What You Can Learn from People Who Disagree With You | Shreya Joshi | TED

Translator: Muhammad Fahmi Lubis Reviewer: Made Pramana

OK, guys, let's go back to high school.

OK, mari kita kembali ke masa SMA.

Does anyone remember that feeling

Adakah yang ingat rasanya

of walking into the school cafeteria with your tray in your hand

saat berjalan memasuki kafetaria sekolah sambil membawa nampan

and not knowing where to sit?

dan tidak tahu di kursi mana Anda bisa duduk?

Yeah, I see some people nodding, OK, cool.

Ya, saya lihat beberapa orang yang mengangguk. OK, bagus.

You might have sat alone,

Bisa jadi Anda duduk sendiri,

or perhaps more likely,

atau kemungkinan besarnya,

you looked for someone who felt familiar.

Anda mencari seseorang yang terasa familier.

You sat with a group of people that reminded you of you.

Anda duduk dengan sekelompok orang yang mengingatkan Anda tentang diri Anda.

And even today, when deciding where to sit,

Bahkan saat ini, ketika menentukan tempat duduk,

how many of you chose to sit next to someone

siapa saja yang memilih duduk di sebelah seseorang

who looked or felt different from you?

yang terlihat atau terasa berbeda dari Anda?

I would bet that not many of you did that.

Saya berani bertaruh bahwa tidak banyak yang melakukannya.

I guess not much changes in some situations,

Saya rasa hal ini tak banyak berubah,

whether you're 17 or you're 70.

entah saat Anda berusia 17 atau 70 tahun.

We've all likely felt this tendency to gravitate towards people who look,

Kemungkinan kita semua merasa cenderung mendekati orang-orang dengan sosok,

think and act like us.

pola pikir, dan perilaku yang serupa.

It's comfortable, but it can also be harmful

Rasanya memang nyaman, tetapi itu juga dapat merugikan

because this polarization that we face today

karena fenomena polarisasi yang kita hadapi saat ini

isn't just about believing that the other side is factually wrong.

bukan hanya tentang meyakini bahwa pihak lainnya salah secara faktual.

We are beginning to see the other side as malevolent beings

Kita mulai menganggap pihak seberang sebagai makhluk durjana

with a hateful and hidden agenda.

yang membawa agenda rahasia dan penuh kebencian.

And you can see this.

Anda bisa melihatnya.

You can see this in the screaming cable news pundits,

Anda bisa menyaksikannya pada para komentator berita kabel yang memekik,

the politicians who vote down bills

politisi yang menolak usulan UU

just because they come from the other side of the aisle.

hanya karena dikemukakan oleh partai sebelah.

The hate groups that violently attack people

Kelompok penebar kebencian yang menyerang orang-orang

who are different from themselves.

yang berbeda dengan mereka.

When I see these things as a teenager,

Sebagai remaja, saat menyaksikan berbagai peristiwa ini,

I just feel so sad, so angry

saya merasa begitu sedih, marah,

and so scared of this world

dan takut akan dunia

that I'm soon going to be entering as an adult.

yang hendak saya masuki sebagai orang dewasa.

But there's something that I found in having conversations with my peers

Namun, ada yang saya peroleh dari obrolan bersama teman-teman

that I think can be a path forward from all of this.

yang saya pikir bisa menjadi jalan untuk maju dari semua ini.

An approach that focuses on conversations

Sebuah pendekatan yang berpusat pada perbincangan

with the intent to listen and learn.

dengan niat untuk mendengarkan dan belajar.

Not to win and not to agree.

Bukan untuk menang maupun bersepakat.

So I'm a 17-year-old from Naperville, Illinois.

Saya berusia 17 tahun dan berasal dari Naperville, Illinois.

In the summer before my sophomore year of high school,

Pada musim panas, sebelum memasuki tahun kedua SMA,

I attended the ACLU National Advocacy Institute's high school program

saya menghadiri program ACLU National Advocacy Institute khusus SMA

in Washington, DC.

di Washington, DC.

During this program,

Sepanjang program ini,

I had the chance to take part in a lot of different political discussions.

saya mendapat kesempatan ikut serta dalam banyak diskusi politik yang beragam.

And I remember this one conversation about the death penalty in particular.

Saya mengingat satu percakapan tertentu yang membahas hukuman mati.

So back then,

Saat itu,

I wholeheartedly believed in this meaning of an eye for an eye.

saya sepenuhnya meyakini konsep nyawa dibalas nyawa.

That punishment should be equal to the offense because, you know,

Hukuman yang diberikan harus setimpal dengan kejahatannya karena, Anda tahu,

that's what I grew up hearing.

itulah yang saya dengar sejak kecil.

And so I argued the same.

Oleh karena itu, saya berargumen demikian.

I was, however, met with immediate opposition.

Akan tetapi, saya langsung dihadapkan dengan oposisi.

My peers told me that the death penalty is state sanctioned murder

Teman-teman saya mengutarakan bahwa hukuman mati adalah pembunuhan oleh negara

and that it reinforces the very behavior that it's trying to suppress.

dan itu menumbuhkan kejahatan yang ingin diredamnya.

I tried arguing that the death penalty deters crime,

Saya berusaha berargumen bahwa hukuman mati mencegah kriminalitas,

but then my peers told me that in states without the death penalty,

tetapi teman-teman saya menjelaskan bahwa negara yang tidak memberlakukannya,

the murder rate is actually significantly lower.

sebetulnya memiliki angka pembunuhan yang jauh lebih rendah.

I then tried arguing that the death penalty brings closure

Lalu, saya coba berargumen bahwa hukuman mati dapat membawa ketenangan

for the victim's families,

bagi para keluarga korban,

only to be told that the length between sentencing and execution

hanya untuk disanggah bahwa jangka waktu antara vonis dan eksekusi

actually puts the victim's families through an agonizing wait period.

sebetulnya menjerat keluarga korban ke dalam periode tunggu yang menyiksa.

So by this point, I realized that this debate --

Pada titik ini, saya sadar bahwa debat ini --

Not going all that great for me.

tidak berjalan begitu mulus bagi saya.

I realized that my perspective was inherited,

Saya sadar bahwa perspektif saya merupakan bawaan dari lahir,

and this is when I decided to stop trying to win the debate,

dan di sinilah saya memutuskan untuk berhenti mencoba untuk menang

and instead I just listened.

dan sebagai gantinya, saya hanya mendengarkan.

And in the months that followed, I took it upon myself to learn more.

Berbulan-bulan kemudian, saya berinisiatif untuk lebih banyak belajar.

I pored over articles and data

Saya menyelami artikel dan data

from sources ranging from the more liberal,

dari sumber-sumber yang lebih liberal,

like the Brennan Center for Justice,

seperti Brennan Center for Justice,

to the more conservative, like The Heritage Foundation.

hingga yang lebih konservatif, seperti The Heritage Foundation.

And I learned that historically,

Saya belajar bahwa secara historis,

capital punishment has been disproportionately applied

hukuman mati diberlakukan secara tidak proporsional

to people of color.

kepada orang kulit berwarna.

And that the death penalty isn’t actually proven to deter crime.

Selain itu, hukuman mati tidak terbukti mampu mencegah kriminalitas.

Slowly, my thinking changed.

Pola pikir saya berubah secara perlahan.

And this change only happened

Perubahan ini hanya terjadi

because I engaged with people who had opposing perspectives.

karena saya berinteraksi dengan orang yang memiliki perspektif lain.

You know, it's hard to break out of your own echo chamber

Anda tahu, sulit bagi kita untuk keluar dari kamar gema sendiri

because most of the time we don't realize that we're even in one

karena pada sebagian besar waktu kita tidak sadar berada di dalamnya

until we're out of it.

hingga kita keluar darinya.

But this was my first step.

Namun, inilah langkah awal saya.

So shortly after this experience,

Tidak lama setelah pengalaman ini,

I started a nonpartisan initiative called Project TEAL

saya memulai prakarsa nonpartisan yang bernama Project TEAL

to encourage and empower high school students

untuk mendorong dan memberdayakan murid-murid SMA

to become politically involved.

agar telibat dalam politik.

We discuss a lot of different issues like education equity,

Kami mendiskusikan berbagai isu seperti kesetaraan pendidikan,

voter suppression, racial justice.

penindasan terhadap pemilih, dan keadilan ras.

And I've seen some amazing things happen

Saya telah melihat hal-hal menakjubkan terjadi

when people just talk to one another.

ketika orang-orang sekadar mengobrol.

Understanding and accepting of our differences.

Memahami dan menerima perbedaan masing-masing.

I actually remember this one conversation in the summer of 2020.

Saya betul-betul ingat percakapan satu ini pada musim panas tahun 2020.

There was a boy and a girl who were debating

Ada seorang lelaki dan perempuan sedang mendebatkan

the merit of the Black Lives Matter movement.

keutamaan gerakan Black Lives Matter.

And I remember being afraid

Saya ingat merasa takut

that their conversation would evolve into an argument.

seandainya obrolan mereka berubah menjadi pertikaian.

But it didn't.

Ternyata tidak.

Instead, I learned that the girl, who is Black,

Saya malah mengetahui bahwa perempuan itu, yang berkulit hitam,

came from a family

berasal dari keluarga

that had been through a couple of rough instances with the police.

yang telah beberapa kali terlibat cekcok dengan polisi,

And the boy, who was the son of a cop,

sementara sang lelaki, yang merupakan anak seorang polisi,

came from an upbringing

dibesarkan dalam

in which BLM was labeled as a movement in defiance of the police.

lingkungan yang melabeli BLM sebagai gerakan pemberontakan.

Later on, I was surprised to learn that, though they still didn't agree,

Kemudian, saya terkejut saat mengetahui bahwa, meskipun tidak bersepakat,

the boy and the girl learned something

mereka telah mempelajari satu sama lain

about the other that they didn't know before.

tentang sesuatu yang belum mereka ketahui.

And more than that, they appreciated

Terlebih lagi, mereka menghargai

how it shaped the other person's unique perspective.

proses pembentukan perspektif unik masing-masing.

And this was only possible

Ini hanya bisa terjadi

because they didn't delve into a shouting match

karena mereka tidak beralih ke adu mulut

or call each other disrespectful names.

atau saling mengolok-olok.

And for me, this was an “aha!” moment.

Bagi saya, ini adalah sebuah momen “aha!”

I realized that we shouldn't back away from discussing polarizing issues,

Saya menyadari bahwa kita tidak seharusnya menjauh dari pembahasan isu yang mengutub,

even if it's with people who disagree with us.

sekalipun dilakukan bersama orang-orang yang tidak bersepakat.

Sure, it's uncomfortable,

Tentu, prosesnya tidak nyaman,

and yeah, I'd probably agree

dan ya, barangkali saya sependapat

that we don't change our minds most of the time.

bahwa pada kebanyakan waktu jalan pikir kita tidak berubah.

But we can better understand opposing perspectives,

Namun, kita bisa lebih memahami perspektif yang berseberangan,

which can help us to better advocate for our own beliefs.

yang dapat membantu kita supaya dapat mendukung keyakinan kita lebih baik.

And maybe, just maybe,

Mungkin, mungkin saja,

it even allows us to reach a compromise

itu memungkinkan kita mencapai kompromi

when the situation demands it.

ketika keadaan membutuhkannya.

So I think the question remains.

Saya pikir kita masih punya pertanyaan.

How can we create space for this kind of bipartisan discourse?

Bagaimana kita bisa menciptakan ruang untuk obrolan dua arah semacam ini?

Well, I think the first step is finding a community.

Saya pikir langkah pertamanya adalah mencari sebuah komunitas.

When I think back to my experience in the ACLU,

Ketika mengingat kembali pengalaman saya di ACLU,

I think the reason we were able to have that civil discourse

saya rasa alasan kami mampu menjalankan diskusi beradab tersebut

was because we recognized that we were a part of a greater cause.

adalah karena kami sadar bahwa kami adalah bagian dari sebuah perubahan besar.

And it's because my peers knew me,

Juga karena teman-teman mengenal saya,

not just as an opposing voice,

tidak hanya sebagai lawan,

but as Shreya,

tetapi juga sebagai Shreya,

their peer, their fellow teen activist and their friend.

rekan sejawat, sesama aktivis remaja, dan teman mereka.

And when we are able to recognize what unites us,

Setelah mampu mengenali apa yang mempersatukan kami,

it becomes so much easier to have conversations

jauh lebih mudah bagi kami ketika membicarakan

about what divides us.

hal-hal yang memecah kita.

And most Americans actually validate what I have seen in practice.

Sebagian besar warga AS memvalidasi apa yang telah saya lihat di lapangan.

While 77 percent of American voters

Sementara 77% pemberi suara,

polled before the 2020 presidential election

yang memilih sebelum pemilu presiden tahun 2020,

said that they had just a few or no close friends

menyatakan bahwa mereka nyaris tidak punya teman dekat

who supported the other side's candidate,

yang mendukung capres lawan pilihan mereka,

79 percent of Americans agree

79% warga AS setuju

that creating opportunities for bipartisan civil discourse

bahwa menciptakan peluang diadakannya obrolan beradab antara dua partai

would be effective in reducing divisions.

mampu mengurangi perpecahan secara efektif.

Seventy-nine percent.

79%.

That's pretty incredible, if you ask me.

Cukup luar biasa bagi saya.

We all have affinity groups that we can join.

Kita semua punya kelompok afinitas yang dapat kita ikuti.

Maybe it's a friend group at your place of work,

Barangkali kelompok teman di tempat kerja,

a book club at the local library or the PTA at your kid's school.

klub membaca di perpustakaan lokal, atau POMG di sekolah anak Anda.

Whatever this group is,

Kelompok mana pun yang Anda ikuti,

try to have an uncomfortable conversation with them at least once a week.

cobalah jalani percakapan tidak nyaman di dalamnya setidaknya sekali seminggu.

Now, OK, what exactly constitutes as uncomfortable?

OK, jadi apa yang sebetulnya dimaksud dengan tidak nyaman?

I would say that's really up for you to decide.

Menurut saya, Anda-lah yang menjadi penentunya.

It can be about politics, sure.

Mungkin tentang politik, pastinya,

Or it can be about a different topic entirely,

atau bisa jadi topik yang benar-benar lain,

like religion or identity.

seperti agama atau identitas.

Whatever this topic may be,

Topik apa pun itu,

just talk about something that’s uncomfortable, unconventional

bahaslah suatu hal yang tidak nyaman, tidak konvensional,

and meaningful to you.

dan penuh makna bagi Anda.

And most importantly,

Yang paling penting,

do it with the intent to listen and learn,

lakukanlah dengan niat untuk mendengar dan belajar,

not to win and not to agree.

bukan untuk menang, dan bukan untuk sepakat.

And you know, another tip.

Tip yang lain:

Make sure to stay off of your phone for this conversation.

Pastikan Anda tidak membuka ponsel saat bercakap-cakap.

Yeah.

Ya.

You know, as someone who's pretty much obsessed with TikTok,

Anda tahu, sebagai seseorang yang cukup terobsesi dengan TikTok,

I completely understand how addicting social media can be.

saya paham betul betapa adiktifnya media sosial.

Believe me.

Percayalah.

But by discussing polarizing issues online,

Namun, jika kita membahas isu-isu yang memecah-belah secara daring,

we lose that person-to-person connection

kita kehilangan koneksi antar individu

that really humanizes opposing perspectives,

yang benar-benar memanusiakan perspektif yang berlawanan,

that allows us to see and empathize with one another.

yang memungkinkan kita memandang dan berempati dengan satu sama lain.

Because by having these conversations,

Dengan menjalankan percakapan semacam ini,

you will gain insight into people who think differently than you do.

Anda akan memperoleh wawasan tentang seseorang yang punya pemikiran berbeda.

And who knows, maybe you'll convince someone

Siapa tahu, Anda mungkin bisa membuat seseorang memercayai

of a belief that you hold dearly,

keyakinan yang Anda pegang teguh

or maybe you'll even be moved to reconsider your own viewpoint.

atau mungkin Anda akan tergerak untuk menimbang kembali sudut pandang Anda.

In a month's time, I'm going to be graduating from high school.

Satu bulan lagi, saya akan lulus SMA.

(Applause)

(Tepuk tangan)

Over the past four years,

Selama empat tahun terakhir,

I’ve learned a lot about creating positive discourse,

saya belajar banyak tentang menciptakan obrolan positif,

but I’m still scared of this polarization,

tetapi saya masih takut terhadap polarisasi ini:

this growing unwillingness to view those who politically disagree with us

keengganan untuk memandang siapa pun yang berbeda pandangan politik

as human.

sebagai manusia.

Honestly, it's a little overwhelming

Terus terang, rasanya sedikit berat

to think that I'm soon going to enter this reality

untuk berpikir bahwa sebentar lagi saya akan memasuki realitas

where I'll be confronted with this division.

tempat saya akan dihadapkan dengan pembagian kubu ini.

Where I’ll be stereotyped and judged by my ideology, my identity

Tempat saya akan diberi stereotip dan divonis menurut ideologi, identitas,

and my way of thinking by people who don't even know the real me.

dan cara berpikir saya oleh orang-orang yang bahkan tidak kenal penuh dengan saya.

As a teenager, it's a lot.

Sebagai remaja, itu hal besar.

And I know that many of my fellow Gen Zers feel the exact same way.

Saya tahu banyak teman sesama generasi Z merasakan hal yang sama percis.

And this is precisely why addressing this polarization crisis is so urgent

Inilah alasan pembahasan krisis polarisasi ini begitu mendesak

and demands action from all of us.

dan memerlukan tindakan dari kita semua.

Just for one moment,

Hanya sebentar saja,

go back to that high school cafeteria,

kembalilah ke kafetaria SMA,

But this time you sit down with that other crowd.

tetapi kali ini Anda duduk di tengah anak-anak lain.

The kids who didn't look or think like you do.

Anak-anak yang tidak memandang atau berpikir seperti Anda.

And just imagine what you could have learned.

Bayangkan berapa banyak hal yang dapat Anda pelajari.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)