The rise and fall of the Maya Empire’s most powerful city - Geoffrey E. Braswell

Translator: Abey Singa Reviewer: Reno Kanti Riananda

During an important calendrical celebration in 889 CE,

Selama perayaan kalender penting pada tahun 889 M,

Lord K’ak’ Upakal may have sat atop his ornate palace

Lord K’ak’ Upakal mungkin sedang duduk di atas istananya yang penuh hiasan

and observed the bustling hub he’d helped Chichen Itza become.

dan mengamati pusat keramaian yang telah ia bangun menjadi Chichen Itza.

The Maya city’s golden age would outlast K’ak’ Upakal’s own life,

Zaman keemasan kota Maya akan bertahan melebihi kehidupan K’ak’ Upakal sendiri,

but he couldn’t have known the crises that lay ahead.

tetapi dia tidak mungkin mengetahui krisis yang ada di depan mata.

A century before, warfare and failing agriculture forced Maya people

Satu abad sebelumnya, peperangan dan usaha pertanian yang gagal

memaksa suku Maya untuk meninggalkan banyak pemukiman di Amerika Tengah.

to abandon numerous Central American settlements.

This shifted the center of their civilization north,

Hal Ini menggeser pusat peradaban mereka ke utara,

to hotter, drier Yucatan.

ke wilayah Yucatan yang lebih panas dan kering.

During the early 800s,

Selama awal tahun 800-an,

cities like Chichen Itza, Izamal, and Uxmal expanded.

kota-kota seperti Chichen Itza, Izamal, dan Uxmal berkembang.

But Yucatan presented its own challenges.

Namun, Yucatan memiliki tantangan tersendiri.

Surface water was scarce

Air di permukaan tanah langka

and the region’s limestone bedrock rapidly absorbed rain.

dan lapisan batuan kapur di wilayah itu cepat menyerap hujan.

This forced many Yucatecan cities to collect rainwater in cisterns.

Hal ini memaksa banyak kota di Yucatecan untuk mengumpulkan air hujan dalam tangki.

But the land surrounding Chichen Itza is pocked with sinkholes,

Namun, tanah di sekeliling Chichen Itza dipenuhi dolin,

where collapsed bedrock reveals an abundant supply of fresh groundwater.

saat batuan dasar runtuh, terungkaplah pasokan air tanah yang segar dan melimpah.

Because of this freshwater access, when drought seized Yucatan in the early 900s,

Karena ketersediaan air tawar ini, di saat kekeringan melanda Yucatan di awal 900-an,

Chichen Itza survived to become the most powerful Maya city.

Chichen Itza bertahan menjadi kota Maya yang paling kuat.

People immigrated from hundreds of kilometers away,

Masyarakat berimigrasi dari wilayah sejauh ratusan kilometer,

and, at its height, Chichen Itza’s population possibly reached 50,000.

dan, pada puncaknya, populasi warga Chichen Itza mungkin mencapai 50.000.

The city came to reflect a diverse international culture

Kota ini berkembang mencerminkan budaya internasional yang beragam

in all spheres of life.

di semua bidang kehidupan.

Its challenge then became sustaining a large population

Tantangan berikutnya adalah mempertahankan populasi yang besar

in an unpredictable environment.

dalam lingkungan yang tidak dapat diprediksi.

During the 10th century, following K’ak’ Upakal’s death,

Selama abad ke-10, setelah kematian K’ak’ Upakal,

Chichen Itza’s government shifted from a focus solely on the king

pemerintahan Chichen Itza beralih dari fokus semata-mata pada raja

to a more flexible system

ke sistem yang lebih fleksibel

that also included ruling councils of the city’s elite.

yang juga mencakup keberadaan dewan penguasa elit kota.

Unlike traditional Maya kings,

Tidak seperti raja-raja Maya tradisional,

who reinforced their legitimacy with destructive wars and costly monuments,

yang memperkuat legitimasi mereka dengan perang

yang menghancurkan dan monumen yang mahal,

the new rulers focused largely on economic growth.

para penguasa baru lebih banyak fokus pada pertumbuhan ekonomi.

They channeled the city’s military might into establishing long-distance trade

Mereka menyalurkan kekuatan militer kota untuk membangun perdagangan jarak jauh

and political dominance.

dan dominasi politik.

Merchant-warriors traveled from coastal ports and captured valuable goods.

Pedagang-prajurit menjelajah pelabuhan pesisir

dan memperoleh barang-barang berharga.

Using obsidian, gold, copper, turquoise, and jade

Menggunakan obsidian, emas, tembaga, batu tosca, dan giok

from various parts of Central and North America,

dari berbagai wilayah Amerika Tengah dan Utara,

Chichen Itza’s inhabitants crafted sharp tools and precious ornaments.

penduduk Chichen Itza membuat peralatan tajam dan ornamen berharga.

They traded food, textiles, feathers, minerals, and metals,

Mereka berdagang makanan, tekstil, bulu binatang, mineral, dan logam,

sometimes using cacao beans as currency.

terkadang menggunakan biji kakao sebagai mata uang.

And they transported seafood from the coast

Dan mereka mengangkut makanan laut dari pantai

to supplement the city’s locally grown staple crops.

untuk melengkapi tanaman pokok yang ditanam secara lokal di kota.

Farming was essential to Chichen Itza’s survival.

Pertanian sangat penting untuk kelangsungan hidup Chichen Itza.

The city’s architecture and religious practices reflected this importance

Arsitektur kota dan praktik keagamaan mencerminkan pentingnya hal ini

by keeping track of time, the transit of celestial bodies,

dengan mencatat waktu, perlintasan benda-benda langit,

and agricultural cycles.

dan siklus pertanian.

As the city grew, its citizens built a vast platform

Seiring pertumbuhan kota, warganya membangun platform yang luas

to support new temples, pyramids, altars, ballcourts, and colonnades.

untuk mendirikan kuil baru, piramida, altar, lapangan bola, dan barisan pilar.

Builders carefully aligned a round temple to mark solstices, equinoxes,

Para pekerja dengan hati-hati menyelaraskan kuil bundar

untuk menandai titik balik dan titik setara matahari,

and the passing of the planet Venus,

dan melintasnya planet Venus,

an avatar of K’uk’ulkan, the feathered serpent god.

sebagai figur avatar K’uk’ulkan, dewa ular berbulu.

K’uk’ulkan became Chichen Itza’s central deity,

K’uk’ulkan menjadi dewa utama Chichen Itza,

and his worship transformed the city into a center of religious pilgrimage.

dan pemujaannya mengubah kota menjadi pusat ziarah keagamaan.

Architects designed a stepped pyramid and temple dedicated to K’uk’ulkan

Arsitek merancang piramida bertingkat dan kuil untuk K’uk’ulkan,

that towers 30 meters high,

yang menjulang setinggi 30 meter,

and features four stairs with a total of 365 steps,

dan memiliki empat buah tangga dengan total 365 anak tangga,

each representing a day in the solar year.

masing-masing mewakili satu hari di tahun matahari.

It’s oriented so that, around each equinox,

Hal ini disesuaikan sehingga, di sekitar setiap titik balik matahari,

the setting sun creates snake-like shadows that slither down the balustrades,

terbenamnya matahari menciptakan bayangan seperti ular yang merayap menuruni tangga,

evoking the serpent god.

membangkitkan sosok dewa ular.

Several buildings feature representations of Flower Mountain,

Beberapa bangunan menampilkan simbol dari Gunung Bunga,

the sacred paradise realm inhabited by gods and ancestors.

alam surga suci yang dihuni oleh dewa dan leluhur.

And rulers from far and wide

Para penguasa dari berbagai penjuru dunia

were inaugurated at Chichen Itza’s Great Ballcourt

dilantik di Lapangan Bola Besar Chichen Itza

under the auspices of K’uk’ulkan

di bawah naungan K’uk’ulkan

and in the presence of thousands of spectators.

dan di hadapan ribuan penonton.

However, Chichen Itza’s golden age wouldn’t last forever.

Namun, zaman keemasan Chichen Itza tidak akan bertahan selamanya.

Around 1020 CE, an intense drought hit and lasted nearly a century.

Sekitar tahun 1020 M, kekeringan hebat melanda dan berlangsung hampir satu abad.

In an effort to end the disaster,

Dalam upaya untuk mengakhiri bencana,

people made offerings to rain deities in nearby caves and sinkholes,

warga membuat persembahan ke dewa hujan di gua-gua dan lubang runtuhan terdekat,

which were seen as entrances to the watery underworld realm of the gods.

yang dipandang sebagai portal ke alam dunia bawah berair para dewa.

Despite Chichen Itza’s natural advantages and the ingenuity of its people,

Terlepas dari kelebihan alami Chichen Itza dan kecerdasan masyarakatnya,

the city couldn't support itself through this extended drought.

kota ini tidak dapat bertahan melalui kekeringan yang berkepanjangan ini.

Population plummeted during the 11th century,

Populasi anjlok selama abad ke-11,

and many people resettled on the coast.

dan banyak orang bermukim kembali di pantai.

At the end of the drought,

Pada akhir kekeringan,

the new city of Mayapan emerged

kota baru Mayapan terbentuk

and replaced Chichen Itza as the principal city of Yucatan.

dan menggantikan Chichen Itza sebagai kota utama Yucatan.

Yet, Chichen Itza was never fully abandoned or forgotten.

Namun, Chichen Itza tidak pernah sepenuhnya ditinggalkan atau dilupakan.

When the Spanish arrived centuries later,

Ketika bangsa Spanyol tiba berabad-abad kemudian,

it was still a small, local capital of a Maya province.

kota itu masih merupakan ibu kota lokal kecil di provinsi Maya.

Chichen Itza’s original name was preserved,

Nama asli Chichen Itza dilestarikan,

and its ancient stone constructions were still standing,

dan konstruksi batu kunonya masih berdiri,

as they do to this day.

seperti layaknya hingga hari ini.