Krista Tippett: Reconnecting with compassion

Translator: Alia Makki Reviewer: Ade Indarta

We're here to celebrate compassion.

Kita di sini untuk merayakan welas asih.

But compassion, from my vantage point,

Tapi welas asih, dari sisi pandang saya,

has a problem.

bermasalah.

As essential as it is across our traditions,

Sepenting apapun welas asih dalam tradisi kita,

as real as so many of us know it to be

sedekat apapun kita mengenalnya,

in particular lives,

dalam kehidupan praktis,

the word "compassion" is hollowed out in our culture,

kalimat "welas asih" sebenarnya kosong makna dalam budaya kita,

and it is suspect in my field of journalism.

dan sangat dicurigai dalam bidang jurnalisme.

It's seen as a squishy kumbaya thing,

Welas asih dianggap gembeng lembek.

or it's seen as potentially depressing.

Atau berpotensi muram.

Karen Armstrong has told what I think is an iconic story

Karen Armstrong pernah menceritakan apa yang saya kira ironis

of giving a speech in Holland

tentang memberi ceramah di Belanda

and, after the fact, the word "compassion"

dan, fakta bahwa, "Welas Asih"

was translated as "pity."

diterjemahkan "Kasihan."

Now compassion, when it enters the news,

Welas Asih, saat masuk berita,

too often comes in the form

terlalu sering akan muncul dalam bentuk

of feel-good feature pieces

segmen mari-merasa-senang

or sidebars about heroic people

atau segmen sampingan tentang kepahlawanan

you could never be like

yang sama sekali tidak mirip diri Anda

or happy endings

atau berakhir bahagia

or examples of self-sacrifice

atau sebagai contoh pengorbanan

that would seem to be too good to be true

yang sepertinya terlalu indah untuk nyata

most of the time.

pada umumnya.

Our cultural imagination about compassion

Imajinasi kebudayaan kita tentang welas asih

has been deadened by idealistic images.

telah dimatikan gambaran-gambaran idealis.

And so what I'd like to do this morning

Apa yang saya ingin lakukan pagi ini

for the next few minutes

selama beberapa menit ke depan

is perform a linguistic resurrection.

adalah melakukan kebangkitan bahasa.

And I hope you'll come with me on my basic premise

Saya harap Anda setuju dengan premis dasar

that words matter,

bahwa kata-kata adalah penting,

that they shape the way we understand ourselves,

mampu membentuk pemahaman akan diri kita sendiri

the way we interpret the world

dan cara kita menafsirkan dunia

and the way we treat others.

dan cara kita memperlakukan orang lain.

When this country

Saat negeri ini

first encountered genuine diversity

pertama kali dihadapkan dengan keberagaman sesungguhnya

in the 1960s,

pada tahun 60-an

we adopted tolerance

kita memeluk toleransi

as the core civic virtue

sebagai inti kebajikan sipil

with which we would approach that.

yang kita pakai sebagai alat pendekatan.

Now the word "tolerance," if you look at it in the dictionary,

Sekarang kata "toleransi", dalam kamus,

connotes "allowing," "indulging"

berarti membolehkan, membiarkan

and "enduring."

dan menanggung.

In the medical context that it comes from,

Dalam konteks medis, toleransi berasal dari

it is about testing the limits of thriving

kemampuan menguji batas ketahanan

in an unfavorable environment.

dalam kondisi tak menyenangkan.

Tolerance is not really a lived virtue;

Toleransi bukan lagi kebajikan yang dihidupi;

it's more of a cerebral ascent.

tapi lebih mirip pendakian cendekia.

And it's too cerebral

Malah terlalu cendekia

to animate guts and hearts

untuk menggambarkan keberanian dan hati

and behavior

dan sikap

when the going gets rough.

saat keadaan menggenting.

And the going is pretty rough right now.

Dan saat ini keadaan sudah cukup genting.

I think that without perhaps being able to name it,

Saya kira tanpa memberinya nama,

we are collectively experiencing

kita tengah mengalaminya bersama

that we've come as far as we can

sejauh pencapaian kita selama ini

with tolerance as our only guiding virtue.

dengan toleransi sebagai satu-satunya dalil kebaikan.

Compassion is a worthy successor.

Welas asih adalah kandidat yang pantas.

It is organic,

Ia organik,

across our religious, spiritual and ethical traditions,

ada dalam setiap agama, spiritualitas dan tradisi etis,

and yet it transcends them.

bahkan masih lebih transenden dari itu semua.

Compassion is a piece of vocabulary

Welas asih adalah sepotong bahasa

that could change us if we truly let it sink into

yang dapat mengubah kita jika dibiarkan meresap dalam

the standards to which we hold ourselves and others,

batas standar diri kita sendiri dan orang lain

both in our private and in our civic spaces.

baik dalam ruang pribadi maupun publik.

So what is it, three-dimensionally?

Jadi apa bentuk tiga-dimensinya?

What are its kindred and component parts?

Apa saja komponen lunak dan kerasnya?

What's in its universe of attendant virtues?

Apa saja kebijakan yang menjaganya?

To start simply,

Sederhana saja,

I want to say that compassion is kind.

Welas asih adalah kemurahan hati.

Now "kindness" might sound like a very mild word,

Mungkin kemurahan hati kesannya terlalu lembut,

and it's prone to its own abundant cliche.

dan cenderung terpojok dalam klisenya sendiri.

But kindness is an everyday byproduct

Tapi kemurahan hati adalah produk sampingan sehari-hari

of all the great virtues.

dari semua kebijakan besar.

And it is a most edifying form

Dan adalah bentuk paling mendidik

of instant gratification.

dari kepuasan instan.

Compassion is also curious.

Welas asih juga penuh rasa ingin tahu.

Compassion cultivates and practices curiosity.

Welas asih menanam dan mempraktikkan rasa ingin tahu.

I love a phrase that was offered me

Saya senang istilah yang diberikan

by two young women

dua orang wanita muda

who are interfaith innovators in Los Angeles,

pembaru antar-agama di Los Angeles

Aziza Hasan and Malka Fenyvesi.

Aziza Hasan dan Malka Fenyvesi.

They are working to create a new imagination

Mereka berusaha mengembangkan imajinasi baru

about shared life among young Jews and Muslims,

bagi Yahudi dan Muslim muda untuk hidup bersama.

and as they do that, they cultivate what they call

Sambil melakukan itu, mereka menanam apa yang mereka sebut

"curiosity without assumptions."

"rasa ingin tahu tanpa asumsi."

Well that's going to be a breeding ground for compassion.

Dan itu adalah dasar berkembangnya rasa welas asih.

Compassion can be synonymous with empathy.

Welas asih dapat sinonim dengan empati.

It can be joined with the harder work

Bisa digabungkan dengan kerja yang lebih berat

of forgiveness and reconciliation,

yaitu memaafkan dan rekonsiliasi,

but it can also express itself

tapi juga dapat menampakkan dirinya

in the simple act of presence.

dalam sikap keberadaan yang sederhana.

It's linked to practical virtues

Ia dikaitkan dengan kebijakan praktis

like generosity and hospitality

seperti kedermawanan dan keramahtamahan

and just being there,

dan dengan sekadar berada

just showing up.

sekadar menghadiri.

I think that compassion

Saya kira welas asih

also is often linked to beauty --

sering dikaitkan dengan keindahan --

and by that I mean a willingness

dan maksud saya dengan itu adalah kesediaan

to see beauty in the other,

untuk melihat keindahan pada orang lain,

not just what it is about them

bukan hanya pada masalah apa

that might need helping.

yang perlu dibantu.

I love it that my Muslim conversation partners

Yang saya sukai adalah saat rekan percakapan Muslim saya

often speak of beauty as a core moral value.

sering menyebut keindahan sebagai nilai inti moralitas.

And in that light, for the religious,

Dalam segi pandang itu, bagi yang taat,

compassion also brings us

welas asih juga membawa kita

into the territory of mystery --

ke dalam wilayah misteri --

encouraging us not just

membujuk kita untuk melihat,

to see beauty,

bukan saja keindahan,

but perhaps also to look for the face of God

tapi juga sekilas wajah Tuhan

in the moment of suffering,

di kesengsaraan,

in the face of a stranger,

di wajah orang asing,

in the face of the vibrant religious other.

di wajah bercahaya keagamaan lain.

I'm not sure if I can show you

Saya tidak yakin saya dapat menunjukkan

what tolerance looks like,

seperti apa wajahnya toleransi,

but I can show you what compassion looks like --

tapi saya dapat memperlihatkan wajah welas asih --

because it is visible.

karena ia kasat mata.

When we see it, we recognize it

Saat kita melihatnya, kita akan mengenalinya

and it changes the way we think about what is doable,

dan akan mengubah apa yang kita kira dapat dilakukan,

what is possible.

apa yang mungkin terjadi.

It is so important

Sangatlah penting

when we're communicating big ideas --

saat kita berbicara tentang ide besar --

but especially a big spiritual idea like compassion --

tapi khususnya ide spiritual besar seperti welas asih --

to root it as we present it to others

saat menunjukkannya pada orang lain untuk bermula dari

in space and time and flesh and blood --

ruang dan waktu dan raga dan kehidupan --

the color and complexity of life.

warna-warna dan kompleksitas kehidupan.

And compassion does seek physicality.

Karena welas asih membutuhkan bentuk fisik.

I first started to learn this most vividly

Saya pertama kali melihatnya paling jelas

from Matthew Sanford.

lewat Matthew Sanford.

And I don't imagine that you will realize this

Dan mungkin Anda tak menyadari ini

when you look at this photograph of him,

bahwa melihat foto dirinya ini,

but he's paraplegic.

tapi dia penyandang cacat.

He's been paralyzed from the waist down since he was 13,

Dia lumpuh dari pinggang ke bawah sejak umur 13,

in a car crash that killed his father and his sister.

pada sebuah kecelakaan lantas yang merenggut nyawa ayah dan saudarinya.

Matthew's legs don't work, and he'll never walk again,

Kaki Matthew tak berfungsi, dan tak akan pernah berjalan lagi,

and -- and he does experience this as an "and"

dan -- dan dia menjalaninya sebagai 'dan'

rather than a "but" --

bukan sebagai 'tapi' --

and he experiences himself

dan dia mengalaminya sendiri

to be healed and whole.

untuk sembuh dan utuh.

And as a teacher of yoga,

Dan sebagai guru yoga,

he brings that experience to others

dia mengantar pengalaman itu kepada orang lain

across the spectrum of ability and disability,

menyeberang batas kemampuan dan ketidakmampuan,

health, illness and aging.

kesehatan, kesakitan dan penuaan.

He says that he's just at an extreme end

Katanya dia hanya ujung yang paling ekstrem

of the spectrum we're all on.

dari spektrum yang kita semua jalani.

He's doing some amazing work now

Dia melakukan hal luar biasa sekarang

with veterans coming back from Iraq and Afghanistan.

dengan veteran yang kembali dari Iraq dan Afghanistan.

And Matthew has made this remarkable observation

Dan Matthew menyatakan observasinya yang luar biasa

that I'm just going to offer you and let it sit.

yang akan saya berikan begitu saja dan harus Anda endapi untuk mengerti.

I can't quite explain it, and he can't either.

Saya tak dapat menjelaskannya, dan dia juga tidak.

But he says that he has yet to experience someone

Tapi katanya dia belum pernah mengalami seseorang

who became more aware of their body,

yang lebih menyadari tubuhnya,

in all its frailty and its grace,

dengan segala kerentanan dan keanggunannya,

without, at the same time,

tanpa, pada waktu yang sama,

becoming more compassionate towards all of life.

menjadi lebih berwelasasih terhadap semua bentuk kehidupan.

Compassion also looks like this.

Ini wajahnya welas asih

This is Jean Vanier.

Ini adalah Jean Vanier

Jean Vanier helped found the L'Arche communities,

Jean Vanier membantu mendirikan komunitas L'arche,

which you can now find all over the world,

yang dapat Anda temukan di seluruh dunia,

communities centered around life

komunitas bermuara seputar kehidupan

with people with mental disabilities --

dangan penyandang cacat mental --

mostly Down syndrome.

khususnya sindroma Down.

The communities that Jean Vanier founded,

Komunitas yang didirikan Jean Vanier

like Jean Vanier himself,

seperti Jean Vanier sendiri,

exude tenderness.

memancarkan kelembutan.

"Tender" is another word

"Lembut" adalah kata lain

I would love to spend some time resurrecting.

yang ingin saya bahas lebih lama.

We spend so much time in this culture

Kita melewati banyak sekali waktu dalam budaya ini

being driven and aggressive,

dengan bersikap ambisius dan agresif,

and I spend a lot of time being those things too.

saya juga menghabiskan banyak waktu dengan ambisius dan agresif.

And compassion can also have those qualities.

Dan welas asih juga memiliki watak itu.

But again and again, lived compassion

Tapi lagi dan lagi, welas asih yang hidup

brings us back to the wisdom of tenderness.

membawa kita kembali pada kebajikan dalam kelembutan.

Jean Vanier says

Kata Jean Vanier

that his work,

kerjanya,

like the work of other people --

seperti kerja siapa saja --

his great, beloved, late friend Mother Teresa --

sahabat besarnya, almarhum Bunda Teresa --

is never in the first instance about changing the world;

tak pernah sekalipun bersikap hendak mengubah dunia;

it's in the first instance about changing ourselves.

tapi selalu pada mengubah diri sendiri.

He's says that what they do with L'Arche

Katanya itu yang mereka berikan di L'Arche

is not a solution, but a sign.

bukan solusi, tapi tanda.

Compassion is rarely a solution,

Jarang sekali welas asih berupa solusi,

but it is always a sign of a deeper reality,

tapi berupa tanda dari kenyataan yang lebih dalam,

of deeper human possibilities.

akan kemungkinan terdalam manusia.

And compassion is unleashed

Saat welas asih dibebaskan

in wider and wider circles

dalam lingkaran yang semakin luas

by signs and stories,

dengan tanda dan cerita,

never by statistics and strategies.

tidak dengan statistik dan strategi.

We need those things too,

Dan kita membutuhkan itu juga,

but we're also bumping up against their limits.

tapi kita juga bertumbukan dengan batas-batas mereka.

And at the same time that we are doing that,

Sambil melakukan itu,

I think we are rediscovering the power of story --

kita juga menemukan kembali kekuatan pada cerita --

that as human beings, we need stories

bahwa sebagai manusia, kita membutuhkan cerita

to survive, to flourish,

untuk bertahan hidup, untuk bertumbuh kembang,

to change.

untuk berubah.

Our traditions have always known this,

Tradisi kita telah selamanya mengetahui ini,

and that is why they have always cultivated stories at their heart

karena itu juga tradisi selalu menanam cerita dari hatinya

and carried them forward in time for us.

dan membawanya lewat waktu ke kita.

There is, of course, a story

Ada, tentunya, sebuah cerita

behind the key moral longing

di balik kunci kerinduan moral

and commandment of Judaism

dan firman Yahudi

to repair the world -- tikkun olam.

untuk memperbaiki dunia -- tikkun olam.

And I'll never forget hearing that story

Dan saya tidak akan pernah melupakan cerita itu

from Dr. Rachel Naomi Remen,

dari Dr. Rachel Naomi Remen,

who told it to me as her grandfather told it to her,

yang menceritakannya sebagaimana kakeknya menceritakan kepadanya

that in the beginning of the Creation

bahwa pada awal Penciptaan

something happened

terjadi sesuatu

and the original light of the universe

dan cahaya asal semesta

was shattered into countless pieces.

pecah menjadi bagian tak terhitung.

It lodged as shards

Pecahan-pecahan tersebut menyangkut seperti beling

inside every aspect of the Creation.

pada setiap sisi Ciptaan.

And that the highest human calling

Dan panggilan kemanusiaan termulia

is to look for this light, to point at it when we see it,

adalah untuk mencari cahaya ini, untuk menunjuk padanya saat ditemukan,

to gather it up,

untuk mengumpulkannya,

and in so doing, to repair the world.

dan dengan begitu, memperbaiki dunia.

Now this might sound like a fanciful tale.

Mungkin terdengar seperti dongeng fantasi.

Some of my fellow journalists might interpret it that way.

Beberapa rekan wartawan mungkin akan menafsirkannya begitu.

Rachel Naomi Remen says

Rachel Naomi Remen bilang

this is an important and empowering story

bahwa ini adalah cerita yang penting dan memberdayakan

for our time,

bagi masa kini,

because this story insists

karena cerita ini menekankan

that each and every one of us,

bahwa setiap orang dari kita,

frail and flawed as we may be,

selemah dan secacat apapun kita,

inadequate as we may feel,

setakmemadai apapun rasanya,

has exactly what's needed

memiliki segenap yang dibutuhkan

to help repair the part of the world

untuk membantu memperbaiki bagian dari semesta

that we can see and touch.

dalam jangkau pandang dan sentuh kita.

Stories like this,

Cerita-cerita seperti ini,

signs like this,

tanda-tanda seperti ini,

are practical tools

merupakan alat-alat praktis

in a world longing to bring compassion

di dunia yang merindukan welas asih kembali

to abundant images of suffering

dalam banyaknya gambaran kesengsaraan

that can otherwise overwhelm us.

yang tanpanya bakal menindas kita.

Rachel Naomi Remen

Rachel Naomi Remen

is actually bringing compassion

sebenarnya membawa welas asih

back to its rightful place alongside science

kembali pada tempat yang sebenarnya di sisi sains

in her field of medicine

dalam bidangnya, kedokteran

in the training of new doctors.

dalam pelatihan dokter baru.

And this trend

Dan tren ini

of what Rachel Naomi Remen is doing,

adalah apa yang Rachel Naomi Remen lakukan,

how these kinds of virtues

bagaimana kebijakan sejenis ini

are finding a place in the vocabulary of medicine --

makin menemukan tempatnya dalam tatanan bahas medis --

the work Fred Luskin is doing --

yang dilakukan Fred Luskin --

I think this is one of the most fascinating developments

Ini salah satu perkembangan yang paling mengesankan

of the 21st century --

pada abad ke-21 --

that science, in fact,

bahwa sains, sebenarnya,

is taking a virtue like compassion

mengambil dari kebijakan seperti welas asih

definitively out of the realm of idealism.

sepastinya dari alam idealisme.

This is going to change science, I believe,

Ini akan mengubah ilmu pengetahuan,

and it will change religion.

dan juga akan mengubah agama.

But here's a face

Tapi di sini ada wajah

from 20th century science

dari ilmu pengetahuan abad ke-20

that might surprise you

yang mungkin akan mengejutkan Anda

in a discussion about compassion.

dalam sebuah diskusi tentang welas asih.

We all know about the Albert Einstein

Kita semua mengenal Albert Einstein

who came up with E = mc2.

yang merumuskan E = mc2.

We don't hear so much about the Einstein

Kita jarang mendengar tentang Enstein yang

who invited the African American opera singer, Marian Anderson,

mengundang penyanyi opera Afrika-Amerika, Marian Anderson,

to stay in his home when she came to sing in Princeton

untuk menetap di rumahnya saat penyanyi itu tiba untuk menyanyi di Princeton

because the best hotel there

karena hotel terbaik di sana

was segregated and wouldn't have her.

dipisahkan berdasarkan ras dan menolaknya.

We don't hear about the Einstein who used his celebrity

Kita tidak mendengar tentang Einstein yang menggunakan status pesohornya

to advocate for political prisoners in Europe

untuk mengadvokasi tahanan politik di Eropa

or the Scottsboro boys

atau anak-anak Scottsboro

in the American South.

di Amerika Selatan.

Einstein believed deeply

Einstein percaya sedalam-dalamnya

that science should transcend

bahwa sains harus transenden terhadap

national and ethnic divisions.

perbedaan negara dan etnik.

But he watched physicists and chemists

Tapi dia melihat bagaimana ahli fisika dan kimia

become the purveyors of weapons of mass destruction

berubah menjadi pemasok senjata penghancur massa

in the early 20th century.

pada awal abad ke-20.

He once said that science in his generation

Dia pernah bilang bahwa sains pada generasinya

had become like a razor blade

telah menjadi seperti pisau cukur

in the hands of a three-year-old.

di tangan bocah berumur tiga tahun.

And Einstein foresaw

Dan Einstein meramalkan

that as we grow more modern

bahwa semakin kita lebih modern

and technologically advanced,

dan teknologi semakin maju,

we need the virtues

semakin pula kita membutuhkan kebijakan

our traditions carry forward in time

yang diajukan tradisi sebelum kita

more, not less.

lebih banyak, bukannya kurang.

He liked to talk about the spiritual geniuses of the ages.

Dia sangat menyukai berbicara tentang para jenius spritual sepanjang masa.

Some of his favorites were Moses,

Salah satu favoritnya adalah Musa

Jesus, Buddha, St. Francis of Assisi,

Yesus, Buddha, St. Francis Assisi,

Gandhi -- he adored his contemporary, Gandhi.

Ghandhi -- betapa dia mencintai seangkatannya, Gandhi.

And Einstein said --

Dan Einstein bilang --

and I think this is a quote,

dan saya kira ini adalah petikan,

again, that has not been passed down in his legacy --

lagi, satu lagi pusaka yang tidak diturunkan

that "these kinds of people

bahwa "orang-orang seperti ini

are geniuses in the art of living,

adalah jenius bidang seni kehidupan

more necessary

lebih berharga

to the dignity, security and joy of humanity

bagi kehormatan, keamanan dan kebahagiaan manusia

than the discoverers of objective knowledge."

daripada para penemu pengetahuan objektif."

Now invoking Einstein

Mengacu pada Einstein

might not seem the best way to bring compassion down to earth

mungkin bukan cara terbaik untuk membumikan welas asih

and make it seem accessible to all the rest of us,

dan menjadikan lebih terjangkau bagi kita,

but actually it is.

tapi itulah sebenarnya.

I want to show you

Saya ingin menunjukkan

the rest of this photograph,

sisa foto ini

because this photograph

karena foto ini

is analogous to what we do to the word "compassion" in our culture --

seanalogi dengan apa yang kita lakukan pada "welas asih" dalam budaya --

we clean it up

kita membersihkannya

and we diminish its depths and its grounding

kita hilangkan kedalaman dan pangkalnya

in life, which is messy.

dalam kehidupan, yang berantakan.

So in this photograph

Dalam foto ini

you see a mind looking out a window

Anda melihat pikiran yang memandang ke luar jendela

at what might be a cathedral -- it's not.

yang mungkin di sebuah katedral -- tapi bukan.

This is the full photograph,

Ini adalah foto sepenuhnya,

and you see a middle-aged man wearing a leather jacket,

dan seorang pria paruh-baya mengenakan jaket kulit,

smoking a cigar.

merokok cerutu.

And by the look of that paunch,

Dan kesan dari perut tambun itu,

he hasn't been doing enough yoga.

bahwa dia terlalu lama tidak berlatih yoga.

We put these two photographs side-by-side on our website,

Kita letakkan kedua foto ini bersisian di situs kami,

and someone said, "When I look at the first photo,

dan seseorang bilang, "Saat melihat foto pertama,

I ask myself, what was he thinking?

saya bertanya-tanya, apa yang dia pikirkan?

And when I look at the second, I ask,

Saat saya melihat foto kedua, saya bertanya,

what kind of person was he? What kind of man is this?"

Siapa ini? Apa cerita hidupnya?"

Well, he was complicated.

Dia orang yang rumit.

He was incredibly compassionate

Penuh welas asih

in some of his relationships

dengan beberapa hubungan

and terribly inadequate in others.

dan sangat tak cakap dengan hubungan yang lain.

And it is much harder, often,

Sering, lebih sulit

to be compassionate towards those closest to us,

untuk berwelas asih kepada orang-orang terdekat,

which is another quality in the universe of compassion,

yang juga merupakan sisi lain dari semesta welas asih,

on its dark side,

sisi gelapnya,

that also deserves our serious attention and illumination.

yang juga patut diberi perhatian dan penerangan.

Gandhi, too, was a real flawed human being.

Gandhi juga sebenarnya memiliki kekurangan manusiawi.

So was Martin Luther King, Jr. So was Dorothy Day.

Juga Martin Luther King Jr. Juga Dorothy Day.

So was Mother Teresa.

Juga Bunda Teresa.

So are we all.

Juga kita sendiri.

And I want to say

Saya ingin menyebutnya

that it is a liberating thing

sebagai pembebasan

to realize that that is no obstacle to compassion --

untuk menyadari bahwa tidak ada halangan untuk berwelasasih --

following on what Fred Luskin says --

mengikuti apa yang dikatakan Fred Luskin --

that these flaws just make us human.

bahwa kekurangan adalah apa yang membuat kita manusiawi.

Our culture is obsessed with perfection

Budaya kita terobsesi dengan kesempurnaan

and with hiding problems.

dan menyembunyikan masalah.

But what a liberating thing to realize

Tapi yang membebaskan adalah menyadari

that our problems, in fact,

bahwa masalah kita, sebenarnya,

are probably our richest sources

adalah sumber daya terbesar kita

for rising to this ultimate virtue of compassion,

untuk membesarkan kebaikan terbesar welas asih,

towards bringing compassion

yang mengantar welas asih

towards the suffering and joys of others.

kepada kesengsaraan dan kebahagiaan orang lain.

Rachel Naomi Remen is a better doctor

Rachel Naomi Remen adalah dokter yang lebih baik

because of her life-long struggle with Crohn's disease.

karena pergulatan panjangnya dengan penyakit Crohn

Einstein became a humanitarian,

Einstein menjadi pekerja kemanusiaan,

not because of his exquisite knowledge

bukan karena pengetahuannya yang dalam

of space and time and matter,

akan ruang dan waktu dan zat,

but because he was a Jew as Germany grew fascist.

tapi karena dia Yahudi saat Jerman menjadi semakin fasis.

And Karen Armstrong, I think you would also say

Dan Karen Armostrong akan bilang

that it was some of your very wounding experiences

bahwa pengalaman yang paling menyakitkan

in a religious life that,

dalam kehidupan spiritual,

with a zigzag,

yang bergerak zigzag

have led to the Charter for Compassion.

yang membawanya ke Charter for Compassion.

Compassion can't be reduced to sainthood

Welas asih tak bisa disederhanakan sebagai kesucian

any more than it can be reduced to pity.

seperti tak juga bisa disederhanakan sebagai rasa kasihan.

So I want to propose

Saya ingin mengajukan

a final definition of compassion --

sebuah definisi akhir untuk welas asih --

this is Einstein with Paul Robeson by the way --

Ini dari Einstein dengan Paul Robeson --

and that would be for us

bagi kita

to call compassion a spiritual technology.

untuk menyebut welas asih sebuah teknologi spiritual.

Now our traditions contain

Tradisi kita berisi

vast wisdom about this,

kebajikan luas tentang ini,

and we need them to mine it for us now.

dan kita perlu menggalinya.

But compassion is also equally at home

Tapi welas asih juga nyaman dengan

in the secular as in the religious.

apa yang sekuler, juga yang spiritual.

So I will paraphrase Einstein in closing

Saya akan menyadur dari Einstein sebagai penutup

and say that humanity,

dan bilang bahwa kemanusiaan,

the future of humanity,

masa depan manusia,

needs this technology

membutuhkan teknologi ini

as much as it needs all the others

sebesar ia membutuhkan lainnya

that have now connected us

yang telah menjalin kita

and set before us

dan meletakkan

the terrifying and wondrous possibility

kemungkinan mengerikan dan memukau

of actually becoming one human race.

menjadi setunggal bangsa.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)