What if the poor were part of city planning? | Smruti Jukur Johari

Translator: Rika Sa Reviewer: Vitri Anggreini

What is our imagery of cities?

Apa yang di benak kita tentang kota-kota?

When we imagine cities,

Ketika kita membayangkan kota-kota,

we often imagine it to be something like this.

kita sering membayangkannya seperti ini.

But what if what you're looking at is just half a picture,

Tapi bagaimana jika yang dilihat sekarang hanya setengah gambar,

but there is a city within the city.

tetapi ada sebuah kota di dalam kota.

This part of the city is often seen as slums,

Bagian dari kota ini sering terlihat sebagai daerah kumuh,

squatters, informal,

penduduk liar, informal,

and people living here are called illegal, informal,

dan orang yang tinggal disini disebut ilegal, informal,

criminals, beneficiaries, supplicants, etc.

penjahat, pemungut liar, pemohon, dll.

But in reality,

Tapi kenyataannya,

these are poor people with no choices.

orang miskin ini tidak punya pilihan.

Poverty is a vicious cycle.

Kemiskinan adalah lingkaran kejam.

If born poor, it can take three or more generations

Jika terlahir miskin, bisa jadi tiga atau lebih generasi

to escape one.

untuk melarikan diri.

Many are forced in this cycle without choices,

Banyak orang terpaksa berada dalam lingkaran ini tanpa pilihan,

to live on pavements,

untuk hidup di trotoar,

along train tracks,

di sepanjang rel kereta,

in dumping grounds,

di tempat pembuangan,

along rivers,

di sepanjang sungai,

swamps and many such unlivable spaces,

rawa-rawa dan banyak tempat tinggal tidak layak lainnya,

without clean water, toilets or housing.

tanpa air bersih, toilet-toilet atau perumahan.

But these places are not unfamiliar to me,

Tapi tempat-tempat ini tidak asing bagiku,

because since the age of six, I accompanied my father, a doctor,

karena sejak umur enam tahun, aku menemani ayahku, seorang dokter,

who treated patients in the slums of Bombay.

yang merawat pasien-pasien di daerah kumuh di Bombay.

Growing up, I would help him carry his bag of medicines

Saat tumbuh besar, aku membantunya membawa tas obat-obatan

after school lessons --

sepulang sekolah --

I loved doing that.

Aku suka melakukannya.

Wanting to do something about these habitats,

Ingin melakukan sesuatu terhadap habitat ini,

I decided to become an architect.

aku memutuskan untuk menjadi arsitek.

But quite early on, I realized

Tetapi cukup awal, aku menyadari

that the beauty of architecture was only for the rich.

bahwa keindahan arsitektur hanya untuk orang kaya.

So I decided to do urban planning

Jadi aku memutuskan untuk melakukan perencanaan kota

and joined an NGO in India that works with the urban poor

dan bergabung di NGO di India yang bekerja dengan rakyat miskin di kota

who organize themselves to access basic services,

yang mengatur mereka sendiri untuk mengakses layanan dasar,

such as water, sanitation and housing, for the poor living in cities.

seperti air, sanitasi dan perumahan, untuk rakyat miskin yang tinggal di kota.

Now I spent 10 years of my life in professional education, in learning,

Sekarang aku menghabiskan 10 tahun hidupku dalam pendidikan profesional, belajar,

and then five years in unlearning it.

dan kemudian lima tahun tidak belajar.

Because I realized

Karena aku telah menyadari

that all my training in architecture, design and planning

bahwa semua pelatihanku dalam arsitektur, desain dan perencanaan

failed ground realities.

gagal dalam realita pada saat ini.

And this is where I learned the power of choice.

Dan di sinilah saya belajar kekuatan dari pilihan.

I unlearned many things,

Aku belajar banyak hal,

but there are two myths about the poor

tapi ada dua mitos soal rakyat miskin

that I would like to share that we live with.

yang ingin saya bagikan dengan siapa kita hidup.

The first myth is a perception

Mitos yang pertama adalah persepsi

that migration of poor people into cities is a problem.

bahwa migrasi rakyat miskin ke kota adalah sebuah masalah.

Is migration really a choice?

Apakah migrasi adalah sebuah pilihan?

My mentor Sheela Patel

Mentorku Sheela Patel

asked to those who think of this as a problem,

bertanya pada mereka yang berpikir ini adalah sebuah masalah,

"Go ask your grandfather where he came from," she says.

"Tanya kakekmu darimana asalnya," katanya.

So what do poor people do when they migrate in cities?

Jadi apa yang rakyat miskin lakukan ketika mereka migrasi ke kota?

Let me share an example.

Aku akan beri sebuah contoh.

This is the Mumbai International Airport.

Ini adalah Bandara Internasional Mumbay.

All that you see in blue are large informal settlements around it.

Semua warna biru yang kalian lihat adalah pemukiman liar besar disekitarnya.

Close to 75,000 people live here.

Ada 75.000 rakyat tinggal disini.

So who are these people that work silently in hotels, restaurants,

Jadi siapa yang bekerja di hotel, restaurant, secara diam-diam

as laborers, babysitters, house helps

sebagai buruh, pengasuh, pembantu rumah tangga

and countless other jobs

dan banyak pekerjaan lainnya

that we need for cities to function without a glitch?

yang kita butuhkan di kota agar berfungsi tanpa kesalahan?

And where do they live?

Dan dimana mereka tinggal?

In most cities, they live in slums.

Di kebanyakan kota, mereka tinggal di daerah-daerah kumuh.

So let us think again.

Jadi mari kita berpikir kembali.

Do we want poor people to stop migrating in our cities?

Apa kita ingin rakyat miskin berhenti migrasi ke kota kita?

What if they had a choice of not to?

Bagaimana jika mereka memiliki pilihan untuk tidak migrasi?

The second myth is my personal experience.

Mitos kedua adalah pengalaman pribadiku.

It's this attitude that we professionals know better.

Sikap ini para profesional lebih tahu.

We professionals love to make choices for others,

Kami, para profesional senang membuat pilihan untuk orang lain,

especially for the poor.

terutama untuk rakyat miskin.

Let me share an experience.

Aku akan beri sebuah pengalaman.

In a workshop that looked at designing 250 new houses for poor families

Di lokakarya membahas tentang mendesain 250 rumah baru untuk keluarga miskin

from a slum nearby,

dari daerah kumuh terdekat,

there were different building materials that were presented,

ada bahan bangunan yang berbeda yang ditunjukan,

ranging from papier-mâché, cardboard, honeycomb, etc.,

mulai dari papier-mâché, kardus, sarang lebah, dll.,

simply because they were affordable.

hanya karena harganya terjangkau.

But there was this one idea that was of shipping containers.

Tapi ada ide tentang pengiriman kontainer.

Now we immediately approved of it,

Sekarang kami menyutujuinya,

because we thought it was sustainable, scalable, affordable.

karena kami pikir akan berkelanjutan, terukur, terjangkau.

But during this presentation,

Tapi selama presentasi ini,

a lady from the slum humbly spoke up.

wanita dari daerah kumuh yang rendah hati berbicara.

And she asked the presenter,

Dan dia bertanya kepada pembicara,

"Would you choose to live in it?"

"Maukah kamu tinggal disana?"

(Laughter)

(Tertawa)

"If not, then why did you think we would?"

"Jika tidak, kenapa kamu pikir kami mau?"

Now this was a personal unlearning moment for me,

Ini adalah momen pribadi yang ku pelajari,

where I realized that poverty only changes affordability --

dimana aku menyadari bahwa kemiskinan hanya merubah keterjangkauan --

it does not change aspirations.

tidak merubah aspirasi.

Now poor people have lived in temporary structures all their life.

Sekarang rakyat miskin harus tinggal di struktur sementara seumur hidupnya.

They go from wall to wall,

Pergi dari dinding ke dinding,

moving from bricks to tin.

bergerak dari batu bata ke timah.

They move from building from bamboo,

Mereka pindah dari bangunan ke bambu,

tarpaulin sheets, plastic, to cardboard, to tin,

lembaran terpal, plastik, ke karton, ke timah,

to bricks and cement,

ke batu bata dan semen,

just like the way we do.

persis seperti yang kita lakukan.

So somewhere here, we were forcing our choices on them.

Jadi disini, kita memaksakan pilihan kita pada mereka.

So should we force our choices on them,

Haruskah kita paksakan pilihan kita pada mereka,

or should we broaden their choices?

atau haruskah kita perluas pilihan mereka?

Now what if the opportunity to choose was given to people?

Sekarang bagaimana jika kesempatan untuk memilih diberikan kepada orang?

These are women who lived on the pavements of a neighborhood in Mumbai.

Beberapa wanita yang tinggal di trotoar di lingkungan di Mumbai.

Now they faced constant evictions, and in response to it,

Mereka terus menerus digusur, dan tanggapan untuk hal tersebut,

they organized a women's network called Mahila Milan.

mereka mendirikan organisasi keperempuanan bernama Mahila Milan.

Not only did they fight against evictions with those in power,

Mereka tidak hanya melawan penggusuran terhadap mereka yang berkuasa,

saved money and bought land,

yang menumpuk uang dan membeli tanah,

but they also designed and helped construct their own houses.

tapi mereka juga merancang dan membantu membangun rumah mereka sendiri.

Well, these were illiterate women, so how did they do that?

Yah, mereka adalah wanita buta huruf, apa yang mereka bisa lakukan?

They used floor mats and saris to understand measurements.

Mereka menggunakan tikar dan sari untuk memahami pengukuran.

A sari is four meters in length and 1.5 meters in width.

Sebuah sari mempunyai panjang empat meter dan lebar 1.5 meter.

They used these simple day-to-day items to demonstrate house models.

Mereka pakai barang harian yang sederhana untuk menunjukan model rumah.

And even they made three options to choose from

Dan bahkan mereka membuat tiga opsi untuk dipilih

and invited all their fellow residents to come and have a look.

dan mengundang teman lain untuk datang dan melihatnya.

(Laughter)

(Tertawa)

And everybody loved this option that had a loft in it,

San semua orang menyukai opsi ini yang memiliki loteng di dalamnya,

simply because it did two things.

hanya karena mereka melakukan dua hal.

One is that it accommodated larger families to sleep in.

Pertama, dapat menampung keluarga yang lebih besar untuk tidur disana.

And two, it allowed home-based work,

Dan kedua, memungkinkan untuk melakukan pekerjaan dari rumah,

such as bangle-making, jewelry-designing,

seperti membuat gelang, desain perhiasan,

embroidery-stitching, packaging items, etc.

sulaman-jahitan, kemasan barang, dll.

Now they also decided to not have a toilet inside,

Mereka juga memutuskan untuk tidak memiliki toilet di dalam,

but instead have it outside in the corridors,

tetapi memilikinya diluar gang,

simply because it gave them more space and it was cheaper.

agar dapat memberi mereka lebih banyak ruang dan lebih murah.

Now, professionals could have never thought

Sekarang, para profesional tidak pernah terpikir

of something like that.

sesuatu seperti ini.

A formal design would have necessitated to have a toilet inside.

Desain resmi perlu memiliki toilet di dalamnya.

Now these are smaller examples --

Ini adalah contoh lebih kecil --

let me share some larger context:

aku beri tahu beberapa konteks yang lebih besar:

881,000,000 people --

881.000.000 orang --

that's about one sixth of this world, as we talk here --

sekitar seperenam dari dunia ini, yang kita bicarakan di sini --

are living in slums and informal settlements.

tinggal di tempat kumuh dan pemukimanliar.

Almost every city in the global south has large slums in the size of townships.

Hampir setiap kota di selatan memiliki daerah kumuh seukuran kota.

Kibera, in Nairobi,

Kiberia, di Nairobi,

Dharavi, in Mumbai,

Dharavi, di Mumbai,

Khayelitsha in South Africa, just a few.

Khayelitsha di Afrika Selatan, hanya beberapa.

Now initially, they were all on waste and abandoned lands

Pada awalnya, mereka semua membuang sampah dan meninggalkan tanah

that cities were never interested in.

yang tidak akan pernah diminati kota.

As cities grew,

Seiring bertumbuhnya kota,

poor people started building on these lands

Rakyat miskin mulai membangun di tanah ini

and brought value to this over time.

dan membawa nilai dari waktu ke waktu.

And today, these lands have become real estate hot spots

Dan hari ini, tanah ini telah menjadi tempat untuk perumahan mewah

that everybody wants a piece of.

yang semua orang inginkan.

So how do cities and those in power choose to deal with them?

Jadi, bagaimana para penguasa memilih untuk menghadapi mereka?

They demolish them and evict them

Mereka menghancurkan dan mengusir mereka

and move them away from their cities and economies

dan memindahkan mereka dari kota dan ekonomi mereka

in order to build a new infrastructure.

untuk membangun infrastruktur baru.

They move them into vertical housing,

Para penguasa memindahkan mereka ke rumah vertikal,

which in reality looks like this.

pada kenyataannya terlihat seperti ini.

Now when built in high densities,

Ketika dibangun di kepadatan tinggi,

they lack natural light and ventilation,

tidak ada cahaya dan ventilasi alami,

and it often leads to unhealthy conditions.

dan sering mengarah pada kondisi tidak sehat.

Now, on one hand,

Di satu sisi,

poor people are not involved in the participation of design,

rakyat miskin tidak terlibat dalam partisipasi desain,

and there is poor quality of construction.

dan kualitas konstruksinya yang buruk.

And on the other hand,

Dan di sisi lain,

they do not understand how to do maintenance,

mereka tidak mengerti bagaimana cara merawatnya,

you know, keeping bills, keeping records, forming societies --

seperti menyimpan tagihan, menyimpan catatan, membentuk masyarakat --

this is always difficult for them.

hal ini selalu susah untuk mereka.

And being forced to move into this formal society,

Dan dipaksa untuk pindah ke lembaga resmi,

they end up looking like this in a few years.

mereka akhirnya terlihat seperti ini dalam beberapa tahun.

Because formalization is not a product,

Karena formalisasi bukan produk,

it's a process.

melainkan sebuah proses.

Moving from informal to formal for poor people is a journey.

Berpindah dari non resmi ke resmi bagi rakyat miskin sebuah perjuangan.

It takes time to accept and adapt.

Dibutuhkan waktu untuk diterima dan beradaptasi.

And when that choice is not given,

Dan ketika pilihan tersebut tidak diberikan,

it becomes like this,

mereka akan seperti ini,

which I'm afraid, in future, these would become the slums.

yang aku takutkan, di masa depan, akan menjadi daerah kumuh.

Now instead of doing this,

Daripada melakukan ini,

what if we accommodated poor people

Bagaimana jika kita menyediakan rakyat miskin

and gave them a choice to be a part of our cities

dan berikan mereka pilihan jadi bagian dari kota kita

and develop them where they are,

dan mengembangkan di tempat mereka berada,

giving them basic services, like in this picture?

memberi mereka layanan dasar, seperti di gambar ini?

Now what happens if cities and governments could work together,

Sekarang apa yang akan terjadi jika kota dan pemerintah dapat bekerja sama,

if governments acknowledge poor people,

jika pemerintah mengakui rakyat miskin,

and they could build it together?

dan mereka mampu membangun kota bersama?

This is Mukuru.

Ini adalah Muruku.

It's a large informal settlement in Nairobi.

Ini pemukiman resmi besar di Nairobi.

It's one of the largest settlements in Africa.

Salah satu pemukiman terbesar di Afrika.

It's home to 300,000 people

Terdapat 300.000 rumah warga

living over 650 acres of land.

hidup lebih dari 650 hektar tanah.

To help us understand that scale,

Untuk membantu memahami skalanya,

it's like squeezing the population of Pittsburgh

itu seperti meremas populasi Pittsburgh

into the New York Central Park.

ke New York Central Park.

That's Mukuru.

Itu Mukuru.

So to give us a glimpse,

Jadi untuk memberi kita pandangan,

this is the condition of housing.

ini adalah kondisi perumahan.

And this is what it is in between them.

Dan inilah yang ada di antara mereka.

So what is life in Mukuru like, just talking briefly?

Jadi seperti apa kehidupan di Mukuru, hanya berbicara sebentar?

Five hundred and fifty people use one single water tap

Lima ratus lima puluh orang gunakan satu keran air

and pay nine times more

dan bayar sembilan kali lipat

than what anybody else in the city could pay,

dari apa yang orang lain di kota bisa membayar,

simply because there is no water infrastructure

hanya karena tidak ada infrastruktur air

and water is sold.

dan air dijual.

Many come back from work to find out that their houses do not exist,

Banyak sepulang kerja yang mencari tahu bahwa rumah mereka tidak ada,

because they have either been bulldozed,

karena telah dibuldoser,

or they have been burned down.

atau telah dibakar.

So, tired of this situation,

Jadi, bosan dengan situasi ini,

a local slum dwellers' federation called Muungano

gabungan penduduk daerah kumuh setempat disebut Muungano

decided to do something about it.

tegaskan untuk melakukan sesuatu soal itu.

In four years,

Dalam empat tahun,

they organized 20,000 residents to collect data,

mereka mengorganisasi 20.000 penduduk untuk mengumpulkan data,

map structures and put it together.

memetakan struktur dan menggabungkannya.

And the plan was very simple --

Rencananya sangat sederhana -

they only needed four things.

mereka hanya membutuhkan empat hal.

They wanted clean water,

Mereka menginginkan air bersih,

toilets, decent roads

toilet, jalan yang layak

and, most importantly, not to be evicted.

dan, yang paling penting, tidak diusir.

So they presented this with the government of Nairobi.

Jadi mereka mempresentasikan ini dengan pemerintah Nairobi.

And for the first time in history ever,

Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah,

a city has agreed to do it.

sebuah kota setuju melakukannya.

The city of Nairobi, the government of Kenya,

Kota Nairobi, pemerintah Kenya,

declared Mukuru to be a special planning area,

diumumkan Mukuru menjadi area perencanaan khusus,

which means that people could come up with their own plan.

yang artinya orang bisa datang dengan rencana mereka sendiri.

People could decide to come up with their own norms and standards,

Orang bisa memutuskan untuk datang dengan norma dan standar mereka sendiri,

because the standards that work for the formal citizens

karena standar yang berfungsi untuk warga negara resmi

do not work in informal settings.

jangan bekerja di tempat tidak resmi.

So what does that mean, to give us an instance?

Jadi apa artinya itu, untuk memberi kita contoh?

If these are roads in Mukuru,

Jika ini jalan di Mukuru,

you can see that there are houses along both sides of the road.

Kamu dapat melihat bahwa ada rumah di kedua sisi jalan.

Now in order to bring in a city bus,

Sekarang untuk membawa bus kota,

as per the standards,

sesuai standar,

planners would have gone for a luxurious 25-meter-wide road.

perencana akan pergi untuk jalan mewah selebar 25 meter.

Now that would mean displacing [25] percent of the structures --

Sekarang berarti pindah [25] persen struktur -

that's a lot of people.

itu banyak orang.

So instead of doing that, we came up with a 12-meter-wide road,

Jadi alih-alih melakukan itu, kami datang dengan jalan selebar 12 meter,

which had the structures intact and brought the city bus

yang memiliki struktur utuh dan membawa bus kota

without compromising on much services.

tanpa berkompromi pada banyak layanan.

In another instance, let's talk about community toilets.

Dalam contoh lain, mari kita bicara tentang toilet komunitas.

You know, in high-density areas,

Di daerah kepadatan tinggi,

where there is no scope for individual toilets,

di mana tidak ada ruang lingkup untuk toilet individu,

like the public toilets that we have here.

seperti toilet umum yang kita miliki.

So we would go for a male section and a female section.

Jadi kami akan memilih untuk bagian pria dan bagian wanita.

But imagine this situation.

Tapi bayangkan situasi ini.

In the morning rush hours to the toilet,

Di pagi hari jam sibuk ke toilet,

when everybody is in intense pressure to relieve themselves,

ketika semua orang dalam intens tekanan untuk buang air kecil,

and if you're standing in a queue of 50 people,

dan jika Anda berdiri dalam antrian 50 orang,

and there is a child standing behind an adult,

dan ada seorang anak berdiri di belakang orang dewasa,

who wins?

siapa yang menang?

Children end up squatting outside.

Anak-anak akhirnya berjongkok di luar.

And that's why women decided

Dan itulah mengapa wanita memutuskan

to come up with a separate squatting area for children.

punya idemembuat area jongkok terpisah untuk anak-anak.

Now, who could have thought of something like that?

Sekarang, siapa bisa berpikir sesuatu seperti itu?

The idea here is that when poor people choose,

Idenya adalah bahwa ketika orang miskin memilih,

they choose better.

mereka memilih yang lebih baik.

They choose what works for them.

Mereka memilih yang sesuai untuk mereka.

So choice is everything.

Jadi pilihan adalah segalanya.

And power decides choice.

Dan kekuasaan menentukan pilihan.

And we need those in power --

Dan kita membutuhkan kekuasaan mereka --

politicians, leaders, governments,

politisi, pemimpin, pemerintah,

architects, planners, institutions, researchers --

arsitek, perencana, institusi, peneliti --

and all of us in our everyday lives to respect choices.

dan kita semua dalam kehidupan sehari-hari untuk menghormati pilihan.

Instead of choosing what is right for people, for the poor,

Alih-alih memilih apa yang benar untuk orang-orang, untuk orang miskin,

let's acknowledge and empower their choices.

mari kita akui dan memberdayakan pilihan mereka.

And that is how we can build

Dan itulah bagaimana kita membangun

better and inclusive cities for tomorrow,

kota yang lebih baik dan inklusif untuk besok,

completing the imagery of cities

melengkapi citra kota

built by the choices of its own people.

dibangun oleh pilihan rakyatnya sendiri.

Thank you.

Terimakasih

(Applause)

(Tepuk tangan)