What makes life worth living in the face of death | Lucy Kalanithi

Translator: Made Pramana Reviewer: Ade Indarta

A few days after my husband Paul was diagnosed with stage IV lung cancer,

Beberapa hari setelah suami saya Paul didiagnosis dengan kanker paru stadium IV,

we were lying in our bed at home,

kami sedang berbaring di kasur di rumah kami,

and Paul said,

dan Paul berkata,

"It's going to be OK."

"Semua akan baik-baik saja."

And I remember answering back,

Dan saya ingat menjawabnya,

"Yes.

"Ya.

We just don't know what OK means yet."

Kita hanya belum tahu apa arti baik-baik saja itu."

Paul and I had met as first-year medical students at Yale.

Paul dan saya bertemu sebagai mahasiswa kedokteran tahun pertama di Yale.

He was smart and kind and super funny.

Dia pintar dan baik dan sangat lucu.

He used to keep a gorilla suit in the trunk of his car,

Dia biasa menyimpan sebuah kostum gorila di dalam bagasi mobilnya,

and he'd say, "It's for emergencies only."

dan dia berkata, "untuk keadaan darurat saja."

(Laughter)

(Tertawa)

Saya jatuh cinta dengan Paul saat saya melihat cara dia merawat pasiennya.

I fell in love with Paul as I watched the care he took with his patients.

Dia tinggal sampai larut untuk berbicara dengan mereka,

He stayed late talking with them,

seeking to understand the experience of illness

berusaha untuk memahami pengalaman menjadi sakit

and not just its technicalities.

dan tidak hanya teknisnya saja.

Dia kemudian memberitahu saya bahwa ia jatuh cinta pada saya

He later told me he fell in love with me

when he saw me cry over an EKG of a heart that had ceased beating.

ketika dia melihat saya menangis karena sebuah EKG jantung yang berhenti berdetak.

We didn't know it yet,

Kami masih belum tahu hal itu,

but even in the heady days of young love,

namun bahkan dalam hari-hari cinta muda yang memabukkan,

we were learning how to approach suffering together.

kami belajar bagaimana cara mengatasi penderitaan bersama-sama.

We got married and became doctors.

Kami menikah dan menjadi dokter.

I was working as an internist

Saya bekerja sebagai seorang internis

and Paul was finishing his training as a neurosurgeon

dan Paul tengah menyelesaikan pelatihannya sebagai seorang bedah syaraf

when he started to lose weight.

ketika dia mulai kehilangan berat badan.

He developed excruciating back pain and a cough that wouldn't go away.

Dia mengalami sakit punggung yang menyiksa dan batuk yang tidak kunjung pergi.

And when he was admitted to the hospital,

Dan ketika dia masuk rumah sakit,

a CT scan revealed tumors in Paul's lungs and in his bones.

hasil CT scan menunjukkan tumor pada paru-paru Paul dan tulang-tulangnya.

We had both cared for patients with devastating diagnoses;

Kami berdua telah merawat pasien-pasien dengan diagnosis mematikan;

now it was our turn.

sekarang giliran kami.

We lived with Paul's illness for 22 months.

Kami hidup bersama penyakit Paul selama 22 bulan.

He wrote a memoir about facing mortality.

Dia menulis sebuah memoir tentang menghadapi kematian.

I gave birth to our daughter Cady,

Saya melahirkan anak perempuan kami Cady,

and we loved her and each other.

dan kami mencintainya dan satu sama lain.

We learned directly how to struggle through really tough medical decisions.

Kami belajar langsung perjuangan melalui keputusan medis yang sangat sulit.

The day we took Paul into the hospital for the last time

Hari di mana kami mengantar Paul ke rumah sakit untuk terakhir kalinya

was the most difficult day of my life.

adalah hari tersulit dalam hidup saya.

When he turned to me at the end

Ketika dia melihat saya di akhir

and said, "I'm ready,"

dan berkata, "Saya siap,"

I knew that wasn't just a brave decision.

saya tahu hal itu bukan hanya keputusan berani.

It was the right one.

Itu adalah keputusan yang benar.

Paul didn't want a ventilator and CPR.

Paul tidak ingin sebuah ventilator dan CPR.

In that moment,

Dalam momen itu,

the most important thing to Paul

hal terpenting bagi Paul

was to hold our baby daughter.

adalah untuk memegang bayi perempuan kami.

Nine hours later,

Sembilan jam kemudian,

Paul died.

Paul meninggal.

I've always thought of myself as a caregiver --

Saya selalu menganggap diri saya seorang pengasuh --

most physicians do --

hampir semua dokter begitu --

and taking care of Paul deepened what that meant.

dan merawat Paul memperdalam apa arti itu.

Watching him reshape his identity during his illness,

Melihat dia membentuk kembali identitasnya selama dia sakit,

learning to witness and accept his pain,

belajar menyaksikan dan menerima sakitnya,

talking together through his choices --

berdiskusi bersama melalui keputusannya --

those experiences taught me

pengalaman itu mengajarkan saya

that resilience does not mean bouncing back to where you were before,

bahwa ketahanan bukan berarti lompat kembali ke tempat Anda sebelumnya,

or pretending that the hard stuff isn't hard.

atau menganggap sesuatu yang sulit tidaklah sulit.

It is so hard.

Itu sangatlah sulit.

It's painful, messy stuff.

Itu sangat menyakitkan, sesuatu yang kacau.

But it's the stuff.

Namun itulah adanya.

And I learned that when we approach it together,

Dan saya belajar bahwa ketika kami menghadapinya bersama,

we get to decide what success looks like.

kami memutuskan seperti apa kesuksesan itu.

One of the first things Paul said to me after his diagnosis was,

Satu dari hal-hal pertama yang Paul katakan kepada saya setelah diagnosis,

"I want you to get remarried."

"Saya mau kamu menikah lagi."

And I was like, whoa, I guess we get to say anything out loud.

Dan saya seperti, wow, kurasa kita bisa mengatakan apapun dengan lantang.

(Laughter)

(Tertawa)

It was so shocking

Itu sangat mengejutkan

and heartbreaking ...

dan menyayat hati ...

and generous,

dan murah hati,

and really comforting

dan sangat menenangkan

because it was so starkly honest,

karena itu sangatlah jujur,

and that honesty turned out to be exactly what we needed.

dan kejujuran itu ternyata menjadi persis apa yang kita butuhkan.

Early in Paul's illness,

Awal-awal sakit Paul,

we agreed we would just keep saying things out loud.

kami setuju kami akan terus mengatakan apapun dengan lantang.

Tasks like making a will,

Tugas seperti membuat surat wasiat,

or completing our advance directives --

atau menyelesaikan arahan medis lanjut --

tasks that I had always avoided --

tugas-tugas yang selalu saya hindari --

were not as daunting as they once seemed.

ternyata tidak menakutkan seperti yang dikira.

I realized that completing an advance directive is an act of love --

Saya sadar bahwa menyelesaikan surat wasiat adalah sebuah tindakan cinta --

like a wedding vow.

seperti sebuah sumpah pernikahan.

A pact to take care of someone,

Sebuah pakta untuk menjaga orang lain,

codifying the promise

menyusun janji

that til death do us part,

bahwa sampai kematian memisahkan kita,

I will be there.

saya akan selalu ada.

If needed, I will speak for you.

Jika dibutuhkan, saya akan berbicara untukmu.

I will honor your wishes.

Saya akan menghormati keputusanmu.

That paperwork became a tangible part of our love story.

Dokumen itu menjadi sebuah bagian nyata dari kisah cinta kami.

As physicians,

Sebagai dokter,

Paul dan saya ada dalam posisi yang bagus

Paul and I were in a good position

to understand and even accept his diagnosis.

untuk mengerti dan bahkan menerima diagnosisnya.

We weren't angry about it,

Kami tidak marah tentang hal itu,

luckily,

untungnya,

because we'd seen so many patients in devastating situations,

karena kami telah melihat banyak pasien dalam situasi menyulitkan itu,

and we knew that death is a part of life.

dan kami tahu bahwa kematian adalah bagian dari hidup.

But it's one thing to know that;

Namun satu hal yang diketahui bahwa;

it was a very different experience

itu adalah pengalaman yang sangat berbada

to actually live with the sadness and uncertainty of a serious illness.

untuk benar-benar hidup dalam kesedihan dan ketidakpastian dari penyakit serius.

Huge strides are being made against lung cancer,

Langkah besar sedang dilakukan untuk melawan kanker paru-paru,

but we knew that Paul likely had months to a few years left to live.

namun kami tahu Paul hanya punya sisa beberapa bulan hingga tahun untuk hidup.

During that time,

Selama waktu itu,

Paul wrote about his transition from doctor to patient.

Paul menulis tentang transisinya dari dokter menjadi pasien.

He talked about feeling like he was suddenly at a crossroads,

Dia berbicara tentang merasa seperti tiba-tiba ada di persimpangan,

and how he would have thought he'd be able to see the path,

dan bagaimana dia sempat berpikir dia akan bisa melihat jalan,

that because he treated so many patients,

bahwa karena dia telah menolong banyak pasien,

maybe he could follow in their footsteps.

mungkin dia dapat mengikuti jejak mereka.

But he was totally disoriented.

Namun dia sangat kebingungan.

Rather than a path,

Bukannya sebuah jalan,

Paul wrote,

Paul menulis,

"I saw instead

"Saya justru melihat

only a harsh, vacant, gleaming white desert.

hanya sebuah gurun putih yang bersinar, hampa, dan kasar.

As if a sandstorm had erased all familiarity.

Seolah sebuah badai pasir telah menghapus semua keakraban.

I had to face my mortality

Saya harus menghadapi kematian saya

and try to understand what made my life worth living,

dan mencoba untuk memahami apa yang membuat hidup saya layak dijalani,

and I needed my oncologist's help to do so."

dan saya butuh pertolongan dokter onkologis saya untuk melakukan hal itu."

The clinicians taking care of Paul

Dokter-dokter yang merawat Paul

gave me an even deeper appreciation for my colleagues in health care.

memberi saya apresiasi yang lebih dalam untuk kolega saya di layanan kesehatan.

We have a tough job.

Kami punya sebuah pekerjaan yang sulit.

We're responsible for helping patients have clarity around their prognoses

Kami bertanggung jawab menolong pasien untuk memiliki kejelasan tentang prognosis

and their treatment options,

dan pilihan-pilihan pengobatan mereka,

and that's never easy, but it's especially tough

dan itu tidak pernah mudah, namun itu sangatlah sulit

when you're dealing with potentially terminal illnesses like cancer.

ketika Anda tengah menghadapi penyakit berpotensi fatal seperti kanker.

Some people don't want to know how long they have left,

Beberapa orang tidak mau tahu berapa sisa waktu mereka,

others do.

beberapa orang ada yang mau.

Either way, we never have those answers.

Bagaimanapun juga, kami tidak pernah punya jawaban itu.

Sometimes we substitute hope

Terkadang kami mengganti harapan

by emphasizing the best-case scenario.

dengan menekankan skenario terbaik.

In a survey of physicians,

Dalam sebuah survei pada dokter,

55 percent said they painted a rosier picture

55 persen mengatakan mereka melukiskan sebuah gambaran cerah

than their honest opinion

daripada opini jujur mereka

when describing a patient's prognosis.

ketika menggambarkan prognosis seorang pasien.

It's an instinct born out of kindness.

Itu adalah sebuah insting terlahir dari kebaikan.

But researchers have found

Namun peneliti menemukan

that when people better understand the possible outcomes of an illness,

bahwa ketika orang memahami lebih baik hasil yang mungkin terjadi dari penyakit,

they have less anxiety,

mereka mempunyai kecemasan lebih rendah,

greater ability to plan

kemampuan lebih besar untuk membuat rencana

and less trauma for their families.

dan trauma lebih rendah untuk keluarga.

Families can struggle with those conversations,

Keluarga bisa kesulitan dengan percakapan itu,

but for us, we also found that information immensely helpful with big decisions.

namun kami juga menemukan informasi sangat membantu dalam keputusan penting.

Most notably,

Terutama,

whether to have a baby.

apakah mempunyai anak atau tidak.

Months to a few years meant Paul was not likely to see her grow up.

Bulan sampai beberapa tahun berarti Paul tidak melihat ia tumbuh.

But he had a good chance of being there for her birth

Namun dia punya kesempatan bagus untuk berada di sana saat kelahirannya

and for the beginning of her life.

dan untuk awal kehidupannya.

I remember asking Paul

Saya ingat bertanya kepada Paul

if he thought having to say goodbye to a child

jika dia berpikir untuk mengucapkan selamat tinggal kepada seorang anak

would make dying even more painful.

akan membuat proses kematian menjadi lebih menyakitkan.

And his answer astounded me.

Dan jawabannya mengejutkan saya.

He said,

Dia berkata,

"Wouldn't it be great if it did?"

"Bukankah hal itu hebat jika dilakukan?"

And we did it.

Dan kami melakukannya.

Not in order to spite cancer,

Bukan karena kanker,

but because we were learning

namun karena kami belajar

that living fully means accepting suffering.

bahwa hidup sepenuhnya berarti menerima penderitaan.

Paul's oncologist tailored his chemo

Dokter onkologis Paul menyesuaikan pengobatan kemo

so he could continue working as a neurosurgeon,

jadi dia dapat melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang bedah syaraf,

which initially we thought was totally impossible.

yang awalnya kami anggap sangat mustahil dilakukan.

When the cancer advanced

Ketika kankernya berkembang

and Paul shifted from surgery to writing,

dan Paul beralih dari ahli bedah ke menulis,

his palliative care doctor prescribed a stimulant medication

dokter paliatifnya meresepkan sebuah obat stimulan

so he could be more focused.

jadi dia dapat lebih fokus.

They asked Paul about his priorities and his worries.

Dia menanyai Paul tentang prioritas dan kecemasannya.

They asked him what trade-offs he was willing to make.

Dia menanyainya barter apa yang mau dia lakukan.

Those conversations are the best way to ensure

Percakapan-percakapan itu adalah cara terbaik untuk memastikan

that your health care matches your values.

bahwa layanan kesehatan cocok dengan nilai-nilai diri Anda.

Paul joked that it's not like that "birds and bees" talk

Paul bercanda bahwa itu tidak sama dengan diskusi tentang seks

you have with your parents,

bersama orang tua Anda,

where you all get it over with as quickly as possible,

Anda berusaha mengakhirinya secepat mungkin,

and then pretend it never happened.

lalu menganggap hal itu tidak pernah terjadi.

You revisit the conversation as things change.

Anda meninjau kembali percakapan saat banyak hal berubah.

You keep saying things out loud.

Anda tetap mengatakan sesuatu dengan lantang.

I'm forever grateful

Saya selamanya bersyukur

because Paul's clinicians felt

karena dokter-dokter yang merawat Paul merasa

that their job wasn't to try to give us answers they didn't have,

bahwa pekerjaan mereka bukan untuk memberi kami jawaban yang mereka tidak punya,

or only to try to fix things for us,

atau hanya mencoba memperbaiki sesuatu untuk kami,

but to counsel Paul through painful choices ...

namun memberi konseling Paul melalui pilihan-pilihan sulit

when his body was failing but his will to live wasn't.

ketika tubuhnya melemah namun semangat hidupnya kuat.

Later, after Paul died,

Kemudian, setelah Paul meninggal,

I received a dozen bouquets of flowers,

Saya menerima lusinan karangan bunga,

but I sent just one ...

namun saya hanya mengirim satu ...

to Paul's oncologist,

untuk dokter onkologis Paul,

because she supported his goals

karena dia mendukung tujuan Paul

and she helped him weigh his choices.

dan menolongnya menimbang pilihannya.

She knew that living means more than just staying alive.

Dia tahu bahwa hidup lebih dari sekadar hanya bertahan hidup.

A few weeks ago, a patient came into my clinic.

Beberapa minggu yang lalu, seorang pasien datang ke klinik saya.

A woman dealing with a serious chronic disease.

Seorang wanita menghadapi sebuah penyakit kronis yang serius.

And while we were talking about her life and her health care,

Dan ketika kami membicarakan mengenai hidupnya dan layanan kesehatannya,

she said, "I love my palliative care team.

dia berkata, "saya cinta tim layanan paliatif saya.

They taught me that it's OK to say 'no'."

Mereka mengajarkan saya bahwa tidak apa-apa untuk berkata 'tidak'."

Yeah, I thought, of course it is.

Ya, saya berpikir, tentu saja begitu.

But many patients don't feel that.

Namun banyak pasien tidak merasa begitu.

Compassion and Choices did a study

"Compassion and Choices" melakukan penelitian

where they asked people about their health care preferences.

di mana mereka menanyakan orang tentang preferensi layanan kesehatan mereka.

And a lot of people started their answers with the words

Dan banyak orang mulai menjawab dengan kata

"Well, if I had a choice ..."

"Coba aja saya punya pilihan ..."

If I had a choice.

Jika saya punya sebuah pilihan.

And when I read that "if,"

Dan ketika saya membaca kata "jika,"

I understood better

Saya bisa lebih mengerti

why one in four people

mengapa satu dari empat orang

receives excessive or unwanted medical treatment,

menerima layanan kesehatan yang berlebihan atau tidak diinginkan,

or watches a family member receive excessive or unwanted medical treatment.

atau melihat seorang anggota keluarga menerimanya.

It's not because doctors don't get it.

Itu bukan karena dokter tidak mengerti.

We do.

Kami mengerti.

We understand the real psychological consequences

Kami mengerti konsekuensi psikologis

on patients and their families.

pada pasien atau keluarganya.

The things is, we deal with them, too.

Intinya, kami juga berurusan dengan mereka.

Half of critical care nurses and a quarter of ICU doctors

Setengah dari perawat layanan kritis dan seperempat dokter ICU

have considered quitting their jobs

berpikir berhenti bekerja

because of distress over feeling that for some of their patients,

karena tekanan perasaan akibat beberapa dari pasien,

they've provided care that didn't fit with the person's values.

yang mereka rawat yang tidak cocok dengan nilai-nilai diri pasien.

But doctors can't make sure your wishes are respected

Namun dokter tidak bisa memastikan keinginan Anda akan dihormati

until they know what they are.

sampai mereka tahu apa itu.

Would you want to be on life support if it offered any chance of longer life?

Apakah Anda mau menerima alat bantu hidup jika mungkin bisa menambah waktu hidup?

Are you most worried about the quality of that time,

Apakah Anda mengkhawatirkan kualitas waktu hidup itu

rather than quantity?

daripada kuantitasnya?

Both of those choices are thoughtful and brave,

Kedua pilihan itu bijaksana dan berani,

but for all of us, it's our choice.

tapi untuk kita semua, itulah pilihan kita.

That's true at the end of life

Itu hal benar di saat akhir hidup

and for medical care throughout our lives.

dan untuk layanan kesehatan selama kehidupan kita.

If you're pregnant, do you want genetic screening?

Jika Anda hamil, apakah Anda mau menerima skrining genetik?

Is a knee replacement right or not?

Apakah operasi penggantian lutut benar atau tidak?

Do you want to do dialysis in a clinic or at home?

Apakah Anda mau melakukan dialisis di klinik atau di rumah?

The answer is:

Jawabannya adalah:

it depends.

tergantung.

What medical care will help you live the way you want to?

Pelayanan medis seperti apa yang akan menolong Anda hidup seperti yang Anda mau?

I hope you remember that question

Saya harap Anda ingat pertanyaan itu

the next time you face a decision in your health care.

di saat Anda menghadapi keputusan dalam pelayanan kesehatan Anda.

Remember that you always have a choice,

Ingatlah bahwa Anda selalu punya pilihan,

and it is OK to say no to a treatment that's not right for you.

dan tidak apa-apa untuk berkata tidak pada pengobatan yang tidak tepat bagi Anda.

There's a poem by W.S. Merwin --

Ada sebuah puisi dari W.S. Merwin --

it's just two sentences long --

puisi ini hanya dua kalimat --

that captures how I feel now.

yang menangkap perasaan saya sekarang.

"Your absence has gone through me

"Ketidakhadiranmu telah pergi melewatiku

like thread through a needle.

seperti benang yang melewati jarum.

Everything I do is stitched with its color."

Semua yang kulakukan dijahit dengan warnanya."

For me that poem evokes my love for Paul,

Bagi saya puisi itu membangkitkan cinta saya untuk Paul,

and a new fortitude

dan sebuah ketabahan hati yang baru

that came from loving and losing him.

yang datang dari mencintai dan kehilangan dia.

When Paul said, "It's going to be OK,"

Ketika Paul berkata, "Semua akan baik-baik saja,"

that didn't mean that we could cure his illness.

itu tidak berarti bahwa kami bisa menyembuhkan penyakitnya.

Instead, we learned to accept both joy and sadness at the same time;

Justru, kami belajar menerima suka dan duka pada waktu yang bersamaan;

to uncover beauty and purpose

untuk mengungkap keindahan dan tujuan

both despite and because we are all born

keduanya dan karena kita semua lahir

and we all die.

dan semua meninggal.

And for all the sadness and sleepless nights,

Dan dalam semua kesedihan dan malam tanpa tidur,

it turns out there is joy.

ternyata ada suka cita.

I leave flowers on Paul's grave

Saya meninggalkan bunga di makam Paul

and watch our two-year-old run around on the grass.

dan melihat putri berumur dua tahun kami berlari di rumput.

I build bonfires on the beach and watch the sunset with our friends.

Saya membuat api unggun di pantai, melihat matahari terbenam bersama teman kami.

Exercise and mindfulness meditation have helped a lot.

Olahraga dan meditasi mindfulness telah sangat membantu saya.

And someday,

Dan suatu hari,

I hope I do get remarried.

Saya berharap bisa menikah lagi.

Most importantly, I get to watch our daughter grow.

Yang terpenting, saya bisa melihat putri kami tumbuh.

I've thought a lot about what I'm going to say to her

Saya telah banyak berpikir tentang apa yang akan saya katakan kepadanya

when she's older.

ketika dia besar nanti.

"Cady,

"Cady,

engaging in the full range of experience --

terlibat dalam berbagai pengalaman --

living and dying,

hidup dan mati,

love and loss --

cinta dan kehilangan --

is what we get to do.

adalah sesuatu yang harus dilakukan.

Being human doesn't happen despite suffering.

Menjadi manusia tidak akan terjadi tanpa derita

It happens within it.

Itu terjadi bersamanya.

When we approach suffering together,

Ketika kita menghadapi penderitaan bersama

when we choose not to hide from it,

ketika kita memilih untuk tidak sembunyi,

our lives don't diminish,

hidup kita tidaklah mengecil,

they expand."

mereka mengembang."

I've learned that cancer isn't always a battle.

Saya belajar bahwa kanker bukanlah selalu sebuah pertarungan.

Or if it is,

Atau jika memang demikian,

maybe it's a fight for something different than we thought.

mungkin itu adalah pertarungan untuk sesuatu yang berbeda dari yang kami kira.

Our job isn't to fight fate,

Pekerjaan kami bukan untuk melawan takdir,

but to help each other through.

namun untuk menolong satu sama lain melewatinya.

Not as soldiers

Bukan sebagai seorang prajurit

but as shepherds.

namun sebagai seorang gembala.

That's how we make it OK,

Begitulah cara kita membuatnya baik-baik saja,

even when it's not.

bahkan di saat tidak demikian.

By saying it out loud,

Dengan mengatakannya dengan lantang,

by helping each other through ...

dengan menolong satu sama lain melewatinya ...

and a gorilla suit never hurts, either.

dan sebuah kostum gorila tidak pernah melukai.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)