Ananda Shankar Jayant fights cancer with dance

Translator: Inge Maskun Reviewer: Antonius Yudi Sendjaja

(Music)

(Musik)

[Sanskrit]

(Sansekerta)

This is an ode to the mother goddess,

Inilah syair pujian untuk Dewi Kesuburan.

that most of us in India learn when we are children.

sebagian besar dari kita mempelajarinya saat kita masih kecil.

I learned it when I was four

Usiaku waktu itu 4 tahun,

at my mother's knee.

aku melafalkan syair itu sambil bersimpuh di kaki ibuku.

That year she introduced me to dance,

Di tahun yang sama, ibu mengajariku menari.

and thus began

Itulah awal

my tryst with classical dance.

perjumpaanku dengan tarian klasik.

Since then -- it's been four decades now --

Sejak itu – sudah empat dekade berlalu –

I've trained with the best in the field,

aku sudah berlatih dengan tokoh terbaik di bidang ini,

performed across the globe,

berpentas di seantero dunia,

taught young and old alike,

mengajar murid --tua dan muda-- untuk menari,

created, collaborated,

menciptakan tarian, bekerja sama,

choreographed,

membuat koreografi,

and wove a rich tapestry

sekaligus mengukir karya seni yang indah,

of artistry, achievement and awards.

merenda prestasi dan penghargaan.

The crowning glory was in 2007,

Puncaknya terjadi di 2007,

when I received this country's

saat aku dimahkotai Padmashri,

fourth highest civilian award, the Padma Shri,

penghargaan tertinggi ke-4 bagi kaum awam,

for my contribution to art.

karena jasaku di bidang seni.

(Applause)

(Tepuk Tangan)

But nothing, nothing prepared me

Namun tidak ada yang mempersiapkanku

for what I was to hear

untuk menghadapi berita yang akan kuterima

on the first of July 2008.

pada 1 Juli 2008,

I heard the word "carcinoma."

aku mendengar kata “karsinoma”.

Yes, breast cancer.

Yah, Kanker Payudara.

As I sat dumbstruck in my doctor's office,

Di kantor dokter itu aku merasa seperti tersambar petir.

I heard other words:

dan mendengar kata-kata selanjutnya.

"cancer," "stage," "grade."

"cancer", "stage", "grade"

Until then, Cancer was the zodiac

Sebelum hari itu, "cancer" adalah zodiak

sign of my friend,

dari temanku

stage was what I performed on,

“Stage” adalah panggung tempat aku menari

and grades were what I got in school.

Dan “grade” mengacu pada nilai yang kudapatkan di sekolah.

That day, I realized

Hari itu aku sadar

I had an unwelcome, uninvited,

bahwa sesuatu yang tak diundang, tak diharapkan,

new life partner.

memasuki kehidupanku.

As a dancer,

Sebagai penari,

I know the nine rasas or the navarasas:

aku paham adanya sembilan rasa atau emosi yang berkaitan dengan

anger, valor,

kemarahan, keberanian,

disgust, humor

kejijikan, kejenakaan

and fear.

dan ketakutan.

I thought I knew what fear was.

Tadinya aku kira aku tahu apakah ketakutan itu.

That day, I learned what fear was.

Ternyata, baru hari itulah aku betul-betul tahu apa artinya.

Overcome with the enormity of it all

Merasa terpuruk

and the complete feeling of loss of control,

dalam ketidakberdayaan dan kehilangan kendali,

I shed copious tears

sambil menghapus airmata yang mengucur deras,

and asked my dear husband, Jayant.

aku bertanya pada Jayant, suamiku yang tercinta.

I said, "Is this it? Is this the end of the road?

“Inikah akhir dari semuanya?

Is this the end of my dance?"

"tamatkah riwayatku menari?"

And he, the positive soul that he is,

Suamiku, yang selalu berpkiran positif,

said, "No, this is just a hiatus,

menjawab “Tidak, ini cuma jeda,

a hiatus during the treatment,

intermeso saat kau melalui perawatan,

and you'll get back to doing what you do best."

setelah itu kau akan kembali menari – itulah keahlian utamamu.”

I realized then

Tadinya aku kira

that I, who thought I had complete control of my life,

akulah pengemudi utama kehidupanku,

had control of only three things:

ternyata baru saat itulah aku sadar bahwa cuma ada tiga hal yang bisa aku kontrol:

My thought, my mind --

kesadaran atau pikiranku --

the images that these thoughts created --

gambar-gambar yang timbul karenanya --

and the action that derived from it.

dan tindakan yang kuambil setelahnya.

So here I was wallowing

Sembari berkubang

in a vortex of emotions

dalam pusaran emosi

and depression and what have you,

dan depresi,

with the enormity of the situation,

terjerumus dalam dahsyatnya situasi,

wanting to go to a place of healing, health and happiness.

aku berusaha menggapai landasan kesembuhan dan kebahagiaan ...

I wanted to go from where I was

Aku ingin beranjak dari dunia sebelumnya

to where I wanted to be,

menuju tempat yang kuinginkan.

for which I needed something.

untuk itu aku perlu sesuatu.

I needed something that would pull me out of all this.

Sesuatu yang bisa mengeluarkanku dari kubangan ini.

So I dried my tears,

Aku menghapus airmataku,

and I declared to the world at large ...

aku menyatakan ke seluruh dunia …

I said, "Cancer's only one page in my life,

“Kanker cuma menguasai satu halaman dalam hidupku,

and I will not allow this page to impact the rest of my life."

tidak akan kubiarkan halaman ini merusak sisa hidupku.”

I also declared to the world at large

Pada saat yang sama aku ikrarkan pula

that I would ride it out,

bahwa kanker akan tersingkir dari hidupku,

and I would not allow cancer to ride me.

kanker tak akan mendikte hidupku.

But to go from where I was

Agar bisa beranjak dari dunia sebelumnya

to where I wanted to be,

ke tempat yang aku inginkan,

I needed something.

aku perlu sesuatu.

I needed an anchor, an image,

Aku perlu sebuah jangkar, sebuah gambar,

a peg

sebuah pasak

to peg this process on,

untuk mendongkrakku

so that I could go from there.

agar dapat keluar.

And I found that in my dance,

Melalui tarian ketemukan semuanya itu --

my dance, my strength, my energy, my passion,

tarianku, keteguhanku, energiku, gairahku,

my very life breath.

nafas hidupku.

But it wasn't easy.

Namun hal itu tidak mudah.

Believe me, it definitely wasn't easy.

Percayalah, ini bukan sesuatu yang mudah.

How do you keep cheer

Bagaimana mungkin aku tampil gembira

when you go from beautiful

ketika rambutku yang indah rontok semuanya

to bald in three days?

dalam waktu tiga hari?

How do you not despair

Bagaimana mungkin aku tak putus asa,

when, with the body ravaged by chemotherapy,

dengan tubuh lemah digempur kemoterapi,

climbing a mere flight of stairs was sheer torture,

untuk naik tangga sekalipun terasa seperti penyiksaan berat,

that to someone like me who could dance for three hours?

bagi seseorang sepertiku yang dapat menari selama 3 jam?

How do you not get overwhelmed

Bagaimana aku tidak kewalahan

by the despair and the misery of it all?

akan rasa putus asa dan sengsara karena semua itu?

All I wanted to do was curl up and weep.

Rasanya aku ingin mengurung diri dan meratap.

But I kept telling myself fear and tears

Tapi sekali lagi kuingatkan bahwa rasa takut dan airmata

are options I did not have.

bukanlah pilihan yang aku punya.

So I would drag myself into my dance studio --

Aku memaksa diri untuk pergi ke studio tariku,

body, mind and spirit -- every day into my dance studio,

kugeret serta seluruh tubuh, benak dan semangatku,

and learn everything I learned

aku latih kembali semua yang pernah kupelajari

when I was four, all over again,

saat usiaku 4 tahun

reworked, relearned, regrouped.

kuulang lagi, kupelajari kembali, kususun sekali lagi.

It was excruciatingly painful, but I did it.

Bukan main rasa sakitnya, tapi aku terus menari.

Difficult.

Bukan main sulitnya.

I focused on my mudras,

Aku pusatkan perhatianku pada posisi tanganku,

on the imagery of my dance,

pada gambaran tarianku,

on the poetry and the metaphor

pada puisi dan metafora

and the philosophy of the dance itself.

dan filosofi tarian itu sendiri.

And slowly, I moved out

Perlahan-lahan akupun beranjak

of that miserable state of mind.

keluar dari keputusasaan itu.

But I needed something else.

Tapi aku masih perlu sesuatu yang lain

I needed something to go that extra mile,

agar aku bisa maju lebih jauh lagi.

and I found it in that metaphor

Sesuatu yang pernah kudapatkan

which I had learned from my mother when I was four.

dari ibuku saat usiaku 4 tahun dulu.

The metaphor of Mahishasura Mardhini,

Metafora Mahishasura Mardhini

of Durga.

dari Dewi Durga.

Durga, the mother goddess, the fearless one,

Durga adalah dewi dari segala dewi, si pemberani

created by the pantheon of Hindu gods.

titisan dewa Hindu.

Durga, resplendent, bedecked, beautiful,

Durga yang berkilau terang, dihiasi bunga-bunga, cantik menawan.

her 18 arms

Ke-18 tangannya

ready for warfare,

siap mengumbar kemakmuran

as she rode astride her lion

sembari ia duduk dengan kokoh di atas singa tunggangannya

into the battlefield to destroy Mahishasur.

menuju medan pertempuran untuk mengalahkan Mahishasur.

Durga, the epitome

Durga adalah lambang

of creative feminine energy,

energi kreatif seorang wanita,

or shakti.

kesaktian.

Durga, the fearless one.

Durga, dewi pemberani.

I made that image of Durga

Kupatri bayangan sang Durga di benakku.

and her every attribute, her every nuance,

Semua sifat dan kepribadiannya,

my very own.

sifat dan kepribadianku sendiri.

Powered by the symbology of a myth

Dibekali simbologi Sang Durga

and the passion of my training,

dan gairahku berlatih,

I brought laser-sharp focus into my dance,

kupusatkan seluruh perhatianku pada tarianku.

laser-sharp focus to such an extent

Begitu tajamnya konsentrasi dan fokusku,

that I danced a few weeks after surgery.

akupun mampu menari hanya beberapa minggu setelah aku dioperasi.

I danced through chemo and radiation cycles,

Aku terus menari sembari melalui kemoterapi dan radiasi

much to the dismay of my oncologist.

sampai-sampai dokter ahli kankerku pun terkesima.

I danced between chemo and radiation cycles

Aku menari di antara siklus kemo dan radiasi

and badgered him to fit it

dan kupaksa dokterku menyesuaikan siklus terapi ini

to my performing dance schedule.

dengan jadwal pertunjukanku

What I had done

Apa yang kulakukan

is I had tuned out of cancer

aku telah menghilangkan kanker

and tuned into my dance.

dan menyelaraskan dengan tarianku.

Yes, cancer has just been one page in my life.

Yah, kanker hanyalah sebuah halaman dalam hidupku.

My story

Kisahku ini

is a story of overcoming setbacks,

adalah cerita peperangan mengalahkan kemunduran,

obstacles and challenges

batu sandungan dan

that life throws at you.

tantangan hidup.

My story is the power of thought.

Inilah kisah tentang kekuatan sebuah pikiran.

My story is the power of choice.

Kekuatan sebuah pilihan.

It's the power of focus.

Kekuatan sebuah fokus.

It's the power of bringing ourselves

Kemampuan untuk membawa diri kita

to the attention of something that so animates you,

kepada perhatian dari sesuatu yang menjiwai anda,

so moves you,

begitu menggerakkanku

that something even like cancer becomes insignificant.

sampai-sampai kanker pun tak berarti apa-apa.

My story is the power of a metaphor.

Kisahku ini merupakan sebuah metafora.

It's the power of an image.

Kekuatan sebuah gambaran.

Mine was that of Durga,

Milikku adalah citra sang Durga,

Durga the fearless one.

dewi pemberani

She was also called Simhanandini,

yang dikenal juga sebagai Simhanandini,

the one who rode the lion.

si penunggang singa.

As I ride out,

Akupun melangkah pasti,

as I ride my own inner strength,

sambil menunggangi semangat hidupku,

my own inner resilience,

keteguhanku,

armed as I am with what medication can provide

bersenjatakan pengobatan

and continue treatment,

dan meneruskan perawatan.

as I ride out into the battlefield of cancer,

saat aku meluncur ke medan laga melawan kanker,

asking my rogue cells to behave,

meminta sel-sel biadab jadi beradab.

I want to be known not as a cancer survivor,

Aku ingin dikenal bukan sebagai seorang yang selamat dari kanker,

but as a cancer conqueror.

melainkan sebagai seorang penguasa kanker.

I present to you an excerpt of that work

Dengan rendah hati, kupersembahkan kepada Anda semua,

"Simhanandini."

cuplikan dari “Simhanadani”.

(Applause)

(Tepuk Tangan)

(Music)

(Musik)

(Applause)

(Tepuk Tangan)