The myth of Ireland's two greatest warriors - Iseult Gillespie

Translator: Calista Stella Reviewer: Elda Indria Sari

Cú Chulainn, hero of Ulster, stood at the ford at Cooley,

Cú Chulainn, pahlawan Ulster, berdiri di arungan di Cooley,

ready to face an entire army singlehandedly—

siap menghadapi seluruh pasukan sendirian—

all for the sake of a single bull.

semua demi seekor banteng.

The army in question belonged to Queen Meadhbh of Connaught.

Pasukan yang dimaksud adalah milik Ratu Meadhbh dari Connaught.

Enraged at her husband’s possession of a white bull of awesome strength,

Marah karena suaminya memiliki seekor banteng putih yang sangat kuat,

she had set out to capture the fabled brown bull of Ulster

dia berangkat untuk menangkap banteng coklat Ulster yang legendaris

at any cost.

dengan cara apa pun.

Unfortunately, the King of Ulster had chosen this moment

Sayangnya, Raja Ulster telah memilih momen ini

to force the goddess Macha to race her chariot while pregnant.

untuk memaksa Dewi Macha berlomba dengan keretanya saat hamil.

In retaliation, she struck down him and his entire army with stomach cramps

Sebagai balasan, sang Dewi menghukumnya dan seluruh pasukannya dengan kram perut

that eerily resembled childbirth— all except Cú Chulainn.

yang sangat mirip dengan persalinan— semuanya, kecuali Cú Chulainn.

Though he was the best warrior in Ulster,

Meskipun dia adalah pejuang terbaik di Ulster,

Cú Chulainn knew he could not take on Queen Meadhbh’s whole army at once.

Cú Chulainn tahu dia tak dapat menghadapi seluruh pasukan Ratu Meadhbh sekaligus.

He invoked the sacred rite of single combat

Dia memohon ritus suci pertarungan tunggal

in order to fight the intruders one by one.

untuk melawan penyusup satu per satu.

But as Queen Meadhbh’s army approached,

Namun, saat pasukan Ratu Meadhbh mendekat,

one thing worried him more than the grueling ordeal ahead.

ada hal yang membuatnya lebih khawatir daripada cobaan melelahkan di depannya.

Years before, Cú Chulainn had travelled to Scotland

Bertahun-tahun sebelumnya, Cú Chulainn telah melakukan perjalanan ke Skotlandia

to train with the renowned warrior Scáthach.

untuk berlatih dengan prajurit terkenal Scáthach.

There, he met a young warrior from Connaught named Ferdiad.

Di sana, ia bertemu dengan pejuang muda dari Connaught bernama Ferdiad.

They lived and trained side-by-side, and soon became close friends.

Mereka hidup dan berlatih berdampingan, dan dengan segera menjadi teman dekat.

When they returned to their respective homes,

Ketika mereka kembali ke rumah masing-masing,

Cú Chulainn and Ferdiad found themselves on opposite sides of a war.

Cú Chulainn dan Ferdiad ada di sisi berlawanan dalam perang.

Cú Chulainn knew Ferdiad was marching in Meadhbh’s army,

Cú Chulainn tahu Ferdiad bertarung untuk pasukan Meadhbh,

and that if he succeeded in fending off her troops,

dan jika ia berhasil menangkis pasukannya,

they would eventually meet.

pada akhirnya mereka akan bertemu.

Day after day, Cú Chulainn defended Ulster alone.

Hari demi hari, Cú Chulainn membela Ulster sendirian.

He sent the heads of some of his adversaries back to Meadhbh’s camp,

Dia mengirim beberapa kepala musuh kembali ke kamp Meadhbh,

while the rushing waters of the ford carried others away.

sementara derasnya air dari arungan menghanyutkan yang lain.

At times, he slipped into a trance and slayed hundreds of soldiers in a row.

Terkadang, ia kerasukan dan membunuh ratusan tentara berturut-turut.

Whenever he saw the queen in the distance, he hurled stones at her—

Kapan pun ia melihat Ratu di kejauhan, dia melemparkan batu ke arahnya—

never quite hitting her,

tidak pernah mengenainya,

but once coming close enough to knock a squirrel off her shoulder.

tetapi pernah cukup dekat untuk menjatuhkan tupai dari bahunya.

Back at the Connaught camp, Ferdiad was laying low,

Di kamp Connaught, Ferdiad berusaha tak menarik perhatian,

doing everything he could to avoid the moment

melakukan semua yang ia bisa untuk menghindari momen

when he’d have to face his best friend in combat.

ketika dia harus menghadapi sahabatnya dalam pertempuran.

But the Queen was impatient to get her hands on the prize bull,

Namun, sang Ratu tidak sabar untuk mendapatkan banteng itu,

and she knew Ferdiad was her best chance to defeat Cú Chulainn.

dan ia tahu Ferdiad adalah kesempatan terbaiknya untuk mengalahkan Cú Chulainn.

So she goaded him and questioned his honor

Jadi, dia membujuknya dan mempertanyakan kehormatannya

until he had no choice but to fight.

sampai dia tidak punya pilihan selain bertarung.

The two faced off at the ford, matching each other exactly in strength and skill

Keduanya berhadapan di depan, sepadan dalam kekuatan dan keterampilan

no matter what weapons they used.

tak peduli senjata apa yang mereka pakai.

Then, on the third day of their fight, Ferdiad began to gain the upper hand

Kemudian, di hari ketiga pertarungan, Ferdiad mulai unggul

over the exhausted Cu Chulainn.

daripada Cu Chulainn yang kelelahan.

But Cú Chulainn had one last trick up his sleeve:

Namun, Cú Chulainn punya trik terakhir:

their teacher had shared a secret with him alone.

guru mereka telah berbagi rahasia hanya dengan dirinya.

She told him how to summon the Gáe Bulg,

Dia memberitahunya cara memanggil Gáe Bulg,

a magical spear fashioned from the bones of sea monsters

tombak ajaib yang terbuat dari tulang monster laut

that lay at the bottom of the ocean.

yang berada di dasar laut.

Cu Chulainn called the spear, stabbed Ferdiad to death, and collapsed.

Cu Chulainn memanggil tombak, menikam Ferdiad sampai mati, dan ia pingsan.

Meadhbh seized her chance and swooped in with the rest of her army

Meadhbh memanfaatkan kesempatannya dan maju dengan sisa pasukannya

to capture the brown bull.

untuk menangkap banteng coklat.

At last, the men of Ulster were recovering from their magical illness,

Akhirnya, orang-orang Ulster pulih dari penyakit gaib mereka,

and they surged out in pursuit.

dan mereka mulai mengejar.

But they were too late: Queen Meadhbh crossed the border unscathed,

Namun, mereka terlambat: Ratu Meadhbh melintasi perbatasan tanpa cedera,

dragging the brown bull with her.

menyeret banteng coklat bersamanya.

Once home, Meadhbh demanded another battle,

Begitu sampai di rumah, Meadhbh menuntut pertempuran lagi,

this time between the brown bull and her husband’s white bull.

kali ini antara banteng coklat dan banteng putih suaminya.

The bulls were well matched, and struggled into the night,

Kedua banteng itu sangat sepadan, dan bertempur sampai malam,

dragging each other all over Ireland.

menyeret satu sama lain ke seluruh Irlandia.

At long last, the brown bull killed the white bull,

Akhirnya, banteng coklat membunuh banteng putih,

and Queen Meadhbh was finally satisfied.

dan Ratu Meadhbh akhirnya puas.

But the brown bull’s victory meant nothing to him.

Namun, kemenangan banteng coklat tidak berarti apa-apa baginya.

He was tired, injured, and devastated.

Dia lelah, terluka, dan hancur.

Soon after, he died of a broken heart, leaving behind a land

Segera setelah itu, dia mati karena patah hati, meninggalkan sebuah negeri

that would remain ravaged by Meadhbh’s war for years to come.

yang tetap akan dirusak perang Meadhbh selama bertahun-tahun yang akan datang.