Why we must confront the painful parts of US history | Hasan Kwame Jeffries

Translator: Harum sam Reviewer: Nathaniel Luis Reyhan Soesilo

Not that long ago,

Belum lama ini,

I received an invitation

saya menerima sebuah undangan

to spend a few days at the historic home of James Madison.

untuk menghabiskan beberapa hari di rumah bersejarah James Madison.

James Madison, of course,

James Madison, tentu,

was the fourth president of the United States,

adalah presiden keempat Amerika Serikat,

the father of the Constitution,

Bapak Konstitusi,

the architect of the Bill of Rights.

perancang Bill of Right.

And as a historian,

Dan sebagai seorang sejarawan,

I was really excited to go to this historic site,

saya sangat bersemangat untuk pergi ke tempat bersejarah ini

because I understand and appreciate the power of place.

karena saya mengerti dan menghargai kekuatan sebuah tempat.

Now, Madison called his estate Montpelier.

Madison menamai tempatnya Montpelier.

And Montpelier is absolutely beautiful.

Dan Montpelier ini benar-benar indah.

It's several thousand acres of rolling hills,

Ini meliputi beberapa ribu hektar bukit yang landai,

farmland and forest,

tanah pertanian dan hutan

with absolutely breathtaking views of the Blue Ridge Mountains.

dengan pemandangan Blue Ridge Mountains yang menakjubkan.

But it's a haunting beauty,

Tapi, indahnya menyeramkan

because Montpelier was also a slave labor camp.

karena Montpelier dulunya juga sebuah kamp kerja paksa.

You see, James Madison enslaved more than 100 people

James Madison memperbudak lebih dari 100 orang sepanjang hidupnya.

over the course of his lifetime.

And he never freed a single soul,

Dan tak pernah membebaskan seorang pun,

not even upon his death.

bahkan sampai kematiannya pun tidak.

The centerpiece of Montpelier is Madison's mansion.

Bagian tengah Montpelier adalah rumah besar milik Madison.

Now this is where James Madison grew up,

Di sinilah tempat James Madison bertumbuh besar,

this is where he returned to after his presidency,

dia kembali ke sini setelah masa kepresidenannya,

this is where he eventually died.

di sini pula dia meninggal dunia.

And the centerpiece of Madison's mansion is his library.

Dan bagian tengah rumah besar Madison adalah perpustakaannya.

This room on the second floor,

Ruangan di lantai dua ini adalah

where Madison conceived and conceptualized the Bill of Rights.

tempat Madison menyusun dan mengonsepkan Bill of Rights.

When I visited for the first time,

Saat saya datang pertama kali,

the director of education, Christian Cotz --

direktur pendidikan, Christian Cotz --

cool white dude --

sobat kulit putih yang keren--

(Laughter)

(Tawa)

took me almost immediately to the library.

langsung membawa saya dengan cepat ke perpustakaan.

And it was amazing, being able to stand in this place

Dan saya merasa takjub bisa berdiri di tempat

where such an important moment in American history happened.

di mana peristiwa penting dalam sejarah Amerika terjadi.

But then after a little while there,

Tapi setelah sebentar di situ,

Christian actually took me downstairs to the cellars of the mansion.

Christian membawa saya ke lantai bawah menuju ruang bawah tanah.

Now, in the cellars of the mansion,

Di ruang bawah tanah inilah,

that's where the enslaved African Americans who managed the house

para budak Afrika-Amerika yang mengatur rumah ini

spent most of their time.

menghabiskan waktu mereka.

It's also where they were installing a new exhibition on slavery in America.

Di sini juga tempat mereka memasang pameran baru dalam perbudakan di Amerika.

And while we were there,

Dan saat kami sedang di situ,

Christian instructed me to do something I thought was a little bit strange.

Christian menyuruh saya melakukan sesuatu yang sedikit aneh.

He told me to take my hand

Dia bilang, taruhlah tangan saya

and place it on the brick walls of the cellar and to slide it along,

pada dinding bata ruangan itu dan usaplah

until I felt these impressions or ridges in the face of the brick.

sampai saya merasakan cetakan atau tonjolan di permukaan batu bata itu.

Now look,

Sekarang,

I was going to be staying on-site on this former slave plantation

saya akan menginap di tempat bekas perbudakan ini

for a couple of days,

untuk beberapa hari,

so I wasn't trying to upset any white people.

jadi saya tak mau menyinggung orang kulit putih.

(Laughter)

(Tawa)

Because when this was over,

Karena setelah ini berakhir,

I wanted to make sure that I could get out.

saya ingin memastikan saya bisa keluar.

(Laughter)

(Tawa)

But as I'm actually sliding my hand along the cellar wall,

Tapi saat saya sedang menyeret tangan di sepanjang dinding,

I couldn't help but think about my daughters,

saya terpikir tentang anak-anak perempuan saya,

and my youngest one in particular,

terutama si bungsu

who was only about two or three years old at the time,

yang baru berusia dua atau tiga tahun saat itu

because every time she hopped out of our car,

karena setiap dia keluar dari mobil kami,

she would take her hand and slide it along the outside,

dia akan menyeretkan tangannya di luar mobil,

which is absolutely disgusting.

yang mana benar-benar jorok.

And then --

Dan lalu --

and then, if I couldn't get to her in time,

jika saya telat mencegahnya,

she would take her fingers and pop them in her mouth,

dia akan masukkan jarinya ke dalam mulutnya,

which would drive me absolutely crazy.

yang mana membuat saya gila.

So this is what I'm thinking about while I'm supposed to be a historian.

Inilah yang saya pikirkan saat harusnya saya menjadi sejarawan.

(Laughter)

(Tawa)

But then, I actually do feel these impressions in the brick.

Tapi kemudian, saya benar-benar merasakan kesan seperti ini pada batanya.

I feel these ridges in the brick.

Saya merasakan tonjolan pada batanya.

And it takes a second to realize what they are.

Dan hanya butuh sekejap untuk sadar apa sebenarnya itu.

What they are

Itu semua

are tiny hand prints.

adalah cetakan tangan kecil.

Because all of the bricks at James Madison's estate

Karena semua batu bata di tanah kepunyaan James Madison

were made by the children that he enslaved.

dibuat oleh anak-anak yang dia perbudak.

And that's when it hit me

Dan itulah saat saya sadar

that the library

bahwa perpustakaan

in which James Madison conceives and conceptualizes the Bill of Rights

di mana James Madison menyusun dan mengonsepkan Bill of Rights

rests on a foundation of bricks

ditopang fondasi batu bata

made by the children that he enslaved.

yang dibuat oleh anak-anak yang dia perbudak.

And this is hard history.

Dan ini adalah sejarah yang pahit.

It's hard history, because it's difficult to imagine

Ini sejarah yang pahit karena sulit untuk membayangkan

the kind of inhumanity

sebuah kebiadaban

that leads one to enslave children

yang mengarah pada perbudakan anak-anak

to make bricks for your comfort and convenience.

untuk membuat batu bata bagi kenyamanan Anda.

It's hard history,

Itu sejarah yang pahit

because it's hard to talk about the violence of slavery,

karena sulit untuk membicarakan tentang kekejaman perbudakan,

the beatings, the whippings, the kidnappings,

pemukulan, pemecutan, penculikan,

the forced family separations.

pemisahan paksa dari keluarga.

It's hard history, because it's hard to teach white supremacy,

Ini sejarah yang sulit karena sulit untuk mengajarkan supremasi kulit putih,

which is the ideology that justified slavery.

ideologi yang membenarkan perbudakkan.

And so rather than confront hard history,

Dan bukannya menghadapi sejarah yang pahit,

we tend to avoid it.

kita cenderung menghindarinya.

Now, sometimes that means just making stuff up.

Terkadang, itu berarti hanya mengada-ada.

I can't tell you how many times I've heard people say

Saya mendengar banyak orang mengatakan

that "states' rights" was the primary cause of the Civil War.

bahwa "hak-hak negara bagian" adalah penyebab utama Perang Saudara.

That would actually come as a surprise

Itu akan mengejutkan

to the people who fought in the Civil War.

orang-orang yang berperang di Perang Saudara.

(Laughter)

(Tawa)

Sometimes, we try to rationalize hard history.

Terkadang, kita mencoba untuk merasionalisasikan sejarah yang pahit.

Saat orang mengunjungi Montpelier --

When people visit Montpelier --

and by "people," in this instance, I mean white people --

dan maksudnya "orang" adalah orang kulit putih --

when they visit Montpelier

saat mereka datang ke Montpelier

and learn about Madison enslaving people,

dan mempelajari tentang Madison memperbudak orang-orang,

they often ask,

mereka sering bertanya,

"But wasn't he a good master?"

"Tapi bukankah dia majikan yang baik?"

A "good master?"

Seorang "majikan yang baik"?

There is no such thing as a good master.

Tidak ada yang namanya majikan yang baik.

There is only worse and worser.

Hanya ada yang jahat dan yang lebih jahat.

And sometimes,

Dan terkadang,

we just pretend the past didn't happen.

kita hanya berpura-pura menganggap masa lalu tak terjadi.

Saya sering mendengar orang bilang,

I can't tell you how many times I've heard people say,

"It's hard to imagine slavery existing outside of the plantation South."

"Sulit membayangkan perbudakkan ada di luar pertanian Selatan."

No, it ain't.

Tidak sulit.

Slavery existed in every American colony,

Perbudakkan ada di semua koloni Amerika,

slavery existed in my home state of New York

perbudakkan ada di negara bagian rumah saya, New York,

for 50 years after the American Revolution.

selama 50 tahun setelah Revolusi Amerika.

So why do we do this?

Jadi mengapa kita melakukan ini?

Why do we avoid confronting hard history?

Mengapa kita mengelak menghadapi sejarah yang pahit?

Literary performer and educator Regie Gibson

Tokoh sastra dan pendidik Regie Gibson

had the truth of it when he said

mengatakan kebenarannya saat berkata

that our problem as Americans is we actually hate history.

bahwa masalah kita sebagai orang Amerika adalah kita sebenarnya membenci sejarah.

What we love

Yang kita suka

is nostalgia.

adalah nostalgia.

Nostalgia.

Nostalgia.

We love stories about the past

Kita suka cerita tentang masa lalu

that make us feel comfortable about the present.

yang membuat kita merasa nyaman tentang masa sekarang.

But we can't keep doing this.

Tapi kita tak bisa terus seperti ini.

George Santayana, the Spanish writer and philosopher,

George Santayana, penulis dan filsuf Spanyol, berkata bahwa

said that those who cannot remember the past

[Mereka yang tidak mengingat masa lalu terkutuk untuk mengulangnya.]

are condemned to repeat it.

Now as a historian, I spend a lot of time thinking about this very statement,

Sebagai sejarawan, saya menghabiskan banyak waktu memikirkan pernyataan ini,

and in a sense, it applies to us in America.

dan dalam arti tertentu, ini berlaku untuk kita orang Amerika.

But in a way, it doesn't.

Tapi di satu sisi, tidak.

Because, inherent in this statement,

Karena, terwarisi di pernyataan ini

is the notion that at some point,

adalah gagasan bahwa di satu saat,

we stopped doing the things

kita berhenti melakukan sesuatu

that have created inequality in the first place.

yang telah membuat ketidaksamarataan dari awal.

And a harsh reality is,

Dan kenyataan pahitnya adalah,

we haven't.

kita belum.

Consider the racial wealth gap.

Pertimbangkan kesenjangan kekayaan antar ras.

Wealth is generated by accumulating resources in one generation

Kekayaan dihasilkan dengan mengumpulkan sumber daya di satu generasi

and transferring them to subsequent generations.

dan mentransfernya ke generasi selanjutnya.

Median white household wealth

Nilai tengah kekayaan rumah tangga kulit putih

is 147,000 dollars.

adalah 147.000 dolar.

Median Black household wealth

Nilai tengah kekayaan rumah tangga kulit hitam

is four thousand dollars.

adalah empat ribu dolar.

How do you explain this growing gap?

Bagaimana Anda menjelaskan kesenjangan yang berkembang ini?

Hard history.

Sejarah yang pahit.

My great-great-grandfather was born enslaved

Kakek dari buyut saya lahir diperbudak

in Jasper County, Georgia, in the 1850s.

di Daerah Jasper, Georgia, pada tahun 1850-an.

While enslaved, he was never allowed to accumulate anything,

Sewaktu dia diperbudak, dia tak diizinkan untuk memiliki apa pun

and he was emancipated with nothing.

dan dia dibebaskan tanpa apa pun.

He was never compensated for the bricks that he made.

Dia tak pernah dibayar atas batu bata yang dia buat.

My great-grandfather was also born in Jasper County, Georgia, in the 1870s,

Buyut lelaki saya juga lahir di Daerah Jasper, Georgia, pada tahun 1870-an,

and he actually managed to accumulate a fair bit of land.

dan sebenarnya dia berhasil memiliki sedikit lahan.

But then, in nineteen-teens, Jim Crow took that land from him.

Tapi kemudian, saat usianya 19 tahun, Jim Crow mengambil lahan itu darinya.

And then Jim Crow took his life.

Dan lalu Jim Crow mengambil nyawanya.

My grandfather, Leonard Jeffries Senior,

Kakek saya, Leonard Jeffries Senior,

was born in Georgia,

lahir di Georgia,

but there was nothing left for him there,

tapi tak ada yang tersisa baginya di sana,

so he actually grew up in Newark, New Jersey.

jadi dia sebenarnya besar di Newark, New Jersey.

And he spent most of his life working as a custodian.

Dan dia menghabiskan sebagian besar hidupnya bekerja sebagai pembersih.

Job discrimination, segregated education and redlining

Diskriminasi pekerjaan, perbedaan pendidikan, dan redlining

kept him from ever breaking into the middle class.

mencegah dia selamanya dari naik ke kelas menengah.

And so when he passed away in the early 1990s,

Jadi saat dia meninggal dunia pada awal tahun 1990-an,

he left to his two sons

dia mewarisi kepada dua putranya

nothing more than a life-insurance policy

tidak lebih dari sebuah polis asuransi jiwa

that was barely enough to cover his funeral expenses.

yang bahkan tidak menutup sebagian besar pengeluaran pemakamannya.

Now my parents, both social workers,

Sekarang orang tua saya, keduanya pekerja sosial,

they actually managed to purchase a home

mereka berhasil membeli sebuah rumah

in the Crown Heights section of Brooklyn, New York, in 1980,

di daerah Crown Heights di Brooklyn, New York pada tahun 1980

for 55,000 dollars.

seharga 55.000 dolar.

Now Crown Heights, at the time, was an all-Black neighborhood,

Crown Heights, waktu itu, adalah lingkungan total orang kulit hitam,

and it was kind of rough.

dan waktu itu sulit.

My brother and I often went to sleep,

Saudara lelaki saya dan saya sering tidur

by the mid-1980s,

pada pertengahan 1980-an,

hearing gunshots.

mendengar suara tembakan.

But my parents protected us,

Tapi orang tua saya melindungi kami,

and my parents also held onto that home.

dan orang tua saya juga mempertahankan rumah itu.

For 40 years.

Selama 40 tahun.

And they're still there.

Dan mereka masih di sana.

But something quintessentially American happened

Tapi sesuatu yang sangat khas Amerika terjadi

about 20 years ago.

sekitar 20 tahun yang lalu.

About 20 years ago,

Sekitar 20 tahun yang lalu,

they went to sleep one night in an all-Black neighborhood,

mereka tidur pada suatu malam di lingkungan total orang kulit hitam,

and they woke up the next morning

dan mereka bangun di esok hari

in an all-white neighborhood.

di lingkungan total orang kulit putih.

(Laughter)

(Tawa)

And as a result of gentrification,

Dan sebagai hasil dari gentrifikasi,

not only did all their neighbors mysteriously disappear,

tidak hanya semua tetangga mereka menghilang secara misterius,

but the value of their home

tapi harga rumah mereka

skyrocketed.

melambung naik.

So that home that they purchased for 55,000 dollars --

Jadi, rumah yang mereka beli seharga 55.000 dolar --

at 29 percent interest, by the way --

dengan bunga 29 persen --

that home is now worth 30 times what they paid it for.

rumah itu sekarang berharga 30 kali lipat dari harga belinya.

Thirty times.

Tiga puluh kali lipat. Ayo kita hitung.

Do the math with me.

That's 55,000 times 30, carry the zeros --

Itu 55.000 dikali 30, ambil angka kosongnya --

That's a lot of money.

pokoknya banyak lah.

(Laughter)

(Tawa)

So that means,

Jadi itu berarti,

as their single and sole asset,

sebagai satu-satunya aset,

when the time comes for them to pass that asset on to my brother and I,

saat waktunya tiba untuk mereka

memberikan aset itu kepada saudara lelaki saya dan saya,

that will be the first time in my family's history,

itu akan jadi pertama kalinya dalam sejarah keluarga saya,

more than 150 years after the end of slavery,

selama lebih dari 150 tahun setelah berakhirnya perbudakkan

that there will be a meaningful transfer of wealth in my family.

bahwa akan ada penyerahan harta yang berarti di keluarga saya.

And it's not because family members haven't saved,

Dan itu bukan karena para anggota keluarga tidak menabung,

haven't worked hard,

tidak bekerja keras,

haven't valued education.

tidak menghargai pendidikan.

It's because of hard history.

Itu karena sejarah yang pahit.

So when I think about the past,

Jadi saat saya berpikir tentang masa lalu,

my concern about not remembering it

kekhawatiran saya dari tidak mengingatnya

is not that we will repeat it if we don't remember it.

bukan karena kita akan mengulanginya jika kita tak mengingatnya.

My concern, my fear is that if we don't remember the past,

Kekhawatiran, ketakutan saya adalah jika kita tak mengingat masa lalu,

we will continue it.

kita akan meneruskannya.

We will continue to do the things

Kita akan terus melakukan hal

that created inequality and injustice in the first place.

yang membuat ketidaksamarataan dan ketidakadilan itu pada awalnya.

So what we must do

Jadi apa yang harus kita lakukan

is we must disrupt the continuum of hard history.

adalah kita harus memutus keberlanjutan sejarah yang pahit.

And we can do this by seeking truth.

Dan kita bisa lakukan ini dengan mencari kebenaran.

By confronting hard history directly.

Dengan menghadapi sejarah yang pahit secara langsung.

By magnifying hard history for all the world to see.

Dengan memperbesar sejarah yang pahit agar seluruh dunia melihat.

We can do this by speaking truth.

Kita bisa melakukan ini dengan membicarakan kebenaran.

Teachers teaching hard history to their students.

Para guru mengajarkan sejarah pahit kepada murid-muridnya.

To do anything else is to commit educational malpractice.

Melakukan yang lain dari ini berarti melakukan kekeliruan pendidikan.

And parents have to speak truth to their children,

Dan para orang tua harus berbicara jujur pada anak-anak mereka

so that they understand

agar mereka mengerti

where we have come from as a nation.

dari mana asal-usul kita sebagai sebuah bangsa.

And finally, we must all act on truth.

Dan akhirnya, kita semua harus bersikap berdasarkan kenyataan.

Individually and collectively,

Secara individu dan bersama,

publicly and privately,

secara publik dan pribadi,

in small ways and in large ways.

dalam cara yang kecil dan yang besar.

We must do the things that will bend the arc of the moral universe

Kita harus melakukan hal yang akan membengkokkan busur moral alam semesta

towards justice.

menuju keadilan.

To do nothing is to be complicit

Diam saja artinya terlibat ...

in inequality.

dalam ketidakadilan.

History reminds us

Sejarah mengingatkan kita

that we, as a nation,

bahwa kita, sebagai sebuah bangsa,

stand on the shoulders of political giants

berdiri di atas bahu banyak raksasa politik

like James Madison.

seperti James Madison.

But hard history reminds us that we, as a nation,

Tapi sejarah pahit mengingatkan kita bahwa kita, sebagai sebuah bangsa,

also stand on the shoulders of enslaved African American children.

juga berdiri di atas bahu anak-anak Afrika-Amerika yang diperbudak.

Little Black boys and little Black girls

Anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan kulit hitam

who, with their bare hands, made the bricks

yang, dengan hanya tangannya, membuat batu bata

that serve as the foundation for this nation.

yang menjadi fondasi bagi bangsa ini.

And if we are serious about creating a fair and just society,

Dan jika kita serius tentang membuat masyarakat yang adil dan sama rata,

then we would do well to remember that,

maka kita akan mengingat itu dengan baik,

and we would do well to remember them.

dan kita akan mengingat mereka dengan baik,

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)