Does math have a major flaw? - Jacqueline Doan and Alex Kazachek

Translator: Indah Setiawan Reviewer: Reno Kanti Riananda

Consider this mathematician,

Bayangkan seorang ahli matematika,

with her standard-issue infinitely sharp knife and a perfect ball.

dengan pisau biasa yang sangat tajam dan bola yang sempurna.

She frantically slices and distributes the ball into an infinite number of boxes.

Dia mengiris dan membagikan bola ke dalam kotak berjumlah tak terhingga.

She then recombines the parts into five precise sections.

Kemudian, dia menggabungkan bagian-bagian menjadi lima bagian yang sama.

Gently moving and rotating these sections around,

Dengan menggerakkan dan memutar bagian-bagian secara perlahan,

seemingly impossibly, she recombines them to form two identical, flawless,

meski terlihat tidak mungkin, dia menggabungkannya kembali

membentuk dua salinan bola yang identik, sempurna, dan lengkap seperti bola asli.

and complete copies of the original ball.

This is a result known in mathematics as the Banach-Tarski paradox.

Dalam matematika, hal tersebut dikenal sebagai paradoks Banach-Tarski.

The paradox here is not in the logic or the proof—

Paradoksnya di sini bukan pada logika atau buktinya—

which are, like the balls, flawless—

yang, seperti bola-bola tadi, tanpa cela—

but instead in the tension between mathematics

melainkan pada ketegangan antara matematika

and our own experience of reality.

dan pengalaman kita sendiri tentang realitas.

And in this tension lives some beautiful and fundamental truths

Dalam ketegangan ini pun terdapat beberapa kebenaran indah dan mendasar

about what mathematics actually is.

tentang apa sebenarnya matematika itu.

We’ll come back to that in a moment, but first,

Kita akan kembali ke sana,

tetapi sekarang kita perlu memahami dasar dari setiap sistem matematika:

we need to examine the foundation of every mathematical system: axioms.

aksioma.

Every mathematical system is built and advanced

Setiap sistem matematika dibangun dan dikembangkan

by using logic to reach new conclusions.

dengan menggunakan logika untuk mencapai kesimpulan baru.

But logic can’t be applied to nothing;

Namun, logika tidak dapat diterapkan pada ketiadaan;

we have to start with some basic statements, called axioms,

kita harus mulai dengan beberapa pernyataan dasar yang disebut aksioma

that we declare to be true, and make deductions from there.

yang kita nyatakan benar dan membuat deduksi dari sana.

Often these match our intuition for how the world works—

Seringkali ini sesuai dengan intuisi kita tentang bagaimana dunia bekerja—

for instance, that adding zero to a number has no effect is an axiom.

misalnya, menambahkan nol tidak akan memengaruhi angka adalah aksioma.

If the goal of mathematics is to build a house, axioms form its foundation—

Jika tujuan matematika membangun rumah, maka aksioma membentuk fondasinya—

the first thing that’s laid down, that supports everything else.

hal pertama yang ditetapkan untuk mendukung hal lainnya.

Where things get interesting is that by laying a slightly different foundation,

Menariknya, dengan fondasi yang sedikit berbeda,

you can get a vastly different but equally sound structure.

kalian mendapat struktur yang amat berbeda tetapi sama-sama masuk akal.

For example, when Euclid laid his foundations for geometry,

Misalnya, ketika Euclid memaparkan fondasinya untuk geometri,

one of his axioms implied that given a line and a point off the line,

salah satu aksiomanya menyiratkan jika ada satu garis dan satu titik di luar garis,

only one parallel line exists going through that point.

hanya ada satu garis paralel yang melewati titik tersebut.

But later mathematicians,

Namun kemudian, para matematikawan,

wanting to see if geometry was still possible without this axiom,

yang ingin melihat apakah geometri masih mungkin tanpa aksioma ini,

produced spherical and hyperbolic geometry.

menghasilkan geometri bola dan hiperbolik.

Each valid, logically sound, and useful in different contexts.

Masing-masing valid, terdengar logis, dan berguna dalam konteks yang berbeda.

One axiom common in modern mathematics is the Axiom of Choice.

Salah satu aksioma umum dalam matematika modern

It typically comes into play in proofs that require choosing elements from sets—

Biasanya berperan dalam hal-hal yang memerlukan pemilihan elemen dari set—

which we’ll grossly simplify to marbles in boxes.

yang akan kami sederhanakan menjadi kelereng dalam kotak.

For our choices to be valid, they need to be consistent,

Supaya valid, pilihan kita harus konsisten.

meaning if we approach a box, choose a marble,

Artinya, jika kita mendekati kotak, memilih sebuah kelereng,

and then go back in time and choose again, we'd know how to find the same marble.

dan kembali ke masa lalu dan memilih lagi,

kita akan tahu bagaimana menemukan kelereng yang sama.

If we have a finite number of boxes, that’s easy.

Jika kita memiliki jumlah kotak yang terbatas, itu mudah.

It’s even straightforward when there are infinite boxes

Bahkan, lebih mudah lagi jika ada kotak sejumlah tak terhingga,

if each contains a marble that’s readily distinguishable from the others.

dan masing-masing kotak berisi kelereng yang mudah dibedakan dari yang lain.

It’s when there are infinite boxes with indistinguishable marbles

Saat kotaknya berjumlah tak terhingga serta kelerengnya tidak bisa dibedakan,

that we have trouble.

itu baru masalah.

But in these scenarios,

Namun, dalam skenario ini,

the Axiom of Choice lets us summon a mysterious omniscient chooser

Aksioma Pilihan memungkinkan kita memanggil pemilih mahatahu misterius

that will always select the same marbles—

yang akan selalu memilih kelereng yang sama—

without us having to know anything about how those choices are made.

tanpa harus tahu apa pun tentang bagaimana pilihan itu dibuat.

Our stab-happy mathematician, following Banach and Tarski’s proof,

Matematikawan kita yang kesenangan, setelah mendapat bukti Banach dan Tarski,

reaches a step in constructing the five sections

mencapai titik dalam membangun lima bagian

where she has infinitely many boxes filled with indistinguishable parts.

di mana dia memiliki banyak kotak berisi bagian yang tidak dapat dibedakan.

So she needs the Axiom of Choice to make their construction possible.

Jadi, dia membutuhkan Aksioma Pilihan untuk memungkinkan konstruksi mereka.

If the Axiom of Choice can lead to such a counterintuitive result,

Jika Aksioma Pilihan dapat mengarah pada hasil yang berlawanan dengan intuisi,

should we just reject it?

haruskah kita menolaknya saja?

Mathematicians today say no,

Matematikawan saat ini mengatakan tidak,

because it’s load-bearing for a lot of important results in mathematics.

karena itu menjadi dasar sebagian besar hasil penting dalam matematika.

Fields like measure theory and functional analysis,

Bidang seperti teori ukuran dan analisis fungsional

which are crucial for statistics and physics,

yang sangat penting untuk statistik dan fisika

are built upon the Axiom of Choice.

dibangun di atas Aksioma Pilihan.

While it leads to some impractical results,

Meskipun dapat mengarah pada beberapa hasil yang tidak praktis,

it also leads to extremely practical ones.

Aksioma Pilihan juga mengarah pada hasil yang sangat praktis.

Fortunately, just as Euclidean geometry exists alongside hyperbolic geometry,

Untungnya, sama seperti geometri Euclidean yang berdampingan geometri hiperbolik,

mathematics with the Axiom of Choice coexists with mathematics without it.

matematika dengan Aksioma Pilihan hidup berdampingan dengan matematika tanpanya.

The question for many mathematicians isn’t whether the Axiom of Choice,

Pertanyaan bagi banyak matematikawan bukanlah apakah Aksioma Pilihan,

or for that matter any given axiom, is right or not,

atau dalam hal ini aksioma tertentu, benar atau tidak,

but whether it’s right for what you’re trying to do.

tetapi apakah ia pilihan tepat untuk yang Anda lakukan.

The fate of the Banach-Tarski paradox lies in this choice.

Nasib paradoks Banach-Tarski terletak pada pilihan ini.

This is the freedom mathematics gives us.

Inilah kebebasan yang diberikan matematika.

Not only is it a way to model our physical universe

Bukan hanya cara untuk memodelkan alam semesta fisik kita

using the axioms we intuit from our daily experiences,

menggunakan aksioma yang kita pahami dari pengalaman kita sehari-hari,

but a way to venture into abstract mathematical universes

tetapi cara untuk menjelajah ke alam semesta matematika abstrak

and explore arcane geometries and laws unlike anything we can ever experience.

dan mengeksplorasi geometri dan hukum misterius

tidak seperti apa pun yang pernah kita alami.

If we ever meet aliens, axioms which seem absurd and incomprehensible to us

Jika kita pernah bertemu alien,

aksioma yang terlihat tidak masuk akal dan tidak dapat dipahami oleh kita

might be everyday common sense to them.

mungkin menjadi hal wajar sehari-hari bagi mereka.

To investigate, we might start by handing them an infinitely sharp knife

Untuk menyelidikinya,

kita mungkin mulai dengan memberi mereka pisau sangat tajam dan bola yang sempurna,

and a perfect ball,

and see what they do.

dan lihat apa yang mereka lakukan.