Daniel H. Cohen: For argument's sake

Translator: Johan Santoso Reviewer: Caroline Effendy

Nama saya adalah Dan Cohen, dan saya seorang akademikus, seperti yang dia bilang.

My name is Dan Cohen and I am an academic, as he said.

Dan itu berarti saya berdebat.

And what that means is that I argue.

It's an important part of my life.

Itu adalah bagian penting dalam hidup saya, dan saya suka berdebat.

And I like to argue.

And I'm not just an academic, I'm a philosopher,

Dan saya bukan hanya seorang akademikus, saya seorang filsuf,

jadi saya suka berpikir bahwa saya cukup baik dalam berdebat.

so I like to think that I'm actually pretty good at arguing.

Tapi saya juga suka untuk berpikir banyak mengenai berdebat.

But I also like to think a lot about arguing.

And in thinking about arguing, I've come across some puzzles.

Dan berpikir mengenai berdebat, saya menemukan beberapa teka-teki,

And one of the puzzles is that,

dan salah satu dari teka-teki itu adalah

as I've been thinking about arguing over the years --

saya sudah berpikir mengenai berdebat selama bertahun-tahun,

dan ini sudah puluhan tahun sekarang, saya menjadi lebih baik dalam berdebat,

and it's been decades now --

I've gotten better at arguing.

But the more that I argue and the better I get at arguing,

tapi semakin saya berdebat dan semakin baik saya berdebat,

semakin saya tersesat. Dan itu adalah sebuah teka-teki.

the more that I lose.

And that's a puzzle.

And the other puzzle is that I'm actually okay with that.

Dan teka-teki lain adalah saya baik-baik saja dengan hal itu.

Why is it that I'm okay with losing

Mengapa saya baik-baik saja dengan tersesat

and why is it that I think good arguers are actually better at losing?

dan mengapa saya pikir bahwa seorang pendebat yang baik

adalah sebenarnya lebih baik kalah?

Well, there are some other puzzles.

Well, ada beberapa teka-teki lain.

One is: why do we argue?

Yang pertama adalah, mengapa kita berdebat? Siapa yang bermanfaat dari argumen?

Who benefits from arguments?

When I think about arguments, I'm talking about --

Dan ketika saya berpikir mengenai argumen sekarang, saya berbicara mengenai,

let's call them academic arguments or cognitive arguments --

kita sebut saja argumen akademik atau argumen kognitif

where something cognitive is at stake:

dimana sesuatu hal yang bersifat kognitif menjadi taruhan.

Is this proposition true? Is this theory a good theory?

Apakah dalil ini benar? Apakah teori ini adalah sebuah teori yang baik?

Is this a viable interpretation of the data or the text? And so on.

Apakah ini sebuah interpretasi yang berkelanjutan dari data atau tulisan?

I'm not interested really in arguments about whose turn it is to do the dishes

Dan seterusnya. Saya tidak terlalu tertarik pada argumen mengenai

giliran siapa untuk mencuci piring atau siapa yang harus mengeluarkan sampah.

or who has to take out the garbage.

Yeah, we have those arguments, too.

Yeah, kita juga berdebat mengenai itu.

I tend to win those arguments, because I know the tricks.

Saya cenderung memenangkan argumen itu, karena saya tahu caranya.

Tapi itu bukanlah argumen yang penting.

But those aren't the important arguments.

Saya tertarik pada argumen akademik hari ini,

I'm interested in academic arguments,

dan inilah hal-hal yang membingungkan saya.

and here are the things that puzzle me.

Pertama, apakah yang pendebat baik menangkan ketika mereka memenangkan sebuah argumen?

First, what do good arguers win when they win an argument?

What do I win if I convince you

Apa yang saya menangkan jika saya meyakinkan anda bahwa

that utilitarianism isn't really the right framework

utilitarianisme bukanlah kerangka kerja yang benar untuk berpikir mengenai teori etis?

for thinking about ethical theories?

Jadi apa yang kita menangkan ketika kita memenangkan sebuah argumen?

What do we win when we win an argument?

Bahkan sebelum itu, apa hubungannya dengan saya

Even before that,

what does it matter to me

apakah kamu percaya bahwa teori Kant

whether you have this idea that Kant's theory works

or Mill is the right ethicist to follow?

atau Mill sebagai etika yang benar untuk diikuti?

Itu tidak ada sangkut pautnya dengan saya ketika kamu berpikir

It's no skin off my back

whether you think functionalism is a viable theory of mind.

fungsionalisme adalah sebuah teori yang berkelanjutan mengenai pikiran.

So why do we even try to argue?

Jadi mengapa saya bahkan mulai untuk berargumen?

Why do we try to convince other people

Mengapa kita mencoba untuk meyakinkan orang lain

to believe things they don't want to believe,

untuk percaya hal-hal yang tidak mau mereka percaya?

and is that even a nice thing to do?

Dan apakah itu hal yang baik untuk dilakukan? Apakah itu hal yang baik

Is that a nice way to treat another human being,

untuk memperlakukan makhluk hidup lain, mencoba dan membuat mereka

try and make them think something they don't want to think?

berpikir sesuatu yang tidak mau mereka pikirkan?

Well, my answer is going to make reference to three models for arguments.

Well, jawaban saya akan menjadi referensi untuk

tiga model argumen.

The first model -- let's call it the dialectical model --

Model pertama, sebut saja model dialektikal,

is we think of arguments as war; you know what that's like --

adalah kita berpikir argumen sebagai perang, dan kamu tahu seperti apa itu.

Ada banyak jeritan dan teriakan

a lot of screaming and shouting and winning and losing.

dan kemenangan dan kekalahan,

dan itu bukanlah suatu model yang membantu untuk berdebat

That's not a very helpful model for arguing,

but it's a pretty common and entrenched model for arguing.

tapi itu merupakan model yang cukup umum dan berakar dalam berdebat.

But there's a second model for arguing: arguments as proofs.

Tapi ada sebuah model kedua untuk berdebat: argumen sebagai bukti.

Think of a mathematician's argument.

Bayangkan sebuah argumen matematikawan.

Here's my argument. Does it work? Is it any good?

Ini argumen saya. Apakah itu berfungsi? Apakah itu baik?

Are the premises warranted? Are the inferences valid?

Apakah premis terjamin? Apakah inferensi valid?

Apakah konklusi sesuai dengan premis?

Does the conclusion follow from the premises?

No opposition, no adversariality --

Tidak kebalikan, tidak bermusuhan,

not necessarily any arguing in the adversarial sense.

tidak harus perdebatan di dalam rasa permusuhan.

But there's a third model to keep in mind

Tapi ada model ketiga untuk diingat

that I think is going to be very helpful,

saya pikir akan sangat membantu,

and that is arguments as performances, arguments in front of an audience.

dan itu adalah argumen sebagai perbuatan,

argumen menjadi di depan penonton.

We can think of a politician trying to present a position,

Kita dapat berpikir mengenai politikus mencoba memberikan sebuah posisi,

trying to convince the audience of something.

mencoba untuk meyakinkan penonton sesuatu.

But there's another twist on this model that I really think is important;

Tapi ada sebuah putaran dari model ini yang saya pikir penting,

namely, that when we argue before an audience,

yaitu ketika kita berdebat di depan penonton,

sometimes the audience has a more participatory role in the argument;

terkadang penonton memiliki sebuah peran yang penting dalam argumen,

that is, arguments are also [performances] in front of juries,

yaitu, argumen juga merupakan penonton di depan juri

who make a judgment and decide the case.

yang membuat penilaian dan memutuskan kasus.

Sebut saja ini model retorikal,

Let's call this the rhetorical model,

where you have to tailor your argument to the audience at hand.

ketika kamu harus merangkai argumen kepada penonton.

You know, presenting a sound, well-argued,

Kamu tahu, memberikan sebuah argumen yang baik, rapat

tight argument in English before a francophone audience

di dalam bahasa Inggris, di depan penonton berbahasa Prancis

just isn't going to work.

tidak akan berjalan baik.

So we have these models -- argument as war, argument as proof

Jadi kami memilki model ini -- perdebatan sebagai perang,

perdebatan sebagai bukti, dan perdebatan sebagai pertunjukkan.

and argument as performance.

Dari ketiga hal itu, perdebatan sebagai perang adalah yang dominan.

Of those three, the argument as war is the dominant one.

It dominates how we talk about arguments,

Hal itu mendominasi bagaimana kita berbicara mengenai argumen,

it dominates how we think about arguments,

mendominasi bagaimana kita berpikir mengenai argumen,

and because of that, it shapes how we argue,

dan karenanya, itu membentuk cara kita berdebat,

our actual conduct in arguments.

tingkah laku kita di dalam berdebat.

Now, when we talk about arguments,

Sekarang, ketika kita berbicara mengenai perdebatan,

we talk in a very militaristic language.

Ya, kita berbicara dalam bahasa yang sangat militer.

We want strong arguments, arguments that have a lot of punch,

Kita menginginkan argumen yang kuat, argumen yang memiliki banyak pukulan,

arguments that are right on target.

argumen yang tepat sasaran.

We want to have our defenses up and our strategies all in order.

Kita ingin pertahanan dan strategi kita teratur.

We want killer arguments.

Kita ingin argumen yang membunuh.

That's the kind of argument we want.

Itu adalah argumen yang kita inginkan.

It is the dominant way of thinking about arguments.

Itu adalah cara dominan untuk berpikir mengenai berdebat.

When I'm talking about arguments,

Ketika saya berbicara mengenai perdebatan, itu mungkin

that's probably what you thought of, the adversarial model.

apa yang kamu pikirkan, model permusuhan.

But the war metaphor,

Tapi perumpamaan perang, paradigma perang

the war paradigm or model for thinking about arguments,

atau model untuk memikirkan perdebatan,

has, I think, deforming effects on how we argue.

saya pikir, membuat cacat pada cara kita berdebat.

Pertama itu meningkatkan taktik di atas substansi.

First, it elevates tactics over substance.

You can take a class in logic, argumentation.

Anda dapat mengambil kelas mengenai logika, argumentasi.

Anda belajar semua mengenai alasan yang orang gunakan

You learn all about the subterfuges

that people use to try and win arguments -- the false steps.

untuk mencoba dan memenangkan argumen, langkah yang salah.

It magnifies the us-versus them aspect of it.

Itu meningkatkan aspek kita-melawan-mereka dari perdebatan.

It makes it adversarial; it's polarizing.

Itu membuat perdebatan menjadi permusuhan. Hal itu mempolarisasikan.

And the only foreseeable outcomes are triumph -- glorious triumph --

Dan satu-satunya hasil akhir yang dapat diramalkan

adalah kemenangan, kemenagan mulia, atau kehinaan, kekalahan yan memalukan.

or abject, ignominious defeat.

I think those are deforming effects,

Saya pikir hal itu adalah efek yang merusak, dan yang paling buruk

and worst of all, it seems to prevent things like negotiation

itu mencegah hal-hal seperti negosiasi

or deliberation or compromise or collaboration.

atau perembukan atau kompromi

atau kolaborasi.

Think about that one -- have you ever entered an argument thinking,

Pikirkan sesuatu. Apakah anda pernah berdebat

berpikir, "Lihatlah apakah kita dapat menghasilkan sesuatu

"Let's see if we can hash something out, rather than fight it out.

daripada meributkan itu. Apakah kita dapat memecahkan bersama?"

What can we work out together?"

I think the argument-as-war metaphor

Dan saya pikir perumpamaan perdebatan-sebagai-perang

menghalangi pencapaian resolusi dalam berdebat.

inhibits those other kinds of resolutions to argumentation.

And finally -- this is really the worst thing --

Dan akhirnya, inilah hal yang paling buruk,

arguments don't seem to get us anywhere; they're dead ends.

argumen tidak membawa kita kemana-mana.

Hal itu merupakan jalan buntu. Itu adalah bundaran

They are like roundabouts or traffic jams or gridlock in conversation.

atau kemacetan atau kebuntuan dalam percakapan.

We don't get anywhere.

Kita tidak kemana-mana.

And one more thing.

Oh, dan satu hal lagi, dan sebagai seorang pendidik,

And as an educator, this is the one that really bothers me:

ini adalah satu hal yang sangat mengganggu saya:

If argument is war,

jika perdebatan adalah perang, maka ada sebuah persamaan implisit

then there's an implicit equation of learning with losing.

dari belajar dengan kekalahan.

And let me explain what I mean.

Dan biarkan saya menjelaskan apa yang saya maksud.

Bayangkan anda dan saya berdebat.

Suppose you and I have an argument.

You believe a proposition, P, and I don't.

Anda percaya sebuah dalil, P, dan saya tidak.

And I say, "Well, why do you believe P?"

Dan saya berkata, "Well, kenapa anda percaya P?"

And you give me your reasons.

Dan anda memberikan saya alasan anda.

And I object and say, "Well, what about ...?"

Dan saya menolak dan berkata, "Ya, bagaimana dengan ...?"

And you answer my objection.

Dan anda menjawab penolakan saya.

And I have a question: "Well, what do you mean?

Dan saya bertaya: "Ya, apa yang anda maksud?

How does it apply over here?"

Bagaimana itu berlaku disini?" Dan anda menjawab pertanyaan saya.

And you answer my question.

Now, suppose at the end of the day,

Sekarang, bayangkan pada suatu akhir hari,

I've objected, I've questioned,

saya menolak, dan mempertanyakan,

I've raised all sorts of counter counter-considerations

saya memberikan semua pertimbangan yang bertolakan,

and in every case you've responded to my satisfaction.

dan di setiap waktu anda menjawab untuk memuaskan saya.

And so at the end of the day, I say,

Dan pada akhir hari, saya berkata,

"You know what? I guess you're right: P."

"Anda tahu? Saya rasa anda benar. P."

So, I have a new belief.

Jadi saya mendapatkan kepercayaan baru. Dan itu bukanlah sekedar kepercayaan,

And it's not just any belief;

tapi sesuatu yang diartikulasikan dengan baik, teruji,

it's well-articulated, examined -- it's a battle-tested belief.

itu adalah kepercayaan yang teruji dengan pertempuran.

Great cognitive gain.

Sebuah peningkatan kognitif yang baik. Okay. Siapa yang memenangkan perdebatan itu?

OK, who won that argument?

Well, the war metaphor seems to force us into saying you won,

Ya, perumpamaan perang sepertinya memaksa kita untuk berkata

anda menang, meskipun saya satu-satunya yang membuat peningkatan kognitif.

even though I'm the only one who made any cognitive gain.

Apa yang anda dapatkan secara kognitif dari meyakinkan saya?

What did you gain, cognitively, from convincing me?

Sure, you got some pleasure out of it, maybe your ego stroked,

Sudah pasti, anda mendapatkan kenikamatan dari itu, mungkin ego anda terbelai,

maybe you get some professional status

mungkin anda mendapatkan semacam status profesional di lapangan.

in the field -- "This guy's a good arguer."

Orang ini adalah seorang pendebat yang baik.

But just from a cognitive point of view,

Tapi secara kognitif, sekarang -- hanya dari sudut pandang kognitif -- siapa yang menang?

who was the winner?

The war metaphor forces us into thinking that you're the winner and I lost,

Perumpamaan perang memaksa kita untuk berpikir

anda menang dan saya kalah,

even though I gained.

meskipun saya mendapatkan sesuatu.

And there's something wrong with that picture.

Dan ada yang salah dengan gambaran itu.

Dan itulah gambaran yang saya ingin ubah jika kita bisa.

And that's the picture I really want to change if we can.

So, how can we find ways

Jadi bagaimana kita dapat mencari cara untuk membuat perdebatan

to make arguments yield something positive?

menghasilkan sesuatu yang positif?

What we need is new exit strategies for arguments.

Yang kita butuhkan adalah jalan keluar baru dalam perdebatan.

But we're not going to have new exit strategies for arguments

Tapi kita tidak akan memiliki jalan keluar baru untuk perdebatan

until we have new entry approaches to arguments.

hingga kita memiliki pendekatan jalan masuk yang baru dalam perdebatan.

We need to think of new kinds of arguments.

Kita perlu berpikir perdebatan baru.

Untuk melakukan itu, ya,

In order to do that, well --

I don't know how to do that.

saya tidak tahu bagaimana melakukan itu.

That's the bad news.

Itu berita buruk.

The argument-as-war metaphor is just ... it's a monster.

Perumpamaan perdebatan-sebagai-perang hanyalah, itu sebuah monster.

It's just taken up habitation in our mind,

Itu tinggal di dalam pikran kita,

and there's no magic bullet that's going to kill it.

dan tidak ada peluru ajaib yang akan membunuh itu.

Tidak ada tongkat sihir yang akan membuat itu hilang.

There's no magic wand that's going to make it disappear.

Saya tidak punya jawaban.

I don't have an answer.

But I have some suggestions.

Tapi saya punya saran,

Here's my suggestion:

dan ini saran saya.

If we want to think of new kinds of arguments,

Jika kita ingin memikirkan perdebatan baru,

what we need to do is think of new kinds of arguers.

apa yang kita butuhkan adalah pendebat baru.

So try this:

Jadi cobalah ini.

Think of all the roles that people play in arguments.

Pikirkan semua peran yang orang mainkan di dalam perdebatan.

There's the proponent and the opponent

Ada yang pro dan kontra

in an adversarial, dialectical argument.

dalam sebuah permusuhan, perdebatan dialektikal.

There's the audience in rhetorical arguments.

Ada penonton di dalam perdebatan retorikal.

There's the reasoner in arguments as proofs.

Ada seseorang yang berdebat secara logis dalam perdebatan-sebagai-bukti.

All these different roles.

Semua peran berbeda. Sekarang, dapatkah anda bayangkan sebuah perdebatan

Now, can you imagine an argument in which you are the arguer,

dimana anda adalah pendebat, tapi juga penonton

but you're also in the audience, watching yourself argue?

menonton diri anda berdebat?

Can you imagine yourself watching yourself argue,

Dapatkah anda bayangkan anda menonton anda berdebat,

kalah dalam perdebatan, dan tetap di akhir perdebatan,

losing the argument, and yet still, at the end of the argument, saying,

berkata, "Wow, itu merupakan perdebatan yang bagus."

"Wow, that was a good argument!"

Dapatkah anda melakukan itu? Saya pikir anda bisa.

Can you do that?

I think you can, and I think if you can imagine that kind of argument,

Dan saya pikir, jika anda dapat membayangkan perdebatan itu

where the loser says to the winner and the audience and the jury can say,

dimana yang kalah berkata ke pemenang

dan penonon dan juri dapat berkata,

"Yeah, that was a good argument,"

"Ya, itu adalah perdebatan yang bagus,"

then you have imagined a good argument.

maka anda sudah membayangkan sebuah perdebatan yang bagus.

And more than that,

Dan lebih dari itu, saya pikir anda telah membayangkan

I think you've imagined a good arguer,

seorang pendebat bagus, seorang pendebat yang berharga

an arguer that's worthy of the kind of arguer you should try to be.

yang anda sebaiknya coba untuk menjadi seperti itu.

Now, I lose a lot of arguments.

Sekarang, saya kalah dalam banyak perdebatan.

It takes practice to become a good arguer,

Diperlukan latihan untuk menjadi seorang pendebat yang baik

in the sense of being able to benefit from losing, but fortunately,

di dalam perasaan dapat memperoleh manfaat dari kekalahan,

tapi untungnya, saya memiliki banyak, banyak kolega

I've had many, many colleagues who have been willing to step up

yang bersedia maju dan menyediakan latihan itu untuk saya.

and provide that practice for me.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)