Lauren Zalaznick: The conscience of television

Translator: Ade Indarta Reviewer: Antonius Yudi Sendjaja

I want to say that really and truly,

Saya ingin mengatakan bahwa sebenarnya,

after these incredible speeches

setelah banyak pembicaraan dan ide

and ideas that are being spread,

yang luar biasa disebarkan,

I am in the awkward position

saya ada di posisi yang canggung

of being here to talk to you today

berada di sini berbicara di depan Anda

about television.

tentang televisi.

So most everyone watches TV.

Hampir semua orang menonton TV.

We like it. We like some parts of it.

Kita menyukainya, menyukai sebagian acaranya.

Here in America, people actually love TV.

Di Amerika, orang-orang menyukai TV.

The average American watches TV

Rata-rata orang Amerika menonton TV

for almost 5 hours a day.

hampir 5 jam sehari.

Okay?

Baik?

Now I happen to make my living these days in television,

Kebetulan saya mencari nafkah dari televisi sekarang ini,

so for me, that's a good thing.

jadi bagi saya, ini bagus.

But a lot of people don't love it so much.

Tapi ada banyak orang yang tidak begitu suka.

They, in fact, berate it.

Bahkan, mereka membencinya.

They call it stupid,

Mereka menyebutnya bodoh,

and worse, believe me.

dan banyak lagi.

My mother, growing up,

Ibu saya, ketika saya kecil,

she called it the "idiot box."

dia menyebutnya "kotak bodoh."

But my idea today is not to debate

Tapi ide saya hari ini bukan untuk mendebat

whether there's such a thing as good TV or bad TV;

apakah TV itu baik atau buruk;

my idea today

ide saya hari ini

is to tell you that I believe

untuk memberitahu Anda bahwa saya percaya

television has a conscience.

televisi punya hati nurani.

So why I believe that television has a conscience

Saya percaya televisi punya hati nurani

is that I actually believe

karena saya percaya

that television directly reflects

televisi secara langsung mencerminkan

the moral, political,

keadaan moral, politik,

social and emotional need states of our nation --

sosial, dan emosional bangsa kita --

that television is how we actually disseminate

televisi sebenarnya adalah cara kita menyebarkan

our entire value system.

keseluruhan sistem nilai kita.

So all these things are uniquely human,

Jadi semua ini hanya terjadi pada manusia,

and they all add up

dan semuanya menguatkan

to our idea of conscience.

ide kita akan hati nurani.

Now today, we're not talking about good and bad TV.

Hari ini kita tidak akan bicara tentang kebaikan atau keburukan TV.

We're talking about popular TV.

Kita akan bicara tentang TV populer.

We're talking about top-10 Nielsen-rated shows

Kita bicara tentang acara yang punya rating Nielsen 10 teratas

over the course of 50 years.

selama 50 tahun terakhir.

How do these Nielsen ratings

Bagaimana rating Nielsen ini

reflect not just what you've heard about,

tidak hanya mencerminkan apa yang Anda dengar,

which is the idea of our social, collective unconscious,

yaitu ide tentang alam bawah sadar kita secara kolektif, sosial,

but how do these top-10 Nielsen-rated shows

tapi juga bagaimana acara dengan rating Nielsen 10 teratas ini

over 50 years

selama 50 tahun

reflect the idea

mencerminkan ide

of our social conscience?

hati nurani sosial kita?

How does television evolve over time,

Bagaimana televisi berkembang dari waktu ke waktu

and what does this say about our society?

dan apa artinya bagi masyarakat kita?

Now speaking of evolution,

Berbicara tentang evolusi,

from basic biology, you probably remember

dari biologi dasar, Anda mungkin ingat

that the animal kingdom, including humans,

bahwa kerajaan binatang, termasuk manusia,

have four basic primal instincts.

punya empat naluri alamiah dasar.

You have hunger; you have sex; you have power;

Rasa lapar, seks, kekuatan,

and you have the urge for acquisitiveness.

dan keinginan untuk menguasai.

As humans, what's important to remember

Sebagai manusia, yang penting untuk diingat

is that we've developed, we've evolved over time

adalah kita sudah berkembang melewati waktu

to temper, or tame,

untuk menjinakkan

these basic animal instincts.

naluri hewan dasar tadi.

We have the capacity to laugh and cry.

Kita punya kemampuan untuk tertawa dan menangis.

We feel awe, we feel pity.

Kita merasa kagum, kasihan.

That is separate and apart

Ini memisahkan kita

from the animal kingdom.

dari kerajaan binatang.

The other thing about human beings

Hal lainnya tentang manusia

is that we love to be entertained.

kita suka dihibur.

We love to watch TV.

Kita suka menonton TV.

This is something that clearly separates us

Ini sesuatu yang jelas memisahkan kita

from the animal kingdom.

dari kerajaan binatang.

Animals might love to play,

Binatang suka bermain,

but they don't love to watch.

tapi mereka tidak suka menonton.

So I had an ambition

Jadi saya punya ambisi

to discover what could be understood

untuk menemukan apa yang bisa dipelajari

from this uniquely human relationship

dari hubungan pada manusia yang unik ini

between television programs

antara program televisi

and the human conscious.

dan hati nurani manusia.

Why has television entertainment evolved the way it has?

Mengapa hiburan televisi berkembang seperti sekarang ini?

I kind of think of it

Saya melihatnya

as this cartoon devil or angel

seperti kartun iblis dan malaikat ini

sitting on our shoulders.

duduk di bahu kita.

Is television literally functioning

Apakah televisi benar-benar berfungsi

as our conscience,

sebagai hati nurani kita,

tempting us and rewarding us at the same time?

menggoda kita dan bermanfaat pada saat yang sama?

So to begin to answer these questions,

Untuk mulai menjawab pertanyaan ini,

we did a research study.

kami melakukan penelitian.

We went back 50 years

Kami kembali ke 50 tahun yang lalu

to the 1959/1960 television season.

ke musim televisi tahun 1959/1960.

We surveyed the top-20 Nielsen shows

Kami mensurvei acara yang rating Nielsen-nya 20 teratas

every year for 50 years --

setiap tahun selama 50 tahun --

a thousand shows.

seribu acara.

We talked to over 3,000 individuals --

Kami berbicara dengan lebih dari 3.000 individu --

almost 3,600 --

hampir 3.600 orang --

aged 18 to 70,

berusia 18 sampai 70 tahun,

and we asked them how they felt emotionally.

dan kami bertanya tentang perasaan mereka.

How did you feel

Apa yang Anda rasakan

watching every single one of these shows?

saat menonton setiap acara itu?

Did you feel a sense of moral ambiguity?

Apakah Anda merasakan ambiguitas moral?

Did you feel outrage? Did you laugh?

Apakah Anda merasa marah? Apakah Anda tertawa?

What did this mean for you?

Apakah ini ada artinya bagi Anda?

So to our global TED audiences,

Seluruh pemirsa TED global,

I want to say that this was a U.S. sample.

Contoh ini memang dari Amerika.

But as you can see,

Tapi seperti yang bisa Anda lihat,

these emotional need states are truly universal.

keadaan kebutuhan emosi ini benar-benar universal.

And on a factual basis,

Dan faktanya,

over 80 percent of the U.S.'s most popular shows

lebih dari 80 persen acara yang paling populer di Amerika

are exported around the world.

diekspor ke seluruh dunia.

So I really hope our global audiences

Jadi saya berharap pemirsa global

can relate.

dapat melihat hubungannya.

Two acknowledgments

Dua ucapan terima kasih

before our first data slide:

sebelum lembar data pertama kami:

For inspiring me

Atas inspirasi

to even think about the idea of conscience

yang membuat saya memikirkan tentang hati nurani

and the tricks that conscience can play on us on a daily basis,

dan trik yang dapat dimainkannya terhadap kita sehari-hari.

I thank legendary rabbi, Jack Stern.

Saya berterima kasih kepada rabbi legendaris, Jack Stern.

And for the way in which I'm going to present the data,

Untuk penyajian data ini,

I want to thank TED community superstar Hans Rosling,

saya ingin berterima kasih kepada superstar komunitas TED, Hans Rosling,

who you may have just seen.

yang mungkin tadi Anda lihat.

Okay, here we go.

Baiklah, ini dia.

So here you see,

Jadi di sini kita lihat,

from 1960 to 2010,

dari tahun 1960 sampai 2010,

the 50 years of our study.

50 tahun penelitan kami.

Two things we're going to start with --

Kami akan mulai dengan dua hal --

the inspiration state and the moral ambiguity state,

keadaan inspirasi dan keadaan ambiguitas moral,

which, for this purpose,

yang, untuk tujuan penelitian ini,

we defined inspiration

kami mendefinisikan inspirasi

as television shows that uplift me,

sebagai acara televisi yang menyemangati saya,

that make me feel much more positive about the world.

yang membuat saya merasa lebih positif akan dunia ini.

Moral ambiguity are televisions shows

Ambiguitas moral adalah acara televisi

in which I don't understand

yang di dalamnya saya tidak paham

the difference between right and wrong.

akan perbedaan benar dan salahnya.

As we start, you see in 1960

Kita mulai, kita lihat di tahun 1960

inspiration is holding steady.

inspirasi posisinya tetap.

That's what we're watching TV for.

Itu yang mereka cari di TV.

Moral ambiguity starts to climb.

Ambiguitas moral mulai naik.

Right at the end of the 60s,

Tepat di akhir tahun 60-an,

moral ambiguity is going up,

ambiguitas moral naik,

inspiration is kind of on the wane.

inspirasi sepertinya melemah.

Why?

Mengapa?

The Cuban Missile Crisis, JFK is shot,

Krisis Misil Kuba, JFK ditembak,

the Civil Rights movement,

Pergerakan Hak Asasi,

race riots, the Vietnam War,

kerusuhan ras, Perang Vietnam,

MLK is shot, Bobby Kennedy is shot,

MLK ditembak, Bobby Kennedy ditembak,

Watergate.

Watergate.

Look what happens.

Lihat apa yang terjadi.

In 1970, inspiration plummets.

Di tahun 1970, inspirasi tumbang.

Moral ambiguity takes off.

Ambiguitas moral melesat.

They cross,

Keduanya bersilangan,

but Ronald Reagan, a telegenic president, is in office.

tapi Ronal Reagan, yang sering muncul di TV, terpilih.

It's trying to recover.

Jadi mencoba pulih.

But look, it can't:

Tapi lihat, tidak bisa:

AIDS, Iran-Contra,

AIDS, Kontra-Iran,

the Challenger disaster, Chernobyl.

bencana Challenger, Chernobyl.

Moral ambiguity becomes the dominant meme in television

Ambiguitas moral menjadi steno yang dominan di televisi

from 1990 for the next 20 years.

dari tahun 1990 sampai 20 tahun kemudian.

Take a look at this.

Coba lihat ini.

This chart is going to document a very similar trend.

Grafik ini akan mendokumentasikan kecenderungan serupa.

But in this case, we have comfort -- the bubble in red --

Tapi di sini, ada rasa nyaman -- lingkaran merah --

social commentary and irreverence

komentar sosial dan cemoohan

in blue and green.

pada warna biru dan hijau.

Now this time on TV

Dalam masa ini di TV

you have "Bonanza," don't forget, you have "Gunsmoke,"

kita punya "Bonanza," jangan lupa, kita punya "Gunsmoke,"

you have "Andy Griffith,"

kita punya "Andy Griffith,"

you have domestic shows all about comfort.

kita punya acara lokal yang semuanya tentang rasa nyaman.

This is rising. Comfort stays whole.

Ini semakin naik. Kenyamanannya tetap.

Irreverence starts to rise.

Cemoohan mulai naik.

Social commentary is all of a sudden spiking up.

Komentar sosial tiba-tiba menanjak naik.

You get to 1969, and look what happens.

Kita sampai di tahun 1969, dan lihat apa yang terjadi.

You have comfort, irreverence, and social commentary,

Rasa nyaman, cemoohan, dan komentar sosial,

not only battling it out in our society,

tidak hanya bersaing di masyarakat kita,

but you literally have two establishment shows --

tapi kita benar-benar punya dua acara khusus --

"Gunsmoke" and "Gomer Pyle" --

"Gunsmoke" dan "Gomer Pyle" --

in 1969 are the number-two- and number-three-rated television shows.

di tahun 1969 acara televisi dengan rating nomor dua dan tiga.

What's number one?

Apa yang nomor satu?

The socially irreverent hippie show,

Acara cemoohan sosial hippie,

"Rowan and Martin's Laugh-In."

"Rowan and Martin's Laugh-In."

They're all living together, right.

Acara itu tayang bersama-sama, bukan.

Viewers had responded dramatically.

Pemirsa menanggapi secara dramatis.

Look at this green spike in 1966

Lihat layar ini menanjak tahun 1966

to a bellwether show.

ke sebuah acara baru.

When you guys hear this industry term, a breakout hit,

Kalau Anda mendengar istilah industri ini, sukses besar,

what does that mean?

apa artinya?

It means in the 1966 television season,

Pada musim televisi tahun 1966,

The "Smothers Brothers" came out of nowhere.

"Smothers Brothers" tiba-tiba muncul.

This was the first show

Ini acara pertama

that allowed viewers to say,

yang membuat pemirsa bicara,

"My God,

"Astaga,

I can comment on how I feel about the Vietnam War,

saya bisa mengungkapkan perasaan saya tentang Perang Vietnam,

about the presidency, through television?"

tentang presiden, lewat televisi?"

That's what we mean by a breakout show.

Itulah arti acara yang sukses besar.

So then, just like the last chart, look what happens.

Jadi kemudian seperti grafik yang terakhir, lihat apa yang terjadi.

In 1970,

Di tahun 1970,

the dam bursts. The dam bursts.

bendungannya pun jebol.

Comfort is no longer why we watch television.

Kenyamanan bukan lagi alasan mereka menonton televisi.

Social commentary and irreverence

Komentar sosial dan cemoohaan

rise throughout the 70s.

naik sepanjang tahun 70-an.

Now look at this.

Sekarang lihat ini.

The 70s means who? Norman Lear.

Tahun 70-an berarti siapa? Norman Lear.

You have "All in the Family," "Sanford and Son,"

Kita punya "All in the Family," "Sanford and Son,"

and the dominant show --

dan acara yang selalu sinis --

in the top-10 for the entire 70s --

di posisi 10 teratas sepanjang 70-an --

"MAS*H."

"MAS*H."

In the entire 50 years

Sepanjang 50 tahun

of television that we studied,

perkembangan televisi yang kami teliti,

seven of 10 shows

tujuh dari 10 acara

ranked most highly for irreverence

paling tinggi rankingnya untuk cemoohan

appeared on air during the Vietnam War,

ditayangkan saat Perang Vietnam,

five of the top-10 during the Nixon administration.

lima dari 10 acara teratas itu saat pemerintahan Nixon.

Only one generation, 20 years in,

Hanya satu generasi, dalam 20 tahun,

and we discovered,

dan kami menemukan,

Wow! TV can do that?

Wow! TV bisa melakukan itu?

It can make me feel this?

Bisa membuat saya merasa seperti ini?

It can change us?

Bisa mengubah kita?

So to this very, very savvy crowd,

Kepada hadirin yang sangat cerdas di sini,

I also want to note

saya ingin menekankan

the digital folks did not invent disruptive.

para pekerja digital tidak menciptakan goncangan ini.

Archie Bunker was shoved out of his easy chair

Archie Bunker ditendang dari kursinya

along with the rest of us

bersama yang lainnya

40 years ago.

40 tahun lalu.

This is a quick chart. Here's another attribute:

Ini grafik pendek. Ini atribut yang lain:

fantasy and imagination,

fantasi dan imajinasi,

which are shows defined as,

acara yang didefinisikan sebagai,

"takes me out of my everyday realm"

"keluarkan aku dari kenyataan sehari-hari"

and "makes me feel better."

dan "buat aku merasa lebih baik."

That's mapped against the red dot, unemployment,

Itu dipetakan dengan titik merah, pengangguran,

which is a simple Bureau of Labor Department statistic.

dari statistik sederhana Departemen Tenaga Kerja.

You'll see

Kita lihat

that every time fantasy and imagination shows rise,

setiap kali fantasi dan imaginasi menunjukkan kenaikan,

it maps to a spike in unemployment.

tercermin pada kenaikan pengangguran.

Do we want to see shows

Apakah kita ingin melihat acara

about people saving money and being unemployed?

tentang orang-orang yang menghemat uang dan pengangguran?

No. In the 70s

Tidak. Di tahun 70-an

you have the bellwether show "The Bionic Woman"

kita punya acara baru "The Bionic Woman"

that rocketed into the top-10 in 1973,

yang sukses naik ke 10 teratas di tahun 1973,

followed by the "Six Million-Dollar Man" and "Charlie's Angels."

diikuti oleh "Six Million-Dollar Man" dan "Charlie's Angels."

Another spike in the 1980s --

Kenaikan berikutnya di tahun 1980-an --

another spike in shows about control and power.

kenaikan lain pada acara tentang kontrol dan kekuasaan.

What were those shows?

Acara apa itu?

Glamorous and rich.

Acara yang glamor dan kaya.

"Dallas," "Fantasy Island."

"Dallas," "Fantasy Island."

Incredible mapping of our national psyche

Luar biasa cocok dengan psikologi bangsa kita

with some hard and fast facts:

dengan beberapa fakta:

unemployment.

pengangguran.

So here you are, in my favorite chart,

Jadi kita sampai di grafik favorit saya,

because this is our last 20 years.

karena ini 20 tahun terakhir.

Whether or not you're in my business,

Meskipun mungkin Anda tidak di industri ini,

you have surely heard or read

Anda pasti pernah dengar atau membaca

of the decline of the thing called the three-camera sitcom

penurunan sesuatu yang disebut komedi situasi tiga-kamera

and the rise of reality TV.

dan kemunculan reality TV.

Well, as we say in the business,

Seperti yang kita katakan di industri ini,

X marks the spot.

X menandai titiknya.

The 90s -- the big bubbles of humor --

Tahun 90-an -- gelembung besar acara humor --

we're watching "Friends," "Frasier," "Cheers" and "Seinfeld."

kita menonton "Friends," "Frasier," "Cheers" dan "Seinfeld."

Everything's good, low unemployment.

Semuanya bagus, pengangguran rendah.

But look: X marks the spot.

Tapi lihat: X menandai titiknya.

In 2001,

Tahun 2001,

the September 2001 television season,

musim televisi September 2001,

humor succumbs to judgment once and for all.

humor kalah dengan pengadilan selamanya.

Why not?

Mengapa tidak?

We had a 2000 presidential election

Ada pemilihan presiden tahun 2000

decided by the Supreme Court.

yang diputuskan oleh Mahkamah Agung.

We had the bursting of the tech bubble.

Kita mengalami pecahnya gelembung teknologi.

We had 9/11.

Kita mengalami 11 September.

Anthrax becomes part of the social lexicon.

Antraks menjadi bagian dari leksikon sosial kita.

Look what happens when we keep going.

Lihat apa yang terjadi kalau kita lanjutkan.

At the turn of the century, the Internet takes off,

Pada pergantian abad, Internet lepas landas,

reality television has taken hold.

televisi realitas tertahan.

What do people want in their TV then?

Apa yang orang inginkan di TV mereka?

I would have thought revenge

Saya akan menyebut balas dendam

or nostalgia.

atau nostalgia.

Give me some comfort; my world is falling apart.

Berikan saya rasa nyaman; dunia saya sedang hancur.

No, they want judgment.

Tidak, mereka ingin mengadili.

I can vote you off the island.

Saya bisa memilih Anda keluar dari pulau.

I can keep Sarah Palin's daughter dancing.

Saya bisa membiarkan putri Sarah Palin menari.

I can choose the next American Idol. You're fired.

Saya bisa memilih Idola Amerika berikutnya. Anda dipecat.

That's all great, right?

Hebat, bukan?

So as dramatically different as these television shows,

Tapi sangat berbeda dari acara-acara televisi ini,

pure entertainment, have been over the last 50 years --

hiburan murni, sudah ada lebih dari 50 tahun ini --

what did I start with? --

di mana saya harus mulai? --

one basic instinct remains.

ada satu naluri dasar yang sama.

We're animals, we need our moms.

Kita itu binatang, kita perlu para ibu.

There has not been a decade of television

Belum ada satu dekade pun dalam televisi

without a definitive, dominant TV mom.

tanpa acara Ibu TV yang dominan,

The 1950s:

Tahun 1950-an:

June Cleever in the original comfort show, "Leave it to Beaver."

June Cleever dalam acara orisinil penuh rasa nyaman, "Leave it to Beaver."

Lucille Ball kept us laughing

Lucille Ball membuat kita terus tertawa

through the rise of social consciousness in the 60s.

melalui kebangkitan kesadaran sosial di tahun 60-an.

Maude Findlay,

Maude Findlay,

the epitome of the irreverent 1970s,

epitome cemoohan pada tahun 1970-an,

who tackled abortion, divorce,

yang menyinggung aborsi, perceraian,

even menopause on TV.

bahkan menopause di TV.

The 1980s,

Di tahun 1980-an,

our first cougar was given to us

tante girang kita pertama muncul

in the form of Alexis Carrington.

dalam bentuk Alexis Carrington.

Murphy Brown took on a vice president

Murphy Brown menentang wakil presiden

when she took on the idea of single parenthood.

ketika dia mempopulerkan ide orang tua tunggal.

This era's mom,

Ibu era ini,

Bree Van de Kamp.

Bree Van de Kamp.

Now I don't know if this is the devil or the angel

Saya tidak tahu apakah ini iblis dan malaikat

sitting on our conscience,

yang duduk di hati nurani kita,

sitting on television's shoulders,

yang duduk di dalam televisi,

but I do know that I absolutely love this image.

tapi yang saya tahu, saya sangat suka gambar ini.

So to you all,

Jadi untuk Anda semua,

the women of TEDWomen, the men of TEDWomen,

wanita dari TEDWomen, pria dari TEDWomen,

the global audiences of TEDWomen,

pemirsa global TEDWomen,

thank you for letting me present my idea

terima kasih telah mengizinkan saya mempresentasikan ide saya

about the conscience of television.

tentang hati nurani televisi.

But let me also thank the incredible creators

Izinkan saya juga berterima kasih kepada para pencipta

who get up everyday

yang bangun setiap harinya

to put their ideas on our television screens

untuk mewujudkan ide-ide mereka ke layar televisi

throughout all these ages of television.

sepanjang usia televisi ini.

They give it life on television, for sure,

Pastinya, mereka turut mewarnai televisi,

but it's you as viewers,

tapi Andalah sebagai pemirsa,

through your collective social consciences,

melalui hati nurani sosial kolektif Anda,

that give it life, longevity,

yang memberikannya hidup, usia panjang,

power or not.

kekuatan atau tidak.

So thanks very much.

Jadi, terima kasih banyak.

(Applause)

(Tepuk tangan)