What happens in your brain when you taste food | Camilla Arndal Andersen

Translator: Ivana Korom Reviewer: Krystian Aparta

Translator: Abe Felisa Reviewer: Ade Indarta

So I had this very interesting experience

Saya ada pengalaman yang sangat menarik

five years ago.

lima tahun lalu.

You know, me and my husband, we were out grocery shopping,

Saya dan suami saya, kami pergi berbelanja bulanan,

as we do every other day,

seperti yang selalu kami lakukan,

but this time, we found this fancy,

tapi kali ini, kami menemukan barang mewah ini,

you know, I'm talking fair-trade, I'm talking organic,

ini fair-trade (perdagangan adil), sesuatu yang organik,

I'm talking Kenyan, single-origin coffee

tentang Kenya, kopi pribumi

that we splurged and got.

yang kami dapatkan dengan pemborosan.

And that was when the problem started already.

Dan di situlah saat masalahnya dimulai.

You know, my husband, he deemed this coffee blend superior

Anda tahu, suami saya, dia memilih kopi campuran superior ini

to our regular and much cheaper coffee,

dari kopi kami yang biasa dan lebih murah,

which made me imagine a life based solely on fancy coffee

yang membuat saya membayangkan kehidupan yang berdasarkan semata dari kopi mahal

and I saw our household budget explode.

dan saya melihat anggaran rumah tangga saya membengkak.

(Laughter)

(Tawa)

And worse ...

Dan yang lebih buruk...

I also feared that this investment would be in vain.

saya juga takut investasi ini semu.

That we wouldn't be able to notice this difference after all.

Bahwa kami tidak mampu menyadari perbedaannya sama sekali.

Unfortunately, especially for my husband,

Sialnya, terutama suami saya,

he had momentarily forgotten that he's married to a neuroscientist

sesaat dia lupa bahwa dia menikahi ilmuwan saraf

with a specialty in food science.

dengan spesialis di ilmu pangan.

(Laughter)

(Tawa)

Alright?

Oke?

So without further ado,

Jadi tanpa basa-basi,

I mean, I just put him to the test.

saya tes saja dia.

I set up an experiment

Saya mengatur suatu eksperimen

where I first blindfolded my husband.

di mana pertama-tama saya menutup mata suami saya.

(Laughter)

(Tawa)

Then I brewed the two types of coffee

Lalu saya menyeduh dua jenis kopi

and I told him that I would serve them to him

dan saya berkata padanya saya akan menyajikannya

one at a time.

satu per satu.

Now, with clear certainty,

Nah, dengan keyakinan penuh,

my husband, he described the first cup of coffee

suami saya mendeskripsikan cangkir kopi yang pertama

as more raw and bitter.

lebih kasar dan pahit.

Anda tahu, kopi yang ideal untuk pagi hari

You know, a coffee that would be ideal for the mornings

with the sole purpose of terrorizing the body awake by its alarming taste.

yang tujuannya meneror tubuh tetap terjaga dengan rasanya yang membuat waspada.

(Laughter)

(Tawa)

The second cup of coffee, on the other hand,

Cangkir kopi kedua, di satu sisi,

was both fruity and delightful.

beraroma buah sekaligus ringan.

You know, coffee that one can enjoy in the evening and relax.

Anda tahu, kopi yang bisa dinikmati di sore hari dan dengan santai.

Little did my husband know, however,

Namun, suami saya tidak tahu,

that I hadn't actually given him the two types of coffee.

bahwa saya sebenarnya tidak memberikannya dua jenis kopi yang berbeda.

I had given him the exact same cup of coffee twice.

Saya memberikan kopi yang sama dua kali.

(Laughter)

(Tawa)

And obviously, it wasn't this one cup of coffee

Dan yang jelas, bukan kopinya

yang tiba-tiba berubah dari buruk menjadi luar biasa enak.

that had suddenly gone from horrible to fantastic.

No, this taste difference was a product of my husband's own mind.

Tidak, perbedaan rasanya adalah hasil dari pikiran suami saya sendiri.

Of his bias in favor of the fancy coffee

Karena prasangkanya terhadap kopi mahal

that made him experience taste differences that just weren't there.

yang membuatnya mengalami perbedaan rasa yang sebenarnya tidak ada.

Alright, so, having saved our household budget,

Jadi, dengan menyelamatkan anggaran rumah tangga kami,

and finishing on a very good laugh,

dan menutupnya dengan canda tawa,

saya terutama,

me especially --

(Laughter)

(Tawa)

I then started wondering just how we could have received

saya lalu mulai bertanya bagaimana kita bisa mendapatkan

two such different responses from a single cup of coffee.

dua respon berbeda dari satu cangkir kopi.

Why would my husband make such a bold statement

Mengapa suami saya menyatakan dengan mantap

at the risk of being publicly mocked for the rest of his life?

dengan risiko diolok-olok secara publik seumur hidupnya?

(Laughter)

(Tawa)

The striking answer is that I think you would have done the same.

Jawaban yang mengejutkan adalah saya pikir Anda akan begitu juga.

And that's the biggest challenge in my field of science,

Dan itulah tantangan terbesar dalam bidang sains saya,

assessing what's reality behind these answers

menilai realitas di balik jawaban-jawaban

that we receive.

yang kami terima.

Because how are we going to make food tastier

Karena bagaimana kami akan menciptakan makanan menjadi lebih enak

if we cannot rely on what people actually say they like?

jika kami tak bisa mengandalkan kata orang tentang apa yang mereka sukai?

To understand, let's first have a look at how we actually sense food.

Untuk memahaminya, mari lihat pada cara kita merasakan makanan.

When I drink a cup of coffee,

Saat saya minum secangkir kopi,

I detect this cup of coffee by receptors on my body,

saya mendeteksi kopi ini dengan reseptor di tubuh saya,

information which is then turned into activated neurons in my brain.

informasi yang kemudian berubah menjadi neuron teraktivasi di otak saya.

Wavelengths of light are converted to colors.

Gelombang cahaya diubah menjadi warna.

Molecules in the liquid are detected by receptors in my mouth,

Molekul pada cairan dideteksi oleh reseptor pada mulut,

and categorized as one of five basic tastes.

dan dikategorikan sebagai salah satu dari lima rasa dasar.

That's salty, sour, bitter, sweet and umami.

Yaitu asin, asam, pahit, manis, dan umami.

Molecules in the air are detected by receptors in my nose

Molekul di udara dideteksi oleh reseptor pada hidung

and converted to odors.

dan diubah menjadi aroma.

And ditto for touch, for temperature, for sound and more.

Begitu juga dengan sentuhan, suhu, suara, dan sebagainya.

All this information is detected by my receptors

Segala informasi ini dideteksi oleh reseptor saya

and converted into signals between neurons in my brain.

dan diubah menjadi sinyal antara neuron di otak saya.

Information which is then woven together and integrated,

Informasi yang kemudian dirangkai dan diintegrasikan,

so that my brain recognizes

sehingga otak saya mengenali

that yes, I just had a cup of coffee, and yes, I liked it.

bahwa ya, saya baru saja minum secangkir kopi, dan ya, saya menyukainya.

And only then,

Dan baru setelah itu,

after all this neuron heavy lifting,

setelah semua kerja berat neuron ini,

do we consciously experience this cup of coffee.

kita secara sadar merasakan pengalaman secangkir kopi ini.

And this is now where we have a very common misconception.

Dan inilah di mana ada miskonsepsi yang sangat umum.

People tend to think that what we experience consciously

Orang cenderung berpikir bahwa apa yang kita alami secara sadar

haruslah menjadi refleksi kebenaran mutlak dari suatu realitas.

must then be an absolute true reflection of reality.

But as you just heard,

Tapi seperti yang baru Anda dengar,

there are many stages of neural interpretation

ada banyak tingkatan interpretasi neural

in between the physical item and the conscious experience of it.

antara tubuh fisik dengan pengalamannya secara sadar.

Which means that sometimes,

Yang berarti terkadang,

this conscious experience is not really reflecting that reality at all.

pengalaman sadar ini tak begitu mencerminkan realitasnya sama sekali.

Like what happened to my husband.

Seperti yang terjadi pada suami saya.

That's because some physical stimuli may just be so weak

Itu karena beberapa stimulus fisik bisa jadi amat lemah

that they just can't break that barrier to enter our conscious mind,

sampai-sampai mereka tak bisa mendobrak halangan untuk masuk ke alam sadar kita,

while the information that does

sementara informasi yang ada

may get twisted on its way there by our hidden biases.

dapat menyimpang dalam perjalanannya karena prasangka kita yang tak terlihat.

And people, they have a lot of biases.

Dan orang-orang, mereka punya banyak prasangka.

Yes, if you're sitting there right now, thinking ...

Ya, jika Anda duduk di sana saat ini, berpikir...

you could probably have done better than my husband,

Anda mungkin bisa lebih baik dari suami saya

you could probably have assessed those coffees correctly,

Anda mungkin bisa menilai kopinya dengan benar,

then you're actually suffering from a bias.

maka Anda sebenarnya sedang mengalami prasangka.

A bias called the bias blind spot.

Suatu prasangka yang disebut prasangka titik buta.

Our tendency to see ourselves as less biased than other people.

Kecenderungan untuk melihat diri sendiri lebih tak berprasangka dari orang lain.

(Laughter)

(Tawa)

And yeah, we can even be biased

Dan ya, kita bahkan bisa berprasangka tentang prasangka yang kita prasangkakan.

about the biases that we're biased about.

(Laughter)

(Tawa)

Not trying to make this any easier.

Tak mencoba untuk membuatnya menjadi lebih mudah.

A bias that we know in the food industry is the courtesy bias.

Suatu prasangka yang kami tahu ada di industri pangan

adalah prasangka sopan santun.

This is a bias where we give an opinion

Ini adalah prasangka di mana kita memberikan opini

which is considered socially acceptable,

yang dianggap bisa diterima secara sosial,

but it's certainly not our own opinion, right?

tapi tentunya bukan opini kita sendiri, bukan?

And I'm challenged by this as a food researcher,

Dan saya tertantang oleh hal ini sebagai peneliti pangan,

because when people say they like my new sugar-reduced milkshake,

karena saat orang bilang mereka suka milkshake baru saya yang kurang gula.

do they now?

apa mereka tahu?

(Laughter)

(Tawa)

Or are they saying they like it

Atau mereka mengatakan mereka suka

because they know I'm listening and they want to please me?

karena mereka tahu saya mendengar dan mereka mau membuat saya senang?

Or maybe they just to seem fit and healthy in my ears.

Atau mungkin kata-kata itu terasa pas dan sehat di telinga saya.

I wouldn't know.

Saya tidak akan tahu.

But worse, they wouldn't even know themselves.

Tapi yang lebih buruk, mereka sendiri juga tidak akan tahu.

Even trained food assessors,

Bahkan kritikus makanan terlatih,

and that's people who have been explicitly taught

dan mereka adalah orang yang telah dilatih secara gamblang

to disentangle the sense of smell and the sense of taste,

untuk memisahkan indera penciuman dan pengecap,

may still be biased to evaluate products sweeter

masih bisa berprasangka untuk mengevaluasi apakah produk lebih manis

if they contain vanilla.

jika mengandung vanila.

Why?

Mengapa?

Well, it's certainly not because vanilla actually tastes sweet.

Yah, yang pasti bukan karena rasa vanila betul manis.

It's because even these professionals are human,

Tapi karena bahkan para profesional ini adalah manusia,

and have eaten lot of desserts, like us,

dan sudah pernah makan banyak hidangan penutup, seperti kita,

and have therefore learned to associate sweetness and vanilla.

dan sebab itu telah belajar untuk mengasosiasikan rasa manis dan vanila.

So taste and smell and other sensory information

Jadi pengecap, penciuman, dan informasi indera lainnya

is inextricably entangled in our conscious mind.

amat sangat erat dalam alam sadar kita.

So on one hand, we can actually use this.

Jadi di satu sisi, kita bisa gunakan ini.

We can use these conscious experiences,

Kita bisa memakai pengalaman sadar ini,

use this data, exploit it by adding vanilla instead of sugar

menggunakan datanya, mengeksploitasinya dengan menambahkan vanila alih-alih gula

to sweeten our products.

untuk membuat produk kami lebih manis.

But on the other hand,

Tapi di sisi lain,

with these conscious evaluations,

dengan evaluasi sadar ini,

I still wouldn't know

saya masih tidak akan tahu

apakah orang benar-benar suka milkshake dengan lebih sedikit gula.

whether people actually liked that sugar-reduced milkshake.

So how do we get around this problem?

Bagaimana kami mengatasi masalah ini?

How do we actually assess what's reality

Bagaimana kami bisa benar-benar menilai realitas

behind these conscious food evaluations?

di balik evaluasi makanan secara sadar ini?

The key is to remove the barrier of the conscious mind

Kuncinya adalah menyingkirkan penghalang alam sadar

and instead target the information in the brain directly.

dan menarget informasi pada otak secara langsung.

And it turns out

Dan ternyata

our brain holds a lot of fascinating secrets.

otak kita punya banyak rahasia menakjubkan.

Our brain constantly receives sensory information from our entire body,

Otak kita terus menerima sensor informasi dari seluruh bagian tubuh kita,

most of which we don't even become aware of,

yang sebagian besar tidak kita sadari,

like the taste information that I constantly receive

seperti informasi rasa yang terus saya terima

from my gastrointestinal tract.

dari saluran pencernaan saya.

And my brain will also act on all this sensory information.

Dan otak saya juga akan bereaksi terhadap semua sensor informasi ini.

It will alter my behavior without my knowledge,

Itu akan mengubah tindakan saya tanpa saya ketahui,

and it can increase the diameter of my pupils

dan dapat meningkatkan diameter pupil saya

jika saya mengalami sesuatu yang amat saya sukai.

if I experience something I really like.

And increase my sweat production ever so slightly

Dan meningkatkan produksi keringat saya walaupun sedikit saja

if that emotion was intense.

jika emosinya intens.

And with brain scans,

Dan dengan pemindaian otak,

kita sekarang dapat menilai informasi ini pada otak.

we can now assess this information in the brain.

Spesifiknya, saya menggunakan teknik pemindaian otak

Specifically, I have used a brain-scanning technique

called electroencephalography,

yang disebut elektroensefalografi,

or "EEG" in short,

atau singkatnya "EEG",

which involves wearing a cap studded with electrodes,

yang melibatkan penggunaan penutup kepala yang dipasang elektrode,

128 in my case.

128 pada kasus saya.

Each electrode then measures the electrical activity of the brain

Setiap elektrode kemudian mengukur aktivitas elektrik pada otak

with precision down to the millisecond.

dengan presisi sampai milidetik.

The problem is, however,

Tapi masalahnya,

it's not just the brain that's electrically active,

bukan hanya otak yang aktif secara elektrik,

it's also the rest of the body as well as the environment

tapi juga seluruh tubuh serta lingkungannya

that contains a lot of electrical activity all the time.

yang mengandung banyak aktivitas elektrik setiap saat.

To do my research,

Untuk melakukan penelitian saya,

I therefore need to minimize all this noise.

saya kemudian harus meminimalisir segala kebisingan.

So I ask my participants to do a number of things here.

Jadi saya minta peserta penelitian untuk melakukan beberapa hal di sini.

First off,

Pertama,

I ask them to rest their head in a chin rest,

saya minta mereka untuk menyandarkan kepala pada sandaran dagu,

to avoid too much muscle movement.

untuk menghindari terlalu banyak pergerakan otot.

I also ask them to, meanwhile, stare at the center of a computer monitor

Saya juga minta mereka, sementara itu, memandang ke tengah monitor komputer

to avoid too much eye movements and eye blinks.

untuk menghindari terlalu banyak pergerakan mata dan kedipan.

And I can't even have swallowing,

Dan bahkan tak boleh ada gerakan menelan,

so I ask my participants to stick the tongue out of their mouth

jadi saya minta peserta untuk menjulurkan lidah keluar dari mulut mereka

over a glass bowl,

di atas sebuah mangkuk gelas,

and then I constantly let taste stimuli onto the tongue,

lalu saya terus memberikan stimulus rasa kepada lidah,

which then drip off into this bowl.

yang kemudian menetes ke mangkuk ini.

(Laughter)

(Tawa)

And then, just to complete this wonderful picture,

Lalu, untuk melengkapi gambaran yang sungguh indah ini,

I also provide my participants with a bib,

saya juga memberikan peserta celemek bayi,

tersedia dalam warna merah muda atau biru, terserah mereka.

available in either pink or blue, as they please.

(Laughter)

(Tawa)

Looks like a normal eating experience, right?

Kelihatannya seperti sedang makan biasa, 'kan?

(Laughter)

(Tawa)

No, obviously not.

Tidak, tentu saja tidak.

And worse,

Dan yang lebih buruk,

I can't even control what my participants are thinking about,

saya bahkan tak dapat mengontrol apa yang dipikirkan peserta,

so I need to repeat this taste procedure

jadi saya harus mengulang prosedur icip-icip ini

multiple times.

berkali-kali.

Maybe the first time, they're thinking about the free lunch

Mungkin pertama, mereka berpikir tentang makan siang gratis

that I provide for participating,

yang saya berikan karena berpartisipasi,

or maybe the second time, they're thinking about Christmas coming up

atau mungkin yang kedua kalinya, mereka memikirkan hari Natal tahun ini

and what to get for Mom this year, you know.

dan harus membeli apa untuk Ibu tahun ini, tahu 'kan?

But common for each response is the response to the taste.

Tapi respons pada umumnya adalah respons terhadap rasa.

So I repeat this taste procedure multiple times.

Jadi saya mengulangi prosedur icip-icip ini berkali-kali.

Sixty, in fact.

Enam puluh kali, tepatnya.

And then I average the responses,

Lalu saya pukul rata responsnya,

because responses unrelated to taste will average out.

karena respons yang tak berhubungan dengan rasa akan dikeluarkan.

And using this method,

Dan menggunakan metode ini,

we and other labs,

kami dan lab lain,

have investigated how long a time it takes from "food lands on our tongue"

telah menginvestigasi berapa lama sejak "makanan menyentuh lidah"

until our brain has figured out which taste it's experiencing.

sampai otak tahu rasa apa yang sedang dialami.

Turns out this occurs within the first already 100 milliseconds,

Ternyata munculnya sudah mencapai 100 milidetik pertama,

that's about half a second before we even become aware of it.

itu kira-kira sekitar setengah detik sebelum kita menyadarinya.

And next up, we also investigated

Selanjutnya, kami juga menginvestigasi

the taste difference between sugar and artificial sweeteners

perbedaan rasa antara gula dan pemanis buatan

that in our setup taste extremely similar.

yang dalam indera pengecap kita amat serupa.

In fact, they tasted so similar

Bahkan, saking serupanya

that half my participants could only barely tell the taste apart,

separuh peserta kesulitan membedakan rasanya,

while the other half simply couldn't.

sementara separuh lainnya sama sekali tidak bisa.

But amazingly,

Tapi ajaibnya,

if we looked across the entire group of participants,

jika dilihat dari keseluruhan peserta,

we saw that their brains definitely could tell the taste apart.

kami melihat bahwa otak mereka pasti bisa membedakan rasanya.

So with EEG and other brain-scanning devices

Jadi dengan EEG dan alat pemindai otak lainnya

and other physiological measures --

dan pengukuran fisiologis lainnya,

sweat and pupil size --

rasa manis dan ukuran pupil,

we have new gateways to our brain.

kami menemukan pintu baru menuju otak kita.

Gateways that will help us remove the barrier of the conscious mind

Pintu yang akan membantu kita menyingkirkan halangan alam sadar

to see through the biases of people

untuk melihat melewati prasangka orang-orang

and possibly even capture subconscious taste differences.

dan mungkin bahkan menangkap perbedaan rasa bawah sadar.

And that's because we can now measure people's very first response to food

Dan itu karena saat ini kita bisa mengukur respon awal orang-orang terhadap makanan

before they've become conscious of it,

sebelum mereka menyadarinya,

and before they've started rationalizing why they like it or not.

dan sebelum mereka mulai merasionalisasi mengapa mereka suka atau tidak.

We can measure people's facial expressions,

Kami dapat mengukur ekspresi wajah orang-orang,

we can measure where they're looking,

kami dapat mengukur ke mana mereka melihat,

we can measure their sweat response,

kami dapat mengukur respons keringat,

we can measure their brain response.

kami dapat mengukur respons otak.

And with all these measures,

Dan dengan semua pengukuran ini,

kami akan mampu menciptakan makanan yang lebih lezat,

we are going to be able to create tastier foods,

because we can measure whether people actually like

karena kami bisa ukur apakah benar orang suka

that sugar-reduced milkshake.

milkshake dengan lebih sedikit gula.

And we can create healthier foods without compromising taste,

Dan kami dapat membuat makanan yang lebih sehat tanpa mengorbanan rasa,

because we can measure the response to different sweeteners

karena kami bisa ukur respons pada berbagai macam pemanis

and find the sweetener that gives the response that's more similar

dan menemukan pemanis yang memberikan respons serupa

dengan respons terhadap gula.

to the response from sugar.

Selanjutnya, kami bisa bantu membuat makanan yang lebih sehat,

And furthermore, we can just help create healthier foods,

because we can help understand how we actually sense food

karena kami bisa bantu memahami bagaimana kita merasakan makanan

in the first place.

pada awalnya.

Which we know surprisingly little about.

Yang anehnya kita tak terlalu banyak tahu.

For example, we know that there are those five basic tastes,

Contohnya, kita tahu bahwa ada lima rasa dasar,

but we strongly suspect that there are more,

tapi kita amat yakin bahwa ada rasa lain,

and in fact, using our EEG setup, we found evidence that fat,

dan bahkan, dengan pengaturan EEG, kami menemukan bukti bahwa lemak,

besides being sensed by its texture and smell,

di samping dirasakan dari tekstur dan aromanya,

is also tasted.

juga dikecap.

Meaning that fat could be this new sixth basic taste.

Yang berarti bahwa lemak bisa menjadi rasa dasar yang keenam.

And if we figure out how our brain recognizes fat and sugar,

Dan jika kami menemukan bagaimana otak kita mengenali lemak dan gula,

and I'm just dreaming here,

dan ini saya hanya berkhayal,

but could we then one day

tapi dapatkah kami suatu hari nanti

create a milkshake with zero calories that tastes just like the real deal?

menciptakan milkshake dengan nol kalori yang terasa seperti aslinya?

Or maybe we figure out that we can't,

Atau mungkin kami menemukan bahwa kami tidak bisa,

because we subconsciously detect calories

karena kita secara tidak sadar mendeteksi kalori

via our receptors in our gastrointestinal tract.

melalui reseptor kita pada saluran pencernaan.

The future will show.

Masa depan akan menunjukkannya.

Our conscious experience of food

Pengalaman alam sadar kita akan makanan

is just the tip of the iceberg of our total sensation of food.

hanyalah ujung dari gunung es dari keseluruhan sensasi kita terhadap makanan.

And by studying this total sensation,

Dan dengan mempelajari keseluruhan sensasi ini,

conscious and subconscious alike,

baik secara sadar maupun tidak,

saya sungguh yakin kami bisa menciptakan

I truly believe that we can make tastier and healthier foods for all.

makanan yang lebih lezat dan sehat untuk kita semua.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)