How changing your story can change your life | Lori Gottlieb | TED

Translator: Ahmad Zakky Habibie Reviewer: Karen Winardi

I'm going to start by telling you about an email

Saya akan bercerita tentang sebuah surel

that I saw in my inbox recently.

yang saya terima baru-baru ini.

Now, I have a pretty unusual inbox

Saya punya kotak masuk yang tidak biasa

because I'm a therapist

karena saya seorang terapis

and I write an advice column called "Dear Therapist,"

dan saya kolumnis rubrik saran berjudul "Halo Terapis,"

so you can imagine what's in there.

jadi Anda bisa bayangkan apa isinya.

I mean, I've read thousands of very personal letters

Saya sudah membaca ribuan surat yang sangat pribadi

from strangers all over the world.

dari orang-orang asing di seluruh dunia.

And these letters range from heartbreak and loss,

Kisaran topiknya ada patah hati dan kehilangan,

to spats with parents or siblings.

hingga pertengkaran dengan orangtua atau saudara.

I keep them in a folder on my laptop,

Saya simpan semua itu dalam folder dalam komputer

and I've named it "The Problems of Living."

dan saya beri nama "Masalah dengan Hidup."

So, I get this email, I get lots of emails just like this,

Saya terima surel ini, saya terima banyak surel seperti ini,

and I want to bring you into my world for a second

dan saya sejenak ingin membawa Anda ke dunia saya

and read you one of these letters.

dan membacakan salah satu suratnya.

And here's how it goes.

Beginilah suratnya.

"Dear Therapist,

"Halo Terapis,

I've been married for 10 years

saya telah menikah selama 10 tahun

and things were good until a couple of years ago.

dan semua baik-baik saja sampai beberapa tahun yang lalu.

That's when my husband stopped wanting to have sex as much,

Itu saat suami saya tidak mau hubungan seks sesering dulu,

and now we barely have sex at all."

sekarang kita hampir tidak pernah."

I'm sure you guys were not expecting this.

Pasti kalian tidak menyangka.

(Laughter)

(Tertawa)

"Well, last night I discovered that for the past few months,

"Nah, semalam saya menemukan bahwa sudah beberapa bulan,

he's been secretly having long, late-night phone calls

dia diam-diam menelepon seorang wanita di kantornya

with a woman at his office.

malam-malam dengan durasi panjang.

I googled her, and she's gorgeous.

Saya google dia, dan dia cantik.

I can't believe this is happening.

Saya tidak percaya ini terjadi.

My father had an affair with a coworker when I was young

Ayah saya selingkuh dengan rekan kerjanya saat saya muda

and it broke our family apart.

dan itu menghancurkan keluarga saya.

Needless to say, I'm devastated.

Sudah pasti, saya sangat hancur.

If I stay in this marriage,

Jika saya bertahan,

I'll never be able to trust my husband again.

saya tidak akan bisa percaya suami saya lagi.

But I don't want to put our kids through a divorce,

Tapi saya tidak mau anak saya mengalami perceraian,

stepmom situation, etc.

situasi ibu tiri, dll.

What should I do?"

Saya harus apa?"

Well, what do you think she should do?

Nah, apa yang Anda pikir dia harus lakukan?

If you got this letter,

Jika Anda mendapat ini,

you might be thinking about how painful infidelity is.

Anda mungkin berpikir betapa pedihnya perselingkuhan.

Or maybe about how especially painful it is here

Atau mungkin betapa pedih khususnya di kasus ini

because of her experience growing up with her father.

karena pengalamannya tumbuh dengan ayah yang selingkuh.

And like me, you'd probably have some empathy for this woman,

Dan seperti saya, Anda mungkin berempati pada perempuan ini,

and you might even have some,

dan mungkin Anda punya,

how should I put this nicely,

bagimana ya, menyampaikannya,

let's just call them "not-so-positive" feelings for her husband.

sebut saja perasaan yang "tidak-terlalu-enak" untuk suaminya.

Now, those are the kinds of things that go through my mind too,

Hal-hal itu juga yang ada di pikiran saya,

when I'm reading these letters in my inbox.

waktu membaca surat-surat seperti ini.

But I have to be really careful when I respond to these letters

Tapi saya harus sangat hati-hati ketika membalas surat-surat ini

because I know that every letter I get is actually just a story

karena saya tahu dari tiap surat, saya hanya dapat cerita tertentu

written by a specific author.

dari penulis tertentu.

And that another version of this story also exists.

Dan bahwa versi lain dari cerita ini juga masih ada.

It always does.

Selalu ada.

And I know this

Dan saya tahu ini

because if I've learned anything as a therapist,

karena dari pengalaman saya sebagai terapis,

it's that we are all unreliable narrators of our own lives.

kita semua bukanlah narator yang dapat dipercaya.

I am.

Saya bukan.

You are.

Anda bukan.

And so is everyone you know.

Dan semua orang yang Anda tahu.

Which I probably shouldn't have told you

Mungkin seharusnya saya tidak bilang itu

because now you're not going to believe my TED Talk.

karena Anda akan meragukan TED Talk saya sekarang.

Look, I don't mean that we purposely mislead.

Maksudnya bukan kita sengaja menyesatkan.

Most of what people tell me is absolutely true,

Kebanyakan orang menyampaikan hal-hal yang benar,

just from their current points of view.

hanya dari sudut pandang mereka saat itu saja.

Depending on what they emphasize or minimize,

Tergantung dari apa yang ditekankan atau dikurangi,

what they leave in, what they leave out,

apa yang tetap ada, apa yang dihapus,

what they see and want me to see,

apa yang mereka lihat dan mau ditunjukkan,

they tell their stories in a particular way.

mereka bercerita dalam satu cara tertentu.

The psychologist Jerome Bruner described this beautifully -- he said,

Psikolog Jerome Bruner mendeskripsikannya dengan apik -- katanya,

"To tell a story is, inescapably, to take a moral stance."

"Bercerita, tidak dapat menghindar dari mengambil sikap moral."

All of us walk around with stories about our lives.

Kita semua hidup dengan cerita tentang hidup kita.

Why choices were made, why things went wrong,

Pilihan-pilihan kita, kesalahan-kesalahan,

why we treated someone a certain way --

perlakuan kita pada seseorang --

because obviously, they deserved it --

karena pastinya, mereka layak --

why someone treated us a certain way --

mengapa kita diperlakukan seperti itu --

even though, obviously, we didn't.

meski sebetulnya kita tidak layak.

Stories are the way we make sense of our lives.

Cerita adalah cara kita memahami hidup.

But what happens when the stories we tell

Tapi apa yang terjadi kalau hal yang kita ceritakan

are misleading or incomplete or just wrong?

menyesatkan atau tidak lengkap atau salah total?

Well, instead of providing clarity,

Bukannya menjelaskan,

these stories keep us stuck.

semua cerita ini malah menghambat kita.

We assume that our circumstances shape our stories.

Kita berpikir keadaanlah yang membentuk cerita kita.

But what I found time and again in my work

Tapi saya malah sering menemukan

is that the exact opposite happens.

sebaliknya dalam pekerjaan saya.

The way we narrate our lives shapes what they become.

Cara kita bercerita tentang hidup kita membentuk keadaan kita.

That's the danger of our stories,

Inilah bahayanya cerita kita,

because they can really mess us up,

karena mereka bisa mengacaukan,

but it's also their power.

tapi ini juga kekuatannya.

Because what it means is that if we can change our stories,

Karena itu artinya, kalau kita mengubah cerita kita,

then we can change our lives.

kita bisa mengubah hidup kita.

And today, I want to show you how.

Sekarang saya ingin tunjukkan caranya.

Now, I told you I'm a therapist,

Saya sudah bilang saya ini terapis.

and I really am, I'm not being an unreliable narrator.

dan betulan, saya tidak sedang menjadi narator meragukan.

But if I'm, let's say, on an airplane,

Tapi ketika, misalnya, saya lagi di pesawat.

and someone asks what I do,

dan seseorang bertanya pekerjaan saya,

I usually say I'm an editor.

Biasanya saya bilang saya penyunting.

And I say that partly because if I say I'm a therapist,

Saya bilang begitu karena kalau saya jawab terapis,

I always get some awkward response, like,

saya dapat tanggapan aneh, seperti

"Oh, a therapist.

"Ooh, terapis.

Are you going to psychoanalyze me?"

Kamu bakal mem-psikoanalisis saya dong?"

And I'm thinking, "A : no,

Saya berpikir, "A: tidak,

and B: why would I do that here?

dan B: kenapa di sini?

If I said I was a gynecologist,

Jika saya jawab ginekolog,

would you ask if I were about to give you a pelvic exam?"

Anda akan bertanya apa saya akan memeriksa pelvis Anda?

(Laughter)

(Tertawa)

But the main reason I say I'm an editor

Tapi, alasan utama saya bilang penyunting

is because it's true.

karena itu memang benar.

Now, it's the job of all therapists to help people edit,

Pekerjaan terapis adalah membantu orang menyunting,

but what's interesting about my specific role as Dear Therapist

dan menariknya tentang peran saya di Halo Terapis

is that when I edit, I'm not just editing for one person.

adalah saya tidak hanya menyunting satu orang.

I'm trying to teach a whole group of readers how to edit,

Saya berusaha mengajari seluruh pembaca cara menyunting,

using one letter each week as the example.

dengan contoh satu surat per minggu.

So I'm thinking about things like,

Saya berpikir hal-hal seperti,

"What material is extraneous?"

"Materi apa yang belum dibahas?"

"Is the protagonist moving forward or going in circles,

"Protagonisnya maju, atau berputar di situ-situ saja,

are the supporting characters important or are they a distraction?"

pemeran pembantunya penting atau hanya pengalih isu saja?"

"Do the plot points reveal a theme?"

"Alur utamanya punya tema?"

And what I've noticed

Dan yang saya perhatikan

is that most people's stories tend to circle around two key themes.

cerita kebanyakan orang berputar-putar antara dua tema.

The first is freedom,

Yang pertama adalah kebebasan,

and the second is change.

yang kedua adalah perubahan.

And when I edit,

Dan ketika menyunting,

those are the themes that I start with.

saya mulai dari tema-tema ini.

So, let's take a look at freedom for a second.

Mari sejenak kita lihat tentang kebebasan.

Our stories about freedom go like this:

Cerita kita tentang kebebasan kira-kira begini:

we believe, in general,

kita percaya, secara umum,

that we have an enormous amount of freedom.

kalau kita punya banyak sekali kebebasan.

Except when it comes to the problem at hand,

Kecuali saat kita menghadapi masalah,

in which case, suddenly, we feel like we have none.

yang membuat kita merasa tidak bebas sama sekali.

Many of our stories are about feeling trapped, right?

Kebanyakan cerita kita tentang perasaan terjepit, kan?

We feel imprisoned by our families, our jobs,

Kita terbelenggu oleh keluarga, oleh pekerjaan,

our relationships, our pasts.

hubungan, masa lalu.

Sometimes, we even imprison ourselves with a narrative of self-flagellation --

Terkadang, kita malah membelenggu dan menyiksa diri --

I know you guys all know these stories.

Saya yakin kalian tahu cerita sejenis.

The "everyone's life is better than mine" story,

"Hidup orang lain lebih baik dari hidupku,"

courtesy of social media.

gara-gara media sosial.

The "I'm an impostor" story, the "I'm unlovable" story,

Cerita "saya palsu," cerita "saya tidak bisa dicintai,"

the "nothing will ever work out for me" story.

cerita "saya tidak akan pernah berhasil."

The "when I say, 'Hey, Siri, ' and she doesn't answer,

"Kalau saya bilang, 'Hei, Siri,' dan tidak ada jawaban

that means she hates me" story.

berarti dia benci sama saya."

I see you, see, I'm not the only one.

Ya 'kan? Bukan cuma saya.

The woman who wrote me that letter,

Perempuan yang menulis surat itu,

she also feels trapped.

juga merasa terbelenggu.

If she stays with her husband, she'll never trust him again,

Kalau tinggal dengan suaminya, tidak akan bisa percaya lagi,

but if she leaves, her children will suffer.

kalau dia pergi, anak-anaknya menderita.

Now, there's a cartoon that I think is a perfect example

Ada satu kartun yang menurut saya adalah contoh paling pas

of what's really going on in these stories.

tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam cerita ini.

The cartoon shows a prisoner shaking the bars,

Kartunnya menunjukkan napi menggoyang jeruji besi,

desperately trying to get out.

ingin sekali keluar dari penjara.

But on the right and the left, it's open.

Tapi sisi kanan dan kirinya terbuka.

No bars.

Tidak ada jeruji.

The prisoner isn't in jail.

Dan narapidananya tidak dipenjara.

That's most of us.

Itulah kebanyakan kita.

We feel completely trapped,

Kita merasa terpenjara,

stuck in our emotional jail cells.

di penjara perasaan kita.

But we don't walk around the bars to freedom

Tapi kita tak mengitari jerujinya agar bebas

because we know there's a catch.

karena kita tahu akan ada hal lain.

Freedom comes with responsibility.

Kebebasan datang dengan tanggung jawab.

And if we take responsibility for our role in the story,

Kalau kita bertanggung jawab atas peran kita dalam cerita,

we might just have to change.

kita mungkin akan perlu berubah.

And that's the other common theme that I see in our stories: change.

Dan itu adalah tema umum lain yang sering saya temukan: perubahan.

Those stories sound like this:

Cerita-ceritanya seperti ini:

a person says, "I want to change."

seseorang bilang, "saya mau berubah."

But what they really mean is,

Tetapi yang dia maksud adalah,

"I want another character in the story to change."

"Saya mau salah satu karakter di cerita saya berubah."

Therapists describe this dilemma as:

Terapis menjabarkan dilema ini:

"If the queen had balls, she'd be the king."

"Kalau ratu itu cowok, dia akan jadi raja."

I mean --

Maksudnya --

(Laughter)

(Tertawa)

It makes no sense, right?

Tidak masuk akal, kan?

Why wouldn't we want the protagonist,

Mengapa kita tidak mau protagonisnya,

who's the hero of the story, to change?

tokoh utama cerita kita yang berubah?

Well, it might be because change,

Ini mungkin karena, perubahan itu,

even really positive change,

walaupun sangat-sangat positif,

involves a surprising amount of loss.

juga membawa beberapa kehilangan.

Loss of the familiar.

Kehilangan hal yang familiar.

Even if the familiar is unpleasant or utterly miserable,

Bahkan kalau hal itu tidak menyenangkan atau benar-benar menyiksa,

at least we know the characters and setting and plot,

minimal kita tahu karakter, situasi, dan alurnya,

right down to the recurring dialogue in this story.

sampai ke dialog yang berulang-ulang di cerita ini.

"You never do the laundry!"

"Kamu gak pernah mencuci!"

"I did it last time!"

"Terakhir kali sudah!"

"Oh, yeah? When?"

"Oh ya? Kapan?"

There's something oddly comforting

Ada hal aneh tapi membuat nyaman

about knowing exactly how the story is going to go

dari mengetahui bagaimana ceritanya akan berlanjut

every single time.

setiap saat.

To write a new chapter is to venture into the unknown.

Menulis bab baru berarti bertualang ke hal yang asing.

It's to stare at a blank page.

Berarti memandang halaman kosong.

And as any writer will tell you,

Dan setiap penulis akan bilang,

there's nothing more terrifying than a blank page.

tidak ada yang lebih mengerikan selain halaman kosong.

But here's the thing.

Tapi begini.

Once we edit our story,

Begitu kita sunting cerita kita,

the next chapter becomes much easier to write.

bab berikutnya jadi lebih mudah untuk ditulis.

We talk so much in our culture about getting to know ourselves.

Kita selalu berbicara tentang mengetahui diri kita sendiri.

But part of getting to know yourself is to unknow yourself.

Tapi sebagian dari mengetahui diri, adalah melupakan diri.

To let go of the one version of the story you've been telling yourself

Menanggalkan satu versi cerita yang terus-menerus kita ceritakan

so that you can live your life,

agar kita dapat sungguhan hidup,

and not the story that you've been telling yourself

bukannya hidup dalam cerita yang kita ceritakan

about your life.

tentang hidup.

And that's how we walk around those bars.

Begitulah bagaimana kita berjalan memutari jerujinya.

So I want to go back to the letter from the woman, about the affair.

Saya ingin kembali ke surat yang tadi, tentang perselingkuhan.

She asked me what she should do.

Dia bertanya apa yang harus dia lakukan.

Now, I have this word taped up in my office:

Saya punya kata ini ditempelkan di kantor saya:

ultracrepidarianism.

ultracrepidarianism (sok tahu).

The habit of giving advice or opinions outside of one's knowledge or competence.

Kebiasaan memberi saran dan pendapat di luar pengetahuan dan kompetensi.

It's a great word, right?

Kata yang bagus, kan?

You can use it in all different contexts,

Bisa digunakan dalam berbagai konteks,

I'm sure you will be using it after this TED Talk.

pasti akan sering Anda gunakan setelah ini.

I use it because it reminds me that as a therapist,

Saya gunakan karena mengingatkan saya bahwa sebagai terapis,

I can help people to sort out what they want to do,

Saya bisa membantu orang tahu keinginan mereka,

but I can't make their life choices for them.

tapi saya tak bisa menentukan pilihan hidup mereka.

Only you can write your story,

Hanya Anda yang bisa menulis cerita Anda,

and all you need are some tools.

dan yang diperlukan hanya alat bantuan.

So what I want to do

Jadi yang mau saya lakukan

is I want to edit this woman's letter together, right here,

adalah menyunting surat ini bersama-sama, di sini,

as a way to show how we can all revise our stories.

sebagai cara menunjukkan bagaimana kita merevisi cerita kita.

And I want to start by asking you

Dan saya ingin mulai dengan meminta Anda

to think of a story that you're telling yourself right now

memikirkan suatu cerita yang Anda ceritakan kepada Anda sendiri saat ini

that might not be serving you well.

yang mungkin rasanya tidak enak.

It might be about a circumstance you're experiencing,

Bisa tentang hal yang Anda alami,

it might be about a person in your life,

bisa tentang seseorang dalam hidup Anda,

it might even be about yourself.

atau tentang diri Anda sendiri.

And I want you to look at the supporting characters.

Dan coba Anda lihat para pemeran pembantunya.

Who are the people who are helping you

Siapa saja orang yang membantu Anda

to uphold the wrong version of this story?

menguatkan versi salah cerita ini?

For instance, if the woman who wrote me that letter

Misalnya, jika penulis surat tadi menceritakan

told her friends what happened,

apa yang terjadi pada temannya,

they would probably offer her what's called "idiot compassion."

mungkin mereka akan menawarkan "kasih sayang idiot."

Now, in idiot compassion, we go along with the story,

Dalam kasih sayang idiot, kita ikuti saja ceritanya,

we say, "You're right, that's so unfair,"

kita bilang, "Kamu benar, itu tidak adil,"

when a friend tells us that he didn't get the promotion he wanted,

ketika seorang teman memberitahu dia tidak dapat kenaikan pangkat,

even though we know this has happened several times before

walaupun kita tahu hal ini sudah sering terjadi

because he doesn't really put in the effort,

karena dia kurang berusaha,

and he probably also steals office supplies.

dan mungkin dia juga mencuri alat tulis.

(Laughter)

(Tertawa)

We say, "Yeah, you're right, he's a jerk,"

Kita bilang, "Ya, kamu benar, dia brengsek,"

when a friend tells us that her boyfriend broke up with her,

ketika teman kita diputuskan oleh pacarnya,

even though we know that there are certain ways

walaupun kita tahu ada hal-hal

she tends to behave in relationships,

cara dia bersikap dalam hubungan itu,

like the incessant texting or the going through his drawers,

seperti terus mengiriminya pesan atau menggeledah lacinya,

that tend to lead to this outcome.

yang mengakibatkan hal ini.

We see the problem, it's like,

Kita lihat masalahnya, misalnya,

if a fight breaks out in every bar you're going to,

kalau ada perkelahian setiap Anda datang ke bar,

it might be you.

mungkin Anda masalahnya.

(Laughter)

(Tertawa)

In order to be good editors, we need to offer wise compassion,

Untuk menjadi penyunting yang baik, kita perlu kebijakan dan rasa sayang,

not just to our friends, but to ourselves.

bukan hanya kepada teman, tapi ke diri sendiri.

This is what's called -- I think the technical term might be --

Ini yang disebut -- Saya rasa istilah teknisnya adalah --

"delivering compassionate truth bombs."

"memberi bom kebenaran dengan belas kasih."

And these truth bombs are compassionate,

Dan bom ini penuh belas kasih,

because they help us to see what we've left out of the story.

karena membantu kita melihat cerita mana yang kita hiraukan.

The truth is,

Kenyataannya,

we don't know if this woman's husband is having an affair,

kita tidak tahu apakah suami wanita ini berselingkuh,

or why their sex life changed two years ago,

atau mengapa kehidupan seksual mereka berubah dua tahun lalu,

or what those late-night phone calls are really about.

atau tentang apa telepon di tengah malam itu.

And it might be that because of her history,

Dan bisa saja karena riwayatnya dia,

she's writing a singular story of betrayal,

dia menulis satu cerita pengkhianatan,

but there's probably something else

tapi mungkin ada hal lain

that she's not willing to let me, in her letter,

yang dia tidak ingin saya, di suratnya,

or maybe even herself, to see.

atau dirinya sendiri, lihat.

It's like that guy who's taking a Rorschach test.

Seperti bapak tadi yang mengikuti tes Rorschach.

You all know what Rorschach tests are?

Kalian tahu tes Rorschach?

A psychologist shows you some ink blots, they look like that,

Seorang psikolog menunjukkan pola tinta seperti ini

and asks, "What do you see?"

dan bertanya, "Apa yang Anda lihat?"

So the guy looks at his ink blot and he says,

Orangnya melihat tintanya dan berkata,

"Well, I definitely don't see blood."

"Pastinya saya tidak melihat darah."

And the examiner says,

Pengujinya berkata,

"Alright, tell me what else you definitely don't see."

"Baik, beritahu apa lagi yang pasti Anda tidak lihat."

In writing, this is called point of view.

Dalam tulisan, ini disebut sudut pandang.

What is the narrator not willing to see?

Apa yang naratornya tidak ingin lihat?

So, I want to read you one more letter.

Saya ingin membacakan satu surat lagi.

And it goes like this.

Dan suratnya adalah seperti ini.

"Dear Therapist,

"Halo Terapis,

I need help with my wife.

tolong bantu saya dengan istri saya.

Lately, everything I do irritates her,

Semua tindakan saya membuatnya kesal.

even small things, like the noise I make when I chew.

bahkan hal kecil, seperti suara saya mengunyah.

At breakfast,

Waktu sarapan,

I noticed that she even tries to secretly put extra milk in my granola

saya bahkan melihat dia diam-diam menambahkan susu di granola saya

so it won't be as crunchy."

agar tidak terlalu garing."

(Laughter)

(Tertawa)

"I feel like she became critical of me after my father died two years ago.

"Saya merasa dia penuh kritik setelah ayah saya meninggal dua tahun lalu.

I was very close with him,

Saya dekat sama ayah saya,

and her father left when she was young,

dan ayahnya pergi waktu dia masih kecil,

so she couldn't relate to what I was going through.

jadi dia tidak dapat mengerti apa yang saya alami.

There's a friend at work whose father died a few months ago,

Ada teman kerja saya yang menjadi yatim beberapa bulan lalu,

and who understands my grief.

dan dapat memahami kedukaan saya.

I wish I could talk to my wife like I talk to my friend,

Saya ingin bisa bicara dengan istri saya seperti ke teman saya,

but I feel like she barely tolerates me now.

tapi saya rasa dia sulit menolerir saya.

How can I get my wife back?"

Bagaimana agar istri saya kembali?"

OK.

Oke.

So, what you probably picked up on

Jadi, apa yang mungkin Anda tangkap adalah

is that this is the same story I read you earlier,

cerita ini sama dengan cerita sebelumnya,

just told from another narrator's point of view.

hanya saja disampaikan dari sudut pandang narator lain.

Her story was about a husband who's cheating,

Si perempuan bercerita suaminya selingkuh,

his story is about a wife who can't understand his grief.

Si laki-laki bercerita istrinya tidak paham rasa berkabung.

But what's remarkable, is that for all of their differences,

Tapi yang menakjubkan, walaupun banyak bedanya,

what both of these stories are about is a longing for connection.

kedua cerita ini adalah tentang keinginan untuk terhubung.

And if we can get out of the first-person narration

Dan kalau kita bisa lepas dari narasi orang pertama

and write the story from another character's perspective,

dan menulis ceritanya dari perspektif karakter lain,

suddenly that other character becomes much more sympathetic,

tiba-tiba karakter lain itu menjadi lebih simpatik,

and the plot opens up.

dan ceritanya mulai tampak.

That's the hardest step in the editing process,

Inilah langkah paling sulit dalam proses menyunting,

but it's also where change begins.

tetapi di sinilah perubahan bermula.

What would happen if you looked at your story

Tapi apa yang terjadi kalau kita lihat ceritanya

and wrote it from another person's point of view?

dan menulisnya dari sudut pandang orang lain?

What would you see now from this wider perspective?

Apa yang Anda lihat sekarang dari perspektif yang lebih luas?

That's why, when I see people who are depressed,

Makanya, kalau saya melihat orang yang depresi,

I sometimes say,

terkadang saya bilang,

"You are not the best person to talk to you about you right now,"

"Anda bukan orang paling tepat untuk membahas diri Anda saat ini,"

because depression distorts our stories in a very particular way.

karena depresi mendistorsi cerita kita sedemikian rupa.

It narrows our perspectives.

Mempersempit perspektif kita.

The same is true when we feel lonely or hurt or rejected.

Sama seperti kalau kita merasa kesepian atau terluka atau ditolak.

We create all kinds of stories,

Kita menciptakan beragam cerita,

distorted through a very narrow lens

terdistorsi pandangan sempit kita,

that we don't even know we're looking through.

bahkan kita tidak sadar akan pandangan itu.

And then, we've effectively become our own fake-news broadcasters.

Lalu, kita menjadi penyiar berita palsu kita sendiri.

I have a confession to make.

Saya harus mengakui sesuatu.

I wrote the husband's version of the letter I read you.

Saya lah yang menulis surat versi suami tadi.

You have no idea how much time I spent

Anda tidak tahu berapa lama

debating between granola and pita chips, by the way.

saya memilih antara granola atau keripik pita.

I wrote it based on all of the alternative narratives

Saya menulis itu berdasarkan narasi alternatif yang sudah

that I've seen over the years,

saya lihat bertahun-tahun.

not just in my therapy practice, but also in my column.

bukan hanya di praktik terapi, tetapi juga di rubrik saya.

When it's happened

Ketika hal itu terjadi,

that two people involved in the same situation

dua orang yang terlibat dalam situasi yang sama,

have written to me, unbeknownst to the other,

menulis surat ke saya, tanpa sepengetahuan yang lain,

and I have two versions of the same story

dan saya punya dua versi dari satu cerita

sitting in my inbox.

di kotak masuk saya.

That really has happened.

Itu benar-benar pernah terjadi.

I don't know what the other version of this woman's letter is,

Saya tidak tahu versi lain dari surat wanita ini,

but I do know this:

tapi saya tahu ini:

she has to write it.

dia harus menulisnya.

Because with a courageous edit,

Karena kalau dia berani menyunting,

she'll write a much more nuanced version of her letter that she wrote to me.

dia akan menulis versi lebih bernuansa daripada yang saya terima.

Even if her husband is having an affair of any kind --

Bahkan kalau suaminya berselingkuh --

and maybe he is --

dan mungkin saja iya --

she doesn't need to know what the plot is yet.

dia belum perlu tahu alur ceritanya.

Because just by virtue of doing an edit,

Karena baru dengan niat menyuntingnya saja,

she'll have so many more possibilities for what the plot can become.

akan ada lebih banyak kemungkinan alurnya akan jadi seperti apa.

Now, sometimes it happens that I see people who are really stuck,

Terkadang saya melihat orang yang benar-benar terpojok,

and they're really invested in their stuckness.

dan mereka sangat meresapi keterpojokan mereka.

We call them help-rejecting complainers.

Kita menyebutnya tukang protes yang menolak bantuan.

I'm sure you know people like this.

Saya yakin Anda tahu jenisnya.

They're the people who, when you try to offer them a suggestion,

Mereka adalah orang yang, kalau kita beri saran,

they reject it with, "Yeah, no, that will never work, because ..."

mereka menolaknya bilang, "Ya, tapi, tidak akan berhasil, karena ..."

"Yeah, no, that's impossible, because I can't do that."

"Ya, tapi, itu tidak mungkin, saya tidak bisa melakukannya."

"Yeah, I really want more friends, but people are just so annoying."

"Ya, saya ingin sekali punya teman, tapi orang-orang itu menyebalkan."

(Laughter)

(Tertawa)

What they're really rejecting

Apa yang sebetulnya mereka tolak

is an edit to their story of misery and stuckness.

adalah suntingan bagi cerita kemalangan dan keterpurukkan mereka.

And so, with these people, I usually take a different approach.

Dengan orang-orang seperti ini, saya biasanya pendekatannya berbeda.

And what I do is I say something else.

Yang saya lakukan berbeda dengan apa yang saya katakan.

I say to them,

Saya katakan,

"We're all going to die."

"Kita semua akan mati."

I bet you're really glad I'm not your therapist right now.

Anda senang, 'kan, saya bukan terapis Anda.

Because they look back at me

Karena mereka memandang saya

the way you're looking back at me right now,

persis seperti cara Anda memandang saya,

with this look of utter confusion.

dengan tatapan kebingungan.

But then I explain that there's a story

Tapi lalu saya jelaskan bahwa ada cerita

that gets written about all of us, eventually.

yang ditulis tentang kita semua pada akhirnya.

It's called an obituary.

Namanya obituari.

And I say that instead of being authors of our own unhappiness,

Dan saya bilang daripada menjadi pencerita kemalangan kita,

we get to shape these stories while we're still alive.

kita bisa mengubah cerita ini ketika masih hidup.

We get to be the hero and not the victim in our stories,

Kita bisa jadi pahlawan atau korban dalam cerita kita,

we get to choose what goes on the page that lives in our minds

kita memilih apa yang akan ada di halaman dalam benak kita

and shapes our realities.

dan membentuk kenyataan kita.

I tell them that life is about deciding which stories to listen to

Saya katakan bahwa hidup adalah memutuskan cerita mana yang mau

and which ones need an edit.

kita dengar dan harus diedit.

And that it's worth the effort to go through a revision

Usaha untuk merevisi begitu setimpal

because there's nothing more important to the quality of our lives

karena tidak ada yang lebih penting dalam kualitas hidup kita

than the stories we tell ourselves about them.

selain mempercayai cerita tentang hidup kita.

I say that when it comes to the stories of our lives,

Saya katakan kalau bicara mengenai cerita hidup kita,

we should be aiming for our own personal Pulitzer Prize.

target kita adalah memenangkan penghargaan Pulitzer.

Now, most of us aren't help-rejecting complainers,

Mayoritas dari kita bukan tukang protes yang menolak bantuan,

or at least we don't believe we are.

paling tidak kita pikir kita tidak begitu.

But it's a role that is so easy to slip into

Tapi kita sangat mudah terjerumus dalam peran itu

when we feel anxious or angry or vulnerable.

kalau kita merasa galau atau marah atau resah.

So the next time you're struggling with something,

Jadi kalau kalian sedang berjuang tentang sesuatu,

remember,

ingat,

we're all going to die.

kita semua akan mati.

(Laughter)

(Tertawa)

And then pull out your editing tools

Dan keluarkanlah alat menyunting kalian

and ask yourself:

dan tanyakan pada diri kalian:

what do I want my story to be?

saya mau cerita saya jadinya seperti apa?

And then, go write your masterpiece.

Lalu, tulislah mahakarya Anda.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)