How to turn climate anxiety into action | Renée Lertzman

Translator: Andhyka Rizki Reviewer: Made Pramana

It's deeply painful

Begitu menyakitkan

to face what's happening on our planet right now.

untuk menghadapi kondisi planet kita saat ini.

From forests burning,

Mulai dari kebakaran hutan,

ocean plastic,

sampah plastik di lautan,

species just gone each day,

kehilangan spesies setiap harinya,

displacement.

migrasi.

It's easy to feel totally overwhelmed.

Mudah untuk merasa kewalahan.

Maybe a bit helpless.

Mungkin sedikit merasa tak berguna.

Powerless.

Tak berdaya.

Angry.

Marah.

On fire.

Bersemangat.

Numb.

Mati rasa.

Disconnected.

Tak terhubung.

Perhaps all of the above.

Mungkin semua itu.

These messy and complicated feelings,

Semua perasaan kacau dan rumit ini,

they make total sense.

memang sangat masuk akal.

I wish that someone had said this to me 30 years ago.

Coba saja seseorang mengatakan hal ini kepada saya 30 tahun lalu.

I was a college freshman taking environmental studies,

Saya saat itu seorang mahasiswa baru jurusan studi lingkungan,

which is basically a semester of really bad news

yang pada dasarnya dalam satu semester tersebut diisi dengan berita sangat buruk

about all the ways that humans have profoundly damaged

tentang semua cara yang telah dilakukan manusia dalam merusak

our beautiful earth.

bumi kita yang indah.

And I felt like I had been dropped into a dark tunnel,

Saya merasa seperti dijatuhkan ke dalam sebuah terowongan gelap,

given no tools to get out

tanpa alat untuk keluar

and yet expected to carry on with my everyday life

namun dipaksa melanjutkan keseharian hidup saya

as if things were normal.

seolah semuanya berjalan normal.

But once you're exposed to that kind of information,

Tapi saat kalian terekspos informasi seperti itu,

things are not normal anymore.

semua menjadi tidak normal lagi.

And I was anxious, I was terrified,

Saya merasa cemas, saya ketakutan,

no one was talking about this,

tak ada yang berbicara tentang itu,

and I almost dropped out of school, for real.

dan saya hampir dikeluarkan dari sekolah.

But instead, I signed up for a field study in California,

Namun sebaliknya, saya mendaftar studi lapangan di California,

and we were backpacking together as a small group for two months,

dan kami pergi secara "backpacker" bersama sebagai kelompok kecil selama dua bulan,

which I know sounds very intense.

yang terdengar sangat menegangkan.

And it was, but what I found is that we talked a lot.

Memang demikian, namun kami banyak berdiskusi.

We talked about how we were feeling

Kami mendiskusikan perasaan kami

about the world,

tentang dunia,

openly and honestly,

secara terbuka dan jujur,

and no one told me at any point to be more positive

dan tidak ada yang bilang kepada saya agar menjadi lebih positif

or more hopeful.

ataupun lebih berharap.

Not once.

Tidak sama sekali.

And surprisingly, I found myself feeling better.

Mengejutkannya, saya merasa lebih baik.

I actually felt like I could face these issues

saya merasa bisa menghadapi masalah ini

that had seemed so insurmountable

yang tampak tak bisa diatasi

more head on.

secara langsung.

And I had this epiphany:

Saya mendapatkan pencerahan:

What if by understanding ourselves

Bagaimana jika mengerti diri kita

and one another,

satu sama lain,

we could find our way through this crisis

kita dapat menemukan cara menghadapi masalah ini

in a new and different way?

dengan cara baru dan berbeda?

You know, what if psychology actually held

Bagaimana jika psikologi memegang

a missing key to unlocking action

peranan penting agar membuat kita bertindak

on the greatest challenges facing our planet right now?

mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh bumi kita saat ini?

So when I got back from the field study,

Saat saya kembali dari studi lapangan,

I focused on clinical psychology,

saya fokus pada psikologi klinis,

and I researched the relationships

dan saya meneliti hubungan

between trauma and grief and creativity.

antara trauma dan duka dan kreativitas.

And the paradox at the heart of, I think, all of this

Saya rasa, paradoks dari inti masalah ini adalah

is how do we stay present

bagaimana kita tetap hadir

with what's really painful,

meskipun kondisinya menyakitkan,

how do we stay connected

bagaimana kita tetap terhubung

in the face of what's threatening and overwhelming and scary?

saat menghadapi ancaman dan kebingungan dan ketakutan?

And it turns out that psychology knows a lot about these things.

Ternyata psikologi tahu banyak tentang semua hal ini.

Truly, a lot.

Benar-benar banyak.

But I wasn't hearing any of this being referenced

Tapi saya tidak mendengar hal ini dijadikan referensi

in my environmental studies class,

dalam kelas studi lingkungan,

or the climate action meetings I started going to,

atau pertemuan aksi iklim yang saya datangi,

or the international conferences,

atau konferensi internasional,

where everyone is asking:

di mana semua orang bertanya:

Why aren't we acting faster, and what's it going to take?

Mengapa kita tidak lebih cepat bertindak, dan apa konsekuensinya?

And so this has become my mission of sorts,

Ini seperti menjadi misi saya,

which is that I take insights from psychology

yaitu saya mengambil wawasan dari psikologi

and I translate them into resources and tools

dan saya mengubahnya menjadi sumber daya dan alat

to support those working on the frontlines to turn things around.

untuk mendukung mereka yang berada di garis depan agar membalikkan keadaan.

And that means for anyone, by the way.

Itu berarti untuk semua orang.

We're all on the frontlines right now.

Kita semua berada di garis depan saat ini.

And it's my belief,

Itulah yang saya percayai,

after years of straddling these worlds

selama bertahun-tahun berada dalam kondisi ini

between environment and climate and psychology,

antara lingkungan dan iklim dan psikologi,

that this actually is a missing ingredient in our work

bahwa ini adalah sesuatu yang kurang dalam pekerjaan kita

that can exponentially accelerate our capacities to be creative

yang bisa mempercepat secara eksponensial kemampuan kita untuk menjadi kreatif,

and resilient and capable and skillful and courageous

sabar, cakap, mahir, dan berani

and all those things that the world is needing from us right now.

dan semua yang dibutuhkan bumi dari kita saat ini.

So I'm going to share three concepts with you

Jadi, saya akan berbagi tiga konsep dengan kalian

that I found particularly game-changing

yang saya temukan mengubah keadaan

and how I make sense of this moment

dan bagaimana saya membuat momen ini dapat dimengerti

for us as humans.

oleh kita sebagai manusia.

And the first is something called our window of tolerance.

Konsep pertama yang disebut sebagai "Jendela Toleransi."

So Dr. Dan Siegel has described us all as having a window.

Dr. Dan Siegel mengemukakan kita semua memiliki sebuah jendela.

How much stress can we tolerate

Seberapa besar stres yang dapat kita hadapi

while staying connected

selagi tetap terhubung

and what clinicians would call "integrated."

dan apa yang disebut klinisi sebagai "terintegrasi."

Integrated, where we can actually

Terintegrasi adalah kondisi di mana kita bisa

be in touch with our thoughts and feelings

terhubung dengan pikiran dan perasaan

and not just get kind of co-opted.

tidak sekadar memilih salah satu.

And we all have a threshold.

Kita semua memiliki ambang batas.

And what happens when we experience stress

Apa yang terjadi saat kita mengalami stres

beyond what we can tolerate?

di luar batasan kita?

We tend to go into the edges of our window.

Kita cenderung berada di ujung jendela kita.

And on one hand,

Kata lainnya,

we might go into a sort of collapse,

kita bisa saja seperti runtuh,

what's called a chaotic response,

yang disebut respons kacau balau,

which looks like depression, despair,

yang terlihat seperti depresi, putus asa,

kind of a shutting down.

seperti mematikan langkah.

And on the other side of this window is a more rigid response:

Di sisi lain jendela ini adalah respons yang kaku:

denial,

penyangkalan,

anger,

kemarahan,

rigid.

kekakuan.

And so when that happens,

Saat itu terjadi,

we actually lose our capacity to be integrated,

kita kehilangan kemampuan kita untuk terintegrasi,

resilient, adaptive,

bersabar, adaptif,

all those things that we want to be.

segala hal yang kita inginkan.

And this is totally normal,

Ini adalah normal,

but it's happening all around the world right now, right?

tapi ini terjadi di seluruh dunia saat ini, bukan?

We're all vacillating between these different feelings and emotions.

Kita semua terombang-ambing di antara berbagai perasaan dan emosi.

And so with something like climate change,

Dengan sesuatu seperti perubahan iklim,

with every new scientific report,

dengan segala laporan ilmiah yang baru,

documentary,

dokumentasi,

connecting the dots between, you know, what we're doing

yang saling terhubung, seperti antara apa yang kita lakukan

and the impact it's having,

dan dampaknya,

it can collectively be pushing us outside of our window of tolerance.

membuat kita terdorong ke luar jendela toleransi kita.

And we lose that capacity, right?

Kemudian kita kehilangan kemampuan, bukan?

So, over the years, I've interviewed hundreds of people

Selama beberapa tahun, saya mewawancarai ratusan orang

from all backgrounds and political affiliations,

dari beragam latas belakang dan afiliasi politik,

from the Midwest US to China,

dari Amerika bagian tengah barat hingga Cina,

and I talked to people about how are we feeling

dan saya berbicara mengenai perasaan mereka

about what's happening.

tentang apa yang terjadi.

Not what opinions or beliefs.

Bukan pendapat atau kepercayaan.

What are we feeling

Apa yang dirasakan

about what's going on with your local environment,

tentang hal yang sedang terjadi di lingkungan,

with your water, your soil, the big picture.

terhadap air, tanah di sekitar mereka.

And what I hear from people

Dari apa yang saya dengar

almost across the board, I'm telling you,

hampir seluruh partisipan,

is a bind.

merasa sulit.

People tell me at some point in the conversation,

Mereka berkata kepada saya,

"I care very deeply about what's happening,

"Aku sangat peduli pada apa yang terjadi,

I'm incredibly freaked out.

aku sangat terkejut.

I'm scared,

Aku ketakutan

I love this land, I love the birds,"

aku suka tanah ini, aku suka burung ini,"

whatever that is,

apa pun itu,

"But I feel like my actions are insignificant.

"Tapi aku merasa tindakanku tidak berarti.

And I don't know where to start.

Dan aku tak tahu bagaimana memulainya.

And I'm also --"

Dan aku juga --"

I hear between the lines of what people say --

Saya dengar di antara hal yang orang katakan --

"I'm really scared to change.

"Aku sangat takut pada perubahan.

Really scared of any change, it's so --

Perubahan apa pun itu, itu begitu --

I can't even think about it, it's like, unthinkable."

Aku bahkan tak bisa memikirkannya, seperti tak terpikirkan."

And this is the second concept,

Konsep yang kedua adalah,

which is something called a double bind.

yang disebut double bind (keterikatan ganda).

And a double bind is when we feel sort of like, damned if you do,

Keterikatan ganda adalah ketika kita merasa, terkutuk jika Anda lakukan,

and damned if you don't,

pun jika tidak Anda lakukan,

and you're just kind of stuck there.

dan Anda seperti terjebak di sana.

It's a very intolerable human experience.

Hal itu adalah pengalaman manusia yang tak dapat ditoleransi.

And we will do anything we can to get rid of it and just push it away.

Kita akan melakukan segala cara untuk menyingkirkannya dan menjauhkannya.

And so all that care and concern,

Begitu juga dengan kepedulian dan kekhawatiran,

it's there, it just goes down, it goes underground.

ada di sana, tapi mengendap dan tak muncul.

But what happens is,

Namun yang terjadi adalah,

it looks like people don't care, it looks like apathy.

orang-orang seperti tidak peduli, seperti apatis.

And so a lot of folks who are seeing the urgency of the situation

Banyak orang yang melihat situasi darurat saat ini

are like, "We've got to motivate you.

seperti, "Kami harus memotivasimu.

We've got to get you psyched."

Kami harus memberimu pencerahan."

And we become cheerleaders for solutions.

Kami menjadi penyemangat untuk solusi.

Or like, "Here's the facts, this is happening, wake up."

atau seperti, "Ini faktanya, ini tengah terjadi, sadarlah."

And these things are actually not inherently bad,

Hal-hal ini sebenarnya tidak selalu buruk,

because we need solutions and we need to face the facts.

karena kita butuh solusi dan kita harus menghadapinya.

But inadvertently, this can backfire

Tapi jika tak berhati-hati, ini bisa menjadi bumerang yang

and lead to more numbing and inaction,

menyebabkan matinya perasaan dan tidak beraksi,

which is very perplexing for a lot of people.

yang mengejutkan bagi kebanyakan orang.

It's like, what the heck is going on, right?

Itu seperti, "Apa sih yang sedang terjadi?"

And so, this is because of this, you know,

Seperti yang Anda tahu, ini dikarenakan

it's not really touching what's going on underneath.

tidak terlalu menakjubkan apa yang terjadi di baliknya.

So imagine that you go see a therapist,

Bayangkan Anda menemui seorang terapis,

and you've got a double bind.

dan Anda mendapati keterikatan ganda.

You're feeling really stuck,

Anda merasa terjebak,

you know you've got to change

Anda tahu Anda harus berubah

and the therapist starts shouting at you

dan terapis mulai berteriak padamu

and saying, "Don’t you see what's happening?

dengan mengatakan, "Kau lihat apa yang terjadi?

If you don't act now,

Jika kau tak bertindak sekarang,

you're going to face terrifying consequences.

kau akan menghadapi risiko buruk.

Don’t you care?

Tidakkah kau peduli?

What's wrong with you?

Ada apa denganmu?

What's it going to take?"

Apa yang diperlukan?"

Or you see a therapist and you're feeling actually sad

Atau Anda menemui seorang terapis dan Anda merasa sedih

and grief.

dan berduka.

And this therapist says,

Sang terapis mengatakan,

"You know, don't think about it too much.

"Kau tahu, jangan berpikir terlalu keras.

Here's some simple things you can do.

Inilah hal mudah yang bisa kau lakukan.

Simple positive things."

Hal simpel yang positif."

And sends you on your way.

Dan menyuruh kalian pergi.

So if it were me,

Jika itu saya,

I would fire this therapist immediately,

saya akan memecat terapis itu segera,

because a good therapist practices something called attunement.

karena terapis yang baik, mempraktikkan sesuatu yang disebut attunement.

I love this concept so much.

Aku sangat suka konsep ini.

Attunement, right, the word "to tune."

Attunement (keselarasan), berarti "menyesuaikan."

And attunement is when we're feeling in sync,

Keselarasan terjadi ketika kita merasa harmonis,

when we feel understood

ketika kita merasa dimengerti

and we feel accepted for exactly where we are.

dan kita merasa diterima tepat di mana kita berada.

And we feel that, you know,

Kita merasa bahwa

we're in relationship with the world in a way that makes sense,

kita terhubung dengan dunia dalam cara yang dimengerti,

no one's trying to change us

tak ada yang mencoba mengubah kita

or shame us or judge us.

atau membuat kita malu atau menghakimi kita.

Right?

Benar?

And attunement takes skill.

Keselarasan perlu keahlian.

When the stakes are high,

Jika risikonya tinggi,

let me tell you, it's very hard to want to attune with anything,

saya beritahu Anda, sangat sulit agar selaras dengan segalanya,

when we're facing such urgent threats.

saat kita menghadapi ancaman yang mendesak.

But the paradox of the moment we're in

Tapi paradoks dari momen yang kita hadapi

is that when we are more in tune in our window of tolerance,

adalah semakin selaras diri kita dalam jendela toleransi,

we are so much more capable of solving problems,

kita semakin mampu menyelesaikan masalah,

being creative, being adaptive,

menjadi kreatif, adaptif,

being flexible,

fleksibel,

being our brilliant selves, right?

menjadi diri kita yang pandai, benar?

So what if our climate and environmental work

Bagaimana jika solusi iklim dan lingkungan ini

was informed by these concepts, right,

didapat dari tiga konsep ini,

of window of tolerance,

jendela toleransi,

lot of double binds

banyaknya keterikatan ganda,

and attunement?

dan keselarasan?

So it can look like a whole lot of things.

Jadi itu bisa terlihat seperti satu kesatuan.

So I'm asked all the time,

Saya selalu bertanya-tanya

"OK, Renee, this sounds awesome for a clinical context,

"Baik, Renee, ini terdengar menakjubkan untuk konteks klinis,

we don't have time for this."

tak ada waktu untuk ini."

And that is absolutely not true.

Itu sama sekali tidak benar.

Because we can bring attunement

Karena kita bisa membawa keselarasan

into every aspect of our work on this issue.

ke dalam seluruh solusi dalam masalah ini.

And it starts with ourselves.

Dimulai dari diri kita sendiri.

You actually can't do attunement unless you're in touch with yourself,

Anda tidak bisa menjadi selaras, kecuali memahami diri Anda sendiri.

I'm sorry to break it to you.

Maafkan perkataan saya.

There's no way around it.

Tidak ada jalan lain.

It's from the inside out.

Itu berasal dari dalam.

And so it starts with actually tuning in to "how am I feeling?"

Dimulai dengan "bagaimana perasaanku?"

And being compassionate.

Lalu menjadi berbelas kasih.

I know it's easy to say

Saya tahu ini mudah diucap

but really being compassionate,

tapi menjadi berbelas kasih,

it's like, these are hard issues.

adalah hal yang sulit.

This is a hard moment to be a human being,

Inilah saat di mana kita menjadi manusia,

we're waking up.

kita sadar.

I'm not a bad person.

Saya bukan orang jahat.

What's going on,

Ada apa,

bring curiosity into our own experience,

membawa rasa penasaran dalam pengalaman kita

which then allows us to attune socially,

yang kemudian menjadikan kita selaras secara sosial,

that's the next way we can apply this,

cara selanjutnya untuk menerapkan hal ini,

is attuning, whether it's in small groups

adalah dengan selaras, dalam kelompok kecil

or one-on-one,

atau satu sama lain,

campaigning, strategy, classrooms, movie theaters,

kampanye, strategi, kelas, bioskop,

parks.

taman.

Where we can give each other permission to just be who we are,

Di manapun kita bisa menjadi diri sendiri,

and again, this allows us to move

dan tentunya, membawa kita bergerak

into the higher level functioning.

ke tingkat lebih tinggi dari kemampuan kita.

The executive function, the prefrontal cortex,

Kemampuan eksekutif, korteks prefrontal (otak bagian depan),

when we feel that our nervous system can calm down

saat kita merasa sistem saraf kita tenang

and we are understood by the other.

dan kita dimengerti oleh orang lain.

And the third way is leading with attunement.

Cara ketiga adalah memimpin dengan keselarasan.

As leaders and influencers,

Sebagai pemimpin dan pemberi pengaruh,

showing up as human, as real,

muncul sebagai manusia sebenarnya,

saying, "You know what?

mengatakan "kau tahu?

I am really scared.

Aku sangat takut.

I don't know what all the answers are."

Aku tak tahu apa jawabannya."

Can you imagine leaders saying that?

Bayangkan para pemimpin berkata demikian?

"I don't know.

"Aku tak tahu.

But here we are, and we're all needed.

Tapi di sinilah kita dan kita dibutuhkan.

And we're in this together.

Kita semua bersama dalam hal ini.

And we can do this."

Kita bisa melakukannya."

That's a very different message than just, "We can do this," right.

Ada perbedaan pesan dari sekedar berkata, "Kita bisa melakukannya,"

It's like, "Here we are.

Seperti, "Di sinilah kita.

I'm scared, but this is happening."

Aku takut, tapi ini terjadi."

So here's the thing,

Jadi inilah dia,

all of this work exists,

semua karya itu ada,

we have the tools to create these conditions

kita punya alat untuk menciptakan kondisi

that can allow us to show up

yang membuat kita untuk tampil

as our brilliant selves.

sebagai pribadi yang cemerlang.

And I know, without doubt, 100 percent,

Aku yakin, tak ada keraguan, 100 persen,

that each one of us has the capacity

masing-masing dari kita semua memiliki kemampuan

to meet these challenges with the ingenuity

menghadapi tantangan ini dengan kecerdasan

and brilliance and bravery that we as humans have.

dan kecemerlanngan dan keberanian yang kita miliki sebagai manusia.

We just need to cultivate the conditions together.

Kita hanya perlu memperkuat kondisi ini bersama.

We need each other.

Kita saling membutuhkan.

To support each other

Untuk saling mendukung

and allow ourselves to really meet this.

dan membuat diri kita untuk benar-benar menghadapi tantangan ini.

That's what we need, so ...

Itulah yang kita butuhkan, jadi...

Let's take a deep breath.

Mari ambil napas yang dalam.

Have compassion for ourselves

Sayangi diri kita sendiri

and one another in this moment, time in history,

dan orang lain dalam keadaan saat ini, dalam sejarah manusia,

so we collectively process these painful truths,

kita bisa memproses kebenaran yang menyakitkan ini

these difficult realities.

realita yang sulit ini.

Let's do this together.

Kita lakukan bersama.

The world is ready for us to do this.

Dunia siap menyambut kita untuk melakukannya.

And we can do this.

Dan kita bisa melakukannya.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)