What really happened to Oedipus? - Stephen Esposito

Translator: Regina Gunadi Reviewer: Indah Setiawan

Though Oedipus would dodge death, vanquish the monstrous Sphinx,

Walau Oedipus mampu menghindari kematian, mengalahkan Sphinx yang mengerikan,

and whether wrathful plagues,

dan memicu wabah karena amarahnya,

the truth would prove his greatest challenger.

kebenaran akan membuktikan penantang terbesarnya.

When Oedipus’ mother, Queen Jocasta of Thebes,

Ketika ibu Oedipus, Ratu Jocasta dari Thebes, melahirkannya,

gave birth to him, a grim heir seized the occasion.

seorang ahli waris yang seram memanfaatkan kesempatan itu.

Her husband, King Laius, had received a prophecy from Apollo’s oracle

Suaminya, Raja Laius, telah menerima nubuat dari peramal Apollo

foretelling that he would die at the hands of his own son.

yang meramalkan dia akan mati di tangan putranya sendiri.

Determined to escape this fate, Laius had the newborn’s ankles pierced,

Bertekad untuk melarikan diri dari takdir ini,

Laius menusuk pergelangan kaki bayinya yang baru lahir

and Jocasta ordered a shepherd to abandon him on Mount Cithaeron to perish.

dan Jocasta memerintahkan seorang gembala

untuk meninggalkannya di Gunung Cithaeron untuk binasa.

But divine prophecies can be quite stubborn.

Namun, nubuat ilahi bisa sangat keras kepala.

The shepherd took pity on the baby and gave him to to another shepherd—

Gembala itu mengasihani sang bayi dan memberikannya kepada gembala lain—

this one from Corinth.

yang ini dari Korintus.

He decided to bring the baby to the childless Corinthian king and queen,

Dia memutuskan untuk membawa bayi itu

ke raja dan ratu Korintus yang tidak memiliki anak,

Polybus and Merope.

Polybus dan Merope.

They called the boy Oedipus, or “swollen-foot,”

Mereka menyebut bocah itu Oedipus, atau “kaki bengkak,”

and raised him as their own, never revealing his true origin.

dan membesarkannya seperti anak sendiri,

tidak pernah mengungkapkan asal usulnya yang sebenarnya.

Years passed, till one night,

Tahun-tahun berlalu, sampai suatu malam,

a drunken reveler told Oedipus that he was not Polybus and Merope’s son by birth—

seorang pecinta pesta mabuk memberi tahu Oedipus

bahwa dia bukan putra kandung Polybus dan Merope—

an allegation they staunchly denied.

sebuah tuduhan yang mereka bantah dengan tegas.

But the seeds of doubt burrowed into Oedipus’ mind.

Tetapi, benih-benih keraguan terkubur ke dalam pikiran Oedipus.

He left to seek counsel from Apollo’s oracle at Delphi,

Dia pergi untuk mencari nasihat dari peramal Apollo di Delphi,

who instead delivered a deeply disturbing prophecy:

yang malah menyampaikan ramalan yang sangat mengganggu:

Oedipus would murder his father and have children with his mother.

Oedipus akan membunuh ayahnya dan memiliki anak dengan ibunya.

Horrified, Oedipus determined to stay far from Corinth

Karena ngeri, Oedipus bertekad untuk tinggal jauh dari Korintus

and the only parents he’d ever known.

dan satu-satunya orang tua yang pernah dia kenal.

He ventured towards Thebes— and thus, unwittingly,

Dia memberanikan diri menuju Thebes— dan dengan demikian, tanpa disadari,

towards the city where his birth parents reigned.

menuju kota dimana orang tua kandungnya memerintah.

At a crossroads on the way,

Di persimpangan jalan,

a fancy carriage threatened to run Oedipus off the road,

sebuah kereta mewah mengancam akan membuat Oedipus keluar dari jalan

and a lethal fight ensued.

dan perkelahian mematikan pun terjadi.

Little did Oedipus know, one of the casualties was King Laius of Thebes,

Tanpa disadari Oedipus,

salah satu korbannya adalah Raja Laius dari Thebes,

his own birth father.

ayah kandungnya sendiri.

In killing him, Oedipus had fulfilled the first half of Apollo’s prophecy.

Dengan membunuhnya, Oedipus telah memenuhi paruh pertama dari nubuat Apollo.

When Oedipus reached the gates of Thebes, he was met by the treacherous Sphinx.

Ketika Oedipus mencapai gerbang Thebes, dia bertemu dengan Sphinx yang berbahaya.

She’d ravaged the city,

Dia telah menghancurkan kota,

posing a bewildering riddle to those she encountered

mengajukan teka-teki membingungkan pada orang-orang yang ia temui

and mercilessly devouring all who answered incorrectly.

dan tanpa ampun melahap semua yang menjawab salah.

But when she fixed her keen, expectant gaze on Oedipus,

Tetapi ketika dia menatap Oedipus dengan tajam dan penuh antisipasi,

he gave the correct response.

dia memberikan jawaban yang benar.

Thebes celebrated the Sphinx's defeat,

Thebes merayakan kekalahan Sphinx

and Oedipus married the city's recently widowed queen, Jocasta.

dan Oedipus menikahi ratu kota yang baru saja menjanda, Jocasta.

They had four children, neither realizing they were, in fact, mother and son—

Mereka memiliki empat anak,

keduanya tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya ibu dan anak—

or that they’d completed the second half of Apollo’s prophecy.

atau bahwa mereka telah menyelesaikan paruh kedua nubuat Apollo.

Eventually, a devastating plague descended on Thebes.

Akhirnya, wabah dahsyat menimpa Thebes.

To save the city, Oedipus sent his brother-in-law to consult Apollo’s oracle.

Untuk menyelamatkan kota,

Oedipus mengirim saudara iparnya untuk berkonsultasi dengan peramal Apollo.

She declared that the divine plague would only relent

Dia mengatakan bahwa wabah ilahi ini hanya akan mereda

if the killer of Thebes’ previous king, Laius,

jika pembunuh raja Thebes sebelumnya, Raja Laius,

was finally revealed, then driven out or avenged with blood.

akhirnya diungkap, lalu diusir atau dibalas dengan darah.

Oedipus hastily opened an investigation.

Oedipus buru-buru membuka penyelidikan.

He interrogated Tiresias, a blind prophet,

Dia menginterogasi Tiresias, seorang nabi buta,

who stayed silent before suggesting that Oedipus himself was the killer.

yang tetap diam sebelum menyarankan bahwa Oedipus sendiri adalah pembunuhnya.

Oedipus denied and deflected the accusation.

Oedipus membantah dan membelokkan tuduhan itu.

But it stuck with him.

Namun, itu melekat padanya.

Jocasta likewise insisted that Laius’ killer couldn’t have been Oedipus,

Jocasta juga bersikeras pembunuh Laius tidak mungkin Oedipus,

for she'd heard that Laius was killed at a crossroads by robbers.

karena dia mendengar Laius dibunuh di persimpangan jalan oleh perampok.

Yet, through conversations with a messenger from Corinth and, finally,

Namun, melalui percakapan dengan seorang utusan dari Korintus

the shepherd who’d rescued him as an infant,

dan, akhirnya, gembala yang menyelamatkannya saat bayi,

the truth came bearing down upon Oedipus.

kebenaran menghampiri Oedipus.

In searching for Laius’ murderer, he’d been looking for himself,

Dalam mencari pembunuh Laius, dia mencari dirinya sendiri,

and Apollo’s prophecy had come to pass, in all its dreadful detail.

dan nubuat Apollo telah terjadi, dengan semua detail mengerikannya.

Full of fury, resentment, and shame, Oedipus rushed to kill Jocasta—

Penuh kemarahan, kebencian, dan malu, Oedipus bergegas membunuh Jocasta—

but she too had realized the truth and taken her own life.

tetapi dia juga telah menyadari kebenaran dan mengambil nyawanya sendiri.

Using brooches from her dress, Oedipus blinded himself in anguish,

Menggunakan bros dari gaunnya, Oedipus membutakan dirinya dalam kesedihan

expunging his deceitful sense of sight,

menghapus indra penglihatannya yang menipu,

which had kept him from truly seeing so much.

yang telah mencegahnya untuk benar-benar melihat begitu banyak.

Oedipus begged for exile,

Oedipus memohon pengasingan,

but was led back into the castle to await word from Apollo’s oracle.

tetapi dibawa kembali ke kastil untuk menunggu kabar dari peramal Apollo.

Thus ends Sophocles’ first play centering Oedipus.

Dengan demikian, berakhirlah drama pertama Sophocles yang berpusat pada Oedipus.

But it wouldn’t be his final word on the tragic hero.

Namun, itu bukan tulisan terakhirnya tentang pahlawan tragis.

Decades later, a roughly 89-year-old Sophocles wrote its sequel,

Beberapa dekade kemudian, Sophocles yang berusia sekitar 89 tahun,

menulis sekuelnya, berlatar di Colonus, tempat kelahirannya sendiri.

set in Colonus, his own birthplace.

It finds Oedipus, now aged and exiled,

Menceritakan Oedipus, yang kini sudah tua dan diasingkan,

confronted with accusations of incest and patricide.

dihadapkan dengan tuduhan inses dan pembunuhan.

Oedipus, having accepted the truth and released himself from its shame,

Oedipus, setelah menerima kebenaran dan melepaskan dirinya dari rasa malu,

proclaims his innocence and maintains that he committed these deeds unwittingly—

menyatakan dia tidak bersalah

dan bersikeras bahwa dia melakukan ini tanpa disadari—dan tidak disengaja.

and unwillingly.

Finally, Oedipus knows it’s time to go— and a divine voice urges him on.

Akhirnya, Oedipus sadar tiba waktunya untuk pergi—dan suara ilahi mendesaknya.

Having said his loving farewells,

Setelah mengucapkan perpisahan yang penuh kasih,

Oedipus then transcends— peacefully and marvelously— into death.

Oedipus kemudian terbang—dengan damai dan luar biasa—ke dalam kematian.