Ethical dilemma: Whose life is more valuable? - Rebecca L. Walker

Translator: Nabila Adiandini Reviewer: Made Pramana

Smallpox is one of the deadliest diseases in history,

Cacar (smallpox) adalah salah satu penyakit paling mematikan dalam sejarah,

but fortunately, it’s been eradicated for over 40 years.

untungnya, penyakit tersebut telah musnah selama lebih dari 40 tahun.

However, samples of the virus that causes smallpox still exist,

Namun, sampel dari virus yang menyebabkan cacar masih ada,

leading to concern that rogue actors might try to weaponize it.

yang dikhawatirkan bisa digunakan sebagai senjata oleh oknum.

This is especially worrying

Hal ini sangat mengkhawatirkan

because older smallpox vaccines can have serious side effects,

karena vaksin cacar yang dulu dapat memberikan efek samping serius,

and modern antiviral drugs have never been tested against this disease.

dan obat antiviral modern belum pernah diuji coba terhadap penyakit ini.

To protect against this potential threat,

Untuk melindungi diri dari potensi ancaman ini,

the US government is funding research to improve smallpox treatments

pemerintah AS mendanai penelitian untuk mengembangkan pengobatan cacar

and vaccines.

dan vaksin.

And since it’s unethical to expose people to a highly lethal virus,

Karena tidak etis untuk menguji coba virus mematikan pada masyarakat,

labs are using humanity's closest biological relatives as research subjects.

laboratorium memakai kerabat biologis terdekat manusia sebagai objek penelitian.

But is it right to harm these animals to protect humanity from a potential threat?

Namun, apakah dibenarkan untuk menyakiti hewan-hewan ini

demi melindungi umat manusia dari potensi ancaman?

Or should our closest relatives also be protected against lethal experiments?

Atau haruskah kerabat biologis terdekat kita

juga dilindungi dari eksperimen mematikan?

What would you do as a scientist faced with this very real scenario?

Apa yang akan kamu lakukan

sebagai ilmuwan yang menghadapi skenario yang sangat nyata ini?

In many ways, this dilemma isn't new.

Dalam banyak cara, dilema ini bukanlah hal baru.

Animals have been used in research aimed at improving human welfare for centuries,

Binatang dipakai dalam penelitian sebagai usaha meningkatkan

kesejahteraan manusia selama berabad-abad,

typically at the cost of their lives.

biasanya hingga mengorbankan nyawa mereka.

This practice reflects the widespread belief that human lives are more valuable

Hal ini mencerminkan kepercayaan umum bahwa nyawa manusia lebih berharga

than non-human lives.

daripada nyawa non-manusia.

People have different views about the ethics of animal testing

Masyarakat memiliki pandangan berbeda tentang etika percobaan pada hewan

and how it’s conducted.

dan caranya dilakukan.

But whatever your opinion,

Tapi apa pun pendapatmu,

this scenario raises an important philosophical question:

skenario ini mengangkat pertanyaan filosofis penting:

how do we determine the value of a life, whether human or non-human?

bagaimana cara kita menentukan nilai sebuah kehidupan, baik manusia atau bukan?

Alat yang telah digunakan para filsuf untuk mempertimbangkan pertanyaan ini

One tool philosophers have used to consider this question is moral status.

adalah status moral.

Beings with moral status should have their needs and interests

Makhluk yang punya status moral

perlu dipertimbangkan kebutuhan dan keinginannya

taken into consideration by those making decisions that impact them.

oleh pihak pembuat keputusan yang akan berdampak pada mereka.

Traditionally, moral status has been seen as binary—

Secara tradisional, status moral dianggap sebagai sesuatu yang biner—

either a being’s interests matter for their own sake, or they don’t.

entah keinginan suatu makhluk penting untuk kebaikannya sendiri, atau tidak.

And historically, many philosophers believed that humans had moral status

Sepanjang sejarah, banyak filsuf percaya bahwa manusia memiliki status moral

and other animals didn’t.

dan binatang lain tidak.

Some contemporary philosophers like Shelly Kagan

Beberapa filsuf kontemporer seperti Shelly Kagan

have argued that moral status comes in degrees,

berargumen bahwa status moral memiliki tingkatan,

but even in this model, he argues that people have the most moral status.

tapi bahkan dalam model ini, ia berargumen bahwa manusia

memiliki status moral paling tinggi.

Tapi, untuk menentukan apa yang memberikan tingkatan status moral bisa jadi sulit.

However, determining what grants any degree of moral status can be difficult.

Enlightenment philosopher Immanuel Kant thought humans have moral status

Filsuf pencerahan Immanuel Kant berpikir bahwa manusia punya status moral

because of their rational nature and ability to will their actions.

karena sifatnya yang rasional dan kemampuannya untuk berkehendak.

A binary conception of moral status then suggests that beings with these capacities

Sebuah konsepsi biner dari status moral kemudian memberi kesan

bahwa makhluk yang memiliki kapasitas ini adalah “orang”

are “persons” bearing full moral status,

yang memiliki status moral penuh,

while all other creatures are “things” without moral status.

sementara makhluk lain adalah “benda” tanpa status moral.

But thinkers like Christine Korsgaard have argued a Kantian view

Tapi pemikir seperti Christine Korsgaard berpendapat bahwa sudut pandang Kantian

should include many non-human animals because of how they value their own good.

perlu melingkupi banyak binatang selain manusia,

dikarenakan bagaimana mereka menilai hidup mereka sendiri.

Another line of argument, suggested by utilitarianism’s founding father

Argumen lain, dikemukakan oleh penemu utilitarianisme Jeremy Bentham

Jeremy Bentham and elaborated by Peter Singer,

dan dikembangkan oleh Peter Singer,

claims that a capacity for suffering

mengklaim bahwa kemampuan merasakan derita

makes an entity worthy of moral consideration.

membuat suatu makhluk berhak memiliki pertimbangan moral.

These inclusive ways of thinking about moral status dramatically widen the scope

Pemikiran-pemikiran inklusif tentang status moral ini secara dramatis

memperluas cakupan tanggung jawab moral kita,

of our moral responsibility,

in ways some people might find unnerving.

dalam cara yang mungkin membuat beberapa orang tidak nyaman.

So where do our monkeys stand?

Jadi, di manakah posisi monyet-monyet kita?

Our closest genetic relatives have high social and intellectual capacities.

Kerabat genetik terdekat kita

memiliki kapasitas sosial dan intelektual yang tinggi.

They live cooperatively in complex social groups

Mereka hidup bersama dalam kelompok sosial yang rumit

and recognize members of their community as individuals.

dan menghargai anggota dari komunitas mereka sebagai individu.

They support and learn from one another—

Mereka membantu dan belajar dari satu sama lain—

there’s even evidence they respond to inequality.

bahkan ada bukti bahwa mereka bereaksi terhadap ketidakadilan.

And of course, they’re capable of suffering.

Dan tentu saja, mereka dapat merasakan derita.

Yet despite all this, it’s still generally common opinion

Namun, meski dengan semua hal ini, masih menjadi pendapat umum

that a human’s life is more valuable than a monkey’s.

bahwa nyawa manusia lebih berharga daripada nyawa seekor monyet.

And that while killing one human to save five others is typically wrong,

Dan ketika membunuh satu manusia untuk menyelamatkan lima lainnya dianggap salah,

killing one monkey to save five humans is regrettable,

membunuh satu monyet untuk menyelamatkan lima manusia,

disayangkan,

but morally acceptable.

tapi secara moral dapat diterima.

Even morally required.

Bahkan secara moral, dibutuhkan.

At some point, however, this calculation starts to feel unstable.

Tapi lama-lama, perhitungan ini mulai dirasa tidak stabil.

Should we kill 100 monkeys to save five people?

Haruskah kita membunuh 100 monyet untuk menyelamatkan lima orang?

How about 10,000?

Bagaimana kalau 10.000?

If moral status is binary and monkeys don't have it, then theoretically,

Apabila status moral itu biner dan monyet tidak memilikinya, jadi secara teori,

any number of monkeys could be sacrificed to save just one person.

berapa pun jumlah monyet dapat dikorbankan untuk menyelamatkan satu manusia.

But if moral status comes in degrees and monkeys have any at all,

Tapi, bila status moral memiliki tingkatan dan monyet memilikinya,

then at some point the balance will tip.

maka pada satu titik, monyet bisa menang.

The situation you're in complicates things even further.

Situasi ini semakin memperumit masalah.

Unlike the scenarios above,

Tidak seperti skenario di atas,

there's no guarantee your work will ever save human lives.

tidak ada jaminan pekerjaanmu akan menyelamatkan nyawa manusia.

This is true of any animal experiment—

Ini adalah kebenaran dari eksperimen hewan apapun—

the process of scientific discovery only sometimes leads to improved medical care.

proses dari penemuan ilmiah hanya sesekali memicu perkembangan perawatan medis.

But in your case, it’s even trickier!

Tapi pada kasusmu, ini lebih rumit lagi!

While the government is worried smallpox might be weaponized,

Ketika pemerintah khawatir cacar mungkin dijadikan senjata,

if they’re wrong the disease will remain eradicated,

jika mereka salah penyakit ini akan tetap punah,

and your research won’t save anyone from smallpox.

dan penelitianmu tidak akan menyelamatkan siapa pun dari cacar.

You could try to quantify this uncertainty to help make your decision.

Kamu dapat mencoba mengukur ketidakpastian ini

untuk membantumu mengambil keputusan.

But how do you determine what an acceptable amount of risk is?

Tapi bagaimana caramu menentukan berapa jumlah risiko yang bisa diterima?

And what if there’s so much uncertainty that your calculations

Dan bagaimana jika ada banyak sekali ketidakpastian

sehingga kalkulasimu pada dasarnya adalah sebuah tebakan?

are essentially wild guesses?

These kinds of moral mathematics get complicated fast,

Matematika moral seperti ini dapat menjadi rumit dengan cepat,

and some philosophers would argue they’re not even the best way

dan beberapa filsuf akan berargumen

bahwa itu bahkan bukan cara terbaik untuk membuat pilihan moral.

to make moral decisions.

But whatever you decide, your choice should be well justified.

Tapi apa pun yang kamu pilih, pilihanmu perlu pertimbangan yang baik.