How to overcome your mistakes

Translator: Sufi Inayati Reviewer: Intan Andini

In a 2019 study, over 400 participants were enlisted to learn

Di sebuah studi pada 2019, lebih dari 400 partisipan terdaftar untuk mempelajari

a mysterious, invented language.

sebuah bahasa misterius ciptaan.

Individuals were asked about three pairs of runes—

Partisipan ditanyai tentang tiga pasang rune—

for example, which of these two characters represents an animal?

misalnya, manakah dari dua karakter ini yang mewakili binatang?

Then, after a brief break,

Lalu, setelah istirahat singkat,

they were asked about the same rune pairs with questions flipped,

mereka ditanya tentang pasangan rune yang sama dengan pertanyaan terbalik,

as in, which of these two runes represents a non-living object?

seperti manakah dari dua rune ini yang mewakili objek tak hidup?

But this game had a secret—

Tapi permainan ini punya rahasia—

The subjects’ answers in round one

Jawaban partisipan di babak pertama

determined the runes’ meanings in round two.

menentukan makna rune di babak kedua.

In the first round,

Di babak pertama,

participants either had all their answers marked as correct no matter what,

semua jawaban partisipan dianggap benar semua

or they were forced to fail every question.

atau mereka dipaksa untuk gagal di setiap pertanyaan.

This meant that at the break,

Ini artinya saat istirahat,

every participant had the same amount of information,

setiap partisipan memiliki jumlah informasi yang sama,

and in round two they were playing for real.

dan di babak kedua mereka bermain sungguh-sungguh.

But despite this even playing field,

Namun, meski ini cuma permainan,

the successful participants from round one rose to the top of the ranks,

partisipan yang berhasil di babak pertama naik ke peringkat teratas,

while those cast as failures kept, well, failing.

sementara mereka yang gagal, tetap gagal.

People often describe failure as a teachable moment—

Orang sering menyebut kegagalan sebagai momen pembelajaran—

a necessary stumble on our way to improvement.

sebuah rintangan yang diperlukan agar kita berkembang.

But learning from our mistakes isn't always easy,

Tetapi belajar dari kesalahan tidaklah selalu mudah,

especially when those failures are demoralizing, overwhelming,

terutama saat kegagalan itu menurunkan semangat, membebani,

or just downright confusing.

atau nyata membingungkan.

So what exactly prevents us from turning our mistakes into mastery?

Apa yang sebenarnya mencegah kita mengubah kesalahan menjadi keahlian?

Perhaps the most obvious hurdle to learning from failure

Mungkin rintangan paling jelas untuk belajar dari kegagalan

is how painful it can be.

adalah betapa menyakitkannya kegagalan.

People generally want to think of themselves as capable and competent,

Umumnya orang ingin menganggap diri mereka mampu dan kompeten,

and experiencing failure threatens that self-image.

dan mengalami kegagalan mengancam citra diri tersebut.

In a survey following a replication of the rune study,

Dalam survei berdasarkan replika dari studi rune,

participants in the failure group indicated much lower levels

partisipan di kelompok kegagalan menunjukkan tingkat kepercayaan diri

of self-confidence after participating.

yang jauh lebih rendah setelah ikut serta.

It’s tempting to dismiss this pain as a temporary setback.

Mudah saja mengabaikan rasa sakit ini sebagai kemunduran sementara.

But some studies have found that when people feel demoralized or incompetent,

Tapi beberapa penelitian menemukan

saat orang merasa tak bersemangat atau tak kompeten,

their brains often stop processing new information.

otak mereka seringkali berhenti memproses informasi baru.

This suggests that if a threat to your self-esteem is large enough,

Ini artinya jika ancaman terhadap harga diri Anda cukup besar,

it can undermine your ability to learn.

ia bisa merusak kemampuan Anda untuk belajar.

However, your tolerance for failure also depends on your relationship

Namun, toleransi Anda terhadap kegagalan juga tergantung pada hubungan Anda

with the task at hand.

dengan tugas yang ada.

In a study from 2011, researchers surveyed a group of American students

Di sebuah penelitian pada 2011,

para peneliti meninjau sekelompok murid Amerika

enrolled in introductory and advanced French courses.

yang mendaftar kursus bahasa Prancis di tingkat pemula dan lanjutan.

These students completed a questionnaire

Para murid ini mengisi kuesioner

asking what kind of teacher they preferred—

mengenai guru seperti apa yang mereka sukai—

one who emphasized their strengths and successes,

guru yang menekankan kekuatan dan kesuksesan mereka,

or one who highlighted their mistakes and corrected their weaknesses.

atau guru yang menyoroti kesalahan dan memperbaiki kelemahan mereka.

In general, responses showed that while beginner students

Secara umum, hasil tanggapan menunjukkan bahwa murid pemula

sought positive reinforcement,

mencari penguatan positif,

advanced students were more eager for critical feedback.

sementara murid tingkat lanjut lebih menyukai umpan balik kritis.

Researchers have theorized a handful of explanations for these results.

Para peneliti mengemukakan beberapa penjelasan atas hasil ini.

Having just started out, beginners are still determining

Ketika baru memulai, para pemula masih menentukan

if they enjoy learning French and if they want to continue studying,

apakah mereka menikmati belajar bahasa Prancis atau ingin lanjut belajar,

so they might crave praise as a way to stay motivated.

karenanya mereka mendambakan pujian sebagai cara untuk tetap termotivasi.

On the other hand, the advanced students are already invested,

Di sisi lain, murid tingkat lanjut sudah berinvestasi,

karenanya mereka ingin meningkatkan keterampilan seefisien mungkin.

so they may want to improve their skills as efficiently as possible.

The process of gaining expertise also comes with its fair share of failure,

Proses memperoleh keahlian juga datang bersamaan dengan kegagalan,

karenanya murid tingkat lanjut mungkin telah terbiasa saat membuat kesalahan.

so the advanced students may have built a higher tolerance for making mistakes.

But whether you're an expert or a novice,

Tapi, baik Anda seorang ahli atau pemula,

it’s usually much more straightforward to learn from your successes

biasanya jauh lebih mudah untuk belajar dari kesuksesan Anda

than your failures.

daripada kegagalan Anda.

For example, imagine getting your grade back on an exam.

Misalnya, bayangkan mendapatkan kembali nilai ujian Anda.

If you aced it, you could reasonably assume you made good choices

Jika berhasil, Anda bisa berasumsi Anda telah membuat pilihan bagus

mengenai kapan, apa, dan berapa banyak yang harus dipelajari,

around when, what, and how much to study,

and you can replicate those decisions for the next test.

dan Anda dapat mengikuti keputusan itu untuk tes berikutnya.

But if you failed, it could be for any number of reasons.

Tetapi jika gagal, itu bisa karena beberapa alasan.

Maybe you didn’t study enough,

Mungkin Anda tidak cukup belajar,

maybe you studied the wrong information, or maybe you did everything right

mungkin Anda mempelajari informasi salah, atau Anda melakukan semuanya dengan benar

and the test covered things you shouldn't have been expected to know.

tapi ujiannya mencakup hal-hal yang tidak Anda duga.

In cases like this, it’s unclear exactly what went wrong,

Dalam kasus seperti ini, tidak jelas di mana letak kesalahannya,

making it difficult to learn how to improve.

jadinya sulit untuk belajar caranya berkembang.

Wanting to learn from our failures is completely natural,

Ingin belajar dari kegagalan adalah hal yang wajar,

dan ada banyak yang bisa diperoleh dengan menjadi tangguh

and there’s a lot to gain by being resilient

and cultivating a growth mindset.

dan menumbuhkan pola pikir yang berkembang.

But fixating on your failures can make it easy to forget all your successes.

Terpaku pada kegagalan bisa membuat Anda mudah melupakan semua kesuksesan Anda.

And building on what you’re doing right can be more effective

Mengembangkan apa yang Anda lakukan benar bisa jadi lebih efektif

than focusing on what you did wrong.

daripada berfokus pada apa yang Anda lakukan dengan salah.