Ali Carr-Chellman: Gaming to re-engage boys in learning

Translator: Usep Syaripudin Reviewer: Irma Amelia

Pada kesempatan ini saya akan menyajikan kepada anda

So I'm here to tell you that we have a problem with boys,

masalah yang berkaitan dengan siswa laki-laki

and it's a serious problem with boys.

dan ini merupakan masalah yang serius.

Kultur siswa laki-laki tidak berfungsi di sekolah.

Their culture isn't working in schools,

and I'm going to share with you ways

Dan saya akan berbagi dengan anda tentang

that we can think about overcoming that problem.

cara-cara yang mungkin dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut.

First, I want to start by saying, this is a boy,

Pertama-tama, saya akan menunjukkan bahwa, ini adalah anak laki-laki

and this is a girl,

dan ini adalah anak perempuan.

Dan mungkin ada semacam stereotipe

and this is probably stereotypically what you think of as a boy and a girl.

dalam pemahaman anda tentang siswa laki-laki dan perempuan.

If I essentialize gender for you today, then you can dismiss what I have to say.

Jika saya menekankan aspek gender pada anda saat ini,

maka mungkin anda akan mengabaikan apa yang akan saya sampaikan.

So I'm not going to do that, I'm not interested in doing that.

Saya tidak akan melakukannya; saya tidak tertarik dengan masalah gender.

Ini adalah jenis anak laki-laki dan perempuan yang berbeda.

This is a different kind of boy and a different kind of girl.

So the point here is that not all boys exist within these rigid boundaries

Intinya adalah tidak semua anak laki-laki

berada pada batasan kaku dalam pemahaman kita

tentang anak laki-laki dan anak perempuan.

of what we think of as boys and girls,

and not all girls exist within those rigid boundaries

Dan tidak semua anak perempuan berada pada batasan kaku

of what we think of as girls.

pemahaman kita tentang anak perempuan.

But, in fact, most boys tend to be a certain way,

Tapi, faktanya, kebanyakan anak laki-laki cenderung memiliki perilaku tertentu,

dan kebanyakan anak perempuan juga cenderung memiliki perilaku tertentu.

and most girls tend to be a certain way.

Intinya adalah, bagi anak laki-laki,

And the point is that, for boys,

the way that they exist and the culture that they embrace

cara mereka eksis dan kultur yang mereka miliki

isn't working well in schools now.

tidak berfungsi dengan baik di sekolah saat ini.

Bagaimana kita mengetahui hal itu?

How do we know that?

The 100 girls project tells us some really nice statistics.

Proyek 100 Anak Perempuan

menunjukan kepada kita statistik yang menarik.

For example, for every 100 girls that are suspended from school,

Misalnya: Untuk setiap 100 anak perempuan yang di-skors dari sekolah,

there are 250 boys that are suspended from school.

terdapat 250 anak laki-laki yang di-skors dari sekolah.

For every 100 girls who are expelled from school,

Untuk setiap 100 anak perempuan yang dikeluarkan dari sekolah,

there are 335 boys who are expelled from school.

ada 335 anak laki-laki yang dikeluarkan dari sekolah.

For every 100 girls in special education,

Untuk setiap 100 anak perempuan yang membutuhkan pendidikan khusus,

there are 217 boys.

ada 217 anak laki-laki dengan kebutuhan yang sama.

For every 100 girls with a learning disability,

Untuk setiap 100 anak perempuan yang memiliki kesulitan belajar,

ada 276 anak laki-laki.

there are 276 boys.

For every 100 girls with an emotional disturbance diagnosed,

Untuk setiap 100 anak perempuan

yang didiagnosa memiliki gangguan emosi,

terdapat 324 anak laki-laki didiagnosa dengan kelainan yang sama.

we have 324 boys.

And by the way, all of these numbers are significantly higher

Dan angka ini akan semakin tinggi,

di kalangan orang kulit hitam,

if you happen to be black,

if you happen to be poor,

pada masyarakat miskin,

if you happen to exist in an overcrowded school.

atau jika anda bersekolah di sekolah melebihi kapasitas.

And if you are a boy,

Jika anda anak laki-laki,

you're four times as likely to be diagnosed with ADHD --

maka anda memiliki kemungkinan empat kali lebih besar

didiagnosa memiliki ADHD --

Attention Deficit Hyperactivity Disorder.

kelainan hiperaktif karena kurangnya perhatian.

Now there is another side to this.

Terdapat sisi lain dari masalah ini.

And it is important that we recognize that women still need help in school,

Dan penting bagi kita untuk mengakui bahwa

perempuan masih membutuhkan bantuan di sekolah,

gaji guru masih terlalu rendah,

that salaries are still significantly lower,

bahkan meski untuk jenis pekerjaan yang terkontrol,

even when controlled for job types,

and that girls have continued to struggle in math and science for years.

dan anak perempuan masih harus terus belajar keras

dalam matematika dan sains selama bertahun-tahun.

That's all true.

Hal ini semuanya enar.

Nothing about that prevents us

Tak ada yang dapat mencegah kita

from paying attention to the literacy needs

untuk menaruh perhatian pada kebutuhan kemampuan membaca

of our boys between ages three and 13.

pada anak laki-laki berusia antara 3 hingga 13 tahun.

Dan karena itu kita harus menaruh perhatian pada hal tersebut.

And so we should.

In fact, what we ought to do is take a page from their playbook,

Faktanya, apa yang harus kita lakukan adalah mengambil satu bagian dari buku mainan mereka

because the initiatives and programs that have been set in place

sebab inisiatif dan program

yang dirancang untuk kaum perempuan

for women in science and engineering and mathematics are fantastic.

dalam bidang sains, engineering, dan matematika

sangat luar biasa.

They've done a lot of good for girls in these situations,

Banyak hal yang hebat telah dilakukan

untuk anak perempuan pada situasi tersebut.

and we ought to be thinking about how we can make that happen for boys too

Dan kita harus mulai berpikir tentang

bagaimana hal tersebut juga bisa berlaku bagi anak laki-laki

in their younger years.

ketika usia mereka masih muda.

Even in their older years,

Bahkan ketika usia mereka beranjak dewasa,

what we find is that there's still a problem.

masalah tersebut tetaplah muncul.

When we look at the universities,

Ketika kita melihat apa yang terjadi di Perguruan Tinggi,

60 percent of baccalaureate degrees are going to women now,

60% mahasiswa adalah perempuan,

which is a significant shift.

hal ini merupakan sebuah pergeseran yang signifikan.

And in fact, university administrators are a little uncomfortable about the idea

Dan faktanya, pengelola Perguruan Tinggi

merasa sedikit tidak nyaman dengan kondisi dimana

that we may be getting close to 70 percent female population in universities.

hampir 70% populasi kampus

adalah perempuan.

Hal ini membuat pengelola kampus merasa khawatir,

This makes university administrators very nervous,

because girls don't want to go to schools that don't have boys.

sebab mahasiswi tidak mau kuliah di kampus yang tak memiliki mahasiswa.

And so we're starting to see

Lalu, kita mulai melihat adanya

the establishment of men centers and men studies

pusat-pusat studi kaum laki-laki

yang bertujuan untuk menelaah bagaimana mengaktifkan mereka

to think about how do we engage men in their experiences in the university.

dalam pembelajaran di Perguruan Tinggi.

Jika anda bicara kepada dosen, mereka akan berkata,

If you talk to faculty, they may say, "Ugh. Yeah, well,

"Hm. Yah, anak laki-laki hanya suka bermain video games,

they're playing video games,

and they're gambling online all night long,

atau mereka berjudi online semalaman,

and they're playing World of Warcraft,

atau bermain World of Warcraft

and that's affecting their academic achievement."

Hal itulah yang mempengaruhi

prestasi akademik mereka."

Guess what?

Coba kenapa?

Video games are not the cause.

Video games bukanlah penyebab.

Video games are a symptom.

Video games hanyalah sebuah gejala.

They were turned off a long time before they got here.

Kondisi siswa lelaki sudah seperti itu

sebelum Video games hadir.

So let's talk about why they got turned off

Mari kita bahas tentang kenapa siswa laki-laki kurang antusias belajar

ketika mereka memasuki usia antara 3 hingga 13 tahun.

when they were between the ages of three and 13.

Terdapat tiga alasan yang saya yakini menjadi penyebab

There are three reasons that I believe

kenapa siswa laki-laki sulit untuk menyatu

that boys are out of sync with the culture of schools today.

dengan kultur sekolah saat ini.

Yang pertama adalah "nol toleransi"

The first is zero tolerance.

A kindergarten teacher I know, her son donated all of his toys to her,

Guru Taman Kanak-kanak yang saya kenal,

anak laki-lakinya menyerahkan semua mainanya ke dia,

and when he did, she had to go through and pull out all the little plastic guns.

dan ketika anaknya melakukan itu, maka dia harus mengumpulkan

mainan yang semuanya berupa senjata mainan dari plastik.

You can't have plastic knives and swords and axes

Anda tidak boleh menyediakan pisau, pedang, atau kampak

and all that kind of thing in a kindergarten classroom.

yang terbuat dari plastik, dan segala jenis mainan seperti itu

di lingkungan sekolah Taman Kanak-kanak.

What is it that we're afraid that this young man is going to do with this gun?

Apa sih yang kita khawatirkan akan dilakukan anak laki-laki dengan mainan seperti itu?

I mean, really.

Benar sekali adanya.

But here he stands as testament

Anak laki-laki merasakan adanya fakta bahwa

to the fact that you can't roughhouse on the playground today.

dia tidak boleh main perang-perangan di halaman bermain.

Now I'm not advocating for bullies.

Saya tidak bermaksud mendukung kekerasan.

I'm not suggesting that we need to be allowing guns and knives in the school.

Saya tidak menyarankan agar kita membolehkan pisau dan senjata

masuk ke lingkungan sekolah.

But when we say that an Eagle Scout in a high school classroom

Namun, ketika saya mengatakan bahwa

seorang anak Pramuka pada sebuah SMA

yang mobilnya di parkir terkunci dan

who has a locked parked car in the parking lot and a penknife in it,

terdapat pisau lipat didalamnya

has to be suspended from school,

harus kemudian di-skor dari sekolah,

I think we may have gone a little too far with zero tolerance.

Saya pikir, "nol toleransi' yang kita terapkan sudah terlalu jauh.

Another way that zero tolerance lives itself out

Cara lain dimana "nol toleransi" terlalu berpengaruh dalam dalam hal tulisan siswa laki-laki.

is in the writing of boys.

Pada kebanyakan kelas saat ini,

In a lot of classrooms today,

you're not allowed to write about anything that's violent.

anak tidak diperbolehkan menulis dengan topik kekerasan.

Anak tidak diperbolehkan menulis tentang segala hal

You're not allowed to write about anything that has to do with video games.

yang berkaitan dengan video games - topik-topik seperti ini dilarang.

These topics are banned.

Sepulang sekolah, di rumahnya, anak laki-laki biasa berkata,

Boy comes home from school, and he says,

"Saya benci pelajaran mengarang."

"I hate writing."

"Why do you hate writing, son? What's wrong with writing?"

"Kenapa kamu benci mengarang, nak? Apa yang salah dengan belajar mengarang?"

"Sebab aku harus menulis seperti apa yang guru perintahkan."

"Now I have to write what she tells me to write."

"OK, what is she telling you to write?"

"Baiklah, apa yang gurumu suruh untuk ditulis?"

"Poems. I have to write poems.

"Puisi. Aku harus nulis puisi.

And little moments in my life.

Dan momen-monen kecil dalam hidup aku.

I don't want to write that stuff."

Aku tidak suka menulis hal-hal seperti itu."

"Baiklah. Apa yang sebenarnya ingin kamu tulis? Tentang apa?

"Well, what do you want to write?

What do you want to write about?"

"Aku ingin menulis tentang Video games. Tentang bagaimana aku bisa melewati tiap level permainan.

"I want to write about video games. I want to write about leveling-up.

Aku ingin menulis tentang dunia yang paling menarik bagiku.

I want to write about this really interesting world.

Aku ingin menulis tentang Tornado yang menghempas rumah kami,

I want to write about a tornado that comes into our house

menghancurkan jendela, perabotan rumah, dan

and blows all the windows out,

membunuh semua orang."

and ruins all the furniture and kills everybody."

"Baiklah."

"All right. OK."

Ketika anda mengatakan hal seperti ini kepada guru,

You tell a teacher that, and they'll ask you, in all seriousness,

maka respon guru, dengan sangat serius, berkata,

"Should we send this child to the psychologist?"

"Apakah kita harus mengirim anak ini ke psikolog?"

And the answer is no, he's just a boy.

Jawabannya tentu saja tidak, dia hanyalah anak laki-laki.

He's just a little boy.

Dia anak laki-laki.

It's not OK to write these kinds of things in classrooms today.

Menulis topik-topik seperti itu sangat dilarang

di sekolah-sekolah saat ini.

Ya, itulah alasan pertama:

So that's the first reason:

Zero tolerance policies and the way they're lived out.

kebijakan "nol toleransi" dan bagaimana kita menerapkan kebijakan itu.

The next reason that boys' cultures are out of sync with school cultures:

Alasan kedua anak laki-laki sulit untuk menyatu dengan kultur sekolah adalah:

Sedikitnya jumlah guru laki-laki.

there are fewer male teachers.

Anybody who's over 15 doesn't know what this means,

Siapapun yang berusia diatas 15 tahun tidak mengetahui apa arti semua ini,

because in the last 10 years,

sebab pada 10 tahun terakhir,

the number of elementary school classroom teachers has been cut in half.

jumlah guru sekolah dasar menurun

hingga setengahnya.

We went from 14 percent to seven percent.

Menurun dari 14 persen

menjadi tujuh persen.

That means that 93 percent of the teachers

Artinya bahwa 93% guru yang mengajar

that our young men get in elementary classrooms are women.

anak laki-laki di Sekolah Dasar

adalah perempuan.

Now what's the problem with this?

Lalu apa masalahnya dengan semua ini?

Women are great, yep, absolutely.

Perempuan memang hebat. Betul sekali.

Tapi contoh dan figur bagi anak laki-laki

But male role models for boys that say it's all right to be smart --

juga harus cerdas --

memang ada ayah, guru agama,

they've got dads, they've got pastors, they've got Cub Scout leaders,

pembina Pramuka,

but ultimately, six hours a day, five days a week

dan yang paling utama, enam jam sehari, 5 hari seminggu,

they're spending in a classroom,

anak laki-laki menghabiskan waktunya di sekolah.

Dan pada kebanyakan sekolah

and most of those classrooms are not places where men exist.

jarang terdapat guru laki-laki.

And so they say, I guess this really isn't a place for boys.

Hingga, anak laki-laki bisa saja beranggapan sepertinya sekolah ini bukan untuk anak laki-laki.

Sekolah ini hanya untuk anak perempuan.

This is a place for girls.

Dan saya sangat tidak nyaman di kelas,

And I'm not very good at this,

so I guess I'd better go play video games

sepertinya lebih baik saya

bermain video games atau bermain olahraga, atau permainan laiinya

or get into sports, or something like that,

because I obviously don't belong here.

sebab jelas tempat saya bukan disini, di sekolah ini.

Men don't belong here, that's pretty obvious.

Laki-laki tak memiliki tempat disini, hal itu sangat jelas.

So that may be a very direct way that we see it happen.

Mungkin ini cara yang sangat blak-blakan

dalam melihat kondisi seperti itu.

Namun, jika dilihat secara tidak langsung,

But less directly, the lack of male presence in the culture --

kurangnya kehadiran guru laki-laki dalam kultur sekolah --

you've got a teachers' lounge, and they're having a conversation

misalnya di ruang guru,

guru-guru sedang membicarakan tentang

about Joey and Johnny who beat each other up on the playground.

Joey dan Johnny yang berkelahi di tempat bermain.

"Apa yang akan kita lakukan kepada kedua anak (laki-laki) ini?"

"What are we going to do with these boys?"

Jawaban atas pertanyaan tersebut akan berbeda-beda tergantung pada siapa yang ikut berdiskusi disitu.

The answer to that question changes

depending on who's sitting around that table.

Apakah ada guru laki-laki disitu?

Are there men around that table?

Apakah disitu ada ibu guru yang mempunyai anak laki-laki?

Are there moms who've raised boys around that table?

Anda akan melihat bahwa perbincangan tersebut berubah-ubah

You'll see, the conversation changes

depending upon who's sitting around the table.

tergantung pada siapa yang terlibat dalam perbincangan itu.

Third reason that boys are out of sync with school today:

Alasan ketiga kenapa anak laki-laki sulit menyatu dengan kultur sekolah saat ini adalah:

Kindergarten is the old second grade, folks.

Taman kanak-kanak merupakan pada dasarnya Kelas 2 model lama.

We have a serious compression of the curriculum happening out there.

Kita menerpakan kurikulum ketat pada sekolah tersebut.

When you're three, you better be able to write your name legibly,

Ketika anda berusia tiga tahun, anda seharusnya sudah bisa menuliskan nama sendiri dengan benar,

jika tidak, maka anda akan dianggap mengalami keterbelakangan perkembangan.

or else we'll consider it a developmental delay.

Ketika masuk kelas 1 SD,

By the time you're in first grade,

anda harus mampu membaca satu paragraf teks

you should be able to read paragraphs of text

baik yang bergambar atau tidak,

with maybe a picture, maybe not, in a book of maybe 25 to 30 pages.

pada sebuah buku dengan tebal 25 hingga 30 halaman.

If you don't,

Jika anda tidak mampu, maka sekolah akan menempatkan anda pada

we're probably going to be putting you into a Title I special reading program.

Title 1 program khusus membaca.

Dan jika anda bertanya pada guru yang mengajar di Title 1, mereka akan menjawab:

And if you ask Title I teachers, they'll tell you

terdapat empat atau lima banding satu antara siswa laki-laki dan siswa perempuan

they've got about four or five boys for every girl that's in their program,

pada program tersebut di Sekolah Dasar.

in the elementary grades.

Alasan kenapa hal ini menjadi masalah adalah bahwa

The reason that this is a problem

is because the message that boys are getting

pesan yang diterima oleh anak laki-laki adalah

is, "You need to do what the teacher asks you to do all the time."

"kamu harus melakukan apapun yang

guru kamu suruh lakukan, setiap saat."

The teacher's salary depends on "No Child Left Behind"

Gaji guru tergantung pada

Undang-undang No Child Left Behind dan Race to the Top

and "Race to the Top" and accountability and testing

serta pada akuntabilias dan ujian,

and all of this.

dan semua hal semacam itu.

So she has to figure out a way to get all these boys

Jadi, guru harus mencari cara bagaimana agar

semua anak laki-laki mampu mencapai kurikulum --

through this curriculum -- and girls.

dan anak perempuan juga.

Model kurikulum yang ditekankan seperti ini sangat buruk

This compressed curriculum is bad for all active kids.

bagi anak yang aktif.

And what happens is,

Dan yang terjadi adalah,

she says, "Please, sit down, be quiet, do what you're told,

guru berkata, "Duduk, diam, dengarkan apa yang saya katakan,

taati peraturan, perhatikan waktu belajar,

follow the rules, manage your time, focus, be a girl."

fokus, dan

bertingkahlah seperti seorang anak perempuan.

Itulah yang biasanya guru katakan ke siswa.

That's what she tells them.

Secara tidak langsung, itulah yang guru katakan ke siswa laki-laki.

Indirectly, that's what she tells them.

And so this is a very serious problem.

Ini merupakan masalah yang sangat serius. Dari mana masalah ini berasal?

Where is it coming from? It's coming from us.

Masalah ini berasal dari kita sendiri.

(Laughter)

(Tertawa)

We want our babies to read when they are six months old.

Kita ingin agar anak kita sudah bisa membaca sejak usia enam bulan.

Have you seen the ads?

Pernah lihat iklan seperti ini?

We want to live in Lake Wobegon where every child is above average ...

Kita ingin hidup seperti di Lake Wobegon,

dimana tiapa anak mampu memiliki kemampuan diatas rata-rata.

but what this does to our children is really not healthy.

Namun dampak dari semua itu terhadap anak kita sangat tidak baik.

Hal itu bukanlah sebuah perkembangan yang layak,

It's not developmentally appropriate,

and it's particularly bad for boys.

dan sangat tidak baik, khususnya pada anak laki-laki.

Lalu apa yang harus kita lakukan?

So what do we do?

Kita harus menemui mereka di tempat mereka berada.

We need to meet them where they are.

We need to put ourselves into boy culture.

Kita harus mampu masuk ke kultur anak laki-laki.

We need to change the mindset of acceptance in boys

Kita harus merubah midnset tentang

penerimaan anak laki-laki di Sekolah Dasar.

in elementary schools.

More specifically, we can do some very specific things.

Lebih spesifik lagi, kita dapat melakukan beberapa hal spesifik.

We can design better games.

Kita bisa mengembangkan permainan yang lebih baik.

Most of the educational games that are out there today

Kebanyakan games pendidikan yang ada saat ini

hanya berupa permainan kartu.

are really flashcards.

They're glorified drill and practice.

Permainan itu digunakan dan dipraktikan.

They don't have the depth, the rich narrative

Namun kartu permainan tersebut tak memiliki naratif yang kaya dan mendalam

that really engaging video games have,

seperti yang dimiliki video gamaes,

dimana anak laki-laki sangat menyukainya.

that the boys are really interested in.

Jadi, kita harus merancang games yang lebih baik.

So we need to design better games.

We need to talk to teachers and parents and school board members and politicians.

Kita harus berbicara dengan guru dan orang tua

anggota dewan sekolah, serta politisi.

We need to make sure that people see that we need more men in the classroom.

Kita harus menyadarkan orang bahwa kita butuh lebih banyak guru laki-laki.

Kita harus menelaah kembali kebijakan "zero tolerance".

We need to look carefully at our zero tolerance policies.

Apakah kebijakan tersebut masuk akal?

Do they make sense?

Kita harus merenungkan bagaimana

We need to think about how to uncompress this curriculum if we can,

meringankan beban kurikulum jika kita mampu,

trying to bring boys back into a space that is comfortable for them.

mencoba menempatkan kembali anak laki-laki

pada ruang yang nyaman bagi mereka.

All of those conversations need to be happening.

Semua perbincangan tentang hal tersebut harus terjadi.

There are some great examples out there of schools --

Terdapat banyak contoh hebat tentang sekolah yang berhasil mengakomodasi

kultur siswa laki-laki di luar sana --

the New York Times just talked about a school recently.

New York Times baru saja membahas tentang sebuah sekolah seperti itu.

A game designer from the New School

Seorang perancang permainan dari the New School

put together a wonderful video gaming school.

mampu merancang video games yang sangat bagus bagi siswa di sekolah.

But it only treats a few kids, and so this isn't very scalable.

Namun permainan itu hanya mampu menjangkau sedikit siswa.

Permainan tersebut sulit untuk dikembangkan lebih luas lagi.

We have to change the culture and the feelings

KIta harus merubah kultur dan perasaan

that politicians and school board members and parents have

para politisi, anggota dewan sekolah, dan orang tua,

berkaitan dengan cara kita menerima dan apa yang kita terima

about the way we accept and what we accept in our schools today.

dari sekolah saat ini.

We need to find more money for game design.

Kita harus menyediakan lebih banyak dana untuk merancang permainan.

Because good games, really good games, cost money,

Sebab, permainan yang bagus, yang sangat bagus, membutuhkan biaya,

dan permaian World of Warcraft membutuhkan pendanaan tersendiri.

and World of Warcraft has quite a budget.

Kebanyakan games pendidikan saat ini tak memiliki pendanaan.

Most of the educational games do not.

Darimana kita harus mulai:

Where we started:

my colleagues Mike Petner, Shawn Vashaw, myself,

kolega saya -- Mike Petner, Shawn Vashaw, dan saya sendiri --

we started by trying to look at the teachers' attitudes

kami memulainya dengan mencoba menelaah sikap guru

and find out how do they really feel about gaming,

dan mencari tahu bagaimana sikap mereka tentang permainan,

apa pendapat mereka tentang itu.

what do they say about it.

And we discovered that they talk about the kids in their school,

Dan kami menemukan bahwa

mereka berbicara tentang siswa mereka di sekolah,

yang suka berdiskusi tentang games,

who talk about gaming, in pretty demeaning ways.

dan menganggap siswa mereka itu rendah, meremehkannya.

They say, "Oh, yeah. They're always talking about that stuff.

Guru-guru berkata, "Oh iya, siswa-siswa itu selalu membicarakan games.

Mereka membicarakan tokoh jagoan mereka

They're talking about their little action figures

pencapaian dan gelar mereka dalam permainan,

and their little achievements or merit badges,

or whatever it is that they get.

atau apapun yang mereka mampu raih dari permainan itu.

And they're always talking about this stuff."

Mereka selalu membicarakan hal itu."

And they say these things as if it's OK.

Guru-guru berkata seperti itu seolah mereka merasa benar dengan itu.

But if it were your culture, think of how that might feel.

Namun jika anda berada pada kultur seperti itu,

bayangkan bagaimana rasanya.

It's very uncomfortable to be on the receiving end

Sangat tidak nyaman sekali menjadi bahan perbincangan

of that kind of language.

seperti itu.

Guru-guru sangat gugup dengan segala hal

They're nervous about anything that has anything to do with violence

yang berkaitan dengan kekerasan

because of the zero tolerance policies.

sebab adanya kebijakan "nol toleransi".

They are sure that parents and administrators

Mereka yakin bahwa orang tua dan administratur sekolah tidak akan pernah menerima apapun tentang itu.

will never accept anything.

So we really need to think about looking at teacher attitudes

Jadi, kita harus melihat pada bagaimana sikap guru

and finding ways to change the attitudes,

dan menemukan cara untuk merubah sikap itu

so that teachers are much more open and accepting of boy cultures

hingga guru semakin lebih terbuka

dan menerima kultur anak laki-laki di kelas.

in their classrooms.

Because, ultimately, if we don't,

Sebab, jika tidak,

then we're going to have boys who leave elementary school saying,

maka akan ada anak laki-laki yang keluar dari Sekolah Dasar dan berkata,

"Sepertinya sekolah itu hanya untuk anak perempuan;

"Well I guess that was just a place for girls, it wasn't for me.

bukan untuk aku.

So I've got to do gaming, or I've got to do sports."

Lebih baik bermain games, atau bermain olahraga."

If we change these things, if we pay attention to these things,

Jika kita bisa mengubah kondisi itu, jika kita menaruh perhatian pada hal itu,

and we reengage boys in their learning,

dan kita mampu menarik kembali anak laki-laki agar aktif dalam belajar,

they will leave the elementary schools saying, "I'm smart."

maka anak laki-laki, ketika lulus dari sekolah akan berkata, "Saya pintar."

Terima kasih.

Thank you.

(Applause)

(Tepuk tangan)