How do daily habits lead to political violence? | Christiane-Marie Abu Sarah

Transcriber: Leslie Gauthier Reviewer: Camille Martínez

Translator: Yasmine Faiqotulhimmah Reviewer: Maria Nainggolan

So I'm starting us out today with a historical mystery.

Jadi saya akan mulai hari ini dengan misteri bersejarah.

In 1957, there were two young women,

Pada 1958, ada dua wanita muda

both in their 20s,

keduanya berusia 20an

both living in the same city,

keduanya ada di kota yang sama

both members of the same political group.

keduanya anggota grup politis yang sama

That year, both decided to commit violent attacks.

Di tahun itu, keduanya memutuskan untuk melakukan serangan kekerasan.

One girl took a gun and approached a soldier at a checkpoint.

Satu gadis membawa pistol dan mendekati seorang prajurit di perbatasan.

The other girl took a bomb and went to a crowded café.

Yang satunya membawa bom dan pergi ke kafe yang ramai.

But here's the thing:

Namun di sini bedanya:

one of the those girls followed through with the attack,

salah satu dari kedua gadis itu menjalankan serangannya,

but the other turned back.

tapi yang satunya berputar balik.

So what made the difference?

Jadi apa yang membuatnya berbeda?

I'm a behavioral historian, and I study aggression,

Saya adalah sejarawan perilaku dan mempelajari agresi,

moral cognition

kognisi moral

and decision-making in social movements.

dan pengambilan keputusan dalam pergerakan sosial.

That's a mouthful. (Laughs)

Berbelit-belit, ya. (Tertawa)

So, the translation of that is:

Jadi, terjemahannya adalah:

I study the moment an individual decides to pull the trigger,

Saya mempelajari saat di mana seseorang memutuskan untuk menarik pelatuknya,

the day-to-day decisions that led up to that moment

keputusan dari hari-ke-hari yang menuju pada saat tersebut

and the stories that they tell themselves about why that behavior is justified.

dan kisah yang mereka katakan sendiri untuk membenarkan perilaku tersebut

Now, this topic --

Nah, topik ini --

it's not just scholarly for me.

bukan hanya bersifat keilmuan untuk saya.

It's actually a bit personal.

Sebenarnya hal ini sedikit personal.

I grew up in Kootenai County, Idaho,

Saya besar di Kootenai County, Idaho,

and this is very important.

dan ini sangat penting.

This is not the part of Idaho with potatoes.

Ini bukanlah daerah Idaho yang ada kentangnya.

We have no potatoes.

Kami tidak memiliki kentang.

And if you ask me about potatoes,

Dan jika anda bertanya tentang kentang,

I will find you.

Saya akan temukan anda.

(Laughter)

(Tertawa)

This part of Idaho is known for mountain lakes,

Bagian Idaho ini terkenal dengan danau pegunungan,

horseback riding,

menunggang kuda,

skiing.

bermain ski.

Unfortunately, starting in the 1980s,

Sayangnya, mulai dari tahun 1980an,

it also became known as the worldwide headquarters

daerah ini menjadi terkenal sebagai pusat mendunia

for the Aryan Nations.

untuk Bangsa Arya.

Every year, members of the local neo-Nazi compound

Setiap tahun, anggota dari perkumpulan neo-Nazi

would turn out and march through our town,

akan muncul dan berarak melalui kota kami,

and every year,

dan setiap tahun,

members of our town would turn out and protest them.

masyarakat kota kami akan muncul dan memprotes mereka.

Now, in 2001, I graduated from high school,

Nah, pada 2001, saya lulus SMA,

and I went to college in New York City.

dan pergi kuliah di kota New York.

I arrived in August 2001.

Saya tiba pada Agustus 2001

As many of you probably are aware,

Kebanyakan dari anda mungkin sudah tahu,

three weeks later,

bahwa tiga munggu setelahnya,

the Twin Towers went down.

Menara Kembar runtuh.

Now, I was shocked.

Saya terkejut.

I was incredibly angry.

Saya sangat marah.

I wanted to do something,

Saya ingin melakukan sesuatu,

but the only thing that I could think of doing at that time

namun pada saat itu yang bisa saya pikirkan hanyalah

was to study Arabic.

dengan belajar bahasa Arab.

I will admit,

Saya akui,

I was that girl in class that wanted to know why "they" hate "us."

Saya adalah tipe gadis di kelas yang ingin tahu kenapa "mereka" benci "kita."

I started studying Arabic for very wrong reasons.

Saya mulai belajar bahasa Arab untuk alasan yang sangat keliru.

But something unexpected happened.

Namun sesuatu yang tak disangka terjadi.

I got a scholarship to go study in Israel.

Saya mendapatkan beasiswa untuk belajar di Israel.

So the Idaho girl went to the Middle East.

Jadi si gadis Idaho pergi ke Timur Tengah.

And while I was there, I met Palestinian Muslims,

Dan selagi saya di sana, Saya bertemu Muslim Palestina,

Palestinian Christians,

Kristiani Palestina,

Israeli settlers,

Para pendatang Israeli,

Israeli peace activists.

aktivis perdamaian Israel.

And what I learned is that every act has an ecology.

Dan yang saya pelajari adalah semua aksi mempunyai ekologi.

It has a context.

Mempunyai konteks.

Now, since then, I have gone around the world,

Sejak saat itu, saya sudah pergi mengelilingi dunia,

I have studied violent movements,

sudah mempelajari pergerakan kekerasan,

I have worked with NGOs and ex-combatants in Iraq,

saya sudah bekerja dengan LSM, dan mantan petarung di Irak,

Syria,

Suriah,

Vietnam,

Vietnam,

the Balkans,

Balkan,

Cuba.

Kuba.

I earned my PhD in History,

Saya mendapatkan PhD saya di Sejarah,

and now what I do is I go to different archives

dan pekerjaan saya adalah mendatangi arsip berbeda

and I dig through documents,

dan saya gali dokumen-dokumen,

looking for police confessions,

mencari pengakuan polisi,

court cases,

kasus pengadilan,

diaries and manifestos of individuals involved in violent attacks.

buku harian dan manifesto individual yang terlibat dalam serangan kekerasan.

Now, you gather all these documents --

Nah, anda kumpulkan semua dokumen ini --

what do they tell you?

apa yang mereka beritahukan?

Our brains love causal mysteries,

Ternyata, otak kita suka

it turns out.

dengan misteri kausal.

So any time we see an attack on the news,

Sehingga setiap kali kita melihat berita tentang penyerangan,

we tend to ask one question:

kita biasanya menanyakan satu hal:

Why?

Kenapa?

Why did that happen?

Kenapa hal itu terjadi?

Well, I can tell you I've read thousands of manifestos,

Bisa saya katakan pada anda saya sudah baca ribuan manifesto

and what you find out is that they are actually imitative.

dan yang akan anda temukan adalah biasanya mereka bersifat meniru.

They imitate the political movement that they're drawing from.

Mereka meniru gerakan politis yang menjadi acuan mereka.

So they actually don't tell us a lot about decision-making

Sehingga tak banyak yang bisa diketahui tentang pengambilan keputusan

in that particular case.

terkait dengan kasus seperti itu.

So we have to teach ourselves to ask a totally different question.

Jadi kita harus mengajari diri untuk menanyakan pertanyaan sangat berbeda.

Instead of "Why?" we have to ask "How?"

Daripada "Mengapa?' kita harus bertanya "Bagaimana?"

How did individuals produce these attacks,

Bagaimana orang-orang ini menghasilkan serangan,

and how did their decision-making ecology contribute to violent behavior?

dan cara ekologi pengambilan keputusan berpengaruh pada perilaku kekerasan?

There's a couple things I've learned from asking this kind of question.

Ada beberapa hal yang saya pelajari dari menanyakan pertanyaan seperti ini.

The most important thing is that

Hal yang paling penting adalah

political violence is not culturally endemic.

kekerasan politis bukanlah hasil asli budaya.

We create it.

Kita menciptakan hal tersebut

And whether we realize it or not,

Dan entah apakah kita sadari atau tidak,

our day-to-day habits contribute to the creation of violence

kebiasaan sehari-hari kita berpengaruh pada terciptanya kekerasan

in our environment.

di lingkungan kita.

So here's a couple of habits that I've learned contribute to violence.

Inilah beberapa kebiasaan yang telah saya pelajari berkontribusi pada kekerasan

One of the first things that attackers did

Satu hal yang dilakukan si penyerang

when preparing themselves for a violent event

saat mempersiapkan diri mereka untuk suatu kekerasan

was they enclosed themselves in an information bubble.

adalah menutup diri mereka dalam suatu gelembung informasi.

We've heard of fake news, yeah?

Anda pasti pernah dengar berita palsu, kan?

Well, this shocked me:

Nah, ini yang mengejutkan saya:

every group that I studied had some kind of a fake news slogan.

setiap grup yang saya pelajari punya semacam slogan fake news.

French communists called it the "putrid press."

Komunis Prancis menamainya dengan "media busuk."

French ultranationalists called it the "sellout press"

Ultranasionalis Prancis menyebutnya dengan "media bayaran"

and the "treasonous press."

dan "media khianat."

Islamists in Egypt called it the "depraved news."

Islamis di Mesir menyebutnya "berita bejat."

And Egyptian communists called it ...

Dan komunis Mesir menyebutnya...

"fake news."

"berita palsu."

So why do groups spend all this time trying to make these information bubbles?

Lalu kenapa grup-grup menghabiskan waktu untuk menciptakan gelembung informasi ini?

The answer is actually really simple.

Jawabannya sebenarnya sangat sederhana.

We make decisions based on the information we trust, yeah?

Kita membuat keputusan berdasarkan informasi yang kita percaya, kan?

So if we trust bad information,

Jadi jika kita percaya informasi buruk,

we're going to make bad decisions.

kita akan membuat keputusan yang buruk.

Another interesting habit that individuals used

Kebiasaan menarik lainnya yang dipakai individu

when they wanted to produce a violent attack

ketika mereka akan melakukan serangan kekerasan

was that they looked at their victim not as an individual

adalah mereka tidak melihat korban sebagai individu

but just as a member of an opposing team.

tapi hanya sebagai bagian dari tim lawan.

Now this gets really weird.

Nah di sinilah mulai aneh.

There's some fun brain science behind why that kind of thinking is effective.

Ada beberapa ilmu otak menyenangkan dibalik kenapa pemikiran itu efektif.

Say I divide all of you guys into two teams:

Katakanlah saya membagai anda semua menjadi dua tim:

blue team,

tim biru,

red team.

tim merah.

And then I ask you to compete in a game against each other.

Dan saya akan minta anda untuk berkompetisi satu sama lain.

Well, the funny thing is, within milliseconds,

Nah, hal yang menarik adalah, hanya dalam milisekon,

you will actually start experiencing pleasure -- pleasure --

anda akan mulai merasakan kesenangan -- kesenangan --

when something bad happens to members of the other team.

saat sesuatu yang buruk terjadi pada anggota tim lain.

The funny thing about that is if I ask one of you blue team members

Yang menarik tentang itu adalah jika saya meminta salah satu anggota tim biru

to go and join the red team,

untuk bergabung dengan tim merah,

your brain recalibrates,

otak anda akan terkalibrasi ulang,

and within milliseconds,

dan hanya dalam milisekon,

you will now start experiencing pleasure

anda akan merasakan kesenangan

when bad things happen to members of your old team.

saat hal buruk terjadi pada anggota di tim lama anda.

This is a really good example of why us-them thinking is so dangerous

Inilah contoh yang sangat bagus kenapa berpikir kita-mereka itu berbahaya

in our political environment.

dalam lingkungan politis kita.

Another habit that attackers used to kind of rev themselves up for an attack

Kebiasaan lain yang digunakan penyerang untuk menyemangati diri sebelum serangan

was they focused on differences.

adalah dengan berfokus pada perbedaan.

In other words, they looked at their victims, and they thought,

Dengan kata lain, mereka melihat pada korban dan berpikir

"I share nothing in common with that person.

"Tidak ada persamaan antara aku dan dia.

They are totally different than me."

Mereka benar-benar berbeda dariku."

Again, this might sound like a really simple concept,

Sekali lagi, mungkin terdengar seperti konsep yang sangat simpel,

but there's some fascinating science behind why this works.

namun ada beberapa sains menarik dibalik cara kerja hal ini.

Say I show you guys videos of different-colored hands

Semisal saya menunjukkan anda video tangan dengan warna kulit berbeda

and sharp pins being driven into these different-colored hands,

dan jarum-jarum tajam ditusukkan kepada tangan dengan warna berbeda ini,

OK?

Oke?

If you're white,

Jika anda kulit putih,

the chances are you will experience the most sympathetic activation,

kemungkinan anda akan merasakan simpati

or the most pain,

atau sakit yang paling besar

when you see a pin going into the white hand.

ketika anda melihat jarum menusuk tangan kulit putih.

If you are Latin American, Arab, Black,

Jika anda Latin Amerika, Arab, kulit hitam

you will probably experience the most sympathetic activation

anda mungkin akan mengalami rasa simpatik paling besar

watching a pin going into the hand that looks most like yours.

saat melihat jarum menusuk ke tangan yang terlihat mirip dengan tangan anda.

The good news is, that's not biologically fixed.

Berita bagusnya adalah, hal itu tidak terpatri secara biologis.

That is learned behavior.

Itu adalah perilaku yang dipelajari.

Which means the more we spend time with other ethnic communities

Berarti semakin sering kita menghabiskan waktu dengan komunitas etnis lain

and the more we see them as similar to us and part of our team,

dan semakin kita melihat mereka mirip dengan kita dan bagian tim kita,

the more we feel their pain.

semakin kita akan merasakan sakit mereka.

The last habit that I'm going to talk about

Kebiasaan terakhir yang akan saya bicarakan

is when attackers prepared themselves to go out and do one of these events,

adalah ketika penyerang mempersiapkan diri untuk keluar dan melakukan serangan,

they focused on certain emotional cues.

mereka berfokus pada isyarat emosional.

For months, they geared themselves up by focusing on anger cues, for instance.

Berbulan-bulan, mereka menyiapkan diri berfokus pada isyarat kemarahan, misalnya

I bring this up because it's really popular right now.

Saya membahas ini karena hal ini sedang populer sekarang.

If you read blogs or the news,

Jika anda membaca blog atau berita,

you see talk of two concepts from laboratory science:

anda akan lihat pembahasan dua konsep dari laboratorium sains:

amygdala hijacking and emotional hijacking.

pembajakan amygdala dan pembajakan emosional.

Now, amygdala hijacking:

Nah, pembajakan amygdala:

it's the concept that I show you a cue -- say, a gun --

adalah konsep di mana saya memperlihatkan pada anda isyarat -- misal, pistol --

and your brain reacts with an automatic threat response

dan otak anda bereaksi dengan respon otomatis terhadap ancaman

to that cue.

dari isyarat tersebut.

Emotional hijacking -- it's a very similar concept.

Pembajakan emosional -- memiliki konsep sangat mirip.

It's the idea that I show you an anger cue, for instance,

Merupakan suatu ide di mana saya menunjukkan anda isyarat marah, misalnya,

and your brain will react with an automatic anger response

dan otak anda akan bereaksi dengan respon marah yang otomatis

to that cue.

terhadap isyarat tersebut.

I think women usually get this more than men. (Laughs)

Saya rasa wanita biasanya lebih sering mengalami ini daripada pria. (Tertawa)

(Laughter)

(Tertawa)

That kind of a hijacking narrative grabs our attention.

Naratif yang membajak seperti itu menarik perhatian kita.

Just the word "hijacking" grabs our attention.

Bahkan kata "pembajakan" sudah menarik perhatian kita.

The thing is,

Masalahnya,

most of the time, that's not really how cues work in real life.

yang sering terjadi, isyarat tidak bekerja seperti itu di kehidupan nyata.

If you study history,

Jika mempelajari sejarah

what you find is that we are bombarded with hundreds of thousands of cues

yang anda temukan adalah kita dibombardir dengan ratusan ribu isyarat

every day.

setiap harinya.

And so what we do is we learn to filter.

Dan yang kita lakukan adalah menyaringnya.

We ignore some cues,

Kita abaikan beberapa isyarat,

we pay attention to other cues.

kita memperhatikan isyarat lain.

For political violence, this becomes really important,

Pada kekerasan politis, ini merupakan hal yang sangat penting,

because what it meant is that attackers usually didn't just see an anger cue

karena hal ini berarti para penyerang biasanya tidak melihat isyarat kemarahan

and suddenly snap.

dan kemudian langsung beraksi.

Instead,

Malahan,

politicians, social activists spent weeks, months, years

para politisi, aktifis sosial menghabiskan berminggu-minggu, bulan, tahun

flooding the environment with anger cues, for instance,

membanjiri lingkungan dengan isyarat kemarahan, misalnya,

and attackers,

dan para penyerang,

they paid attention to those cues,

mereka memperhatikan isyarat-isyarat itu,

they trusted those cues,

mereke meyakini itu,

they focused on them,

mereka berfokus pada itu,

they even memorized those cues.

bahkan mengingat hal itu.

All of this just really goes to show how important it is to study history.

Semua ini benar-benar menunjukkan betapa pentingnya mempelajari sejarah.

It's one thing to see how cues operate in a laboratory setting.

Merupakan satu hal melihat bagaimana isyarat bekerja di setelan laboratorium.

And those laboratory experiments are incredibly important.

Dan eksperimen di laboratorium tersebut sangatlah penting.

They give us a lot of new data about how our bodies work.

Mereka memberikan kita banyak data baru tentang bagaimana tubuh kita bekerja.

But it's also very important to see how those cues operate in real life.

Namun sangat penting juga untuk melihat bagaimana isyarat bekerja di dunia nyata.

So what does all this tell us about political violence?

Lalu apa yang bisa semua ini beritahukan pada kita tentang kekerasan politis?

Political violence is not culturally endemic.

Kekerasan politis bukanlah hasil dari budaya.

It is not an automatic, predetermined response to environmental stimuli.

Ia bukanlah respon otomatis yang terpatri terhadap stimuli lingkungan.

We produce it.

Kita yang membuatnya.

Our everyday habits produce it.

Kebiasaan sehari-hari kita membuatnya.

Let's go back, actually, to those two women that I mentioned at the start.

Sebenarnya, mari kembali ke dua wanita yang saya sebutkan di awal.

The first woman had been paying attention to those outrage campaigns,

Wanita pertama telah memperhatikan kampanye-kampanye penuh amarah,

so she took a gun

jadi ia bawa sebuah pistol

and approached a soldier at a checkpoint.

dan mendekati satu prajurit di perbatasan.

But in that moment, something really interesting happened.

Tapi pada saat itu, sesuatu yang sangat menarik terjadi.

She looked at that soldier,

Ia melihat prajurit tersebut,

and she thought to herself,

dan berpikir dalam hati,

"He's the same age as me.

"Ia berusia sebaya denganku.

He looks like me."

Ia terlihat seperti diriku."

And she put down the gun, and she walked away.

Maka ia menurunkan senjatanya, dan berjalan pergi.

Just from that little bit of similarity.

Hanya dari persamaan yang kecil itu.

The second girl had a totally different outcome.

Gadis yang kedua, memiliki hasil yang sangat berbeda.

She also listened to the outrage campaigns,

Ia juga mendengarkan kampanye-kampanye kemarahan.

but she surrounded herself with individuals

namun ia mengelilingi dirinya dengan individual-individual

who were supportive of violence,

yang mendukung kekerasan,

with peers who supported her violence.

dengan rekan yang mendukung kekerasannya.

She enclosed herself in an information bubble.

Ia menutup dirinya dalam sebuah gelembung informasi

She focused on certain emotional cues for months.

Ia memfokuskan diri pada isyarat emosional tertentu selama berbulan-bulan.

She taught herself to bypass certain cultural inhibitions against violence.

Ia mengajarkan dirinya sendiri untuk melewati batasan budaya pada kekerasan.

She practiced her plan,

Ia melatih rencananya,

she taught herself new habits,

ia mengajarkan dirinya kebiasaan baru,

and when the time came, she took her bomb to the café,

dan ketika waktunya tiba, ia membawa bomnya ke kafe,

and she followed through with that attack.

dan ia laksanakan serangannya.

This was not impulse.

Hal tersebut bukanlah impuls.

This was learning.

Ia adalah pembelajaran.

Polarization in our society is not impulse,

Polarisasi dalam masyarakat kita bukanlah impuls,

it's learning.

namun suatu pembelajaran.

Every day we are teaching ourselves:

Setiap hari kita mengajari diri sendiri:

the news we click on,

berita yang kita klik,

the emotions that we focus on,

emosi yang kita berfokus padanya,

the thoughts that we entertain about the red team or the blue team.

pemikiran yang kita punya mengenai tim merah atau tim biru.

All of this contributes to learning,

Semua ini berpengaruh pada pembelajaran,

whether we realize it or not.

entah kita menyadarinya atau tidak.

The good news

Berita baiknya

is that while the individuals I study already made their decisions,

adalah biarpun individual yang saya pelajari sudah membuat keputusan,

we can still change our trajectory.

kita masih bisa merubah lintasan kita.

We might never make the decisions that they made,

Kita mungkin tidak akan dapat membuat keputusan seperti mereka,

but we can stop contributing to violent ecologies.

namun kita dapat menghentikan berkontribusi ke ekologi kekerasan.

We can get out of whatever news bubble we're in,

Kita bisa keluar dari gelembung berita apapun yang kita diami sekarang,

we can be more mindful about the emotional cues

kita bisa lebih memperhatikan pada isyarat emosional

that we focus on,

untuk difokuskan,

the outrage bait that we click on.

pada umpan kemarahan yang kita klik.

But most importantly,

Namun paling penting,

we can stop seeing each other as just members of the red team

kita dapat berhenti melihat satu sama lain hanya sebagai anggota tim merah

or the blue team.

atau tim biru.

Because whether we are Christian, Muslim, Jewish, atheist,

Karena meskipun kita adalah Kristiani, Muslim, Yahudi, ateis,

Democrat or Republican,

Demokrat atau Republikan,

we're human.

kita adalah manusia.

We're human beings.

Kita adalah orang-orang.

And we often share really similar habits.

Dan kita sering kali punya kebiasaan mirip

We have differences.

Kita punya perbedaan.

Those differences are beautiful,

Namun perbedaan tersebut indah,

and those differences are very important.

dan perbedaan tersebut sangat penting.

But our future depends on us being able to find common ground

Tetapi masa depan kita bergantung pada kemampuan kita menemukan kesamaan

with the other side.

dengan pihak yang lain.

And that's why it is so, so important

Dan itulah mengapa sangat, sangat penting

for us to retrain our brains

bagi kita untuk melatih ulang otak kita

and stop contributing to violent ecologies.

dan berhenti berkontribusi pada ekologi kekerasan.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)