Latif Nasser: The amazing story of the man who gave us modern pain relief

Translator: Desy Chris Reviewer: Sarmoko Sarmoko

A few years ago,

Beberapa tahun yang lalu,

my mom developed rheumatoid arthritis.

ibu saya menderita Rheumatoid Arthritis.

Her wrists, knees and toes swelled up, causing crippling, chronic pain.

Pergelangan tangan, lutut, dan jari kakinya bengkak,

menyebabkan lumpuh dan nyeri kronis.

She had to file for disability.

Dia harus mendaftarkan diri sebagai penderita cacat.

She stopped attending our local mosque.

Dia tak bisa lagi datang ke masjid.

Some mornings it was too painful for her to brush her teeth.

Ada kalanya di pagi hari, ia kesakitan ketika menyikat gigi.

I wanted to help.

Saya ingin menolong.

But I didn't know how.

Tapi saya tidak tahu bagaimana caranya.

I'm not a doctor.

Saya bukan seorang dokter.

So, what I am is a historian of medicine.

Saya adalah ahli sejarah ilmu kedokteran.

So I started to research the history of chronic pain.

Jadi saya mulai meneliti sejarah nyeri kronis.

Turns out, UCLA has an entire history of pain collection

Ternyata UCLA memiliki koleksi sejarah lengkap tentang sakit nyeri

in their archives.

di arsip mereka.

And I found a story -- a fantastic story --

Saya menemukan sebuah cerita -- cerita luar biasa --

of a man who saved -- rescued -- millions of people from pain;

tentang seorang pria yang menyelamatkan jutaan orang dari rasa nyeri;

people like my mom.

orang seperti ibu saya.

Yet, I had never heard of him.

Tapi, saya tak pernah mendengar tentangnya.

There were no biographies of him, no Hollywood movies.

Tak ada biografi atau film Hollywood tentangnya.

His name was John J. Bonica.

Namanya John J. Bonica.

But when our story begins,

Tapi ketika cerita ini bermula,

he was better known as Johnny "Bull" Walker.

dia lebih dikenal sebagai Johnny "Bull" Walker.

It was a summer day in 1941.

Jadi, waktu itu musim panas tahun 1941.

The circus had just arrived in the tiny town of Brookfield, New York.

Kelompok sirkus baru saja sampai di kota kecil Brookfield, New York.

Spectators flocked to see the wire-walkers, the tramp clowns --

Penonton beramai-ramai datang untuk menonton pejalan kawat, badut konyol --

if they were lucky, the human cannonball.

dan kalau mereka beruntung, meriam manusia.

They also came to see the strongman, Johnny "Bull" Walker,

Mereka juga datang untuk melihat pria kuat, Johnny "Bull" Walker,

a brawny bully who'd pin you for a dollar.

preman berotot yang akan menusukmu untuk uang satu dolar.

You know, on that particular day, a voice rang out

Pada hari itu, terdengar suara kencang

over the circus P.A. system.

melalui pengeras suara milik sirkus.

They needed a doctor urgently, in the live animal tent.

Mereka butuh dokter segera di tenda hewan.

Something had gone wrong with the lion tamer.

Ada masalah dengan si penjinak singa.

The climax of his act had gone wrong,

Puncak pertunjukannya tidak berjalan mulus,

and his head was stuck inside the lion's mouth.

dan kepala si penjinak singa tersangkut dalam mulut singa.

He was running out of air;

Ia mulai kehabisan napas;

the crowd watched in horror

penonton melihat ketakutan,

as he struggled and then passed out.

sementara si penjinak singa berjuang sebelum jatuh pingsan.

When the lion finally did relax its jaws,

Ketika akhirnya sang singa melemaskan rahangnya,

the lion tamer just slumped to the ground, motionless.

si penjinak singa roboh ke tanah, tak bergerak.

When he came to a few minutes later,

Ketika ia bangun beberapa menit kemudian,

he saw a familiar figure hunched over him.

ia melihat sosok familiar membungkuk di atasnya.

It was Bull Walker.

Sosok itu adalah Bull Walker.

The strongman had given the lion tamer mouth-to-mouth, and saved his life.

Pria kuat itu telah memberinya pernapasan buatan, dan menyelamatkan nyawanya.

Now, the strongman hadn't told anyone,

Bull tak pernah memberitahu siapapun

but he was actually a third-year medical student.

bahwa sebenarnya ia adalah mahasiswa kedokteran tingkat tiga.

He toured with the circus during summers to pay tuition,

Dia berkeliling dengan sirkus selama musim panas untuk membiayai kuliahnya,

but kept it a secret to protect his persona.

namun merahasiakannya untuk menjaga personanya.

He was supposed to be a brute, a villain --

Dia seharusnya menjadi seorang barbar, bandit --

not a nerdy do-gooder.

bukan seorang kutu buku yang baik hati.

His medical colleagues didn't know his secret, either.

Teman-teman kuliahnya juga tidak tahu rahasianya.

As he put it, "If you were an athlete, you were a dumb dodo."

Seperti kata Bull,

"Kalau kamu seorang atlet, kau pasti bodoh."

So he didn't tell them about the circus,

Jadi dia tidak menceritakan pada siapa pun tentang aktivitasnya di sirkus,

or about how he wrestled professionally on evenings and weekends.

atau tentang aktivitasnya sebagai pegulat profesional di malam hari dan akhir pekan.

He used a pseudonym like Bull Walker,

Ia menggunakan nama samaran Bull Walker,

or later, the Masked Marvel.

dan belakangan, Masked Marvel (Marvel bertopeng).

He even kept it a secret that same year,

Ia bahkan merahasiakan hal ini pada tahun yang sama,

when he was crowned the Light Heavyweight Champion

saat ia menjuarai kelas berat ringan (Light Heavyweight Champion),

of the world.

juara dunia.

Over the years, John J. Bonica lived these parallel lives.

Selama bertahun-tahun, John J. Bonica menjalani kehidupan paralel ini.

He was a wrestler;

Ia adalah pegulat,

he was a doctor.

ia adalah dokter.

He was a heel;

Ia adalah pecundang,

he was a hero.

ia adalah pahlawan.

He inflicted pain,

Ia merasa nyeri,

and he treated it.

ia mengobati dirinya.

And he didn’t know it at the time, but over the next five decades,

Dan saat itu ia tak mengetahuinya, tapi selama 5 dekade berikutnya,

he'd draw on these dueling identities

ia menggunakan identitas dirinya yang berlawanan

to forge a whole new way to think about pain.

untuk memadukan cara baru yang utuh dalam melihat nyeri.

It'd change modern medicine so much so, that decades later,

Hal ini telah mengubah dunia kedokteran modern, sehingga beberapa dekade kemudian

Time magazine would call him pain relief's founding father.

Majalah TIME menjuluki ia sebagai penemu pereda nyeri.

But that all happened later.

Tapi itu semua terjadi kemudian.

In 1942, Bonica graduated medical school and married Emma,

Tahun 1942, Bonica lulus dari sekolahnya dan menikahi Emma,

his sweetheart, whom he had met at one of his matches years before.

kekasihnya, yang dikenalnya di salah satu pertandingannya.

He still wrestled in secret -- he had to.

Secara diam-diam, ia masih bergulat --karena memang ia harus

His internship at New York's St. Vincent's Hospital paid nothing.

Kerja magangnya di RS. St. Vincent tanpa dibayar.

With his championship belt, he wrestled in big-ticket venues,

Dengan sabuk kejuarannya, ia bergulat di tempat yang bertiket besar,

like Madison Square Garden,

seperti Madison Square Garden,

against big-time opponents,

melawan musuh besarnya,

like Everett "The Blonde Bear" Marshall,

seperti Everett Marshall, "Si Beruang Pirang"

or three-time world champion, Angelo Savoldi.

atau Angelo Savoldi, yang telah juara dunia 3 kali.

The matches took a toll on his body;

Pertandingan itu menyakiti tubuhnya;

he tore hip joints, fractured ribs.

sendi pinggulnya robek, dan tulang rusuknya retak.

One night, The Terrible Turk's big toe scratched a scar like Capone's

Jari kaki Terrible Turk mencakarnya membuat bekas luka seperti milik Capone

down the side of his face.

tepat di sisi wajahnya.

The next morning at work, he had to wear a surgical mask to hide it.

Esok paginya di tempat kerja, ia memakai masker bedah untuk menyembunyikannya.

Twice Bonica showed up to the O.R. with one eye so bruised,

Dua kali Bonica ada di ruangan operasi dengan mata yang memar,

he couldn't see out of it.

ia tak bisa bertahan lebih lama

But worst of all were his mangled cauliflower ears.

Namun yang terburuk adalah telinganya yang menderita penyakit bunga kol

He said they felt like two baseballs on the sides of his head.

Katanya, dia merasa seperti ada dua baseball di kepala.

Pain just kept accumulating in his life.

Nyeri terus menerus bertambah dalam hidupnya

Next, he watched his wife go into labor at his hospital.

Berikutnya, ia melihat isterinya melahirkan di rumah sakit.

She heaved and pushed, clearly in anguish.

Isterinya menghela dan mendorong, dan terlihat menderita.

Her obstetrician called out to the intern on duty

Dokter kandungan memanggil dokter magang bertugas,

to give her a few drops of ether to ease her pain.

untuk memberikan tetes obat bius untuk pereda nyeri.

But the intern was a young guy, just three weeks on the job --

Tapi dia masih muda, baru bekerja 3 minggu lalu --

he was jittery, and in applying the ether,

dia gugup dan ketika memberikan obat,

irritated Emma's throat.

menyakitkan tenggorokan Emma.

She vomited and choked, and started to turn blue.

Emma muntah dan tersedak, dan mulai menjadi biru.

Bonica, who was watching all this, pushed the intern out of the way,

Bonica, yang menyaksikan semuanya, mendorong dokter magang,

cleared her airway,

lalu membersihkan jalan napas,

and saved his wife and his unborn daughter.

dan menyelamatkan istrinya, dan putrinya yang belum lahir.

At that moment, he decided to devote his life to anesthesiology.

Pada saat itu, ia memutuskan untuk mengabdikan hidupnya pada ilmu anestesi.

Later, he'd even go on to help develop the epidural, for delivering mothers.

Kemudian, ia mengembangkan epidural untuk para ibu yang melahirkan.

But before he could focus on obstetrics,

Namun, sebelum ia fokus pada ilmu kebidanan,

Bonica had to report for basic training.

Bonica harus melaporkan untuk pelatihan dasar.

Right around D-Day,

Mendekati hari H-nya,

Bonica showed up to Madigan Army Medical Center,

Bonica hadir di Pusat Medis Tentara Madigan,

near Tacoma.

dekat Tacoma.

At 7,700 beds, it was one of the largest army hospitals in America.

Dengan 7.700 tempat tidur, pusat tersebut adalah RS Militer terbesar di Amerika.

Bonica was in charge of all pain control there.

Bonica bertanggungjawab untuk semua kontrol nyeri disana.

He was only 27.

Ia baru berusia 27 tahun

Treating so many patients, Bonica started noticing cases

Merawat begitu banyak pasien, Bonica mulai menyadari beberapa kasus

that contradicted everything he had learned.

berlawanan dengan apa yang ia pelajari selama ini

Pain was supposed to be a kind of alarm bell -- in a good way --

Nyeri seharusnya menjadi semacam bel peringatan --dalam cara yang baik--

a body's way of signaling an injury, like a broken arm.

suatu cara tubuh untuk memberitahu adanya cedera, seperti lengan yang patah.

But in some cases,

Namun pada beberapa kasus,

like after a patient had a leg amputated,

seperti setelah pasien yang kakinya diamputasi

that patient might still complain of pain in that nonexistent leg.

pasien tersebut mungkin masih mengeluhkan nyeri di kaki yang sudah diambil.

But if the injury had been treated, why would the alarm bell keep ringing?

Tapi, Jika memang cedera sudah diobati, mengapa bel peringatan masih berbunyi?

There were other cases in which there was no evidence of an injury whatsoever,

Pada kasus lain, dimana tidak ditemukannya bukti adanya cedera

and yet, still the patient hurt.

namun pasien masih merasa sakit.

Bonica tracked down all the specialists at his hospital -- surgeons,

Bonica mencari semua dokter spesialis di rumah sakitnya -- dokter bedah,

neurologists, psychiatrists, others.

ahli saraf, psikiater, dan lainnya.

And he tried to get their opinions on his patients.

Dan ia mencoba untuk mendapatkan pendapat mereka atas pasiennya.

It took too long, so he started organizing group meetings over lunch.

Karena terlalu lama, ia mulai membentuk pertemuan kelompok makan siang.

It would be like a tag team of specialists going up against the patient's pain.

Ini akan menjadi seperti tim tag spesialis yang melawan nyeri pasien.

No one had ever focused on pain this way before.

Tak ada yang pernah fokus pada nyeri seperti ini sebelumnya.

After that, he hit the books.

Setelah itu, dia belajar dengan giat.

He read every medical textbook he could get his hands on,

Dia membaca tiap buku teks kedokteran yang ia bisa dapatkan,

carefully noting every mention of the word "pain."

secara berhati-hati mencatat setiap kata "nyeri".

Out of the 14,000 pages he read,

Dari 14.000 halaman yang dibacanya,

the word "pain" was on 17 and a half of them.

kata "nyeri" hanya ada ada 17,5 halaman

Seventeen and a half.

17,5 halaman.

For the most basic, most common, most frustrating part of being a patient.

Untuk bagian paling dasar, paling umum, paling membuat frustrasi dari pasien.

Bonica was shocked -- I'm quoting him,

Bonica terkejut --Saya mengutip kalimatnya

he said, "What the hell kind of conclusion can you come to there?

katanya, "Kesimpulan seperti apa ini?

The most important thing from the patient's perspective,

Hal yang paling penting dari sudut pandang pasien,

they don't talk about."

mereka tidak memikirkannya."

So over the next eight years, Bonica would talk about it.

Jadi, selama beberapa 8 tahun kedepannya Bonica membicarakannya.

He'd write about it; he'd write those missing pages.

Dia menuliskan bagian halaman yang hilang itu.

He wrote what would later be known as the Bible of Pain.

Dia menulis apa yang kemudian disebut dengan Kitab Nyeri.

In it he proposed new strategies,

Dia mengusulkan strategi baru,

new treatments using nerve-block injections.

pengobatan baru menggunakan suntikan blok saraf.

He proposed a new institution, the Pain Clinic,

Dia mengusulkan institusi baru, Klinik Nyeri,

based on those lunchtime meetings.

berdasarkan hasil rapat makan siang.

But the most important thing about his book

Tapi hal paling penting tentang bukunya

was that it was kind of an emotional alarm bell for medicine.

bahwa buku ini adalah bel alarm emosional untuk ilmu kedokteran.

A desperate plea to doctors to take pain seriously

Suatu bentuk permohonan kepada para dokter untuk memandang nyeri dengan serius

in patients' lives.

dalam kehidupan pasien.

He recast the very purpose of medicine.

Dia merombak kembali tujuan dari ilmu kedokteran.

The goal wasn't to make patients better;

Tujuannya bukanlah untuk membuat pasien lebih baik,

it was to make patients feel better.

namun untuk membuat pasien "merasa" lebih baik.

He pushed his pain agenda for decades,

Ia mendesak agenda nyeri selama dasawarsa,

before it finally took hold in the mid-'70s.

sebelum akhirnya bertahan di pertengahan tahun 70-an.

Hundreds of pain clinics sprung up all over the world.

Ratusan klinik nyeri bermunculan di seluruh dunia.

But as they did -- a tragic twist.

Sementara usaha mereka berhasil -- tragedi tak terduga.

Bonica's years of wrestling caught up to him.

Tahun-tahun dimana Bonica bermain gulat telah menjebak dia sendiri.

He had been out of the ring for over 20 years,

Dia telah lama keluar ring lebih dari 20 tahun

but those 1,500 professional bouts had left a mark on his body.

namun, 1.500 bekas dari pertandingan profesionalnya masih menetap di tubuhnya.

Still in his mid-50s, he suffered severe osteoarthritis.

Masih di pertengahan tahun 50-an, dia menderita osteoartritis yang parah.

Over the next 20 years he'd have 22 surgeries,

Selama 20 tahun berikutnya, ia telah melakukan 22 kali operasi,

including four spine operations,

termasuk 4 operasi tulang belakang,

and hip replacement after hip replacement.

dan penggantian pinggul.

He could barely raise his arm, turn his neck.

Dia hampir tidak bisa mengangkat lengannya, membalikkan lehernya

He needed aluminum crutches to walk.

Ia memerlukan kruk alumunium untuk berjalan.

His friends and former students became his doctors.

Teman-teman dan mantan muridnya menjadi dokternya.

One recalled that he probably had more nerve-block injections

Seseorang menyebut bahwa ia mungkin punya suntikan blok saraf lebih banyak

than anyone else on the planet.

daripada orang lain di planet ini.

Already a workaholic, he worked even more --

Sebagai orang yang yang gila kerja, dia bekerja lebih banyak lagi --

15- to 18-hour days.

15 sampai 18 jam per hari.

Healing others became more than just his job,

Menyembuhkan orang bukan lagi hanya pekerjaannya,

it was his own most effective form of relief.

ini adalah cara yang paling efektif untuk membuatnya lega.

"If I wasn't as busy as I am," he told a reporter at the time,

"Jika saya tidak sesibuk seperti sekarang," katanya pada reporter saat itu,

"I would be a completely disabled guy."

"Saya akan menjadi pria dengan disabilitas."

On a business trip to Florida in the early 1980s,

Pada suatu perjalanan bisnis ke Florida di awal tahun 1980,

Bonica got a former student to drive him to the Hyde Park area in Tampa.

Mantan murid Bonica menyupiri Bonica sampai area Hyde Park di Tampa.

They drove past palm trees and pulled up to an old mansion,

Mereka melaju melewati pohon palem dan mengarah ke sebuah rumah besar tua,

with giant silver howitzer cannons hidden in the garage.

dengan meriam howitze perak yang besar yang disembunyikan di garasi.

The house belonged to the Zacchini family,

Rumah itu milik keluarga Zacchini,

who were something like American circus royalty.

yaitu bagian dari royalti sirkus milik orang Amerika.

Decades earlier, Bonica had watched them,

Beberapa dekade sebelumnya, Bonica pernah menontonnya,

clad in silver jumpsuits and goggles,

memakai kacamata selam dan baju untuk lompat berwarna perak,

doing the act they pioneered -- the Human Cannonball.

melakukan suatu atraksi yang mereka ciptakan -- Manusia Peluru Meriam --

But now they were like him: retired.

Tetapi sekarang mereka seperti dia, pensiun.

That generation is all dead now, including Bonica,

Sekarang generasi itu sudah meninggal, termasuk Bonica,

so there's no way to know exactly what they said that day.

tidak ada cara untuk mengetahui percakapan mereka di hari itu.

But still, I love imagining it.

Namun saya senang membayangkannya.

The strongman and the human cannonballs reunited,

Pria yang kuat dan manusia peluru meriam berkumpul kembali,

showing off old scars, and new ones.

menunjukkan bekas luka lama dan baru mereka.

Maybe Bonica gave them medical advice.

Mungkin Bonica memberikan mereka saran medis.

Maybe he told them what he later said in an oral history,

Mungkin ia mengatakan kepada mereka hal yang dia katakan dalam sejarah lisan,

which is that his time in the circus and wrestling deeply molded his life.

mengenai masa dimanai sirkus dan gulat membentuk hidupnya.

Bonica saw pain close up.

Bonica melihat nyeri lebih dekat.

He felt it. He lived it.

Dia merasakannya. Dia menghidupkannya.

And it made it impossible for him to ignore in others.

Jadi rasanya tidak mungkin bagi dia untuk mengabaikan nyeri pada orang lain.

Out of that empathy, he spun a whole new field,

Karena empati itulah, dia berputar ke area yang benar-benar baru,

played a major role in getting medicine to acknowledge pain

berperan utama dalam meraih pengakuan akan nyeri dari kedokteran

in and of itself.

dan dalam dirinya sendiri.

In that same oral history,

Dalam sejarah lisan yang sama,

Bonica claimed that pain

Bonica menyatakan bahwa nyeri

is the most complex human experience.

adalah pengalaman manusia yang paling kompleks.

That it involves your past life, your current life,

Yang melibatkan kehidupanmu di masa lalu, kehidupanmu di masa kini,

your interactions, your family.

interaksimu, dengan keluargamu.

That was definitely true for Bonica.

Hal itu adalah benar bagi Bonica.

But it was also true for my mom.

Namun, juga benar untuk ibu saya.

It's easy for doctors to see my mom

Adalah hal yang mudah bagi dokter untuk melihat ibu saya

as a kind of professional patient,

sebagai salah satu pasien profesional,

a woman who just spends her days in waiting rooms.

seorang wanita yang hanya menghabiskan hari-harinya di ruang tunggu.

Sometimes I get stuck seeing her that same way.

Terkadang saya terjebak melihat ibu saya melihat seperti itu.

But as I saw Bonica's pain --

Namun, saat saya melihat nyeri Bonica --

a testament to his fully lived life --

kesaksian penuh tentang hidupnya --

I started to remember all the things that my mom's pain holds.

Saya mulai mengingat semua hal dari nyeri pada ibu saya.

Before they got swollen and arthritic,

Sebelum bengkak dan nyeri sendi,

my mom's fingers clacked away

jari-jari ibu saya berkeletak

in the hospital H.R. department where she worked.

di departemen SDM RS tempat dia bekerja.

They folded samosas for our entire mosque.

Jari-jari yang melipat samosa untuk seluruh masjid.

When I was a kid, they cut my hair,

Ketika saya masih kecil, mereka mencukur rambut saya,

wiped my nose,

mengelap hidung saya,

tied my shoes.

mengikat tali sepatu saya.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)