The surprising reasons animals play dead - Tierney Thys

Translator: Rifkul Uswati Reviewer: Sarmoko Sarmoko

Bayangkan kamu diserang oleh predator ganas.

Dan tak ada kesempatan melarikan diri,

kamu akan meniru apa yang oposum lakukan, si pemberani dan punya harga diri:

meringkuk tak bergerak, yang disebut katatonia,

menjulurkan lidah,

meneteskan air liur,

dan mengeluarkan cairan berbau busuk dari kelenjar dubur.

Merasa jijik, penyerangmu melepaskan cengkeraman,

memutuskan kamu bukanlah makanan yang dicari,

lalu pergi.

Setelah 10 menit, kamu bangkit dan melenggang dengan santai.

Mulai dari lemur hingga kadal,

semut hingga amfibi,

hiu hingga ayam,

ratusan hewan "pura-pura mati" sebagai taktik bertahan hidup.

Dijuluki "sandiwara posum" yang diambil dari nama si pemain bintang,

kematian yang dibuat-buat ini juga disebut thanatosis.

Dari kata Thanatos, dewa kematian Yunani kuno.

Tetapi kebanyakan ilmuwan menyebutnya imobilitas tonik, atau TI.

Bagaimana dan mengapa TI terjadi bergantung pada spesies dan situasi.

Mengeluarkan bau busuk dan meniru postur aneh, adalah strategi umum.

Hewan lain mengorbankan tetangganya:

anak burung puyuh yang diam membeku sementara yang lain berlarian semrawut

memiliki peluang selamat yang lebih tinggi saat dikejar kucing.

Ngomongin tentang kucing, induk kucing menjepit tengkuk leher anaknya

dan merangsang bentuk imobilitas lain yang disebut klipnosis.

Hal ini membuat anak kucing tetap diam dan mudah diangkut.

Kebanyakan mekanisme fisiologis yang mendasari seni sandiwara ini

bermula dari sistem saraf parasimpatik,

yang lebih dikenal untuk mengendalikan siklus istirahat dan pencernaan.

Pada hewan posum,

sistem saraf parasimpatik menyebabkan detak jantung turun hingga hampir separuh,

pernapasan hingga sepertiga,

dan suhu tubuh hingga lebih dari setengah derajat Celcius selama sampai satu jam.

Neurotransmiter dopamin juga berperan.

Kumbang tepung dengan dopamin rendah lebih sering berpura-pura mati

dibanding dengan dopamin tinggi,

dan apapun yang mengeblok reseptor dopamin dapat memperlama katatonia.

Tetapi mempertahankan tipuan mati tidaklah mudah.

Si pemain senantiasa mengira-ngira keadaan sekitarnya

mencari petunjuk kapan saat yang aman untuk bangun.

Ayam misalnya, dapat merasakan ketika mata predator mengawasinya.

Peneliti mengetahuinya dengan menggunakan boneka elang dalam percobaan,

subjek ayam mengakhiri katatonia lebih cepat

ketika mata elang dipalingkan.

Hewan lain melakukan TI untuk tujuan selain pertahanan.

Ketika ikan cichlid penidur merasa lapar,

ia tenggelam hingga dasar danau dan berbaring tak bergerak,

susunan warna bebercak membuatnya nampak seperti bangkai membusuk.

Saat ada pemakan bangkai kecil memeriksa, penipu yang tak mati ini menyerang.

Beberapa hewan bahkan pura-pura mati sebagai muslihat seksual.

Laba-laba nursery jantan menawarkan hadiah serangga yang dibungkus sutra

dengan harapan merayu si betina.

Tetapi si betina dikenal memakan pejantan pencari cinta.

Dengan pura-pura mati saat si betina dengan rakus melahap camilannya,

si pejantan dapat berhati-hati hidup lagi

dan meningkatkan peluang mereka berhasil kawin.

Jadi, TI dapat menguntungkan hewan, kecuali jika ada yang tahu rahasianya.

Paus orca California dapat membalik hiu putih besar yang masih muda

merangsang TI dalam waktu lama dan hiu tak bergerak,

yang harus bergerak untuk bernapas, pada dasarnya tercekik.

Manusia juga dapat membalik hiu menjadi TI.

Dengan mengelus moncong hiu yang peka terhadap listrik

dan pelan-pelan membaliknya,

peneliti dapat merangsang TI yang berlangsung hingga 15 menit.

Ini cukup untuk memasang penanda,

melepas pancing,

dan bahkan melakukan bedah.

Akan tetapi ada risikonya:

TI dapat menghambat pernapasan dan menginduksi hiperglikemia, petanda stres.

Jadi teknik ini hanya boleh dilakukan saat diperlukan.

Manusia mengalami TI dengan diam mematung ketakutan saat ada serangan hebat.

Mengenali bentuk pertahanan diri purba dan tak sadar ini

berdampak penting untuk mencoba memahami

alasan para korban tidak melarikan diri atau melawan saat menghadapi bahaya.

Jadi, mempelajari TI pada hewan bukan manusia

tidak hanya membantu kita lebih memahami beberapa perilaku aneh,

tetapi juga untuk lebih memahami diri kita sendiri,

yang terkadang berlawanan dengan intuisi,

dalam menanggapi kekerasan.