Mary's Room: A philosophical thought experiment - Eleanor Nelsen

Translator: Holly Madinah Reviewer: Sahi Rahman

Imagine a brilliant neuroscientist named Mary.

Bayangkan seorang ahli syaraf cerdas bernama Mary.

Mary lives in a black and white room,

Mary tinggal di ruangan hitam putih,

she only reads black and white books,

dan hanya membaca buku hitam putih,

and her screens only display black and white.

dan layar komputernya hanya menampilkan warna hitam dan putih.

But even though she has never seen color, Mary is an expert in color vision

Meski tidak pernah melihat warna, Mary adalah ahli penglihatan warna

and knows everything ever discovered about its physics and biology.

dan mengetahui segala hal mengenai fisika dan biologi penglihatan warna.

She knows how different wavelengths of light

Ia tahu bahwa panjang gelombang cahaya berbeda

stimulate three types of cone cells in the retina,

dapat menstimulasi tiga tipe sel kerucut (reseptor warna) di retina,

and she knows how electrical signals

dan bagaimana cara sinyal elektrik

travel down the optic nerve into the brain.

menelusuri syaraf mata menuju otak.

There, they create patterns of neural activity

Di otak, sinyal membentuk pola aktivitas syaraf

that correspond to the millions of colors most humans can distinguish.

yang sesuai dengan jutaan warna yang dapat dibedakan kebanyakan orang.

Now imagine that one day,

Bayangkan suatu hari,

Mary's black and white screen malfunctions

layar hitam putih milik Mary rusak,

and an apple appears in color.

dan muncul gambar apel berwarna.

For the first time,

Untuk pertama kalinya,

she can experience something that she's known about for years.

Mary bisa mengalami sesuatu yang telah diketahuinya selama bertahun-tahun.

Does she learn anything new?

Apakah ia mempelajari hal baru?

Is there anything about perceiving color that wasn't captured in all her knowledge?

Apakah ada informasi baru tentang melihat warna, yang tidak diketahuinya sebelumnya?

Philosopher Frank Jackson proposed this thought experiment,

Filsuf Frank Jackson mengusulkan eksperimen

called Mary's room, in 1982.

yang disebut "Ruang Mary" di tahun 1982.

He argued that if Mary already knew all the physical facts about color vision,

Argumennya, jika Mary sudah tahu semua fakta fisik tentang penglihatan warna,

and experiencing color still teaches her something new,

dan pengalaman melihat warna masih dapat mengajarinya sesuatu yang baru,

then mental states, like color perception,

maka kondisi mental, seperti halnya persepsi warna,

can't be completely described by physical facts.

tidak bisa sepenuhnya dijelaskan hanya dengan fakta fisik.

The Mary's room thought experiment

Eksperimen "Ruang Mary"

describes what philosophers call the knowledge argument,

menggambarkan apa yang disebut para filsuf "argumen pengetahuan,"

that there are non-physical properties and knowledge

bahwa ada sifat non-fisik, dan pengetahuan

which can only be discovered through conscious experience.

yang hanya bisa ditemukan melalui pengalaman sadar.

The knowledge argument contradicts the theory of physicalism,

Argumen ini bertentangan dengan teori fisikalisme

which says that everything, including mental states,

yang berkata bahwa semua hal, termasuk kondisi mental,

has a physical explanation.

memiliki penjelasan fisik.

To most people hearing Mary's story,

Bagi kebanyakan orang yang mendengar kisah Mary,

it seems intuitively obvious that actually seeing color

rasanya jelas bahwa melihat warna secara nyata

will be totally different than learning about it.

akan sangat berbeda dengan mempelajarinya.

Therefore, there must be some quality of color vision

Maka dari itu, harus ada kualitas tertentu dari penglihatan warna

that transcends its physical description.

yang melampaui deskripsi fisik.

The knowledge argument isn't just about color vision.

Argumen tentang pengetahuan bukan hanya tentang penglihatan warna,

Mary's room uses color vision to represent conscious experience.

"Ruang Mary" menggunakan penglihatan warna untuk merepresentasikan pengalaman sadar.

If physical science can't entirely explain color vision,

Jika ilmu fisika tidak dapat menjelaskan penglihatan warna secara utuh,

then maybe it can't entirely explain other conscious experiences either.

mungkin ia juga tidak bisa menjelaskan sepenuhnya tentang pengalaman sadar lain.

For instance, we could know every physical detail

Contohnya, kita bisa mengetahui semua detail fisik

about the structure and function of someone else's brain,

dari struktur dan fungsi otak seseorang,

but still not understand what it feels like to be that person.

tapi masih tidak bisa memahami bagaimana rasanya menjadi orang tersebut.

These ineffable experiences have properties called qualia,

Pengalaman tak terlukiskan ini disebut qualia,

subjective qualities that you can't accurately describe or measure.

sifat subyektif yang tidak bisa diukur atau dideskripsikan secara akurat.

Qualia are unique to the person experiencing them,

Setiap orang merasakan qualia dengan caranya masing-masing,

like having an itch,

seperti merasa gatal,

being in love,

jatuh cinta,

or feeling bored.

atau merasa bosan.

Physical facts can't completely explain mental states like this.

Fakta fisik tidak dapat menjelaskan sepenuhnya kondisi mental seperti ini.

Philosophers interested in artificial intelligence

Filsuf yang tertarik pada kecerdasan buatan

have used the knowledge argument

telah menggunakan argumen pengetahuan

to theorize that recreating a physical state

untuk berteori bahwa membuat ulang struktur fisik

won't necessarily recreate a corresponding mental state.

tidak sama dengan membuat ulang kondisi mental yang sama.

In other words,

Dengan kata lain,

building a computer which mimicked the function of every single neuron

membuat komputer yang meniru fungsi setiap neuron

of the human brain

dalam otak manusia

won't necessarily create a conscious computerized brain.

tidak sama dengan membuat inti komputer yang memiliki kesadaran.

Not all philosophers agree that the Mary's room experiment is useful.

Tidak semua filsuf setuju bahwa eksperimen "Ruang Mary" berguna.

Some argue that her extensive knowledge of color vision

Ada argumen bahwa pengetahuan luas Mary tentang penglihatan warna

would have allowed her to create the same mental state

memungkinkan Mary mencapai kondisi mental yang sama

produced by actually seeing the color.

dengan melihat warna secara nyata.

The screen malfunction wouldn't show her anything new.

Melihat warna tidak akan mengajarkannya hal baru.

Others say that her knowledge was never complete in the first place

Filsuf lain berkata, dari awal, pengetahuan Mary tidak lengkap

because it was based only on those physical facts

karena hanya berdasarkan fakta fisik

that can be conveyed in words.

yang dapat diungkapkan lewat kata-kata.

Years after he proposed it,

Bertahun-tahun sejak teori itu diajukan,

Jackson actually reversed his own stance on his thought experiment.

Jackson berubah pikiran mengenai eksperimennya.

He decided that even Mary's experience of seeing red

Ia memutuskan bahwa pengalaman Mary melihat warna merah

still does correspond to a measurable physical event in the brain,

memicu aktivitas fisik yang dapat diukur di dalam otak,

not unknowable qualia beyond physical explanation.

dan bukan qualia yang tidak dapat dijelaskan.

But there still isn't a definitive answer

Tapi masih belum ada jawaban pasti

to the question of whether Mary would learn anything new

untuk pertanyaan apakah Mary akan mempelajari hal baru

when she sees the apple.

saat ia melihat apel.

Could it be that there are fundamental limits to what we can know

Mungkinkah ada batasan mendasar akan apa yang bisa kita ketahui

about something we can't experience?

mengenai hal-hal yang tidak bisa kita alami?

And would this mean there are certain aspects of the universe

Apakah ini berarti ada hal tertentu di alam semesta

that lie permanently beyond our comprehension?

yang tak akan pernah bisa kita pahami?

Or will science and philosophy allow us to overcome our mind's limitations?

Akankah ilmu pengetahuan dan filosofi

membantu kita untuk menjangkau di luar batasan pemikiran kita?