Kabuki: The people's dramatic art - Amanda Mattes

Translator: Sabrina Go Reviewer: Sylvia Aswin

Many elements of traditional Japanese culture,

Banyak elemen dalam budaya tradisional Jepang,

such as cuisine

seperti makanan

and martial arts,

dan seni bela diri,

are well-known throughout the world.

sudah dikenal luas di dunia.

Kabuki, a form of classical theater performance,

Kabuki, bentuk dari pertunjukan teater klasik,

may not be as well understood in the West

mungkin tidak begitu dinikmati di dunia Barat,

but has evolved over 400 years

namun sudah berevolusi lebih dari 400 tahun

to still maintain influence and popularity to this day.

untuk tetap menjaga pengaruh dan popularitas hingga saat ini.

The word Kabuki is derived

Kata kabuki berasal

from the Japanese verb kabuku,

dari kata kerja kabuku,

meaning out of the ordinary or bizarre.

yang artinya luar biasa atau aneh.

Its history began in early 17th century Kyoto,

Sejarahnya dimulai di awal abad ke-17 di Kyoto,

where a shrine maiden named Izumo no Okuni

di mana seorang gadis kuil bernama Izumo no Okuni

would use the city's dry Kamo Riverbed as a stage

yang memanfaatkan palung kering sungai Kamo di kota sebagai panggung

to perform unusual dances for passerby,

untuk menampilkan tarian tidak biasa bagi pejalan kaki,

who found her daring parodies of Buddhist prayers

yang menganggap parodi beraninya tentang doa-doa Buddha

both entertaining and mesmerizing.

menghibur dan menakjubkan.

Soon other troops began performing

Tak lama kelompok lain mulai tampil

in the same style,

dengan gaya yang sama,

and Kabuki made history

dan Kabuki membuat sejarah

as Japan's first dramatic performance form

sebagai bentuk penampilan dramatis pertama di Jepang

catering to the common people.

yang ditujukan bagi masyarakat umum.

By relying on makeup, or keshou,

Dengan mengandalkan riasan atau keshou,

and facial expressions instead of masks

ekspresi wajah alih-alih topeng,

and focusing on historical events

berfokus pada peristiwa sejarah,

and everyday life rather than folk tales,

serta kehidupan sehari-hari, bukan hanya dongeng,

Kabuki set itself apart

Kabuki membedakan diri

from the upper-class dance theater form

dari tari teater kelas atas

known as Noh

yang dikenal sebagai Noh,

and provided a unique commentary on society

dan menampilkan pandangan unik terhadap masyarakat

during the Edo period.

selama zaman Edo.

At first, the dance was practiced only by females

Awalnya, hanya ditarikan oleh para wanita

and commonly referred to as Onna-Kabuki.

dan secara umum dikenal sebagai Onna-Kabuki.

It soon evolved to an ensemble performance

Kemudian berevolusi menjadi pertunjukan ansambel

and became a regular attraction at tea houses,

dan menjadi atraksi reguler di kedai-kedai teh,

drawing audiences from all social classes.

menarik penonton dari seluruh kelas sosial.

At this point, Onna-Kabuki was often risque

Pada titik ini, Onna-Kabuki sering tampil seronok,

as geishas performed not only to show off

sebab para geisha tidak hanya menampilkan

their singing and dancing abilities

kemampuan menyanyi dan menari,

but also to advertise their bodies to potential clients.

tapi juga tubuh mereka pada pelanggan potensial.

A ban by the conservative Tokugawa shogunate

Larangan oleh shogun Tokugawa yang konservatif

in 1629

pada 1629

led to the emergence of Wakashu-Kabuki

menyebabkan munculnya Wakashu-Kabuki

with young boys as actors.

dengan para pemuda sebagai aktornya.

But when this was also banned for similar reasons,

Namun saat hal ini juga dilarang karena alasan serupa,

there was a transition to Yaro-Kabuki,

terbentuk transisi menjadi Yaro-Kabuki,

performed by men,

dimainkan oleh pria,

necessitating elaborate costumes and makeup

yang memerlukan kostum rumit dan tata rias

for those playing female roles,

bagi mereka yang memerankan wanita,

or onnagata.

atau onnagata.

Attempts by the government to control Kabuki

Percobaan pemerintah untuk mengontrol Kabuki

didn't end with bans on the gender

tidak berakhir dengan larangan pada gender

or age of performers.

atau usia penampil.

The Tokugawa military group,

Kelompok militer Tokugawa,

or Bakufu,

atau Bakufu,

was fueled by Confucian ideals

digerakkan oleh ajaran Konfusius

and often enacted sanctions

dan sering mengenakan sanksi

on costume fabrics,

untuk kain kostum,

stage weaponry,

properti senjata,

and the subject matter of the plot.

dan ide utama dari alur cerita.

At the same time,

Di saat yang sama,

Kabuki became closely associated with

Kabuki menjadi berasosiasi erat

and influenced by Bunraku,

dan terpengaruh oleh Bunraku,

an elaborate form of puppet theater.

teater boneka tali yang kompleks.

Due to these influences,

Akibat pengaruh-pengaruh ini,

the once spontaneous, one-act dance

tarian satu babak yang tadinya spontan,

evolved into a structured, five-act play

berevolusi menjadi drama lima babak yang terstruktur

often based on the tenets of Confucian philosophy.

yang sering berdasar pada ajaran filosofi Konfusius.

Before 1868, when the Tokugawa shogunate fell

Sebelum 1868, ketika pemerintahan shogun Tokugawa jatuh

and Emperor Meiji was restored to power,

dan Kaisar Meiji kembali berkuasa,

Japan had practiced isolation from other countries,

Jepang menerapkan isolasi dari negara lain,

or Sakoku.

atau Sakoku.

And thus, the development of Kabuki

Akibatnya, perkembangan Kabuki

had mostly been shaped by domestic influences.

lebih dibentuk oleh pengaruh-pengaruh domestik.

But even before this period,

Bahkan sebelum periode ini,

European artists, such as Claude Monet,

seniman Eropa, seperti Claude Monet,

had become interested in

sudah tertarik

and inspired by Japanese art,

dan terinspirasi oleh kesenian Jepang,

such as woodblock prints,

seperti lukisan cetakan kayu,

as well as live performance.

dan juga pertunjukan langsung.

After 1868, others such as Vincent van Gogh

Setelah tahun 1868, seniman lain, seperti Vincent van Gogh

and composer Claude Debussy

dan komposer Claude Debussy

began to incorporate Kabuki influences in their work,

mulai memasukkan pengaruh Kabuki dalam karya mereka,

while Kabuki itself underwent

sementara Kabuki sendiri mengalami

much change and experimentation

banyak perubahan dan eksperimen

to adapt to the new modern era.

untuk menyesuaikan dengan era modern.

Like other traditional art forms,

Seperti seni tradisional yang lain,

Kabuki suffered in popularity

Kabuki makin tidak populer

in the wake of World War II.

pada saat Perang Dunia II.

But innovation by artists

Namun inovasi para seniman

such as director Tetsuji Takechi

seperti sutradara Tetsuji Takechi

led to a resurgence shortly after.

dapat segera membangkitkannya kembali.

Indeed, Kabuki was even considered

Memang, Kabuki bahkan dianggap

a popular form of entertainment

sebagai hiburan yang populer

amongst American troops stationed in Japan

di antara tentara Amerika yang bertugas di Jepang,

despite initial U.S. censorship

terlepas dari sensor dari Amerika Serikat

of Japanese traditions.

terhadap tradisi-tradisi Jepang.

Today, Kabuki still lives on

Saat ini, Kabuki masih hidup

as an integral part of Japan's rich cultural heritage,

sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan Jepang yang kaya,

extending its influence beyond the stage

memperluas pengaruhnya melebihi panggung,

to television,

hingga televisi,

film,

and anime.

film,

dan anime.

The art form pioneered by Okuni

Seni yang dipelopori oleh Okuni

continues to delight audiences

terus menghibur penonton

with the actors' elaborate makeup,

dengan riasan unik para aktornya,

extravagant and delicately embroidered costumes,

kostum yang mewah yang dihias dengan hati-hati,

and the unmistakable melodrama

dan melodrama

of the stories told on stage.

yang diceritakan di atas panggung.