Who decides what art means? - Hayley Levitt

Translator: Adela Yolanda Sekarningtyas Reviewer: Deera Army Pramana

Imagine you and a friend are strolling through an art exhibit

Bayangkan kamu dan temanmu sedang menjelajahi suatu pameran seni

and a striking painting catches your eye.

dan sebuah lukisan menarik perhatianmu.

The vibrant red appears to you as a symbol of love,

Warna merah yang energik, kamu anggap sebagai simbol cinta,

but your friend is convinced it's a symbol of war.

tetapi temanmu meyakini itu simbol perang.

And where you see stars in a romantic sky,

Dan saat kamu melihat bintang-bintang di langit yang romantis,

your friend interprets global warming-inducing pollutants.

temanmu mengartikannya sebagai polusi penyebab pemananasan global.

To settle the debate, you turn to the internet, where you read

Untuk berhenti berbantah, kamu beralih ke internet dan membaca

that the painting is a replica of the artist's first-grade art project:

bahwa lukisan tadi adalah tiruan karya sang seniman di kelas satu sekolah dasar:

Red was her favorite color and the silver dots are fairies.

Merah adalah warna favoritnya dan titik-titik putih itu adalah para peri.

You now know the exact intentions that led to the creation of this work.

Kamu kini tahu latar belakang yang benar di balik penciptaan lukisan itu.

Are you wrong to have enjoyed it as something the artist didn’t intend?

Apakah salah menikmatinya dengan arti berbeda dengan tujuan pelukisnya?

Do you enjoy it less now that you know the truth?

Apakah kamu jadi kurang menyukainya setelah mengetahui faktanya?

Just how much should the artist's intention

Seberapa besar tujuan sang pelukis

affect your interpretation of the painting?

memengaruhi tafsiranmu terhadap lukisan itu?

It's a question that's been tossed around

Itu adalah pertanyaan yang diperdebatkan

by philosophers and art critics for decades, with no consensus in sight.

oleh para filsuf dan kritikus seni selama beberapa dekade tanpa ada kesepakatan.

In the mid-20th century,

Pada pertengahan abad ke-20,

literary critic W.K. Wimsatt and philosopher Monroe Beardsley

kritikus sastra W.K. Wimsatt dan filsuf Monroe Beardsley

argued that artistic intention was irrelevant.

berargumen bahwa tujuan dari seniman pembuat tidaklah relevan.

They called this the Intentional Fallacy:

Mereka menyebutnya teori Intentional Fallacy:

the belief that valuing an artist's intentions was misguided.

pendapat bahwa turut memperhitungkan tujuan seniman adalah salah kaprah.

Their argument was twofold:

Argumen mereka ada dua lapis:

First, the artists we study are no longer living,

Pertama, seniman yang dipelajari tak lagi hidup,

never recorded their intentions,

tujuan mereka tak tercatat,

or are simply unavailable to answer questions about their work.

atau jelas tak mungkin ditanya tentang karya mereka.

Second, even if there were a bounty of relevant information,

Kedua, meski terdapat berbagai informasi relevan,

Wimsatt and Beardsley believed

Wimsatt dan Beardsley meyakini

it would distract us from the qualities of the work itself.

hal itu akan mengalihkan kita dari kualitas karya itu sendiri.

Mereka membandingkan seni dengan makanan:

They compared art to a dessert:

Ketika kamu mencicipi sebuah puding,

When you taste a pudding,

the chef's intentions don't affect whether you enjoy its flavor or texture.

tujuan sang koki tak memengaruhi seleramu terhadap rasa atau teksturnya.

All that matters, they said, is that the pudding "works."

Yang penting, ungkap mereka, adalah puding itu "disukai".

Of course, what "works" for one person might not "work" for another.

Tentu, apa yang "disukai" seseorang belum tentu "disukai" oleh orang lain.

And since different interpretations appeal to different people,

Dan karena orang-orang tertarik pada tafsiran yang berbeda,

the silver dots in our painting could be reasonably interpreted as fairies,

titik putih pada lukisan ini dapat diartikan sebagai peri,

stars, or pollutants.

bintang, atau polutan.

By Wimsatt and Beardsley's logic, the artist's interpretation of her own work

Menurut logika Wimsatt dan Beardsley, tujuan seniman terhadap karyanya

would just be one among many equally acceptable possibilities.

hanyalah satu dari sekian yang bisa jadi sama-sama benar.

If you find this problematic,

Jika menurutmu ini kurang tepat,

you might be more in line with Steven Knapp and Walter Benn Michaels,

kamu mungkin sependapat dengan Steven Knapp dan Walter Benn Michaels,

two literary theorists who rejected the Intentional Fallacy.

dua teoritikus sastra yang menolak teori Intentional Fallacy.

They argued that an artist's intended meaning

Mereka berargumen bahwa maksud seorang seniman

was not just one possible interpretation,

bukan salah satu tafsiran yang memungkinkan,

but the only possible interpretation.

tetapi satu-satunya tafsiran yang benar.

For example, suppose you're walking along a beach

Contohnya, kamu berjalan menyusuri pantai

and come across a series of marks in the sand that spell out a verse of poetry.

dan mendapati rangkaian bait puisi tertulis di atas pasir.

Knapp and Michaels believed the poem would lose all meaning

Knapp dan Michaels yakin puisi itu tak akan berarti

if you discovered these marks were not the work of a human being,

jika kamu tahu itu tidak dibuat oleh manusia,

but an odd coincidence produced by the waves.

tetapi kebetulan acak yang terbentuk dari gelombang laut.

They believed an intentional creator

Mereka yakin penulis yang mempunyai maksud

is what makes the poem subject to understanding at all.

adalah faktor penting agar puisi dapat dimengerti.

Other thinkers advocate for a middle ground,

Para pemikir lain yang berada di tengah-tengah,

suggesting that intention is just one piece in a larger puzzle.

berpendapat tujuan seniman hanyalah sekeping bagian dari teka-teki utuh.

Contemporary philosopher Noel Carroll took this stance,

Filsuf kontemporer Noel Carroll meyakini pendapat ini,

arguing that an artist's intentions are relevant to their audience

ia berpendapat bahwa tujuan seniman berpengaruh pada penikmat karyanya

the same way a speaker's intentions

sama halnya seperti tujuan pembicara

are relevant to the person they’re engaging in conversation.

berpengaruh terhadap orang yang diajak bicara.

To understand how intentions function in conversation,

Untuk memahami bahwa keberadaan maksud berperan dalam percakapan,

Carroll said to imagine someone holding a cigarette and asking for a match.

Carroll berkata, bayangkan seseorang memegang rokok dan meminjam korek api.

You respond by handing them a lighter,

Kau merespons dengan memberikan korek api,

gathering that their motivation is to light their cigarette.

menyimpulkan maksudnya adalah untuk menyalakan rokok.

The words they used to ask the question are important,

Ungkapan yang dipakai untuk bertanya adalah hal penting,

but the intentions behind the question dictate your understanding and ultimately,

tetapi tujuan di balik pertanyaan menentukan pemahamanmu

dan pada akhirnya, tanggapanmu.

your response.

So which end of this spectrum do you lean towards?

Jadi kamu cenderung kepada pendapat yang mana?

Do you, like Wimsatt and Beardsley, believe that when it comes to art,

Apakah kamu, seperti Wimsat dan Beardsley, meyakini dalam sebuah karya seni,

the proof should be in the pudding?

buktinya hanya yang ada pada puding?

Or do you think that an artist's plans and motivations for their work

Atau kamu pikir rencana dan dorongan seniman dalam berkarya

affect its meaning?

akan berdampak pada makna karya?

Artistic interpretation is a complex web

Penafsiran seni bagaikan jejaring yang rumit

that will probably never offer a definitive answer.

yang mungkin tak akan pernah terjawab dengan pasti.