Why I fight for the education of refugee girls (like me) | Mary Maker

Translator: Chaaa . Reviewer: Laksmi Wijayanti

We do not choose where to be born.

Kita tidak memilih tempat kita lahir.

We do not choose who our parents are.

Kita tidak memilih siapa orang tua kita.

But we do choose how we are going to live our lives.

Tapi kita dapat memilih cara menjalani hidup kita

I did not choose to be born in South Sudan,

Saya tidak memilih untuk lahir di Sudan Selatan,

a country rife with conflict.

sebuah negara penuh konflik.

I did not choose my name --

Saya tidak memilih nama saya --

Nyiriak,

Nyiriak,

which means "war."

yang berarti "perang."

I've always rejected it

Saya selalu mengingkarinya,

and all the legacy it was born into.

dan semua peninggalan yang menyertainya.

I choose to be called Mary.

Saya memilih untuk dipanggil Mary.

As a teacher, I've stood in front of 120 students,

Sebagai guru, saya telah berhadapan dengan 120 murid,

so this stage does not intimidate me.

jadi saya tidak terintimidasi oleh panggung ini.

My students come from war-torn countries.

Murid-murid saya berasal dari negara yang hancur karena perang.

They're so different from each other,

Mereka sangat berbeda satu sama lain,

but they have one thing in common:

tapi mereka memiliki satu kesamaan:

they fled their homes in order to stay alive.

Mereka kabur dari rumah demi bertahan hidup.

Some of them belong to parents back home in South Sudan

Beberapa kabur dari Sudan Selatan, dari orangtua

who are killing each other

yang saling membunuh

because they belong to a different tribe or they have a different belief.

karena perbedaan suku atau kepercayaan.

Others come from other African countries devastated by war.

Yang lain berasal dari negara-negara lain di Afrika yang hancur karena perang.

But when they enter my class, they make friends,

Tetapi, di dalam kelas saya, mereka berteman,

they walk home together,

mereka pulang bersama,

they do their homework together.

mereka mengerjakan PR bersama-sama.

There is no hatred allowed in my class.

Kebencian dilarang di dalam kelas saya.

My story is like that of so many other refugees.

Kisah saya serupa dengan para pengungsi lain.

The war came when I was still a baby.

Perang dimulai ketika saya masih bayi.

And my father,

Dan ayah saya,

who had been absent in most of my early childhood,

yang hampir tidak pernah ada dimasa saya kecil,

was doing what other men were doing:

melakukan apa yang pria lain lakukan:

fighting for the country.

berjuang untuk negara.

He had two wives and many children.

Beliau memiliki dua istri dan banyak anak.

My mother was his second wife,

Ibu saya adalah istri kedua

married to him at the age of 16.

yang dinikahi di umur 16 tahun.

This is simply because my mother came from a poor background,

Ini semata-mata karena ibu saya berasal dari keluarga fakir miskin,

and she had no choice.

dan beliau tidak punya pilihan.

My father, on the other hand, was rich.

Di sisi lain, ayah saya kaya raya.

He had many cows.

Beliau memiliki banyak sapi.

Gunshots were the order of the day.

Suara tembakan menjadi keseharian kami.

My community was constantly under attack.

Desa saya diserang terus menerus.

Communities would fight each other as they took water along the Nile.

Orang-orang berkelahi selagi mengambil air di sungai Nil.

But that was not all.

Tapi tidak hanya itu.

Planes would drop the spinning and terrifying bombs

Pesawat-pesawat akan menjatuhkan bom mengerikan yang berkeliaran

that chopped off people's limbs.

yang memotong kaki tangan orang-orang.

But the most terrifying thing for every single parent

Namun, hal yang paling mengerikan bagi setiap orangtua

was to see their children being abducted and turned into young soldiers.

adalah melihat anak-anak mereka diculik dan dibentuk menjadi prajurit muda.

My mother dug a trench

Ibu saya menggali parit

that soon became our home.

yang kemudian menjadi rumah kami.

But yet, we did not feel protected.

Sayangnya, kami tidak merasa terlindungi

She had to flee in search of a safe place for us.

Beliau harus pergi mencari tempat aman bagi kami semua.

I was four years old, and my younger sister was two.

Saya berusia 4 tahun, dan adik perempuan saya 2 tahun.

We joined a huge mass of people,

Kami bergabung dengan segerombolan besar orang

and together we walked for many agonizing days

dan berjalan bersama selama berhari-hari penuh siksaan

demi mencari tempat yang aman.

in search of a secure place.

But we could barely rest

Tapi kami tidak mampu beristirahat

before we were attacked again.

karena kemudian kami kembali diserang.

I remember my mother was pregnant,

Saya ingat ibu saya sedang mengandung,

when she would take turns to carry me and my younger sister.

ketika beliau bergantian menggendong saya dan adik saya.

We finally made it across the Kenyan border, yes.

Akhirnya kami berhasil melewati perbatasan Kenya, ya.

But that was the longest journey that I have ever had in my whole life.

Itu adalah perjalanan terpanjang yang pernah saya lakukan seumur hidup saya.

My feet were raw with blisters.

Kedua kaki saya memerah penuh lepuh.

To our surprise,

Dan kami terkejut

we found other family members who had fled into the camp earlier on,

mendapati anggota keluarga lain yang kabur ke kamp lebih dulu.

where you all are today,

tempat kalian hari ini berada,

the Kakuma camp.

Kamp Kakuma.

Now, I want you all to be very quiet just for a moment.

Sekarang, saya ingin Anda semua diam sebentar saja.

Do you hear that?

Anda dengar itu?

The sound of silence.

Suara kesunyian.

No gunshots.

Tidak ada suara tembakan.

Peace, at last.

Damai, pada akhirnya.

That was my first memory of this camp.

Itu adalah ingatan pertama saya di kamp ini.

When you move from a war zone

Saat kalian pindah dari zona perang

and come to a secure place like Kakuma,

dan datang ke tempat aman seperti Kakuma,

you've really gone far.

kalian telah berjalan jauh.

I only stayed in the camp for three years, though.

Saya menetap di kamp hanya selama tiga tahun.

My father, who had been absent in most of my early childhood,

Ayah saya, yang tidak hadir pada sebagian besar masa kecil saya,

came back into my life.

kembali ke kehidupan saya.

And he organized for me to move with my uncle

Dan beliau mengatur semuanya agar saya pindah bersama paman saya

to our family in Nakuru.

ke keluarga kami di Nakuru.

There, I found my father's first wife,

Di sana, saya bertemu istri pertama ayah saya.

my half sisters and my half brothers.

saudara-saudari tiri saya.

I got enrolled in school.

Saya didaftarkan ke sekolah.

I remember my first day in school -- I could sing and laugh again --

Saya ingat hari pertama di sekolah -- Saya dapat bernyanyi dan tertawa lagi --

and my first set of school uniforms, you bet.

dan tentunya seragam sekolah saya yang pertama.

It was amazing.

Ini menakjubkan.

But then I came to realize

Namun, saya mulai mendapati

that my uncle did not find it fit for me to go to school,

bahwa menurut paman saya, sekolah bukanlah tempat saya

simply because I was a girl.

karena saya adalah perempuan. Itu saja.

My half brothers were his first priority.

Saudara-saudara tiri saya lebih diutamakan.

He would say, "Educating a girl is a waste of time."

Beliau berkata, "Mendidik perempuan hanya buang-buang waktu saja."

And for that reason, I missed many days of school,

Dan karena alasan itu, saya seringkali tidak masuk sekolah,

because the fees were not paid.

karena biaya sekolah tidak dibayarkan.

My father stepped in

Ayah saya turun tangan

and organized for me to go to boarding school.

dan mendaftarkan saya ke sekolah asrama.

I remember the faith that he put in me over the couple of years to come.

Saya ingat keyakinannya terhadap diri saya selama beberapa tahun mendatang.

He would say, "Education is an animal that you have to overcome.

Dia berkata, "Pendidikan adalah hewan yang harus kau lawan.

With an education, you can survive.

Dengan pendidikan, kau dapat bertahan.

Education shall be your first husband."

Jadikanlah pendidikan suami pertamamu."

And with these words came in his first big investment.

Dan ia berinvestasi dalam jumlah besar dengan kata-kata tersebut.

I felt lucky!

Saya merasa beruntung!

But I was missing something:

Tapi saya kekurangan sesuatu:

my mother.

ibu saya.

My mother had been left behind in the camp,

Ibu saya ditinggal untuk menetap di kamp,

and I had not seen her since I left it.

dan saya belum melihat beliau lagi sejak saya pergi.

Six years without seeing her was really long.

Enam tahun tanpa melihat beliau merupakan waktu yang lama.

I was alone,

Saya merasa sendiri,

in school,

di sekolah,

when I heard of her death.

ketika saya mendengar kabar kematiannya.

I've seen many people back in South Sudan

Saya telah melihat banyak orang di Sudan Selatan

lose their lives.

kehilangan nyawa mereka.

I've heard from neighbors

Saya mendengar dari para tetangga

lose their sons, their husbands,

kehilangan putra mereka, suami mereka,

their children.

anak-anak mereka.

But I never thought that that would ever come into my life.

Tapi saya tidak pernah menyangka itu akan menimpa hidup saya.

A month earlier, my stepmother,

Sebulan sebelumnya, ibu tiri saya,

who had been so good to me back in Nakuru, died first.

yang sangat baik terhadap saya di Nakuru, meninggal terlebih dahulu.

Then I came to realize that after giving birth to four girls,

Kemudian saya mulai sadar bahwa setelah beliau melahirkan 4 putri,

my mother had finally given birth to something

Ibu saya akhirnya melahirkan seorang anak

that could have made her be accepted into the community --

yang mampu membuatnya diterima di masyarakat setempat --

a baby boy,

seorang bayi laki-laki.

my baby brother.

Adik laki-laki saya.

But he, too,

Tapi dia pun

joined the list of the dead.

meninggal bersama yang lain.

The most hurting part for me

Yang paling menyakitkan bagi saya

was the fact that I wasn't able to attend my mother's burial.

adalah kenyataan bahwa saya tidak bisa menghadiri pemakaman ibu saya.

I wasn't allowed.

Saya tidak diperbolehkan.

They said her family did not find it fit

Mereka bilang keluarga ibu saya merasa tidak pantas

for her children, who are all girls, to attend her burial,

kalau semua anaknya, semuanya perempuan, menghadiri pemakamannya,

simply because we were girls.

hanya karena kami perempuan.

They would lament to me and say,

Mereka hanya meratap dan berkata,

"We are sorry, Mary, for your loss.

"Turut berduka cita, Mary.

We are sorry that your parents never left behind any children."

Kami berduka karena orang tuamu tidak meninggalkan satu anak pun."

And I would wonder:

Dan saya bertanya-tanya:

What are we?

Memang kami ini apa?

Are we not children?

Kami bukan anak-anaknya?

In the mentality of my community,

Dalam mentalitas masyarakat kami,

only the boy child counted.

hanya anak laki-laki yang dianggap.

And for that reason, I knew this was the end of me.

Dan karena alasan itu, saya tahu ini adalah akhir hidup saya.

But I was the eldest girl.

Tapi saya anak perempuan tertua.

I had to take care of my siblings.

Saya harus menjaga adik-adik saya.

I had to ensure they went to school.

Saya harus memastikan mereka bersekolah.

I was 13 years old.

Saya berusia 13 tahun.

How could I have made that happen?

Bagaimana saya bisa mewujudkan itu?

I came back to the camp to take care of my siblings.

Saya kembali ke kamp dan menjaga adik-adik saya.

I've never felt so stuck.

Saya merasa sangat putus asa.

But then, one of my aunts, Auntie Okoi,

Tapi kemudian, salah satu tante saya, Tante Okoi,

decided to take my sisters.

membawa adik-adik saya.

My father sent me money from Juba for me to go back to school.

Ayah saya mengirimkan uang dari Juba agar saya bersekolah kembali.

Boarding school was heaven, but it was also so hard.

Sekolah asrama bagaikan surga, tapi juga sulit.

I remember during the visiting days when parents would come to school,

Saya ingat selama hari berkunjung, ketika orangtua datang ke sekolah,

and my father would miss.

dan ayah saya tidak datang.

But when he did come,

Tapi ketika beliau datang,

he repeated the same faith in me.

beliau mengucap ulang keyakinannya.

This time he would say,

Kali ini, beliau berkata,

"Mary, you cannot go astray,

"Mary, kau tidak boleh mundur,

because you are the future of your siblings."

karena masa depan adik-adikmu berada di tanganmu."

But then, in 2012,

Namun, pada tahun 2012,

life took away the only thing that I was clinging on.

takdir mengambil satu-satunya tempat saya bergantung.

My father died.

Ayah saya meninggal.

My grades in school started to collapse,

Nilai-nilai sekolah saya mulai menurun,

and when I sat for my final high school exams in 2015,

dan ketika saya mengikuti ujian akhir di SMA pada tahun 2015,

I was devastated to receive a C grade.

Saya merasa hancur karena mendapat nilai C.

OK, I keep telling students in my class,

OK, saya selalu berkata kepada murid saya,

"It's not about the A's; it's about doing your best."

"Ini bukan soal mendapat nilai A, tapi soal berusaha sebaik mungkin."

That was not my best.

Itu bukan yang terbaik.

I was determined.

Saya bertekad.

I wanted to go back and try again.

Saya ingin kembali dan mencoba lagi.

But my parents were gone.

Tapi orangtua saya sudah tiada.

I had no one to take care of me,

Tidak ada yang mengasuh saya,

and I had no one to pay that fee.

dan yang melunasi biaya sekolah.

I felt so hopeless.

Saya benar-benar putus asa.

But then, one of my best friends,

Tapi kemudian, salah satu teman dekat saya,

a beautiful Kenyan lady, Esther Kaecha,

seorang wanita Kenya yang cantik, Esther Kaecha,

called me during this devastating moment,

menelepon saya pada masa-masa kelam ini,

and she was like, "Mary, you have a strong will.

dan dia berkata, "Mary, kau punya tekad yang kuat.

And I have a plan, and it's going to work."

Dan saya punya rencana, dan ini akan berhasil."

OK, when you're in those devastating moments, you accept anything, right?

OK, dalam situasi kelam semacam itu, Anda akan menerima apa saja, kan?

So the plan was, she organized some travel money

Jadi rencana Esther adalah menyiapkan ongkos

for us to travel to Anester Victory Girls High School.

untuk pergi ke SMA Anester Victory Girls.

I remember that day so well.

Saya ingat sekali.

It was raining when we entered the principal's office.

Kami memasuki kantor kepala sekolah di hari hujan.

We were shaking like two chickens that had been rained on,

Kami gemetar seperti dua ayam kehujanan,

and we looked at him.

dan kami menatap beliau.

He was asking, "What do you want?"

Ia bertanya, "Kalian mau apa?"

And we looked at him with the cat face.

Dan kami menatapnya dengan wajah memelas.

"We just want to go back to school."

"Kami hanya ingin kembali bersekolah."

Well, believe it or not, he not only paid our school fees

Yah, percaya atau tidak, beliau membiayai sekolah kami,

but also our uniform and pocket money for food.

dan juga seragam serta uang jajan untuk makan.

Clap for him.

Tepuk tangan untuk beliau.

(Applause)

(Tepuk tangan)

When I finished my high school career,

Ketika saya menyelesaikan karir SMA saya,

I became the head girl.

Saya menjadi kepala asrama.

And when I sat for the KCSE for a second time,

Dan ketika saya mengerjakan ujian KSCE untuk kedua kalinya,

I was able to receive a B minus. Clap.

saya berhasil mendapat nilai B-. Tepuk tangan.

(Applause)

(Tepuk tangan)

Thank you.

Terima kasih.

So I really want to say thank you to Anester Victory, Mr. Gatimu

Jadi, saya sangat ingin berterima kasih kepada kepala sekolah, Tuan Gatimu

and the whole Anester fraternity for giving me that chance.

dan seluruh fraternitas di Anester yang memberikan kesempatan tersebut.

From time to time,

Dari waktu ke waktu,

members of my family will insist that my sister and I should get married

keluarga saya akan menuntut agar saya dan adik perempuan saya menikah

so that somebody will take care of us.

sehingga akan ada orang yang mengurus kami.

They will say,

Mereka akan berkata,

"We have a man for you."

"Kami punya pria untukmu."

Saya amat membenci realita bahwa kami diperlakukan seperti barang, bukan anak.

I really hate the fact that people took us as property rather than children.

Sometimes they will jokingly say,

Terkadang mereka bergurau,

"You are going to lose your market value

"Kau tidak akan mendapat jodoh

the more educated you become."

kalau kau semakin terdidik."

But the truth is,

Tapi kenyataannya,

an educated woman is feared in my community.

wanita yang terdidik ditakuti di masyarakat kami.

But I told them, this is not what I want.

Tapi saya berkata, saya tidak mau.

I don't want to get kids at 16 like my mother did.

Saya tidak ingin punya anak pada usia 16 seperti ibu saya.

This is not my life.

Itu bukan hidup yang saya mau.

Even though my sisters and I are suffering,

Meskipun saya dan adik-adik saya menderita,

there's no way we are heading in that direction.

saya tidak mau menjalani hidup semacam itu.

I refuse to repeat history.

Saya menolak mengulang sejarah.

Educating a girl will create equal and stable societies.

Mendidik perempuan akan menciptakan masyarakat yang setara dan stabil.

And educated refugees will be the hope

Dan pengungsi yang terdidik memberikan harapan

of rebuilding their countries someday.

untuk membangun kembali negara-negara mereka.

Girls and women have a part to play in this

Para gadis dan wanita memiliki peran dalam hal ini

just as much as men.

yang sama besarnya dengan para pria.

Well, we have men in my family that encourage me to move on:

Yah, kami juga punya pria dalam keluarga yang mendukung saya untuk maju:

my half brothers and also my half sisters.

Saudara-saudari tiri saya.

When I finished my high school career,

Setelah saya lulus SMA,

I moved my sisters to Nairobi, where they live with my stepsister.

Saya mengirim adik-adik saya ke Nairobi untuk tinggal bersama saudari tiri saya.

They live 17 people in a house.

17 orang dalam satu rumah.

But don't pity us.

Tapi tak perlu kasihan.

The most important thing is that they all get a decent education.

Hal yang terpenting adalah mereka semua berpendidikan baik.

The winners of today

Para pemenang hari ini

are the losers of yesterday,

adalah para pecundang kemarin,

but who never gave up.

namun tidak pernah menyerah.

And that is who we are,

Dan itulah kami,

my sisters and I.

saya dan adik-adik saya.

And I'm so proud of that.

Saya sangat bangga dengan itu.

My biggest investment in life --

Investasi terbesar dalam hidup ini --

(Applause)

(Tepuk tangan)

is the education of my sisters.

adalah pendidikan bagi adik-adik saya.

Education creates an equal and fair chance for everyone to make it.

Pendidikan menciptakan kesempatan yang setara dan adil untuk semua orang.

I personally believe education is not all about the syllabus.

Saya pribadi percaya pendidikan tidak hanya sekadar tentang silabus.

It's about friendship.

Ini tentang persahabatan.

It's about discovering our talents.

Tentang menemukan bakat kita.

It's about discovering our destiny.

Tentang menemukan takdir kita.

I will, for example, not forget the joy that I had

Contohnya, saya tidak akan lupa kegembiraan saya

when I first had singing lessons in school,

saat kali pertama saya belajar bernyanyi,

which is still a passion of mine.

yang masih menjadi hasrat saya.

But I wouldn't have gotten that

Saya tidak akan mendapatkan itu

anywhere else.

di tempat lain.

As a teacher, I see my classroom as a laboratory

Sebagai guru, saya menganggap ruang kelas saya sebagai laboratorium

that not only generates skills and knowledge

yang tidak hanya menciptakan keterampilan dan pengetahuan

but also understanding and hope.

tapi juga pengertian dan harapan.

Let's take a tree.

Ambil contoh sebuah pohon.

A tree may have its branches cut,

Dahan-dahan pohon mungkin terpotong,

but give it water, and it will grow new branches.

tapi jika diberi air, dahan-dahan baru akan tumbuh.

For the child of war,

Untuk anak-anak korban perang,

an education can turn their tears of loss into a passion for peace.

pendidikan bisa mengubah air mata kesedihan menjadi hasrat perdamaian.

And for that reason, I refuse to give up on a single student in my class.

Dan karena itu, saya akan terus berjuang untuk setiap murid di kelas saya.

(Applause)

(Tepuk tangan)

Education heals.

Pendidikan adalah obat.

The school environment

Lingkungan sekolah

gives you a focus to focus ahead.

memfokuskan Anda untuk melihat ke depan.

Let's take it this way:

Anggap saja seperti ini:

when you're busy solving mathematical equations,

Saat Anda sibuk menyelesaikan persamaan matematika,

and you are memorizing poetry,

dan menghafal puisi,

you forget the violence that you witnessed back home.

Anda melupakan kekerasan yang Anda saksikan di rumah.

And that is the power of education.

Dan itulah kekuatan pendidikan.

It creates this place for peace.

Menciptakan tempat perdamaian.

Kakuma is teeming with learners.

Kakuma padat dengan para pelajar.

Over 85,000 students are enrolled in schools here,

Lebih dari 85,000 murid terdaftar di sekolah-sekolah di sini,

which makes up 40 percent of the refugee population.

dan mereka adalah 40 persen dari populasi pengungsi.

It includes children who lost years of education because of the war back home.

Itu termasuk anak-anak yang kehilangan tahun-tahun pendidikan karena perang.

And I want to ask you a question:

Dan saya ingin bertanya:

If education is about building a generation of hope,

Jika pendidikan bertujuan untuk membangun generasi penuh harapan,

why are there 120 students packed in my classroom?

mengapa kelas saya penuh dengan 120 murid?

Why is it that only six percent of the primary school students

Mengapa hanya ada 6% anak-anak SD

are making it to high school,

yang melanjutkan ke SMA,

simply because we do not have enough places for them?

hanya karena kami tidak punya cukup tempat untuk mereka?

And why is it that only one percent of the secondary school graduates

Mengapa hanya ada 1% murid SMA

are making it to university?

yang melanjutkan ke universitas?

I began by saying that I am a teacher.

Saya mengawali dengan perkenalan sebagai pengajar.

But once again, I have become a student.

Tapi sekali lagi, saya menjadi murid.

In March, I moved to Rwanda

Pada bulan Maret, saya pindah ke Rwanda,

on a scholarship program called "Bridge2Rwanda."

setelah mendapatkan beasiswa "Bridge2Rwanda."

It prepares scholars for universities.

Beasiswa tersebut mempersiapkan pelajar untuk kuliah.

They are able to get a chance to compete for universities abroad.

Mereka mendapatkan kesempatan bersaing untuk kuliah di luar negeri.

I am now having teachers telling me what to do,

Kini saya memiliki guru-guru yang menyuruh saya,

instead of the other way round.

bukan sebaliknya.

People are once again investing in me.

Orang-orang kembali berharap kepada saya.

So I want to ask you all to invest in young refugees.

Jadi saya ingin Anda semua berinvestasi di para pengungsi muda.

Think of the tree that we mentioned earlier.

Ingatlah pohon yang tadi kita bahas.

We are the generation to plant it,

Kitalah generasi yang menanam bijinya,

so that the next generation can water it,

agar generasi selanjutnya dapat menyiraminya,

and the one that follows will enjoy the shade.

dan generasi berikutnya dapat bernaung di bawah pohon.

They will reap the benefits.

Mereka yang akan memetik hasilnya.

And the greatest benefit of them all

Dan keuntungan yang terbesar

is an education that will last.

adalah pendidikan yang akan bertahan lama.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)