihatnya saat berusia 19 tahun,

and I immediately went out and got a poster of it,

dan langsung pergi dan mencari poster lukisan itu,

and in fact I still have that poster. 30 years later it's hanging in my house.

dan sampai sekarang, 30 tahun kemudian, poster itu masih tergantung di rumah saya.

It's accompanied me everywhere I've gone,

Lukisan itu menemani saya kemanapun saya pergi.

I never tire of looking at her.

Saya tidak pernah lelah melihatnya.

What made me stop in my tracks about her to begin with

Apa yang membuat saya berhenti saat melihatnya

was just the gorgeous colors he uses

hanyalah warna-warna yang dia gunakan

and the light falling on her face.

dan cahaya yang jatuh pada wajahnya.

But I think what's kept me still coming back

Namun saya rasa apa yang membuat saya terus kembali

year after year is another thing, and that is

tahun demi tahun adalah hal yang lain,

the look on her face, the conflicted look on her face.

yaitu mimik wajahnya yang bertentangan.

I can't tell if she's happy or sad,

Saya tidak tahu apakah dia senang atau sedih,

and I change my mind all the time.

dan saya terus berganti pendapat.

So that keeps me coming back.

Hal itu terus membuat saya kembali.

One day, 16 years after I had this poster on my wall,

Suatu hari, 16 tahun setelah saya memiliki poster itu,

I lay in bed and looked at her,

saya berbaring di tempat tidur dan melihatnya,

and I suddenly thought, I wonder what

dan saya tiba-tiba berpikir,

the painter did to her to make her look like that.

apa yang dilakukan si pelukis untuk membuat wajahnya terlihat seperti itu.

And it was the first time I'd ever thought that

Dan itulah pertama kalinya saya berpikir bahwa

the expression on her face is actually reflecting

penampilan wajahnya sebenarnya menggambarkan

how she feels about him.

bagaimana perasaannya tentang pelukis itu.

Always before I'd thought of it as a portrait of a girl.

Sebelumnya, saya selalu berpikir itu adalah potret seorang gadis.

Now I began to think of it as a portrait of a relationship.

Kini saya mulai melihatnya sebagai potret dari sebuah hubungan.

And I thought, well, what is that relationship?

Dan saya berpikir, hubungan semacam apa?

So I went to find out. I did some research and discovered,

Jadi saya mencari tahu, saya melakukan penelitian dan menemukan

we have no idea who she is.

bahwa kita tidak tahu siapa gadis itu.

In fact, we don't know who any of the models

Sebenarnya, kita tidak tahu siapa model yang dipakai

in any of Vermeer's paintings are,

dalam semua lukisan Vermeer

and we know very little about Vermeer himself.

dan kita juga tahu sangat sedikit mengenai Vermeer.

Which made me go, "Yippee!"

Yang membuat saya berseru, "Yippie!"

I can do whatever I want, I can come up with whatever story I want to.

Saya dapat melakukan apapun, bercerita apapun yang saya suka.

So here's how I came up with the story.

Jadi beginilah saya mendapatkan cerita.

First of all, I thought,

Pertama, saya berpikir

I've got to get her into the house.

saya harus membuatnya berada di rumah si pelukis.

How does Vermeer know her?

Bagaimana Vermeer mengenalnya?

Well, there've been suggestions that

Ada yang mengajukan bahwa

she is his 12-year-old daughter.

dia adalah putri Vermeer yang berusia 12 tahun.

The daughter at the time was 12 when he painted the painting.

Putrinya berusia 12 tahun pada saat dia melukisnya.

And I thought, no, it's a very intimate look,

Dan saya berpikir, tidak, tatapannya terlihat akrab,

but it's not a look a daughter gives her father.

namun bukan tatapan seorang putri pada ayahnya.

For one thing, in Dutch painting of the time,

Karena satu hal, di lukisan-lukisan Belanda pada masa itu,

if a woman's mouth was open, it was indicating sexual availability.

jika mulut seorang wanita terbuka, hal itu menandakan dia bersedia melakukan hubungan intim.

It would have been inappropriate for Vermeer

Tidak pantas bagi Vermeer

to paint his daughter like that.

untuk melukis putrinya seperti itu.

So it's not his daughter, but it's somebody

Jadi itu bukanlah putrinya, namun orang lain

close to him, physically close to him.

yang dekat dengannya secara fisik.

Well, who else would be in the house?

Lalu siapa lagi yang ada di rumah itu?

A servant, a lovely servant.

Seorang pelayan yang menarik.

So, she's in the house.

Jadi dia ada di rumah.

How do we get her into the studio?

Bagaimana kita membuatnya berada di studio si pelukis?

We don't know very much about Vermeer,

Kita tidak tahu banyak mengenai Vermeer

but the little bits that we do know, one thing we know

namun sedikit hal, satu hal yang kita tahu

is that he married a Catholic woman, they lived with her mother

adalah dia menikah dengan wanita Katolik dan mereka tinggal bersama ibunya

in a house where he had his own room

di rumah di mana dia memiliki ruangan sendiri

where he -- his studio. He also had 11 children.

-- studionya. Dia juga memiliki 11 orang anak.

It would have been a chaotic, noisy household.

Rumah itu pastilah kacau dan berisik.

And if you've seen Vermeer's paintings before,

Dan jika Anda pernah melihat lukisan Vermeer sebelumnya,

you know that they're incredibly calm and quiet.

Anda tahu lukisan itu sangat tenang dan sunyi.

How does a painter paint such calm, quiet paintings with 11 kids around?

Bagaimana mungkin seorang pelukis dengan 11 orang anak melukis seperti itu?

Well, he compartmentalizes his life.

Dia mengotak-kotakan hidupnya.

He gets to his studio, and he says, "Nobody comes in here.

Dia masuk ke studionya dan berkata, "Tidak ada yang boleh masuk.

Not the wife, not the kids. Okay, the maid can come in and clean."

Baik istri maupun anak-anak. Si palayan boleh masuk untuk membersihkannya."

She's in the studio. He's got her in the studio, they're together.

Si pelayan masuk. Dia membawanya ke dalam studio, mereka bersama-sama.

And he decides to paint her.

Dan dia memutuskan untuk melukisnya.

He has her wear very plain clothes.

Dia menyuruhnya memakai pakaian yang sederhana.

Now, all of the women, or most of the women in Vermeer's other paintings

Kini semua atau kebanyakan wanita pada lukisan Vermeer yang lain

wore velvet, silk, fur, very sumptuous materials.

memakai pakaian beludru, sutra, bulu, bahan yang sangat mewah.

This is very plain; the only thing that isn't plain

Pakaian ini sangat sederhana; satu-satunya yang tidak sederhana

is her pearl earring.

hanyalah anting mutiaranya.

Now, if she's a servant, there is no way she could afford

Kini, jika dia seorang pelayan, tidak mungkin dia dapat membeli

a pair of pearl earrings.

sepasang anting mutiara.

So those are not her pearl earrings. Whose are they?

Jadi itu bukanlah miliknya. Lalu milik siapa?

We happen to know, there's a list of Catharina, the wife's clothes.

Kita tahu bahwa ada daftar pakaian milik istrinya, Catharina.

Amongst them a yellow coat with white fur,

Di antaranya ada mantel kuning dengan bulu putih,

a yellow and black bodice,

korset kuning dan hitam,

and you see these clothes on lots of other paintings,

dan Anda melihat pakaian itu pada banyak lukisan lainnya,

different women in the paintings, Vermeer's paintings.

pada wanita yang berbeda di lukisan Vermeer.

So clearly, her clothes were lent to various different women.

Jadi sudah jelas pakaian istrinya dipinjamkan ke beberapa wanita.

It's not such a leap of faith to take

Tidak aneh jika kita menganggap

that that pearl earring actually belongs to his wife.

bahwa anting mutiara itu sebenarnya adalah milik istrinya.

So we've got all the elements for our story.

Jadi kita memiliki semua hal untuk kisah kita.

She's in the studio with him for a long time.

Dia ada di studio dengan si pelukis untuk waktu yang lama.

These paintings took a long time to make.

Diperlukan waktu lama untuk membuat lukisan ini.

They would have spent the time alone, all that time.

Mereka menghabiskan waktu berdua saja, setiap saat.

She's wearing his wife's pearl earring.

Dia memakai anting mutiara milik istrinya.

She's gorgeous. She obviously loves him. She's conflicted.

Dia tampak cantik. Dia pasti mencintai si pelukis. Dia merasakan pertentangan.

And does the wife know? Maybe not.

Dan apakah istrinya tahu? Mungkin tidak.

And if she doesn't, well --

Dan jika tidak, yah --

that's the story.

itulah kisahnya.

(Laughter)

(Tawa)

The next painting I'm going to talk about

Lukisan berikutnya yang ingin saya bicarakan

is called "Boy Building a House of Cards" by Chardin.

berjudul "Anak Laki-laki membangun Rumah dari Kartu" karya Chardin.

He's an 18th-century French painter best known for his still lifes,

Dia adalah pelukis Perancis abad ke-18 yang terkenal melukis benda-benda mati,

but he did occasionally paint people.

namun terkadang dia melukis orang.

And in fact, he painted four versions of this painting,

Dan sebenarnya, dia melukis empat versi lukisan ini,

different boys building houses of cards, all concentrated.

anak laki-laki yang berbeda yang membangun rumah dari kartu, semuanya berkonsentrasi penuh.

I like this version the best, because some of the boys

Saya paling suka versi ini, karena beberapa anak laki-laki itu

are older and some are younger, and to me, this one,

lebih tua atau lebih muda, dan bagi saya, yang ini

like Goldilocks's porridge, is just right.

seperti "Goldolock's porridge," rasanya pas.

He's not quite a child, and he's not quite a man.

Dia bukanlah anak kecil dan bukan orang dewasa.

He's absolutely balanced between innocence and experience,

Terlihat seimbang antara kepolosan dan pengalaman

and that made me stop in my tracks in front of this painting.

dan hal itu membuat saya menghentikan langkah di depan lukisan ini.

And I looked at his face. It's like a Vermeer painting a bit.

Dan saya melihat wajahnya. Sedikit menyerupai lukisan Vermeer.

The light comes in from the left, his face is bathed

Cahayanya datang dari sebelah kiri, wajahnya

in this glowing light. It's right in the center of the painting,

bermandikan cahaya terang itu. Wajahnya tepat di tengah lukisan,

and you look at it, and I found that when I was looking at it,

dan Anda melihatnya, saya mengetahuinya saat melihatnya,

I was standing there going,

saya berdiri di sana dan itu seperti,

"Look at me. Please look at me."

"Lihat saya. Tolonglah, lihat saya."

And he didn't look at me. He was still looking at his cards,

Dan dia tidak melihat saya. Dia masih melihat kartunya,

and that's one of the seductive elements of this painting is,

dan itulah elemen penggoda dari lukisan ini,

he's so focused on what he's doing that he doesn't look at us.

dia sangat berfokus pada apa yang dia lakukan dan tidak melihat pada kita.

And that is, to me, the sign of a masterpiece,

Dan bagi saya, hal itu adalah tanda sebuah mahakarya

of a painting when there's a lack of resolution.

lukisan, yaitu kurangnya resolusi.

He's never going to look at me.

Dia tidak akan pernah melihat saya.

So I was thinking of a story where,

Jadi saya memikirkan sebuah cerita di mana

if I'm in this position, who could be there looking at him?

jika saya dalam posisi seperti itu, siapa yang ada di sana dan melihatnya.

Not the painter, I don't want to think about the painter.

Bukan si pelukis. Saya tidak ingin berpikir tentang si pelukis.

I'm thinking of an older version of himself.

Saya berpikir tentang versi dirinya yang lebih tua.

He's a man, a servant, an older servant looking at this younger servant,

Dia seorang pemuda pelayan yang melihat pelayan yang lebih muda

saying, "Look at me. I want to warn you about

dan berkata, "Lihat saya. Saya ingin memperingatkan tentang

what you're about to go through. Please look at me."

apa yang akan kau alami. Lihatlah saya."

And he never does.

Dan dia tidak pernah melakukannya.

And that lack of resolution, the lack of resolution in "Girl with a Pearl Earring" --

Dan kekurangan resolusi itu, seperti pada "Gadis dengan Anting Mutiara" --

we don't know if she's happy or sad.

kita tidak tahu apakah dia senang atau sedih.

I've written an entire novel about her,

Saya menulis sebuah novel mengenai gadis itu,

and I still don't know if she's happy or sad.

dan saya tidak tahu apakah dia senang atau sedih.

Again and again, back to the painting,

Saya terus menerus kembali pada lukisan itu

looking for the answer, looking for the story to fill in that gap.

dan mencari jawabannya, mencari kisah untuk menutup celah itu.

And we may make a story, and it satisfies us momentarily,

Dan kita bisa membuat cerita yang memuaskan kita untuk sementara waktu,

but not really, and we come back again and again.

namun tidak benar-benar memuaskan, dan kita terus kembali.

The last painting I'm going to talk about

Lukisan terakhir yang akan saya bicarakan

is called "Anonymous" by anonymous. (Laughter)

berjudul "Tanpa Nama" oleh "tanpa nama." (Tawa)

This is a Tudor portrait bought by the National Portrait Gallery.

Ini adalah potret jaman Tudor yang dibeli oleh Galeri Potret Nasional.

They thought it was a man named Sir Thomas Overbury,

Mereka berpikir bahwa dia adalah seseorang bernama Sir Thomas Overbury,

and then they discovered that it wasn't him,

lalu mereka menyadari bahwa itu bukan dia

and they have no idea who it is.

dan mereka tidak tahu siapa pria itu.

Now, in the National Portrait Gallery,

Kini di Galeri Potret Nasional,

if you don't know the biography of the painting,

jika Anda tidak tahu biografi lukisan ini,

it's kind of useless to you.

hal ini tidak berguna bagi Anda.

They can't hang it on the wall, because they don't know who he is.

Mereka tidak bisa memajangnya di dinding karena mereka tidak tahu siapa dia.

So unfortunately, this orphan spends most of his time in storage,

Jadi sayangnya, si yatim piatu ini menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam gudang,

along with quite a number of other orphans,

bersama dengan sejumlah yatim piatu lainnya,

some of them some beautiful paintings.

dan beberapa diantaranya adalah lukisan yang indah.

This painting made me stop in my tracks for three reasons:

Lukisan ini membuat saya menghentikan langkah karena tiga alasan:

One is the disconnection between his mouth

Pertama adalah ketidakterhubungan di antara mulutnya

that's smiling and his eyes that are wistful.

yang tersenyum dan matanya yang sedih.

He's not happy, and why isn't he happy?

Dia tidak gembira, mengapa?

The second thing that really attracted me

Hal yang kedua yang menarik saya

were his bright red cheeks.

adalah pipinya yang merah merona.

He is blushing. He's blushing for his portrait being made!

Dia tersipu karena sedang dilukis!

This must be a guy who blushes all the time.

Dia pasti seseorang yang mudah tersipu.

What is he thinking about that's making him blush?

Apa yang dia pikirkan yang membuatnya tersipu?

The third thing that made me stop in my tracks

Hal ketiga yang membuat saya menghentikan langkah

is his absolutely gorgeous doublet.

adalah jaketnya yang sangat menawan.

Silk, gray, those beautiful buttons.

Sutra, kelabu, kancing yang indah itu.

And you know what it makes me think of,

Dan Anda tahu baju itu membuat saya berpikir tentang apa,

is it's sort of snug and puffy; it's like a duvet spread over a bed.

bajunya tampak nyaman dan besar, seperti selimut di atas ranjang.

I kept thinking of beds and red cheeks,

Saya terus berpikir akan ranjang dan pipi yang merah.

and of course I kept thinking of sex when I looked at him,

dan tentu saja saya berpikir tentang seks saat melihatnya,

and I thought, is that what he's thinking about?

dan saya berpikir, apa itu yang dia pikirkan.

And I thought, if I'm going to make a story,

Dan saya berpikir, jika saya membuat cerita,

what's the last thing I'm going to put in there?

apa hal terakhir yang akan saya ceritakan?

Well, what would a Tudor gentleman be preoccupied with?

Apa yang membuat seorang pria Tudor sibuk?

And I thought, well, Henry VIII, okay.

dan saya berpikir, Henry VIII.

He'd be preoccupied with his inheritance, with his heir.

Dia akan sibuk dengan warisannya, dengan pewarisnya.

Who is going to inherit his name and his fortune?

Siapa yang akan mewarisi nama dan kekayaannya?

You put all those together, and you've got your story

Jika Anda menggabungkannya, Anda akan mendapatkan cerita

to fill in that gap that makes you keep coming back.

untuk mengisi celah yang membuat Anda terus kembali.

Now, here's the story.

Beginilah ceritanya.

It's short.

Singkat saja.

"Rosy"

"Rosy"

I am still wearing the white brocade doublet Caroline gave me.

Saya masih memakai jaket dengan brokat putih yang diberikan Caroline.

It has a plain high collar, detachable sleeves

Dengan kerahnya yang tinggi dan lengannya yang dapat dilepas

and intricate buttons of twisted silk thread,

dan kancing dari untaian sutra yang rumit

set close together so that the fit is snug.

yang dipadukan sehingga pakaian itu menjadi nyaman.

The doublet makes me think of a coverlet on the vast bed.

Jaket itu membuat saya berpikir akan selimut di atas ranjang yang besar.

Perhaps that was the intention.

Mungkin itulah maksudnya.

I first wore it at an elaborate dinner her parents held in our honor.

Saya memakainya pertama kali saat menghadiri makan malam yang diadakan orang tuanya.

I knew even before I stood up to speak

Saya tahu bahkan sebelum saya berdiri untuk berbicara

that my cheeks were inflamed.

bahwa pipi saya memerah.

I have always flushed easily, from physical exertion,

Saya memang mudah tersipu, karena kelelahan,

from wine, from high emotion.

karena anggur, atau karena emosi.

As a boy, I was teased by my sisters and by schoolboys,

Ketika kecil, saya diganggu oleh saudari dan teman-teman saya,

but not by George.

namun George tidak mengganggu saya.

Only George could call me Rosy.

Hanya George yang boleh memanggil saya Rosy.

I would not allow anyone else.

Yang lainnya tidak boleh.

He managed to make the word tender.

Dia bisa membuat kata-kata itu menjadi halus.

When I made the announcement, George did not

Saat saya mengumumkan itu, George tidak tersipu

turn rosy, but went pale as my doublet.

namun memucat seperti warna jaket saya.

He should not have been surprised.

Dia seharusnya tidak terkejut.

It has been a common assumption

Sudah menjadi anggapan biasa

that I would one day marry his cousin.

bahwa suatu hari saya akan menikah dengan sepupunya.

But it is difficult to hear the words aloud.

Namun sulit untuk mendengarkan kata-kata itu.

I know, I could barely utter them.

Saya tahu, saya sulit sekali mengungkapkannya.

Afterwards, I found George on the terrace overlooking the kitchen garden.

Setelah itu, saya menemui George di teras yang menghadap taman dapur.

Despite drinking steadily all afternoon, he was still pale.

Walaupun terus minum sepanjang sore, dia masih terlihat pucat.

We stood together and watched the maids cut lettuces.

Kami berdiri bersama dan melihat para pelayan memetik selada.

"What do you think of my doublet?" I asked.

Saya bertanya "Bagaimana pendapatmu tentang jaket saya?"

He glanced at me. "That collar looks to be strangling you."

Dia melihat saya, "Kerah itu seperti mencekikmu."

"We will still see each other," I insisted.

"Kita masih akan terus bertemu," kata saya.

"We can still hunt and play cards and attend court.

"Kita masih dapat pergi berburu, main kartu, dan datang ke istana.

Nothing need change."

Tidak ada yang perlu diubah."

George did not speak.

George tidak berkata apa-apa.

"I am 23 years old. It is time for me to marry

"Usia saya 23 tahun. Saatnya saya menikah

and produce an heir. It is expected of me."

dan menghasilkan pewaris. Itulah yang diharapkan dari saya."

George drained another glass of claret and turned to me.

George minum segelas anggur merah lagi dan melihat saya.

"Congratulations on your upcoming nuptials, James.

"Selamat atas pernikahanmu, James.

I'm sure you'll be content together."

Saya yakin kalian akan selalu bahagia."

He never used my nickname again.

Dia tidak pernah memanggil saya "Rosy" lagi.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)