The Japanese myth of the trickster raccoon - Iseult Gillespie

Translator: Mellysa Henggar Reviewer: Maria Nainggolan

On the dusty roads of a small village,

Di jalanan berdebu di sebuah desa kecil,

a travelling salesman was having difficulty selling his wares.

seorang penjual keliling kesulitan menjual barang dagangannya.

He’d recently traversed the region just a few weeks ago,

Ia telah melalui wilayah ini beberapa minggu lalu,

and most of the villagers had already seen his supply.

dan kebanyakan penduduk desa sudah tahu apa yang ia jual.

So he wandered the outskirts of the town

Sehingga ia mondar-mandir di pinggiran kota

in the hopes of finding some new customers.

dengan harapan bisa mendapatkan pelanggan baru.

Unfortunately, the road was largely deserted,

Sayangnya, sebagian besar jalanannya sepi,

and the salesman was about to turn back,

dan ketika si penjual hendak putar arah,

when he heard a high-pitched yelp coming from the edge of the forest.

ia mendengar pekikan melengking yang asalnya dari pinggir hutan.

Following the screams to their source, he discovered a trapped tanuki.

Mengikuti asal dari teriakan tersebut, ia menemukan tanuki yang terjebak.

While these racoon-like creatures were known for their wily ways,

Makhluk yang mirip rakun ini terkenal dengan cara mereka yang licik,

this one appeared terrified and powerless.

tanuki yang ini tampak ketakutan dan tak berdaya.

The salesman freed the struggling creature,

Si penjual kemudian memberi makan tanuki ini,

but before he could tend to its wounds, it bolted into the undergrowth.

tetapi sebelum ia dapat merawat lukanya, tanuki itu telah melesat ke semak-semak.

The next day, he set off on his usual route.

Keesokan harinya, ia berangkat ke rute biasa.

As he trudged along, he spotted a discarded tea kettle.

Dalam perjalanan, ia melihat teko teh yang dibuang.

It was rusty and old— but perhaps he could sell it to the local monks.

Tekonya karatan dan tua—tetapi mungkin ia dapat menjualnya ke biksu lokal.

The salesman polished it until it sparkled and shone.

Si penjual memoles teko itu hingga mengkilat dan bersinar.

He carried the kettle to Morin-ji Temple and presented it to the solemn monks.

Penjual membawa teko itu ke Kuil Morinji dan dipersembahkan ke biksu yang khusyuk.

His timing was perfect—

Waktunya cukup sempurna—

they were in need of a large kettle for an important service,

para biksu tengah membutuhkan teko yang besar untuk ibadah penting,

and purchased his pot for a handsome price.

dan membeli tekonya dengan harga yang tak sedikit.

To open the ceremony, they began to pour cups of tea for each monk—

Untuk mengawali ritual, mereka menuangkan secangkir teh untuk tiap biksu—

but the kettle cooled too quickly.

tetapi tekonya mendingin terlalu cepat.

It had to be reheated often throughout the long service,

Tekonya harus selalu dipanaskan untuk ibadah yang panjang,

and when it was hot, it seemed to squirm in the pourer’s hand.

dan ketika sudah panas, isi teko malah menggeliat ke tangan penuang.

By the end of the ceremony, the monks felt cheated by their purchase,

Setelah ritual selesai,para biksu merasa ditipu oleh barang beliannya,

and called for the salesman to return and explain himself.

dan memanggil si penjual kembali dan menjelaskan apa yang terjadi.

The following morning, the salesman examined the pot,

Esok harinya, si penjual mengetes tekonya,

but he couldn’t find anything unusual about it.

namun ia tak menemukan hal yang ganjil.

Hoping a cup of tea would help them think,

Berharap teh akan membantu mereka berpikir,

they set the kettle on the fire.

mereka memanaskan teko di atas api.

Within moments, the metal began to sweat.

Sesaat kemudian, logam teko mulai berkeringat.

Suddenly, it sprouted a scrubby tail, furry paws and pointed nose.

Tiba-tiba,tumbuh ekor yang lusuh, cakar berbulu, dan hidung runcing.

With a yelp, the salesman recognized the tanuki he’d freed.

Dari pekikan, si penjual mengenali kalau itu adalah tanuki yang ia bebaskan.

The salesman was shocked.

Si penjual terkaget-kaget.

He’d heard tales of shape-shifting tanuki

Ia pernah dengar cerita tanuki yang berubah bentuk

who transformed by pulling on their testicles.

dengan cara menarik testis mereka.

But they were usually troublesome tricksters,

Tetapi biasanya mereka penipu yang merepotkan,

who played embarrassing pranks on travellers,

yang memainkan lelucon memalukan pada pengunjung,

or made it rain money that later dissolved into leaves.

atau membuat hujan uang yang kemudian berubah menjadi daun.

Some people even placed tanuki statues outside their homes and businesses

Beberapa orang bahkan menaruh patung tanuki di luar rumah atau kantor

to trick potential pranksters into taking their antics elsewhere.

untuk mengelabui orang iseng melakukan trik lelucon.

However, this tanuki only smiled sweetly.

Akan tetapi, tanuki ini hanya tersenyum dengan manis.

Why had he chosen this unsuspecting form?

Kenapa ia menjelma dalam bentuk yang tak mencurigakan?

The tanuki explained that he wanted to repay the salesman’s kindness.

Tanuki ini menjelaskan kalau ia ingin membalas budi atas kebaikan penjual itu.

However, he’d grown too hot as a tea kettle,

Namun ia dipanaskan terlalu panas sebagai teko teh,

and didn’t like being burned, scrubbed, or polished.

dan ia tak suka dibakar, digosok, atau pun dipoles.

The monk and salesman laughed, both impressed by this honourable trickster.

Sang biksu dan penjual tertawa, keduanya kagum dengan penipu terhormat ini.

From that day on, the tanuki became an esteemed guest of the temple.

Semenjak hari itu, tanuki ini menjadi tamu terhormat di kuil.

He could frequently be found telling tales and performing tricks

Ia sering ditemui tengah bercerita atau mempertunjukkan trik-trik

that amused even the most serious monks.

yang mengesankan bahkan pada biksu-biksu yang serius.

Villagers came from far away to see the temple tanuki,

Penduduk datang dari nun jauh di sana untuk melihat kuil tanuki,

and the salesman visited often to share tea made from an entirely normal kettle.

dan si penjual sering berkunjung membagi teh dari teko yang sepenuhnya normal.