What it's like to be a Muslim in America | Dalia Mogahed

Translator: Gita Arimanda Reviewer: Mardiyanto Saahi

What do you think when you look at me?

Apa yang Anda pikirkan ketika melihat saya?

A woman of faith? An expert?

Penganut agama? Seorang ahli?

Maybe even a sister.

Bahkan mungkin saudara.

Or oppressed,

Atau seseorang yang tertindas,

brainwashed,

tercuci otak,

a terrorist.

seorang teroris.

Or just an airport security line delay.

Atau sekedar seseorang yang menyebabkan antrian panjang di pemeriksaan bandara.

That one's actually true.

Yang itu memang benar.

(Laughter)

(Tertawa)

If some of your perceptions were negative, I don't really blame you.

Jika persepsi Anda negatif, saya tak begitu menyalahkan Anda.

That's just how the media has been portraying

Begitulah media menggambarkan

people who look like me.

orang-orang seperti saya.

One study found

Satu penelitian menemukan

that 80 percent of news coverage about Islam and Muslims is negative.

bahwa 80% liputan berita tentang Islam dan Muslim bernada negatif.

And studies show that Americans say that most don't know a Muslim.

Penelitian juga menunjukkan kebanyakan orang Amerika tak mengenal seorang Muslim.

I guess people don't talk to their Uber drivers.

Sepertinya mereka tidak bercakap-cakap dengan sopir Uber mereka.

(Laughter)

(Tertawa)

Well, for those of you who have never met a Muslim,

Bagi Anda yang belum pernah bertemu dengan seorang Muslim,

it's great to meet you.

saya senang bertemu dengan Anda.

Let me tell you who I am.

Saya akan memperkenalkan diri saya pada Anda.

I'm a mom, a coffee lover --

Saya seorang ibu, pecinta kopi --

double espresso, cream on the side.

double espresso, pakai krim terpisah.

I'm an introvert.

Saya seorang introvert.

I'm a wannabe fitness fanatic.

Saya ingin jadi seorang yang fanatik kebugaran.

And I'm a practicing, spiritual Muslim.

Dan saya seorang Muslim yang taat.

But not like Lady Gaga says, because baby, I wasn't born this way.

Namun tak seperti yang dibilang Lady Gaga, karena saya tidak lahir seperti ini.

It was a choice.

Ini adalah pilihan.

When I was 17, I decided to come out.

Ketika saya berusia 17, saya memutuskan untuk membuka diri saya pada dunia.

No, not as a gay person like some of my friends,

Bukan, bukan sebagai seorang gay seperti beberapa teman saya,

but as a Muslim,

namun sebagai Muslim,

and decided to start wearing the hijab, my head covering.

dan memutuskan untuk menggunakan jilbab, penutup kepala saya.

My feminist friends were aghast:

Teman-teman feminis saya kaget:

"Why are you oppressing yourself?"

"Kenapa kamu menindas dirimu sendiri?"

The funny thing was,

Lucunya adalah,

it was actually at that time a feminist declaration of independence

saat itu sebenarnya adalah deklarasi kemerdekaan feminis saya

from the pressure I felt as a 17-year-old,

dari beban yang saya rasakan sebagai gadis usia 17 tahun,

to conform to a perfect and unattainable standard of beauty.

untuk mengikuti standar kecantikan yang sempurna dan tidak terhingga.

I didn't just passively accept the faith of my parents.

Saya tidak sekadar pasrah menerima agama orang tua saya.

I wrestled with the Quran.

Saya bergumul dengan Quran.

I read and reflected and questioned and doubted

Saya membaca, merenung, mempertanyakan, dan meragukan

and, ultimately, believed.

dan akhirnya percaya.

My relationship with God -- it was not love at first sight.

Hubungan saya dengan Tuhan -- bukanlah cinta pada pandangan pertama.

It was a trust and a slow surrender

Itu adalah rasa percaya dan penyerahan diri perlahan

that deepened with every reading of the Quran.

yang semakin dalam setiap saya membaca Quran.

Its rhythmic beauty sometimes moves me to tears.

Itu adalah keanggunan penuh ritme yang kadang membuat saya menitikkan air mata.

I see myself in it. I feel that God knows me.

Saya melihat diri saya di dalamnya. Saya merasakan Tuhan mengenal saya.

Have you ever felt like someone sees you, completely understands you

Apakah Anda pernah merasa ketika seseorang melihat Anda, dan memahami Anda sepenuhnya

and yet loves you anyway?

namun tetap mencintai Anda?

That's how it feels.

Itulah yang saya rasakan.

And so later, I got married,

Tidak lama kemudian, saya menikah,

and like all good Egyptians,

dan seperti kebanyakan orang Mesir yang baik,

started my career as an engineer.

saya memulai karir sebagai insinyur.

(Laughter)

(Tertawa)

I later had a child, after getting married,

Saya lalu mempunyai anak setelah menikah,

and I was living essentially the Egyptian-American dream.

dan hidup sebagaimana impian seorang warga Amerika berdarah Mesir.

And then that terrible morning of September, 2001.

Lalu pagi mengerikan di bulan September 2001 itu terjadi.

I think a lot of you probably remember exactly where you were that morning.

Saya pikir Anda mungkin ingat sekali di mana Anda pagi itu.

I was sitting in my kitchen finishing breakfast,

Saya sedang duduk di dapur hampir selesai sarapan,

and I look up on the screen and see the words "Breaking News."

saya menonton TV dan melihat tulisan "Breaking News."

There was smoke, airplanes flying into buildings,

Ada asap, pesawat menabrak gedung,

people jumping out of buildings.

orang melompat keluar dari dalam gedung.

What was this?

Apa ini?

An accident?

Kecelakaan?

A malfunction?

Malfungsi?

My shock quickly turned to outrage.

Keterkejutan saya lalu berubah menjadi kemarahan.

Who would do this?

Siapa yang melakukan ini?

And I switch the channel and I hear,

Dan saya mengganti saluran dan mendengar,

"... Muslim terrorist ...,"

"... teroris Muslim..."

"... in the name of Islam ...,"

"... dengan nama Islam...,"

"... Middle-Eastern descent ...,"

"... keturunan Timur Tengah ...,"

"... jihad ...,"

"... jihad ...,"

"... we should bomb Mecca."

"... kita harus bom Mekah."

Oh my God.

Ya Tuhan.

Not only had my country been attacked,

Tidak hanya negara saya baru diserang,

but in a flash,

namun dalam sekejap,

somebody else's actions had turned me from a citizen

perbuatan seseorang telah mengubah saya dari seorang warga negara

to a suspect.

menjadi tersangka.

That same day, we had to drive across Middle America

Pada hari yang sama, kami harus berkendara melalui Amerika Tengah

to move to a new city to start grad school.

untuk pindah ke kota baru, untuk memulai kuliah pasca sarjana.

And I remember sitting in the passenger seat

Dan saya ingat duduk di kursi penumpang

as we drove in silence,

ketika kami mengemudi dalam diam,

crouched as low as I could go in my seat,

saya meringkuk serendah mungkin di kursi saya,

for the first time in my life, afraid for anyone to know I was a Muslim.

untuk pertama kalinya dalam hidup saya, takut jika orang tahu saya seorang Muslim.

We moved into our apartment that night in a new town

Kami pindah ke apartemen kami di kota baru malam itu,

in what felt like a completely different world.

yang terasa seakan berada di dunia yang sama sekali berbeda.

And then I was hearing and seeing and reading

Lalu saya mendengar, melihat dan membaca

warnings from national Muslim organizations

peringatan dari organisasi Muslim nasional

saying things like, "Be alert," "Be aware,"

antara lain, "Waspadalah," "Hati-hati,"

"Stay in well-lit areas," "Don't congregate."

"Jangan ke tempat remang-remang," "Jangan berkumpul."

I stayed inside all week.

Seminggu itu saya tidak keluar rumah.

And then it was Friday that same week,

Lalu hari Jumat minggu itu tiba,

the day that Muslims congregate for worship.

hari dimana umat Islam berkumpul untuk sholat Jumat.

And again the warnings were, "Don't go that first Friday,

Lagi-lagi ada peringatan, "Jangan datang pada Jumat minggu pertama,

it could be a target."

siapa tahu bisa jadi target."

And I was watching the news, wall-to-wall coverage.

Sementara saya menonton berita, liputannya sangat detil.

Emotions were so raw, understandably,

Emosi tumpah ruah, tentu saja,

and I was also hearing about attacks on Muslims,

lalu saya juga mendengar serangan terhadap orang Muslim,

or people who were perceived to be Muslim, being pulled out

atau orang yang terlihat seperti Muslim,

ditarik dan dipukuli di jalanan.

and beaten in the street.

Mosques were actually firebombed.

Masjid-masjid dibom molotov.

And I thought, we should just stay home.

Dan saya pikir, lebih baik kita tinggal di rumah saja.

And yet, something didn't feel right.

Namun rasanya ada yang ganjil.

Because those people who attacked our country

Karena orang-orang yang menyerang negara kita

attacked our country.

telah mengusik negara kita semua.

I get it that people were angry at the terrorists.

Saya mengerti bahwa orang-orang marah pada teroris.

Guess what? So was I.

Tahu tidak? Saya juga marah.

And so to have to explain yourself all the time isn't easy.

Jadi tidak mudah untuk harus menjelaskan diri saya setiap saat.

I don't mind questions. I love questions.

Saya tidak keberatan dengan pertanyaan. Saya suka pertanyaan.

It's the accusations that are tough.

Yang berat itu tuduhannya.

Today we hear people actually saying things like,

Kini kita mendengar orang bilang,

"There's a problem in this country, and it's called Muslims.

"Negara kita punya masalah, dan itu disebut Muslim.

When are we going to get rid of them?"

Kapan kita akan mengusir mereka?"

So, some people want to ban Muslims and close down mosques.

Beberapa orang ingin melarang Muslim masuk dan menutup masjid.

They talk about my community kind of like we're a tumor

Mereka bicara tentang komunitas saya seolah-olah kami ini tumor

in the body of America.

di tubuh negara Amerika ini.

And the only question is, are we malignant or benign?

Satu-satunya pertanyaan adalah, kami tumor ganas atau jinak?

You know, a malignant tumor you extract altogether,

Kalau ganas, mesti dicabut semuanya,

and a benign tumor you just keep under surveillance.

kalau jinak, mesti dipantau (dimata-matai).

The choices don't make sense, because it's the wrong question.

Pilihannya tidak masuk akal, karena itu pertanyaan yang salah.

Muslims, like all other Americans, aren't a tumor in the body of America,

Muslim, seperti kebanyakan warga Amerika, bukanlah tumor di tubuh negara ini,

we're a vital organ.

kami organ penting.

(Applause)

(Tepuk tangan)

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)

Muslims are inventors and teachers,

Muslim adalah penemu dan guru,

first responders and Olympic athletes.

responden pertama dan atlet Olimpiade.

Now, is closing down mosques going to make America safer?

Apakah menutup masjid akan membuat Amerika lebih aman?

It might free up some parking spots,

Mungkin itu akan membuat beberapa tempat parkir kosong,

but it will not end terrorism.

tapi tidak akan menghentikan terorisme.

Going to a mosque regularly is actually linked

Mengunjungi masjid secara reguler sebenarnya terkait

to having more tolerant views of people of other faiths

dengan mempunyai pandangan yang lebih toleran terhadap penganut agama lain

and greater civic engagement.

dan keterlibatan lebih besar di masyarakat.

And as one police chief in the Washington, DC area

Seorang kepala polisi di area Washington, DC

recently told me,

baru-baru ini memberi tahu saya,

people don't actually get radicalized at mosques.

orang-orang tidak dibuat radikal di masjid-masjid.

They get radicalized in their basement or bedroom, in front of a computer.

Tapi di dalam ruang bawah tanah, ruang tidur, dan di depan komputer mereka.

And what you find about the radicalization process

Proses radikalisasi itu sendiri

is it starts online,

dimulai secara online,

but the first thing that happens

namun hal pertama yang terjadi

is the person gets cut off from their community,

adalah orang tersebut menyendiri dari masyarakat,

from even their family,

bahkan dari keluarga mereka,

so that the extremist group can brainwash them

sehingga grup ekstrimis dapat mencuci otak mereka

into believing that they, the terrorists, are the true Muslims,

dan membuat mereka percaya bahwa teroris adalah Muslim yang sebenarnya,

and everyone else who abhors their behavior and ideology

dan orang lain yang tidak menyukai perilaku dan ideologi mereka

are sellouts or apostates.

adalah para pengkhianat dan orang murtad.

So if we want to prevent radicalization,

Jadi kalau kita ingin mencegah radikalisasi,

we have to keep people going to the mosque.

kita harus membuat orang pergi ke masjid.

Now, some will still argue Islam is a violent religion.

Tapi beberapa orang akan terus berargumen bahwa Islam adalah agama yang bengis.

After all, a group like ISIS bases its brutality on the Quran.

Lagipula, kelompok seperti ISIS mendasarkan kebrutalan mereka atas Quran.

Now, as a Muslim, as a mother, as a human being,

Sebagai seorang Muslim, sebagai ibu, sebagai manusia, saya pikir kita perlu

I think we need to do everything we can to stop a group like ISIS.

melakukan semua yang kita bisa untuk menghentikan kelompok seperti ISIS.

But we would be giving in to their narrative

Kita hanya akan menuruti narasi mereka

if we cast them as representatives of a faith of 1.6 billion people.

jika kita menganggap mereka sebagai representasi dari agama 1,6 milyar orang.

(Applause)

(Tepuk tangan)

Thank you.

Terima kasih.

ISIS has as much to do with Islam

ISIS terhadap Islam adalah sama

as the Ku Klux Klan has to do with Christianity.

seperti Ku Klux Klan terhadap Kristen.

(Applause)

(Tepuk tangan)

Both groups claim to base their ideology on their holy book.

Kedua kelompok mengaku mendasarkan ideologi mereka atas kitab suci mereka.

But when you look at them, they're not motivated

Namun jika kita mengamati mereka, mereka tidak termotivasi

by what they read in their holy book.

oleh apa yang mereka baca di kitab suci.

It's their brutality that makes them read these things into the scripture.

Kebrutalan merekalah yang membuat mereka menyalah artikan kitab suci.

Recently, a prominent imam told me a story that really took me aback.

Baru-baru ini, seorang imam terkemuka menceritakan satu cerita mengejutkan.

He said that a girl came to him

Seorang perempuan mendatanginya

because she was thinking of going to join ISIS.

karena ia hendak bergabung dengan ISIS.

And I was really surprised and asked him,

Saya sangat terkejut dan bertanya,

had she been in contact with a radical religious leader?

apakah perempuan itu berhubungan dengan pemimpin agama yang radikal?

And he said the problem was quite the opposite,

Beliau bilang, justru kebalikannya,

that every cleric that she had talked to had shut her down

setiap imam yang ia ajak bicara mengindahkannya,

and said that her rage, her sense of injustice in the world,

dan mengatakan bahwa kemarahannya dan rasa ketidak-adilan yang ia rasakan

was just going to get her in trouble.

hanya akan membuatnya dalam masalah.

And so with nowhere to channel and make sense of this anger,

Karena ia tidak bisa memahami dan menyalurkan kemarahannya,

she was a prime target to be exploited

ia adalah target empuk untuk dieksploitasi

by extremists promising her a solution.

oleh para ekstremis yang menjanjikannya solusi.

What this imam did was to connect her back to God and to her community.

Imam tersebut mengajaknya kembali ke (jalan) Tuhan dan ke dalam komunitas.

He didn't shame her for her rage -- instead, he gave her constructive ways

Beliau tidak mempermalukannya -- tapi memberi solusi konstruktif

to make real change in the world.

untuk membuat perubahan berarti di dunia.

What she learned at that mosque prevented her from going to join ISIS.

Yang ia pelajari di masjid mencegahnya dari bergabung dengan ISIS.

I've told you a little bit

Saya telah cerita sedikit

about how Islamophobia affects me and my family.

bagaimana Islamofobia mempengaruhi saya dan keluarga saya.

But how does it impact ordinary Americans?

Namun apa pengaruhnya bagi orang Amerika kebanyakan?

How does it impact everyone else?

Apa pengaruhnya bagi orang lain?

How does consuming fear 24 hours a day affect the health of our democracy,

Apa pengaruh mengkonsumsi rasa takut 24 jam/hari terhadap kesehatan demokrasi,

the health of our free thought?

dan kebebasan berpikir kita?

Well, one study -- actually, several studies in neuroscience --

Satu studi -- sebenarnya beberapa studi di bidang neurosains --

show that when we're afraid, at least three things happen.

menunjukkan bahwa ketika kita takut, paling tidak ada 3 hal yang terjadi.

We become more accepting of authoritarianism,

Kita menjadi lebih menerima otoritarianisme,

conformity and prejudice.

kepatuhan dan prasangka.

One study showed that when subjects were exposed to news stories

Satu studi menunjukkan ketika seseorang dihadapkan pada

berita negatif tentang Muslim,

that were negative about Muslims,

they became more accepting of military attacks on Muslim countries

mereka jadi lebih menyetujui serangan militer terhadap negara Muslim

and policies that curtail the rights of American Muslims.

dan kebijakan yang membatasi hak-hak warga muslim Amerika.

Now, this isn't just academic.

Ini bukan hanya temuan akademis.

When you look at when anti-Muslim sentiment spiked

Kalau Anda lihat ketika sentimen anti-Muslim mencuat

between 2001 and 2013,

antara tahun 2001 dan 2013,

it happened three times,

hal ini terjadi 3 kali,

but it wasn't around terrorist attacks.

namun bukan setelah serangan teroris.

It was in the run up to the Iraq War and during two election cycles.

Hal ini terjadi sebelum Perang Irak dan selama dua periode pemilu.

So Islamophobia isn't just the natural response to Muslim terrorism

Islamofobia bukanlah respon alami terhadap terorisme Muslim

as I would have expected.

seperti yang saya perkirakan.

It can actually be a tool of public manipulation,

Ia bisa digunakan sebagai alat manipulasi publik,

eroding the very foundation of a free society,

yang menggerus pondasi dari masyarakat bebas,

which is rational and well-informed citizens.

yaitu warga negara yang rasional dan berpengetahuan luas.

Muslims are like canaries in the coal mine.

Umat muslim mirip dengan pendeteksi bahaya.

We might be the first to feel it,

Kami mungkin yang pertama merasakannya,

but the toxic air of fear is harming us all.

namun rasa ketakutan yang beracun ini membahayakan kita semua.

(Applause)

(Tepuk tangan)

And assigning collective guilt

Menanam rasa bersalah kolektif

isn't just about having to explain yourself all the time.

bukan hanya tentang menjelaskan diri Anda setiap saat.

Deah and his wife Yusor were a young married couple

Deah dan istrinya Yusor adalah pasangan muda yang tinggal

living in Chapel Hill, North Carolina,

di Chapel Hill, Carolina Utara,

where they both went to school.

di mana mereka berdua bersekolah.

Deah was an athlete.

Deah adalah seorang atlet.

He was in dental school, talented, promising ...

Ia kuliah di kedokteran gigi, berbakat, menjanjikan ...

And his sister would tell me that he was the sweetest,

Kakaknya memberitahu saya bahwa ia adalah orang yang terbaik,

most generous human being she knew.

yang paling murah hati yang ia kenal.

She was visiting him there and he showed her his resume,

Ia mengunjungi Deah dan Deah menunjukkan resumenya,

and she was amazed.

dan ia terkejut.

She said, "When did my baby brother become such an accomplished young man?"

Ia bilang, "Sejak kapan adik kecil saya jadi pemuda hebat seperti ini?"

Just a few weeks after Suzanne's visit to her brother and his new wife,

Hanya beberapa hari setelah kunjungan Suzanne ke adik dan istrinya,

their neighbor,

tetangga mereka,

Craig Stephen Hicks,

Craig Stephen Hicks,

murdered them,

membunuh mereka,

as well as Yusor's sister, Razan, who was visiting for the afternoon,

dan juga adik Yusor, Razan, yang sedang berkunjung siang itu,

in their apartment,

di apartemen mereka,

execution style,

seperti mengeksekusi mereka,

after posting anti-Muslim statements on his Facebook page.

setelah memposting pernyataan anti-Muslim di halaman Facebooknya.

He shot Deah eight times.

Ia menembak Deah delapan kali.

So bigotry isn't just immoral, it can even be lethal.

Sikap bigot (fanatik/rasis) tidak hanya jahat, ia juga mematikan.

So, back to my story.

Kembali ke cerita saya.

What happened after 9/11?

Apa yang terjadi setelah 9/11?

Did we go to the mosque or did we play it safe and stay home?

Pergi ke masjid atau cari aman dan tinggal di rumah?

Well, we talked it over,

Kami membicarakannya,

and it might seem like a small decision, but to us,

dan mungkin terlihat seperti keputusan kecil, namun bagi kami,

it was about what kind of America we wanted to leave for our kids:

ini tentang Amerika seperti apa yang akan kita wariskan pada anak-anak kita:

one that would control us by fear

negara yang menggunakan rasa takut untuk mengontrol warganya

or one where we were practicing our religion freely.

atau negara di mana kita bisa menjalankan agama dengan bebas.

So we decided to go to the mosque.

Jadi kami putuskan untuk pergi ke masjid.

And we put my son in his car seat,

Kami taruh anak kami di kursi mobil,

buckled him in, and we drove silently, intensely, to the mosque.

pasang sabuk pengamannya, dan mengemudi ke masjid dalam diam dan ketegangan.

I took him out, I took off my shoes, I walked into the prayer hall

Saya menggendongnya, melepas sepatu saya, berjalan ke ruang sholat,

and what I saw made me stop.

dan yang saya lihat membuat saya terhenti.

The place was completely full.

Tempatnya sangat penuh.

And then the imam made an announcement,

Lalu imam membuat pengumuman,

thanking and welcoming our guests,

berterima kasih dan menyambut tamu kami,

because half the congregation

karena setengah dari jemaah

were Christians, Jews, Buddhists, atheists,

adalah umat Kristen, Yahudi, Buddha, dan atheis,

people of faith and no faith,

penganut agama maupun bukan,

who had come not to attack us, but to stand in solidarity with us.

yang datang bukan untuk menyerang kami, namun datang karena rasa solidaritas.

(Applause)

(Tepuk tangan)

I just break down at this time.

Saya tak kuasa menahan tangis.

These people were there because they chose courage and compassion

Orang-orang ini datang karena mereka memilih keberanian dan kasih sayang

over panic and prejudice.

alih-alih kepanikan dan prasangka.

What will you choose?

Apa yang akan Anda pilih?

What will you choose at this time of fear and bigotry?

Apa yang akan Anda pilih di masa ketakutan dan bigot sekarang ini?

Will you play it safe?

Apakah Anda akan cari aman?

Or will you join those who say

Atau Anda akan mengikuti mereka yang mengatakan

we are better than that?

kita lebih baik dari itu?

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)

Thank you so much.

Terima kasih banyak.

Helen Walters: So Dalia, you seem to have struck a chord.

Helen Walters: Dalia, sepertinya pidato Anda telah menggugah emosi.

But I wonder,

Namun saya penasaran,

what would you say to those who might argue

apa yang akan Anda bilang pada orang yang berargumen

that you're giving a TED Talk,

bahwa Anda berbicara di TED,

you're clearly a deep thinker,

jelas Anda seorang pemikir,

you work at a fancy think tank,

Anda bekerja di organisasi bergengsi,

you're an exception, you're not the rule.

Anda pengecualian, tak seperti Muslim kebanyakan.

What would you say to those people?

Apa yang Anda akan katakan?

Dalia Mogahed: I would say, don't let this stage distract you,

Dalia Mogahed: Saya akan bilang, jangan terpengaruh oleh panggung ini,

I'm completely ordinary.

Saya hanya orang biasa.

I'm not an exception.

Saya bukan pengecualian.

My story is not unusual.

Kisah saya banyak terjadi.

I am as ordinary as they come.

Saya sama saja seperti yang lain.

When you look at Muslims around the world --

Ketika Anda melihat Muslim di seluruh dunia --

and I've done this, I've done the largest study ever done

dan saya telah melakukan studi, studi terbesar yang pernah dibuat

on Muslims around the world --

tentang Muslim di seluruh dunia --

people want ordinary things.

mereka ingin hal biasa.

They want prosperity for their family,

Mereka ingin kesejahteraan bagi keluarganya,

they want jobs

pekerjaan

and they want to live in peace.

dan hidup dalam damai.

So I am not in any way an exception.

Saya sama sekali bukan pengecualian.

When you meet people who seem like an exception to the rule,

Ketika Anda bertemu seseorang yang tampak berbeda dari kebanyakan,

oftentimes it's that the rule is broken,

seringkali definisi dari kebanyakan itu yang salah,

not that they're an exception to it.

bukannya mereka yang berbeda.

HW: Thank you so much. Dalia Mogahed.

HW: Terima kasih banyak. Dalia Mogahed.

(Applause)

(Tepuk tangan)