Everything you need to know to read “The Canterbury Tales” - Iseult Gillespie

Reviewer: Reno Kanti Riananda

A portly Miller, barely sober enough to sit on his horse,

Tukang kincir yang tambun, setengah mabuk menunggangi kudanya,

terus mengoceh tentang tingkah istri si tukang kayu tua penggerutu

rambles on about the flighty wife of a crotchety old carpenter

and the scholar she takes as her lover.

serta cendekiawan yang menjadi selingkuhannya.

To get some time alone together,

Demi waktu berduaan,

the scholar and the wife play various tricks

si cendekiawan dan si istri memainkan berbagai trik

that involve feigning madness,

antara lain: pura-pura gila,

staging a biblical flood,

banjir palsu seperti cerita Alkitab,

and exposing themselves in public.

dan mengekspos diri mereka di depan umum.

But the parish clerk is also lusting after the wife,

Namun, juru tulis paroki juga menginginkan si istri,

and comes by every night to sing outside her house.

dan datang setiap malam untuk bernyanyi di luar rumahnya.

This becomes so tiresome that she tries to scare him away

Ini menjadi sangat melelahkan sehingga si istri mencoba mengusirnya

by hanging her rear end out the window for him to kiss.

dengan menyodorkan bokongnya ke luar jendela untuk dicium oleh juru tulis.

When this appears not to work,

Ketika ini tampaknya tidak berhasil,

her scholar decides to try farting in the same position,

si cendekiawan memutuskan untuk kentut dengan posisi yang sama.

but this time, the clerk is waiting with a red-hot poker.

Namun, kali ini juru tulis telah menunggu dengan tongkat panas.

This might all sound like a bawdy joke,

Ini semua mungkin terdengar seperti lelucon mesum,

but it’s part of one of the most esteemed works of English literature ever created:

tapi itu bagian dari karya sastra Inggris paling terpandang yang pernah dibuat:

The Canterbury Tales,

The Canterbury Tales,

which seamlessly blends the lofty and the lowly.

yang dengan mulus memadukan kalangan atas dan bawah.

The work consists of 24 stories,

Karya ini terdiri dari 24 cerita,

each told by one of Chaucer’s spirited characters.

masing-masing diceritakan oleh tokoh-tokoh Chaucer yang berapi-api.

Narrators include familiar Medieval figures

Naratornya meliputi tokoh Abad Pertengahan yang familier

such as a Knight,

seperti Kesatria,

a Clerk,

Juru Tulis,

and a Nun,

Biarawati,

and the less recognizable Reeve,

dan Polisi, yang tak terlalu dikenal,

and Mancible,

serta Penjaga Gedung,

and others.

dan yang lainnya.

Karya ini menggunakan bahasa Inggris Pertengahan,

The Tales are written in Middle English,

yang terlihat sama sekali berbeda dari bahasa yang digunakan saat ini.

which often looks entirely different from the language spoken today.

It was used between the 12th and 15th centuries,

Bahasa itu digunakan antara abad ke-12 dan ke-15,

and evolved from Old English

dan berevolusi dari Bahasa Inggris Kuno

due to increased contact with European romantic languages

karena meningkatnya kontak dengan bahasa romantis Eropa

after the Norman Conquest of 1066.

setelah Penaklukan Norman tahun 1066.

Most of the Middle English alphabet is still familiar today,

Sebagian besar alfabet Inggris Tengah masih akrab sampai sekarang,

with the inclusion of a few archaic symbols,

dengan masuknya beberapa simbol kuno,

such as yogh, which denotes the y,

seperti yogh, yang menunjukkan “y”, “j”,

j,

or gh sound.

atau suara “gh”.

The loquacious cast of the Tales first meet at the Tabard Inn in Southwark.

Para tokoh yang ceriwis pertama bertemu di Tabard Inn di Southwark.

They have a journey in common:

Tujuan mereka sama:

a pilgrimage to Canterbury to visit the shrine of St. Thomas Beckett,

ziarah ke Canterbury untuk mengunjungi kuil St. Thomas Beckett,

a martyred archbishop who was murdered in his own Cathedral.

seorang uskup agung martir yang dibunuh di Katedral sendiri.

Eager and nosy for some personal details,

Bersemangat dan ingin tahu untuk alasan pribadi,

the host of the Inn proposes a competition:

pemilik penginapan mengusulkan kompetisi:

whoever tells the best tale will be treated to dinner.

barang siapa yang menceritakan kisah terbaik, akan ditraktir makan malam.

Jika bukan karena ziarah,

If not for their pilgrimage,

many of these figures would never have had the chance to interact.

sebagian besar tokoh ini tidak akan memiliki kesempatan untuk berinteraksi.

This is because Medieval society followed a feudal system

Ini karena masyarakat Abad Pertengahan menjalankan sistem feodal

that divided the clergy and nobility from the working classes,

yang memisahkan ulama dan bangsawan dari kelas pekerja,

made up of peasants and serfs.

yang terdiri dari petani dan budak.

By Chaucer’s time,

Pada masa Chaucer,

a professional class of merchants and intellectuals had also emerged.

telah muncul pula kelas pedagang dan intelektual profesional.

Chaucer spent most of his life as a government official

Chaucer menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai pejabat pemerintah

during the Hundred Years' War,

selama Perang Seratus Tahun,

bepergian ke seluruh Italia dan Prancis, serta negara asalnya, Inggris.

traveling throughout Italy and France, as well as his native England.

This may have influenced the panoramic vision of his work,

Ini mungkin memengaruhi visi panorama karyanya,

and in the Tales, no level of society is above mockery.

dan dalam Tales, tak ada kelompok masyarakat yang luput dari olok-olok.

Chaucer uses the quirks of the characters’ language –

Chaucer menggunakan kebiasaan berbahasa dari karakternya -

the ribald humor of the Cook,

humor kasar sang Koki,

the solemn prose of the Parson,

prosa khidmat sang Diakon,

and the lofty notions of the Squire –

dan gagasan luhur sang Serdadu -

to satirize their worldviews.

untuk menyindir pandangan dunia mereka.

The varied dialects, genres, and literary tropes

Beragam dialek, genre, dan kiasan sastra

juga membuat karya ini menjadi catatan jelas

also make the work a vivid record

tentang cara audiensi Abad Pertengahan menghibur diri mereka sendiri.

of the different ways Medieval audiences entertained themselves.

For instance, the Knight’s tale of courtly love,

Misalnya, kisah sang Kesatria tentang cinta yang santun, kesopanan,

chivalry,

and destiny

takdir, dan bait tentang romansa,

riffs on romance,

while the tales of working-class narrators are generally comedies

sedangkan kisah narator kelas pekerja pada umumnya adalah komedi

filled with scatological language,

penuh dengan bahasa penyebaran,

sexual deviance,

penyimpangan seksual,

dan dagelan.

and slapstick.

This variation includes something for everyone,

Variasi ini mencakup sesuatu untuk semua orang,

and that’s one reason why readers continue to delight in the work

dan itulah salah satu alasan mengapa pembaca terus menikmatinya

baik dalam bahasa asli maupun terjemahan.

in both Middle English and translation.

While the narrative runs to over 17,000 lines,

Meski narasinya mencapai lebih dari 17.000 baris,

it's apparently unfinished,

kisahnya tampaknya belum selesai,

as the prologue ambitiously introduces 29 pilgrims

karena prolognya dengan ambisius memperkenalkan 29 peziarah

and promises four stories apiece,

dan menjanjikan empat cerita dari tiap peziarah,

pun pemilik penginapan tidak pernah menunjuk seorang pemenang.

and the innkeeper never crowns a victor.

It’s possible that Chaucer was so caught up in his sumptuous creations

Mungkin saja Chaucer begitu terperangkap dalam ciptaannya yang menawan

that he delayed picking a winner -

hingga ia menunda memilih pemenang -

or perhaps he was so fond of each character

atau mungkin dia sangat menyukai setiap karakter

that he just couldn’t choose.

hingga tidak bisa memilih.

Whatever the reason,

Apa pun alasannya,

this means that every reader is free to judge;

ini berarti setiap pembaca bebas untuk menilai;

the question of who wins is up to you.

siapa pemenangnya, itu terserah Anda.