iO Tillett Wright: Fifty shades of gay

Translator: Timothy Covell Reviewer: Morton Bast

Translator: Edward John Reviewer: Laksmi Wijayanti

Human beings start putting each other into boxes

Manusia mulai mengkotak-kotakan satu sama lain

the second that they see each other --

kali pertama mereka bertemu--

Is that person dangerous? Are they attractive?

Apakah orang itu berbahaya? Apakah mereka menarik?

Are they a potential mate? Are they a potential networking opportunity?

Apakah mereka calon jodoh yang cocok? Apakah mereka bisa diajak kerja sama?

We do this little interrogation when we meet people

Kita melakukan interogasi kecil-kecilan saat kita bertemu orang lain

to make a mental resume for them.

untuk membuat rangkuman riwayat hidup mereka di dalam pikiran kita.

What's your name? Where are you from?

Siapa nama anda? Dari mana anda berasal?

How old are you? What do you do?

Berapa usia anda? Apa pekerjaan anda?

Then we get more personal with it.

Kemudian kita menanyakan hal-hal yang lebih pribadi.

Have you ever had any diseases?

Apakah anda pernah menderita penyakit parah?

Have you ever been divorced?

Apakah anda sudah pernah bercerai?

Does your breath smell bad while you're answering my interrogation right now?

Apakah mulut anda berbau tidak enak sementara anda menjawab interogasi ini sekarang?

What are you into? Who are you into?

Hal-hal apa yang menurut anda menarik? Orang-orang seperti apa yang menarik perhatian anda?

What gender do you like to sleep with?

Anda suka berhubungan intim dengan jenis kelamin apa?

I get it.

Saya mengerti.

We are neurologically hardwired

Otak kita telah terprogram secara neurologis

to seek out people like ourselves.

untuk mencari orang-orang yang menyerupai kita sendiri.

We start forming cliques as soon as we're old enough

Kita mulai menjalin hubungan segera setelah kita mengerti

to know what acceptance feels like.

seperti apa rasanya diterima oleh orang-orang lain.

We bond together based on anything that we can --

Kita terhubung pada orang lain segala cara yang mungkin--

music preference, race, gender, the block that we grew up on.

preferensi musik, ras, jenis kelamin, gang dimana kita pernah tinggal dan tumbuh besar.

We seek out environments that reinforce our personal choices.

Kita mencari lingkungan yang membentuk pilihan-pilihan pribadi kita.

Sometimes, though, just the question "what do you do?"

Namun terkadang, pertanyaan sepele semacam, "Apa profesi anda?"

can feel like somebody's opening a tiny little box

dapat membuat orang merasa seperti mereka dijejalkan

and asking you to squeeze yourself inside of it.

ke dalam kotak yang sangat kecil.

Because the categories, I've found, are too limiting.

Karena menurut saya, pengelompokan tersebut sangatlah membatasi kita.

The boxes are too narrow.

Kotak-kotak tersebut sangatlah sempit.

And this can get really dangerous.

Dan ini bisa menjadi sesuatu yang sangat berbahaya.

So here's a disclaimer about me, though,

Maka, sebelum kita melibatkan diri terlalu dalam,

before we get too deep into this.

saya ingin membagikan secuplik mengenai diri saya.

I grew up in a very sheltered environment.

Saya tumbuh di tengah lingkungan yang cukup terlindung.

I was raised in downtown Manhattan in the early 1980s,

Saya dibesarkan di pusat kota Manhattan di tengah tahun 1980-an,

two blocks from the epicenter of punk music.

yang berjarak hanya dua gang dari pusat musik punk.

I was shielded from the pains of bigotry

Saya terlindungi dari kefanatikan

and the social restrictions of a religiously-based upbringing.

dan batasan ketat masyarakat mengenai pendidikan berdasarkan agama.

Where I come from, if you weren't a drag queen or a radical thinker

Di tempat asal saya, kalau anda bukan seorang waria atau pemikir radikal

or a performance artist of some kind,

atau artis dan semacamnya,

you were the weirdo.

andalah yang dicap sebagai orang aneh.

(Laughter)

(Tawa)

It was an unorthodox upbringing,

Hal tersebut merupakan pendidikan yang tidak lazim,

but as a kid on the streets of New York,

tapi sebagai seorang anak yang tumbuh di jalanan New York,

you learn how to trust your own instincts,

anda belajar untuk mempercayai insting anda sendiri.

you learn how to go with your own ideas.

Anda belajar untuk mengandalkan ide-ide anda sendiri.

So when I was six, I decided that I wanted to be a boy.

Karenanya, saat saya berumur 6 tahun, saya memutuskan untuk menjadi anak laki-laki.

I went to school one day and the kids wouldn't let me play basketball with them.

Suatu hari saya berangkat sekolah dan anak-anak lain tidak membiarkan saya untuk bermain basket bersama.

They said they wouldn't let girls play.

Mereka bilang anak perempuan tidak boleh ikut bermain.

So I went home, and I shaved my head,

Jadi saya kembali ke rumah dan memangkas rambut saya.

and I came back the next day and I said, "I'm a boy."

Keesokan harinya saya kembali dan saya berkata, "Saya anak laki-laki."

I mean, who knows, right?

Siapa yang tahu, ya kan?

When you're six, maybe you can do that.

Mungkin anda bisa saja melakukan hal-hal serupa saat anda berumur 6 tahun.

I didn't want anyone to know that I was a girl, and they didn't.

Saya tidak mau ada satu orang pun yang tahu bahwa saya seorang perempuan, dan tidak ada yang tahu.

I kept up the charade for eight years.

Saya melanjutkan sandiwara ini selama delapan tahun ke depan.

So this is me when I was 11.

Dan inilah saya di umur 11 tahun.

I was playing a kid named Walter

Saya memerankan anak kecil bernama Walter

in a movie called "Julian Po."

di sebuah film berjudul "Julian Po."

I was a little street tough that followed Christian Slater around and badgered him.

Saya berperan sebagai seorang anak jalanan yang terus mengikuti Christian Slater dan menggodanya.

See, I was also a child actor,

Anda lihat, saya juga seorang aktor cilik.

which doubled up the layers of the performance of my identity,

Dan ini membuat saya semakin bersandiwara untuk menutupi identitas saya

because no one knew that I was actually a girl really playing a boy.

karena tidak ada seorang pun yang tahu bahwa saya sebenarnya anak perempuan yang berakting sebagai anak laki-laki.

In fact, no one in my life knew that I was a girl --

Malah, waktu itu tidak ada seorang pun dalam hidup saya yang tahu bahwa saya sebenarnya anak perempuan --

not my teachers at school, not my friends,

para guru di sekolah, teman-teman saya,

not the directors that I worked with.

dan para sutradara yang bekerja dengan saya waktu itu juga tidak tahu.

Kids would often come up to me in class

Anak-anak lain akan mengunjungi saya di kelas saya

and grab me by the throat to check for an Adam's apple

dan memeriksa tenggorokan saya untuk mencari jakun saya,

or grab my crotch to check what I was working with.

atau memegang selangkangan saya untuk mengecek aktivitas yang sedang berlaku.

When I would go to the bathroom, I would turn my shoes around in the stalls

Saat saya pergi ke kamar kecil, saya akan memutar balik sepatu saya saat di toilet

so that it looked like I was peeing standing up.

supaya saya terlihat seperti sedang berdiri selagi buang air kecil.

At sleepovers I would have panic attacks

Saat menginap di rumah teman, saya akan berusaha meyakinkan anak-anak perempuan

trying to break it to girls that they didn't want to kiss me

di tengah kepanikan, agar mereka tidak mencium saya

without outing myself.

tanpa mengungkapkan identitas saya yang sebenarnya.

It's worth mentioning though

Tapi perlu dicatat bahwa

that I didn't hate my body or my genitalia.

saya tidak membenci tubuh saya ataupun alat kelamin saya.

I didn't feel like I was in the wrong body.

Saya tidak merasa seperti terperangkap di dalam tubuh yang salah.

I felt like I was performing this elaborate act.

Saya merasa seperti sedang mementaskan sesuatu yang rumit.

I wouldn't have qualified as transgender.

Saya tidak memenuhi syarat sebagai seorang transgender.

If my family, though, had been the kind of people to believe in therapy,

Namun apabila keluarga saya mempercayai terapi,

they probably would have diagnosed me

mereka mungkin akan mendiagnosa saya

as something like gender dysmorphic

dengan kelainan gender atau semacamnya

and put me on hormones to stave off puberty.

dan menyuntikkan hormon-hormon untuk membantu saya melewati pubertas.

But in my particular case,

I just woke up one day when I was 14,

Tapi dalam kasus saya,

tiba-tiba saja saya terbangun dan memutuskan untuk kembali menjadi anak perempuan

and I decided that I wanted to be a girl again.

saat saya berusia 14 tahun.

Puberty had hit, and I had no idea what being a girl meant,

Saya mengalami pubertas dan saya sama sekali tidak tahu apapun mengenai cara menjadi seorang anak perempuan.

and I was ready to figure out who I actually was.

Tapi saya siap untuk mencari jati diri saya yang sebenarnya.

When a kid behaves like I did,

Saat seorang anak bertingkah seperti saya,

they don't exactly have to come out, right?

mereka tidak perlu menyibakkan identitas aslinya, ya 'kan?

No one is exactly shocked.

Tidak ada seorang pun yang terkejut.

(Laughter)

(Tawa)

But I wasn't asked to define myself by my parents.

Tapi orang tua saya tidak meminta saya untuk mendefinisikan diri saya sendiri.

When I was 15, and I called my father

Saat saya berumur 15, saya menelepon ayah saya

to tell him that I had fallen in love,

untuk memberitahu beliau bahwa saya sedang jatuh cinta.

it was the last thing on either of our minds

Kami berdua sama sekali tidak memikirkan

to discuss what the consequences were

apa konsekuensi dari fakta

of the fact that my first love was a girl.

bahwa cinta pertama saya adalah seorang perempuan.

Three years later, when I fell in love with a man,

Pun tiga tahun kemudian, ketika saya jatuh cinta dengan seorang lelaki,

neither of my parents batted an eyelash either.

kedua orang tua saya tidak ada yang kaget.

See, it's one of the great blessings of my very unorthodox childhood

Anda lihat, inilah salah satu berkat yang saya dapatkan dari masa kecil saya yang tidak lazim,

that I wasn't ever asked to define myself

dimana saya tidak pernah diminta untuk mendefinisikan diri saya

as any one thing at any point.

sebagai apapun juga.

I was just allowed to be me, growing and changing in every moment.

Saya dibiarkan untuk hanya menjadi diri saya sendiri, bertumbuh dan berubah setiap saat.

So four, almost five years ago,

Jadi empat tahun yang lalu -- hampir lima,

Proposition 8, the great marriage equality debate,

Proposition 8, debat heboh mengenai persamaan pernikahan

was raising a lot of dust around this country.

telah menimbulkan banyak kontroversi di seantero negeri ini.

And at the time, getting married wasn't really something

Dan waktu itu, menikah bukanlah sesuatu

I spent a lot of time thinking about.

yang sering saya pikirkan.

But I was struck by the fact that America,

Tapi saya terganggu dengan fakta bahwa Amerika,

a country with such a tarnished civil rights record,

negara dengan sejarah mengenai hak-hak sipil yang telah ternoda,

could be repeating its mistakes so blatantly.

masih saja mengulangi kesalahan yang sama secara terang-terangan.

And I remember watching the discussion on television

Dan saya ingat pernah menonton sebuah diskusi di TV

and thinking how interesting it was

yang saya pikir sangatlah menarik, karena mereka membahas mengenai

that the separation of church and state

pemisahan antara gereja dan pemerintahan

was essentially drawing geographical boundaries throughout this country,

telah membuat batas secara geografis di negeri ini,

between places where people believed in it

antara tempat-tempat dimana penduduknya beragama

and places where people didn't.

dan tempat-tempat dimana penduduknya tidak beragama.

And then, that this discussion was drawing geographical boundaries around me.

Dan saya menyadari bahwa diskusi ini telah membuat batas-batas geografis di sekitar saya.

If this was a war with two disparate sides,

Apabila ini merupakan perang antara dua sisi yang berbeda,

I, by default, fell on team gay,

maka saya, secara otomatis, akan masuk ke dalam kelompok gay,

because I certainly wasn't 100 percent straight.

karena saya sudah pasti tidak 100 persen heteroseksual.

At the time I was just beginning to emerge

Dan saat saya baru saja mendapatkan jati diri saya

from this eight-year personal identity crisis zigzag

setelah mengalami krisis identitas selama delapan tahun

that saw me go from being a boy

dimana saya memulai sebagai seorang anak laki-laki

to being this awkward girl that looked like a boy in girl's clothes

dan kemudian menjadi anak gadis yang kikuk dan terlihat seperti anak laki-laki mengenakan pakaian anak perempuan,

to the opposite extreme of this super skimpy,

sampai kepada titik ekstrim lain dimana saya jadi wanita feminin yang suka pakai baju mini,

over-compensating, boy-chasing girly-girl

yang tergila-gila dan mengejar-ngejar pria dan bersedia memberikan apapun untuk pria itu,

to finally just a hesitant exploration of what I actually was,

dan akhirnya sampai pada pencarian penuh keraguan mengenai jati diri saya yang sebenarnya,

a tomboyish girl

yakni seorang wanita tomboy,

who liked both boys and girls depending on the person.

yang menyukai baik pria maupun wanita, tergantung pada orang tersebut.

I had spent a year photographing this new generation of girls, much like myself,

Saya menghabiskan satu tahun mengabadikan citra diri para wanita dari generasi baru ini,

who fell kind of between-the-lines --

para wanita seperti saya yang berada di garis abu-abu,

girls who skateboarded but did it in lacy underwear,

mereka yang bermain skateboard sambil mengenakan pakaian dalam berenda,

girls who had boys' haircuts but wore girly nail polish,

mereka yang memiliki potongan rambut seperti pria tapi mengenakan kuteks yang sangat feminin,

girls who had eyeshadow to match their scraped knees,

menggunakan eyeshadow yang sewarna dengan lutut mereka yang terluka,

girls who liked girls and boys who all liked boys and girls

mereka yang menyukai wanita dan pria yang juga menyukai kedua gender

who all hated being boxed in to anything.

yang benci dikotak-kotakkan ke dalam salah satu kategori apapun.

I loved these people, and I admired their freedom,

Saya menyukai orang-orang ini, dan saya mengagumi kebebasan mereka,

but I watched as the world outside of our utopian bubble

tapi saya mengamati mereka sementara dunia di luar dunia idealis kami

exploded into these raging debates

meledakkan diri menjadi perdebatan seru

where pundits started likening our love to bestiality on national television.

dimana para cendekiawan mulai menyamakan cinta yang kami punyai dengan perilaku seksual yang melibatkan hewan dalam siaran TV nasional.

And this powerful awareness rolled in over me

Dan ini membuat mata saya terbuka lebar:

that I was a minority, and in my own home country,

saya adalah kaum minoritas di negeri saya sendiri,

based on one facet of my character.

hanya berdasarkan salah satu segi karakter saya.

I was legally and indisputably a second-class citizen.

Secara legal dan tanpa keraguan, saya merupakan penduduk kelas dua.

I was not an activist.

Saya bukanlah seorang aktivis.

I wave no flags in my own life.

Saya tidak mengibarkan bendera apapun di dalam hidup saya.

But I was plagued by this question:

Namun pertanyaan berikut ini selalu mengganggu saya:

How could anyone vote to strip the rights

Bagaimana mungkin ada orang yang bisa memilih untuk mengambil hak

of the vast variety of people that I knew

dari banyak orang yang saya kenal

based on one element of their character?

hanya berdasarkan salah satu elemen dari karakter mereka?

How could they say that we as a group

Bagaimana mungkin mereka dapat berkata bahwa kami sebagai satu kelompok orang-orang yang sama

were not deserving of equal rights as somebody else?

tidak layak mendapat hak yang sama dengan orang-orang lain?

Were we even a group? What group?

Apakah kami bahkan sebuah kelompok? Kelompok apa?

And had these people ever even consciously met a victim of their discrimination?

Dan pernahkah orang-orang tersebut bahkan bertemu empat mata dengan korban diskriminasi mereka?

Did they know who they were voting against and what the impact was?

Apakah mereka tahu pilihan mereka merupakan perlawanan terhadap siapa? Dan apa akibatnya?

And then it occurred to me,

Dan kemudian saya terpikir

perhaps if they could look into the eyes

bahwa mungkin apabila mereka dapat menatap mata

of the people that they were casting into second-class citizenship

orang-orang yang mereka kelompokkan ke dalam kelas dua

it might make it harder for them to do.

mereka akan berpikir ulang.

It might give them pause.

Mungkin mereka akan terdiam sejenak.

Obviously I couldn't get 20 million people to the same dinner party,

Tentu saja tidak mungkin saya bisa mengundang 20 juta orang ke acara makan malam yang sama,

so I figured out a way where I could introduce them to each other photographically

maka saya mencari cara untuk memperkenalkan mereka satu sama lain melalui pencitraan

without any artifice, without any lighting,

tanpa manipulasi, tanpa pencahayaan,

or without any manipulation of any kind on my part.

tanpa efek apapun dari pihak saya sendiri.

Because in a photograph you can examine a lion's whiskers

Karena melalui foto anda dapat mengamati kumis seekor singa

without the fear of him ripping your face off.

tanpa harus takut ia akan melukai wajah Anda.

For me, photography is not just about exposing film,

Bagi saya, fotografi bukan sekedar mengekspos film tersebut,

it's about exposing the viewer

tapi juga mengekspos orang-orang yang melihat

to something new, a place they haven't gone before,

ke hal-hal baru, tempat-tempat yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya,

but most importantly, to people that they might be afraid of.

dan yang paling penting, ke orang-orang yang mungkin mereka takuti.

Life magazine introduced generations of people

Majalah Life memperkenalkan kepada banyak generasi,

to distant, far-off cultures they never knew existed through pictures.

tentang kebudayaan-kebudayaan yang jauh serta asing, yang tak pernah mereka ketahui keberadaannya lewat gambar-gambar.

So I decided to make a series of very simple portraits,

Jadi, saya memutuskan untuk membuat beberapa seri potret-potret yang sederhana,

mugshots if you will.

semacam foto mugshots (foto wajah seseorang yang ditangkap untuk data kepolisian), lah.

And I basically decided to photograph anyone in this country

dan saya memutuskan untuk memotret siapapun di negeri ini

that was not 100 percent straight,

yang tidak 100% heteroseksual,

which, if you don't know, is a limitless number of people.

yang, bila Anda tidak tahu, ternyata merupakan angka yang tidak ada batasnya.

(Laughter)

(Tawa)

So this was a very large undertaking,

Jadi, ini sungguh proyek besar,

and to do it we needed some help.

dan untuk melakukannya kita membutuhkan bantuan.

So I ran out in the freezing cold,

Jadi, saya berlari-lari di dalam dingin yang membekukan,

and I photographed every single person that I knew that I could get to

dan I memotret sebanyak mungkin orang yang saya bisa,

in February of about two years ago.

di bulan Februari 2 tahun yang lalu.

And I took those photographs, and I went to the HRC and I asked them for some help.

Foto-foto ini lalu saya bawa ke HRC (Human Rights Campaign), dan saya meminta bantuan dari mereka.

And they funded two weeks of shooting in New York.

Mereka lalu membiayai pemotretan saya selama 2 minggu di New York.

And then we made this.

Lantas kami membuat ini.

(Music)

(Musik)

Video: I'm iO Tillett Wright, and I'm an artist born and raised in New York City.

Video: Saya iO Tillet Wright, dan saya adalah seorang seniman yang dilahirkan dan dibesarkan di New York.

(Music)

(Musik)

Self Evident Truths is a photographic record of LGBTQ America today.

Sefl Evident Truths adalah sebuah rekaman fotografis dari LGBTQ di Amerika hari ini.

My aim is to take a simple portrait

Tujuan saya adalah memotret siapapun

of anyone who's anything other than 100 percent straight

yang tidak 100% heteroseksual

or feels like they fall in the LGBTQ spectrum in any way.

atau yang merasa bahwa mereka ada di suatu spektrum LGBTQ.

My goal is to show the humanity that exists in every one of us

Lewat kesederhanaan sebuah wajah, saya ingin menunjukkan bahwa

through the simplicity of a face.

kemanusiaan ada di dalam diri masing-masing kita.

(Music)

(Musik)

"We hold these truths to be self-evident that all men are created equal."

"Kami meyakini kebenaran-kebenaran ini mutlak benar, bahwa semua manusia diciptakan setara."

It's written in the Declaration of Independence.

Kalimat itu tertulis di Deklarasi Kemerdekaan.

We are failing as a nation

Sebagai bangsa, kita sedang mengalami kegagalan

to uphold the morals upon which we were founded.

dalam mempertahankan moral-moral yang atasnya negara kita dibangun.

There is no equality in the United States.

Tidak ada kesetaraan di Amerika Serikat.

["What does equality mean to you?"]

["Apakah arti kesetaraan bagimu?"]

["Marriage"] ["Freedom"] ["Civil rights"]

["Pernikahan"] ["Kebebasan"] ["Hak-hak sipil"]

["Treat every person as you'd treat yourself"]

["Perlakukan sesamu seperti kau memperlakukan dirimu sendiri"]

It's when you don't have to think about it, simple as that.

Sama seperti saat kita tak perlu memikirkan hal tersebut. Sesederhana itu.

The fight for equal rights is not just about gay marriage.

Perjuangan bagi kesetaraan hak-hak itu bukan hanya tentang pernikahan sesama jenis.

Today in 29 states, more than half of this country,

Hari ini, di 29 negara bagian, lebih dari setengah negara ini,

you can legally be fired just for your sexuality.

Anda bisa dipecat karena seksualitas Anda.

["Who is responsible for equality?"]

["Siapakah yang bertanggungjawab atas kesetaraan?"]

I've heard hundreds of people give the same answer:

Saya mendengar beratus-ratus orang memberikan jawaban yang sama:

"We are all responsible for equality."

"Kita semua bertanggungjawab atas kesetaraan."

So far we've shot 300 faces in New York City.

Sejauh ini kami telah memotret 300 wajah di kota New York.

And we wouldn't have been able to do any of it

dan, tak satupun dapat kami lakukan

without the generous support of the Human Rights Campaign.

tanpa dukungan murah hati dari Human Rights Campaign.

I want to take the project across the country.

Saya ingin membawa proyek ini ke seluruh negeri.

I want to visit 25 American cities, and I want to shoot 4,000 or 5,000 people.

Saya ingin mengunjungi 25 kota-kota di Amerika, dan saya ingin memotret 4000 atau 5000 orang.

This is my contribution to the civil rights fight of my generation.

Ini adalah kontribusi saya atas perjuangan hak-hak sipil dari generasi saya.

I challenge you to look into the faces of these people

Saya tantang Anda untuk melihat wajah-wajah orang-orang ini,

and tell them that they deserve less than any other human being.

dan katakan pada mereka bahwa mereka tidak layak mendapatkan yang selayaknya mereka dapatkan sebagai manusia.

(Music)

(Musik)

["Self evident truths"]

["Kebenaran yang mutlak"]

["4,000 faces across America"]

["4000 wajah seantero Amerika"]

(Music)

(Musik)

(Applause)

(Tepuk tangan)

iO Tillett Wright: Absolutely nothing could have prepared us for what happened after that.

iO Tillet Wright: Kami sama sekali tidak siap akan apa yang berikutnya terjadi.

Almost 85,000 people watched that video,

Sekitar 85.000 orang menyaksikan video tersebut,

and then they started emailing us from all over the country,

lantas mereka mulai mengirimi kami email dari segala penjuru negeri,

asking us to come to their towns and help them to show their faces.

meminta kami untuk datang ke kota-kota mereka dan menolong mereka untuk menunjukkan wajah mereka.

And a lot more people wanted to show their faces than I had anticipated.

Dan lalu ada lebih banyak lagi yang ingin melakukan hal yang sama, lebih banyak dari yang saya duga.

So I changed my immediate goal to 10,000 faces.

Jadi, saya mengubah gol saya menjadi 10.000 wajah.

That video was made in the spring of 2011,

Video tersebut dibuat di musim semi tahun 2011,

and as of today I have traveled to almost 20 cities

dan hari ini, saya telah mengunjungi hampir 20 kota

and photographed almost 2,000 people.

dan memotret hampir 2000 orang.

I know that this is a talk,

Saya paham bahwa hari ini kita mau berdiskusi,

but I'd like to have a minute of just quiet

tetapi saya ingin menyediakan 1 menit untuk berdiam

and have you just look at these faces

dan meminta Anda untuk melihat wajah-wajah ini

because there is nothing that I can say that will add to them.

karena tak ada satu hal pun yang bisa saya tambahkan untuk mereka.

Because if a picture is worth a thousand words,

Sebab, jika sebuah gambar berarti ribuan kata,

then a picture of a face needs a whole new vocabulary.

maka sebuah gambar wajah memerlukan kosakata yang sama sekali baru.

So after traveling and talking to people

Jadi, setelah berkeliling dan berbicara dengan orang-orang

in places like Oklahoma or small-town Texas,

di tempat-tempat seperti Oklahoma atau kota kecil Texas

we found evidence that the initial premise was dead on.

kami menemukan bahwa premis awal itu benar.

Visibility really is key.

Kejelasan adalah kunci.

Familiarity really is the gateway drug to empathy.

Keakraban sesungguhnya adalah gerbang menuju empati.

Once an issue pops up in your own backyard or amongst your own family,

Begitu sebuah isu hadir di halaman rumah sendiri atau diantara keluarga Anda,

you're far more likely to explore sympathy for it

lebih mudah bagi Anda untuk bersimpati

or explore a new perspective on it.

atau untuk melihat hal tersebut dengan perspektif baru.

Of course, in my travels I met people

Tentu saja, di dalam perjalanan saya, saya bertemu dengan orang-orang

who legally divorced their children for being other than straight,

yang memutuskan hubungan dengan anak-anaknya sendiri karena anak-anak tersebut bukan heteroseksual,

but I also met people who were Southern Baptists

tapi saya juga bertemu dengan orang-orang dari gereja Baptis di selatan

who switched churches because their child was a lesbian.

yang pindah gereja karena anak mereka adalah lesbian.

Sparking empathy had become the backbone of Self Evident Truths.

Menyalakan empati telah menjadi tulang penyangga proyek Self Evident Truths.

But here's what I was starting to learn that was really interesting:

Saya lalu menemukan satu hal yang amat menarik:

Self Evident Truths doesn't erase the differences between us.

Self Evident Truths tidak menghapus perbedaan-perbedaan diantara kita.

In fact, on the contrary, it highlights them.

Malah, sebaliknya, perbedaan-perbedaan yang ada semakin benderang.

It presents, not just the complexities

Proyek ini menyajikan, bukan hanya kompleksitas

found in a procession of different human beings,

yang ada pada sekelompok manusia yang berbeda

but the complexities found within each individual person.

tetapi juga di masing-masing individu.

It wasn't that we had too many boxes, it was that we had too few.

Salah kalau bilang kita punya terlalu banyak kotak. Kita justru punya terlalu sedikit.

At some point I realized that my mission to photograph "gays" was inherently flawed,

Pda satu titik, saya menyadari bahwa misi saya untuk memotret "gay" salah,

because there were a million different shades of gay.

karena ada sejuta corak berbeda dari gay.

Here I was trying to help,

Disinilah saya mencoba menolong,

and I had perpetuated the very thing I had spent my life trying to avoid --

dan saya telah mengabadikan satu hal yang sudah saya coba hindari seumur hidup --

yet another box.

kotak yang lain lagi.

At some point I added a question to the release form

Pada suatu titik, saya menambahkan sebuah pertanyaan ke formulir persetujuan

that asked people to quantify themselves

yang menanyakan orang-orang untuk menilai diri mereka sendiri dengan angka

on a scale of one to 100 percent gay.

dari skali 1 sampai 100 persen gay.

And I watched so many existential crises unfold in front of me.

Dan saya menyaksikan begitu banyak krisis-krisis eksistensi di depan saya.

(Laughter)

(Tawa)

People didn't know what to do

Orang-orang tidak tahu apa yang harus dilakukan

because they had never been presented with the option before.

karena mereka tidak pernah diberikan pilihan begitu sebelumnya.

Can you quantify your openness?

Bisakah Anda memberi nilai dalam bentuk angka untuk keterbukaan Anda?

Once they got over the shock, though,

Akan tetapi, begitu mereka berhasil mengatasi syok mereka,

by and large people opted for somewhere between 70 to 95 percent

orang-orang memilih antara 70 sampai 95 persen

or the 3 to 20 percent marks.

atau 3 sampai 20 persen.

Of course, there were lots of people who opted for a 100 percent one or the other,

Tentu saja ada yang memilih 100 persen entah di titik sini atau sana,

but I found that a much larger proportion of people

tetapi saya menemukan bahwa lebih banyak orang yang

identified as something that was much more nuanced.

mengidentifikasi diri mereka secara lebih berwarna.

I found that most people fall on a spectrum of what I have come to refer to as "Grey."

Temuan saya: banyak orang yang masuk ke spektrum yang lalu saya sebut "Abu-abu."

Let me be clear though -- and this is very important --

Tapi, biarkan saya menjelaskan -- dan ini sangatlah penting --

in no way am I saying that preference doesn't exist.

tidak berarti saya mengatakan kalau preferensi tidak ada.

And I am not even going to address the issue of choice versus biological imperative,

Dan saya juga tidak akan mulai mempertentangkan pilihan dengan bawaan biologis,

because if any of you happen to be of the belief

karena kalau ada dari Anda yang percaya

that sexual orientation is a choice,

kalau orientasi seksual adalah pilihan,

I invite you to go out and try to be grey.

saya undang Anda untuk mencoba jadi abu-abu.

I'll take your picture just for trying.

Saya foto Anda, deh, untuk coba-coba saja.

(Laughter)

(Tawa)

What I am saying though is that human beings are not one-dimensional.

Yang saya maksudkan adalah ini: manusia tidaklah hanya terdiri dari satu dimensi saja.

The most important thing to take from the percentage system is this:

Hal yang paling penting yang bisa diambil dari sistem persentasi adalah ini:

If you have gay people over here

Kalau Anda punya orang-orang gay di sebelah sini

and you have straight people over here,

dan heteroseksual di sebelah sini,

and while we recognize that most people identify

dan sambil Anda menyadari bahwa sebagian besar orang mengidentifikasi diri

as somewhere closer to one binary or another,

sebagai yang lebih dekat ke satu titik ekstrim atau titik ekstrim lainnya,

there is this vast spectrum of people that exist in between.

ada sekian banyak orang yang berada di spektrum luas diantar kedua titik tersebut.

And the reality that this presents is a complicated one.

Dan kenyataan yang disajikan kemudian adalah kenyataan yang rumit.

Because, for example, if you pass a law

Karena, sebagai contoh, kalau Anda meluluskan sebuah hukum

that allows a boss to fire an employee for homosexual behavior,

yang mengijinkan seorang majikan untuk memecat pekerjanya karena tingkah laku homoseksual,

where exactly do you draw the line?

dimana tepatnya Anda akan menarik garis batas?

Is it over here, by the people who have had one or two heterosexual experiences so far?

Sebelah sini kah, tempat orang-orang yang pernah memiliki satu atau dua pengalaman yang bersifat heteroseksual?

Or is it over here

atau sebelah sini

by the people who have only had one or two homosexual experiences thus far?

dimana orang-orangnya pernah memiliki satu atau dua pengalaman yang bersifat homoseksual?

Where exactly does one become a second-class citizen?

Dimana tepatnya seseorang dikategorikan sebagai warga negara kelas 2?

Another interesting thing that I learned from my project and my travels

Satu hal menarik lainnya yang saya pelajari dari proyek dan perjalanan saya

is just what a poor binding agent sexual orientation is.

adalah bahwa sebagai faktor pengikat, orientasi seksual itu sesungguhnya lemah.

After traveling so much and meeting so many people,

Setelah begitu banyak melakukan perjalanan dan bertemu dengan banyak orang,

let me tell you, there are just as many jerks and sweethearts

saya beri tahu nih, bahwa ada jumlah orang brengsek dan orang baik ada sama banyaknya

and Democrats and Republicans and jocks and queens

orang yang memihak Demokrat maupun Republikan juga sama banyaknya, yang jantan dan waria juga sama banyaknya

and every other polarization you can possibly think of

dan segala polarisasi lain yang bisa Anda pikirkan

within the LGBT community

dalam komunitas LGBT

as there are within the human race.

seperti juga dalam ras manusia.

Aside from the fact that we play with one legal hand tied behind our backs,

Disamping fakta bahwa kita bisa dengan mudah bermain-main dengan hukum,

and once you get past the shared narrative of prejudice and struggle,

dan begitu Anda bisa melalui kampanye negatif syak-wasangka dan perjuangan,

just being other than straight

hanya karena Anda tidak heteroseksual

doesn't necessarily mean that we have anything in common.

tidak berarti kita punya kesamaan.

So in the endless proliferation of faces that Self Evident Truths is always becoming,

Jadi, di tengah-tengah perkembangan pesat proyek Self Evident Truths,

as it hopefully appears across more and more platforms,

sambil, mudah-mudahan, bisa muncul di lebih banyak lagi sarana,

bus shelters, billboards, Facebook pages, screen savers,

shelter bus, papan iklan, halaman-halaman Facebook, screen saver,

perhaps in watching this procession of humanity,

mungkin sambil menyaksikan kemanusiaan ini,

something interesting and useful will begin to happen.

timbullah sesuatu yang menarik dan berguna.

Hopefully these categories, these binaries,

Semoga kategori-kategori ini, titik-titik ekstrim ini,

these over-simplified boxes

kotak-kotak yang terlampau disederehanakan ini

will begin to become useless and they'll begin to fall away.

akan perlahan mulai menjadi usang dan hilang.

Because really, they describe nothing that we see

Karena sesungguhnya, mereka tidak bisa mendeskripsikan apa yang kita liat

and no one that we know and nothing that we are.

orang yang kita kenal, maupun diri sejati kita.

What we see are human beings in all their multiplicity.

Yang kita lihat adalah manusia dalam keberagamannya.

And seeing them makes it harder to deny their humanity.

Dan dengan melihat mereka, kita akan semakin sulit menyangkal kemanusiaan.

At the very least I hope it makes it harder to deny their human rights.

Paling tidak saya harap akan semakin sulit menyangkal hak-haknya.

So is it me particularly

Jadi, hanya kepada aku kah

that you would choose to deny the right to housing,

kamu akan menyangkal hak untuk memiliki rumah,

the right to adopt children, the right to marriage,

untuk mengadopsi anak, untuk menikah,

the freedom to shop here, live here, buy here?

untuk berbelanja di sini, hidup di sini, membeli di sini?

Am I the one that you choose to disown

Apakah aku yang kamu pilih untuk tak lagi kamu akui sebagai

as your child or your brother or your sister or your mother or your father,

anak atau kakak laki-laki atau perempuan, atau ibumu atau ayahmu,

your neighbor, your cousin, your uncle, the president,

tetanggamu, sepupumu, pamanmu, presidenmu,

your police woman or the fireman?

polwan atau petugas pemadam kebakaran?

It's too late.

Terlambat.

Because I already am all of those things.

Karena saya sudah jadi itu semua.

We already are all of those things, and we always have been.

Dan akan selalu begitu.

So please don't greet us as strangers,

Jadi, jangan sapa kami layaknya kami orang asing,

greet us as your fellow human beings, period.

sapa kami sebagai sesama manusia, titik.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)