Zen kōans: Unsolvable enigmas designed to break your brain - Puqun Li

Reviewer: Intan Andini

How do we explain the unexplainable?

Bagaimana kita menjelaskan hal yang tak bisa dijelaskan?

This question has inspired numerous myths,

Pertanyaan ini telah mengilhami banyak mitos,

religious practices,

praktik keagamaan,

and scientific inquiries.

dan penyelidikan ilmiah.

But Zen Buddhists practicing throughout China from the 9th to 13th century

Tapi umat Buddha Zen dari Tiongkok yang berlatih sepanjang abad ke-9 hingga ke-13

asked a different question –

mengajukan pertanyaan yang berbeda –

why do we need an explanation?

mengapa kita membutuhkan penjelasan?

For these monks, blindly seeking answers was a vice to overcome,

Bagi mereka, mencari jawaban sembarangan adalah sifat buruk yang harus diatasi,

and learning to accept the mysteries of existence

dan belajar menerima misteri kehidupan

was the true path to enlightenment.

adalah jalan sejati menuju pencerahan.

But fighting the urge to explain the unexplainable can be difficult.

Tapi melawan keinginan untuk memahami hal asing itu sulit.

So to help practice living with these mysteries,

Jadi, untuk membantu kita hidup dikelilingi misteri-misteri ini,

the meditating monks used a collection of roughly 1,700 bewildering

para biksu yang bermeditasi menggunakan kira-kira 1.700 pemikiran filosofis

and ambiguous philosophical thought experiments called kōans.

yang membingungkan dan ambigu yang disebut kōans.

The name, originally gong-an in Chinese, translates to “public record or case."

Nama itu, Gong-an dalam bahasa Cina,

diterjemahkan menjadi “catatan atau kasus publik.”

But unlike real-world court cases, kōans were intentionally incomprehensible.

Namun tidak seperti kasus di dunia nyata, kōans sengaja dibuat bukan untuk dipahami.

They were surprising, surreal, and frequently contradicted themselves.

Mereka mengejutkan, nyata, dan sering bertentangan dengan diri mereka sendiri.

On the surface, they contained a proverb about the Zen Buddhist monastic code -

Di permukaan, mereka membahas peribahasa tentang kode monastik Buddha Zen -

such as living without physical or mental attachments,

seperti hidup tanpa keterikatan fisik atau mental,

avoiding binary thinking,

menghindari pemikiran biner,

and realizing one’s true “Buddha-nature."

dan memahami “ajaran-Buddha” yang sebenarnya.

Tapi dengan anggap pelajaran itu sebagai anekdot tak logis,

But by framing those lessons as illogical anecdotes,

they became tests to help practicing monks learn to live with ambiguity and paradox.

mereka membantu para biksu belajar hidup dengan ambiguitas dan paradoks.

By puzzling through these confusing “cases,"

Dengan mempelajari “kasus” yang membingungkan ini,

meditating monks could both internalize and practice Buddhist teachings.

biksu yang bermeditasi dapat menerima dan mempraktikkan ajaran Buddha.

Hopefully, they would let go of the search for one true answer

Diharapkan, mereka akan melepas pencarian demi satu jawaban benar

and trigger a spiritual breakthrough.

dan memicu terobosan spiritual.

Since these are intentionally unexplainable,

Karena hal ini sengaja tak dijelaskan,

it would be misguided to try and decipher these stories ourselves.

bisa menyesatkan jika kita mencoba memecahkan misteri tersebut sendirian.

But like the monks before us,

Tapi seperti para biksu sebelum kita,

we can puzzle over them together,

kita bisa merangkainya

and investigate just how resistant they are to simple explanations.

dan menyelidiki ketahanan mereka terhadap penjelasan sederhana.

Consider this kōan illustrating the practice of no-attachment.

Pertimbangkan kōan ini menggambarkan praktik ketidakterikatan.

Two monks, Tanzan and Ekido, are traveling together down a muddy road.

Dua biksu, Tanzan dan Ekido, berjalan bersama di jalan berlumpur.

Ahead they see an attractive traveler, unable to cross the muddy path.

Mereka melihat musafir cantik di depan, tidak dapat melintasi jalan berlumpur.

Tanzan politely offers his help,

Tanzan menawarkan bantuan dengan sopan,

carrying the traveler on his back across the street,

menggendong musafir di punggungnya menyebrangi jalan,

and placing her down without a word.

dan menurunkannya tanpa berkata-kata.

Ekido was shocked.

Ekido terkejut.

According to monastic law, monks were not supposed to go near women,

Menurut hukum biara, biksu tak boleh berada di dekat wanita,

let alone touch a beautiful stranger.

apalagi menyentuh orang asing yang cantik.

After miles of walking, Ekido could no longer restrain himself.

Setelah berjalan jauh, Ekido tak dapat menahan dirinya lagi.

“How could you carry that woman?”

“Bagaimana bisa kamu menggendong wanita itu?”

Tanzan smiled, “I left the traveler there. Are you still carrying her?”

Tanzan tersenyum, “Aku meninggalkannya di sana. Kamu masih membawanya?”

Like all kōans, this story has numerous interpretations.

Seperti semua kōans, cerita ini punya banyak interpretasi.

But one popular reading suggests

Tapi satu pembacaan populer mengartikan

that despite never having physically carried the traveler,

bahwa meski tidak membawa musafir secara fisik,

Ekido broke monastic law by mentally "clinging to" the woman.

Ekido melanggar hukum biara dengan “berpegang” pada wanita itu secara mental.

This type of conflict –

Konflik seperti ini –

examining the grey area between the letter of the law and the spirit of the law –

membahas area abu-abu antara isi hukum dan semangat hukum –

was common in kōans.

banyak ditemui dalam kōans.

In addition to exploring ambiguity,

Selain mengeksplorasi ambiguitas,

kōans often ridiculed characters

kōans sering mengejek tokoh

claiming total understanding of the world around them.

yang mengklaim pemahaman total tentang dunia di sekitar mereka.

One such example finds three monks

Sebagai contoh, ada tiga biksu

debating a temple flag rippling in the wind.

memperdebatkan bendera kuil yang berkibar di tengah angin.

The first monk refers to the flag as a moving banner,

Biksu pertama menyebut bendera sebagai panji bergerak,

while the second monk insists that they are not seeing the flag move,

sementara biksu kedua bersikeras bendera itu tak bergerak,

but rather the wind blowing.

melainkan angin yang bertiup.

They argue back and forth, until finally, a third monk intervenes,

Mereka terus berdebat, sampai akhirnya, biksu ketiga menengahi,

“It is not the flag moving, nor the wind blowing,

“Bukan bendera yang bergerak, atau angin yang bertiup,

but rather the movement of your minds!”

melainkan jalan pikiran kalian!”

One interpretation of this kōan plays on the supposed wisdom of the arguing monks –

Salah satu interpretasi kōan ini adalah kebijaksanaan para biksu yang berdebat –

the first asserting the importance of the observable world,

yang pertama menegaskan pentingnya dunia yang bisa dilihat,

yang kedua lebih pada pengetahuan yang lebih mendalam dari dunia itu.

the second favoring deeper knowledge we can infer from that world.

But each monk’s commitment to his own “answer”

Tapi komitmen setiap biksu tentang “jawaban” masing-masing,

blinds him to the other’s insight, and in doing so,

membutakannya tentang pandangan yang lain, dan saat melakukannya,

defies an essential Buddhist ideal: abolishing binary thinking.

itu menentang ajaran Buddha yang esensial: menghapuskan pemikiran biner.

The third monk identifies their conflict as a perceptual one –

Biksu ketiga melihat konflik mereka sebagai konflik persepsi –

both arguing monks fail to see the larger picture.

kedua biksu yang berdebat gagal melihat gambar yang lebih besar.

Of course, all these interpretations only hint at how to wrestle with these kōans.

Interpretasi ini hanya memberi isyarat bagaimana bergelut dengan kōans.

Neither the wisdom from practicing monks before us,

Tak ada kebijaksanaan para biksu yang berlatih sebelum kita,

nor the supposedly wise characters in these stories

tidak pula karakter yang dianggap bijak di cerita-cerita ini

can resolve them for you.

bisa memecahkan kōans untukmu.

That’s because the purpose of these kōans isn’t reaching a simple solution.

Itu karena tujuan dari kōans bukan untuk mencapai solusi sederhana.

It’s the very act of struggling with these paradoxical puzzles

Tujuannya adalah usaha memahami teka-teki paradoksal ini

which challenge our desire for resolution,

yang menantang keinginan kita untuk mencari penyelesaian,

and our understanding of understanding itself.

dan pemahaman kita tentang pemahaman itu sendiri.