Why don’t poisonous animals poison themselves? - Rebecca D. Tarvin

Translator: Larisza Tobing Reviewer: Ade Indarta

One fine day,

Pada suatu hari,

when Charles Darwin was still a student at Cambridge,

saat Charles Darwin masih mahasiswa di Cambridge,

the budding naturalist tore some old bark off a tree

sang naturalis pemula merobek sedikit kulit tua sebuah pohon

and found two rare beetles underneath.

dan menemukan 2 kumbang langka di baliknya.

He’d just taken one beetle in each hand when he spotted a third beetle.

Ia baru memegang 1 kumbang di tiap tangan saat ia melihat kumbang ketiga.

Stashing one of the insects in his mouth for safekeeping,

Selagi ia menyimpan salah satu kumbang dalam mulut untuk mengamankannya,

he reached for the new specimen –

ia meraih spesimen baru tersebut —

when a sudden spray of hot, bitter fluid scalded his tongue.

saat tiba-tiba cairan panas yang pahit membakar lidahnya.

Darwin’s assailant was the bombardier beetle.

Penyerang Darwin adalah kumbang pengebom.

It’s one of thousands of animal species,

Kumbang ini adalah salah satu dari ribuan spesies,

like frogs,

seperti katak,

jellyfish,

ubur-ubur,

salamanders,

salamander,

and snakes,

dan ular,

that use toxic chemicals to defend themselves –

yang menggunakan bahan kimia beracun untuk membela diri —

in this case, by spewing poisonous liquid from glands in its abdomen.

dalam kasus ini, dengan mengeluarkan cairan beracun dari kelenjar di perutnya.

But why doesn’t this caustic substance, ejected at 100 degrees Celsius,

Tapi kenapa zat kaustik ini, yang disemburkan pada suhu 100 derajat Celsius,

hurt the beetle itself?

tidak melukai si kumbang itu sendiri?

In fact, how do any toxic animals survive their own secretions?

Atau, bagaimana hewan beracun manapun kebal dari sekresi mereka sendiri?

The answer is that they use one of two basic strategies:

Jawabannya adalah mereka menggunakan dua strategi dasar:

securely storing these compounds

menyimpan senyawa tersebut dengan aman

or evolving resistance to them.

atau mengembangkan daya tahan terhadap senyawa tersebut.

Bombardier beetles use the first approach.

Kumbang pengebom memakai cara pertama.

They store ingredients for their poison in two separate chambers.

Mereka menyimpan unsur-unsur racun mereka di dua bilik terpisah.

When they’re threatened, the valve between the chambers opens

Saat mereka terancam, katup di antara bilik terbuka

and the substances combine in a violent chemical reaction

dan zat-zat bercampur dalam sebuah reaksi kimia yang hebat

that sends a corrosive spray shooting out of the glands,

yang mengirimkan semburan korosif yang disemprotkan dari kelenjar,

passing through a hardened chamber that protects the beetle’s internal tissues.

melalui bilik mengeras yang melindungi jaringan internal si kumbang.

Similarly, jellyfish package their venom safely

Demikian pula dengan ubur-ubur yang menyimpan bisa mereka dengan aman

in harpoon-like structures called nematocysts.

di dalam struktur mirip tombak yang disebut nematosis.

And venomous snakes store their flesh-eating, blood-clotting compounds

Dan ular berbisa menyimpan senyawa pemakan daging dan penggumpal darah

in specialized compartments that only have one exit:

dalam kompartemen khusus yang hanya punya satu jalur keluar:

through the fangs and into their prey or predator.

melalui taring dan masuk ke tubuh mangsa atau predator mereka.

Snakes also employ the second strategy: built-in biochemical resistance.

Ular juga memakai strategi kedua: daya tahan biokimia tertanam.

Rattlesnakes and other types of vipers manufacture special proteins

Ular derik dan jenis ular berbisa lainnya menghasilkan protein spesial

that bind and inactivate venom components in the blood.

yang mengikat dan menonaktifkan komponen bisa dalam darah.

Meanwhile, poison dart frogs have also evolved resistance to their own toxins,

Katak panah beracun juga mengembangkan daya tahan pada racun mereka.

but through a different mechanism.

tapi melalui mekanisme berbeda.

These tiny animals defend themselves using hundreds of bitter-tasting compounds

Hewan mungil ini membela diri menggunakan ratusan senyawa berasa pahit

called alkaloids

bernama alkaloid

that they accumulate from consuming small arthropods like mites and ants.

yang mereka kumpulkan dari memakan antropoda mungil seperti tungau dan semut.

One of their most potent alkaloids is the chemical epibatidine,

Salah satu alkaloid mereka yang paling ampuh adalah kimiawi epibatidin,

which binds to the same receptors in the brain as nicotine

yang mengikat reseptor yang sama di dalam otak seperti nikotin

but is at least ten times stronger.

tapi setidaknya 10 kali lebih kuat.

An amount barely heavier than a grain of sugar would kill you.

Jumlah yang hampir tak lebih berat dari sejumput gula akan membunuhmu.

So what prevents poison frogs from poisoning themselves?

Jadi apa yang mencegah katak beracun dari meracuni diri mereka sendiri?

Think of the molecular target of a neurotoxic alkaloid as a lock,

Bayangkan target molekular dari alkaloid neurotoksik sebagai gembok,

and the alkaloid itself as the key.

dan alkaloid itu sendiri adalah kuncinya.

When the toxic key slides into the lock,

Saat kunci racun masuk ke gembok,

it sets off a cascade of chemical and electrical signals

ia memicu curahan bahan kimia dan sinyal elektrik

that can cause paralysis,

yang bisa menyebabkan kelumpuhan,

unconsciousness,

ketidaksadaran.

and eventually death.

dan akhirnya kematian.

But if you change the shape of the lock, the key can’t fit.

Tapi jika kau mengganti bentuk gemboknya, kuncinya tak akan cocok.

For poison dart frogs and many other animals with neurotoxic defenses,

Untuk katak panah beracun dan banyak hewan lain dengan pertahanan neurotoksik,

a few genetic changes alter the structure of the alkaloid-binding site

beberapa perubahan genetik mengubah struktur situs pengikat alkaloid

just enough to keep the neurotoxin from exerting its adverse effects.

cukup untuk menjaga neurotoksin dari mengerahkan efek membahayakannya.

Poisonous and venomous animals

Hewan beracun dan berbisa

aren’t the only ones that can develop this resistance:

bukan satu-satunya yang bisa mengembangkan daya tahan ini:

their predators and prey can, too.

predator dan mangsa mereka juga bisa.

The garter snake, which dines on neurotoxic salamanders,

Ular garter, yang memangsa salamander neurotoksik,

has evolved resistance to salamander toxins

telah mengembangkan daya tahan pada racun salamander

through some of the same genetic changes as the salamanders themselves.

melalui beberapa perubahan genetik yang sama seperti salamander itu sendiri.

That means that only the most toxic salamanders can avoid being eaten—

Artinya, hanya salamander yang paling beracun yang bisa mengindar dari dimangsa—

and only the most resistant snakes will survive the meal.

dan hanya ular paling kebal yang bisa selamat dari memakan salamander.

The result is that the genes providing the highest resistance and toxicity

Hasilnya adalah gen yang menyediakan daya tahan dan keberacunan terkuat

will be passed on in greatest quantities to the next generations.

akan diteruskan dalam kuantitas terbesar ke generasi berikutnya.

As toxicity ramps up, resistance does too,

Saat keberacunan meningkat, begitu juga daya tahannyta,

in an evolutionary arms race that plays out over millions of years.

dalam perlombaan senjata yang berlangsung selama jutaan tahun.

This pattern appears over and over again.

Pola ini muncul lagi dan lagi.

Grasshopper mice resist painful venom from scorpion prey

Tikus belalang melawan bisa menyakitkan dari mangsa kalajengking

through genetic changes in their nervous systems.

melalui perubahan genetik dalam sistem saraf mereka.

Horned lizards readily consume harvester ants,

Kadal bertanduk dengan mudah memakan semut penuai,

resisting their envenomed sting with specialized blood plasma.

melawan sengat beracun semut dengan plasma darah khusus.

And sea slugs eat jellyfish nematocysts,

Dan siput laut memakan ubur-ubur nematosis,

prevent their activation with compounds in their mucus,

Dan siput laut memakan ubur-ubur nematosis,

and repurpose them for their own defenses.

dan menggunakannya ulang untuk pertahanan mereka sendiri.

The bombardier beetle is no exception:

Tak terkecuali kumbang pengebom:

the toads that swallow them

kodok-kodok yang menelan mereka

can tolerate the caustic spray that Darwin found so distasteful.

bisa mentolerir semprotan kaustik yang tak disukai Darwin.

Most of the beetles are spit up hours later,

Kebanyakan kumbang dimuntahkan berjam-jam kemudian,

amazingly alive and well.

yang anehnya masih hidup dan baik-baik saja.

But how do the toads survive the experience?

Tapi bagaimana kodok tersebut selamat dari itu?

That is still a mystery.

Itu masih sebuah misteri.