Work Is Not Your Family | Gloria Chan Packer | TED

Translator: Woro Wijaya Reviewer: Karina Prabowo

"We're like family."

“Kita seperti keluarga.”

This is a phrase that's become quite popular in our places of work

Istilah ini menjadi sangat populer di tempat kerja kita.

to try to make work feel a little less like this

mencoba membuat tempat kerja tidak terasa seperti ini

and a little bit more like this.

tapi lebih seperti ini.

It's a phrase that started in the last decade or two

Istilah ini muncul satu atau dua dekade terakhir

to try to elicit feelings of warmth and belonging

mencoba mengekspresikan kehangatan dan rasa saling memiliki

and really that "cool culture" vibe.

dan sungguh itu “budaya yang keren”.

The laid-back break rooms with beanbag chairs and the beer on tap

Ruangan santai dengan kursi malas dan bir di atas meja

and those tight-knit teams that got through everything together

dan tim solid yang mampu menghadapi semuanya bersama

like a family.

seperti keluarga.

It's a phrase that started with positive intent

Istilah yang dimulai dengan maksud yang positif

and has had positive outcome.

dan ingin hasil yang baik.

However, what's gone far less recognized and discussed

Namun, hal yang jarang disadari dan didiskusikan

is how calling work our family can actually be quite detrimental

menganggap rekan kerja sebagai keluarga bisa sangat merusak

to our mental and emotional health without our knowing it.

kesehatan mental dan emosi kita tanpa kita sadari.

Which is why I'm here today to offer the reminder that work is not your family.

Di sinilah saya hari ini mengingatkan bahwa rekan kerja bukanlah keluargamu.

And to explore how this "cool culture" catchphrase often ends up

Dan menjelaskan bagaimana istilah “budaya keren” sering berujung

breeding burnout instead.

menjadi kelelahan akut.

My name is Gloria Chan Packer.

Nama saya Gloria Chan Packer.

I am a mental wellness educator and an experienced corporate leader.

Saya pendidik kesehatan mental dan pemimpin perusahaan berpengalaman.

In 2018, I founded a company called "Recalibrate"

Tahun 2018, saya mendirikan perusahaan bernama “Recalibrate”

to try to deliver workplace mental wellness services

memberikan layanan kesehatan mental di tempat kerja

that were more modern, accessible and science-backed.

yang lebih modern, mudah diakses dan berdasarkan sains.

Since that time,

Sejak saat itu,

I and my team have gotten to work with almost 20,000 employees

Saya dan tim saya sudah menangani hampir 20.000 pekerja

all over the world.

di seluruh dunia.

Now, the reason this topic,

Jadi, alasan membahas topik ini, dengan...

exploring how calling work our family can be problematic and breed burnout,

menganggap rekan kerja sebagai keluarga bisa menjadi masalah dan kelelahan akut

the reason it's important to me is because I've personally lived it.

alasan itu penting bagi saya adalah karena saya telah mengalaminya.

Before we get into that, though,

Sebelum membahas lebih dalam,

let's first baseline by understanding why calling work our family

mari kita pahami mengapa menganggap rekan kerja sebagai keluarga

at its core can be problematic.

sebagai pusatnya bisa menjadi masalah.

Doing so, psychologically infers a really big blur

Dengan melakukannya, secara psikologi kita menjadi bias

and betrayal in our boundaries.

dan melewati batasan kita.

Work and family are different entities with different goals,

Bekerja dan keluarga adalah hal berbeda dengan tujuan yang berbeda pula,

expectations and responsibilities,

baik ekspektasi maupun tanggung jawab,

and therefore should be separated and boundaried.

yang seharusnya dipisahkan dan dibatasi.

For example, I'm not going to be in the shower one day

Contohnya, saya tidak ingin mandi suatu hari

and notice a really weird mole on my pregnant belly

dan memperhatikan ada tahi lalat aneh di perut hamil saya

and roll into my boss's office like I would my mom and be like,

dan masuk ke ruangan atasan seperti ke kamar ibu saya, berkata,

"Hey, can you can you get in here and look at this?

“Hei, bisakah bisakah kamu ke sini dan melihat ini?

This looks kind of weird. I'm freaked out."

Ini kelihatan aneh. Aku takut.”

A few of us are giggling or laughing,

Kalian pasti geli dan tertawa.

but I'm sure a few of us, too, in our heads are like,

tapi saya yakin sebagian dari kita, akan berpikir

"Oh, have I done something weird like that at work?

“Oh, apa saya melakukan hal bodoh di tempat kerja?

Have I crossed a boundary before?”

Sudahkah saya melewati batas?”

Boundaries are hard for a lot of us

Memberi batasan memang sulit bagi kita

because many of us never learned boundaries.

karena kita tidak pernah belajar tentangnya.

It's kind of a newer, buzzy phrase

Ini istilah yang kekinian

that not many of us really have learned or defined before.

yang tak banyak kita pelajari atau definisikan sebelumnya.

So let's start by defining what boundaries are

Jadi mari kita definisikan apa itu batasan

and why they're so important to our mental health.

dan mengapa itu penting untuk kesehatan mental kita.

I like to think of boundaries as our ability to identify,

Saya pikir batasan adalah kemampuan kita untuk mengidentifikasi,

communicate and take action on our needs.

berkomunikasi dan bertindak sesuai kebutuhan kita.

Being able to say, "I need to eat,"

Dapat berkata, “Saya butuh makan,”

"I need to rest," "I need some space right now."

“Saya butuh beristirahat,” “Saya butuh sedikit ruang.”

Survival speaking, boundaries are critical for us as humans to be able to say,

Jujur, batasan itu penting bagi kita sebagai manusia untuk bisa mengatakan,

"I need something," to be able to find safety and resourcing.

“Saya butuh sesuatu,” untuk mencari pertolongan dan bantuan.

However, it can also be advantageous in certain situations

Namun, ini juga bermanfaat dalam situasi tertentu

to delay or deprioritize our needs too.

untuk menunda atau tak memprioritaskan kebutuhan kita.

For example,

Sebagai contoh,

if I'm a human back in the day, running away from a tiger,

jika saya adalah orang purba, lari dari kejaran harimau,

if I happen to be hungry,

dan saya kebetulan lapar,

it will, of course, be beneficial to delay that need for hunger

saya, pasti, lebih baik menunda kebutuhan saya akan rasa lapar

until I'm safe again.

sampai keadaan sudah aman.

However, if, after the tiger has left and I'm safe,

Tetapi, jika, sesudah harimau pergi dan saya telah aman,

I keep staying stuck and being scared of the tiger

namun saya masih ketakutan dengan harimau itu

and delaying my hunger and not eating,

dan menunda rasa lapar dan tidak makan,

that becomes unhealthy too.

itu adalah hal yang tidak sehat.

This shift of delaying our needs into the unhealthy without knowing it

Proses mengganti atau menunda kebutuhan adalah tidak sehat tanpa disadari

is where a lot of us find ourselves unknowingly stuck today.

merupakan penyebab kita merasa terjebak dengan kondisi kita sekarang.

Somewhere in our lives we learned and adapted

Ada tahap di hidup kita di mana kita belajar dan beradaptasi

that repressing or sacrificing our needs for others was beneficial.

dengan menekan dan mengorbankan kebutuhan kita untuk orang lain.

But that became so auto-piloted in our subconscious

Tapi ini menjadi suatu kebiasaan di luar kesadaran kita

that it goes past the point of diminishing returns

yang menjadi poin yang sulit dirubah

and becomes unhealthy.

dan menjadi tidak sehat.

To where maybe we land into a workplace and we hear "we're like family"

Mungkin kita berada di tempat kerja dan mendengar “kita seperti keluarga”

and our brain just triggers into "give it everything no matter what."

dan otak kita terpicu untuk “memberikan semua apapun itu.”

We sacrifice our boundaries, our time, our relationships,

Kita mengorbankan batasan kita, waktu kita, hubungan relasi kita,

and we start living life in these big swings of overworking to burnout.

dan kita mulai hidup dengan pola kerja lembur berubah jadi kelelahan akut.

And maybe we rationally know that it's not the healthiest pattern in our life,

Secara rasional kiita mungkin tahu ini pola hidup yang tidak sehat.

but we feel stuck.

tapi kita merasa terjebak.

I get that.

Saya bisa paham.

I've lived through that and sometimes still feel challenged with it.

Saya sudah merasakan dan terkadang masih mengalaminya.

You see, before I worked in mental wellness,

Sebelum saya bekerja di bidang kesehatan mental,

you could argue that I worked in the opposite of mental wellness.

Anda pasti berpikir saya bekerja bukan di bidang kesehatan mental.

I started my career in management and technology consulting,

Saya memulai karir di managemen dan konsultasi teknologi,

spending almost a decade giving it my all.

mendedikasian hampir satu dekade mengerahkan segala upaya.

I did the 80 to 100 hour billing weeks,

Saya bekerja 80 sampai 100 jam dalam seminggu.

the 100-plus fights a year, for years on end,

termasuk 100 lebih penerbangan dalam setahun, terus-menerus,

the early promotion chase

mengejar jalur cepat kenaikan jabatan

and didn't scale back on other parts of my life either.

dan tidak menghitung lagi yang lainnya.

Still volunteered, went to my SoulCycle classes

Sambil kerja sukarela, ikut kelas SoulCycle

did brunch and late nights with my friends

makan siang dan malam dengan teman saya

until my completely overscoped life turned into burnout cycle

sampai hidup saya benar-benar menjadi siklus yang sangat melelahkan

after burnout cycle.

teramat sangat lelah.

In 2017, my brain and body hit a wall.

Tahun 2017, mental dan tubuh saya ambruk.

I started struggling with debilitating, chronic migraines

Tubuh saya melemah seluruhnya, terserang migrain akut,

that, for me,

bagi saya,

meant that after months of no change

tidak kunjung membaik berbulan-bulan tidak ada perubahan

and no medication or treatment working,

dan tak ada pengobatan atau terapi yang manjur,

I knew I had to take at least a leave from work.

Saya yakin saya harus keluar dari pekerjaan.

And that was devastating for me

Ini menghancurkan hidup saya

because work had really become my everything.

karena bekerja telah menjadi segalanya bagi saya.

There is a memory that haunts me from that time.

Ada kenangan kala itu yang menghantui saya.

And it was the night before I was about to go on leave,

Itu malam sebelum saya keluar dari pekerjaan,

and I was just grabbing dinner with a friend and my husband.

saya sedang makan malam bersama seorang teman dan suami saya.

And I said to my friend,

Saya berkata pada teman saya,

"Work is my entire worth and my identity.

“Bekerja adalah segalanya dan identitas bagi saya.

I don't know what I'm going to do without it."

Saya tidak tahu saya harus apa tanpanya.”

And my husband's body language and face dropped

Bahasa tubuh dan wajah suami saya berubah drastis

in a way that I had never seen it.

ekspresi yang tak pernah saya lihat.

And after my friend left, I remember him saying to me,

Setelah teman saya pergi, saya ingat perkataan suami saya,

"I can't believe that you think that work is your only worth

“Aku tak habis pikir kalau kau anggap bekerja adalah nilai dirimu

when I see so much more.

kau lebih dari itu.

And I can't believe you can't see that either."

Dan aku tak percaya kau tidak bisa melihatnya.”

It's a poignant memory for me because I remember it feeling so true.

Itu kenangan yang menyedihkan karena saya ingat betul rasanya.

And now I know it's not.

Dan saya tahu kini tidak lagi.

But it was a really rough period.

Tapi itu waktu yang sangat sulit.

It's such an important one in my life because it gave me the opportunity

Satu momen terpenting di hidup saya yang memberikan saya kesempatan

to do my own mental health work

untuk memperbaiki kesehatan mental saya

and understand where these burnout behaviors had come from for me,

dan memahami akar kelelahan akut yang menyerang saya,

so that now I could grow into being able to discern

sehingga saya menjadi bertumbuh dan bisa membedakan

when those behaviors are healthy or unhealthy.

mana perilaku yang sehat atau tidak sehat.

For me, where those behaviors started and were adopted

Bagi saya, ketika perilaku itu muncul dan menjadi karakter saya

is that I grew up learning that I needed to be perfect

adalah ketika saya tumbuh dan belajar bahwa saya harus sempurna

and to people please and be the best at everything

serta menyenangkan orang dan jadi yang terbaik dalam semua hal

so that I could get myself out of a situation

sehingga saya bisa mengatasi masalah

that I felt like I otherwise wouldn't be able to make it through.

yang saya pikir tidak dapat melewatinya.

For me,

Bagi saya,

that perfectionism and people-pleasing was so critical to that point in my life.

perfeksionis dan ingin menyenangkan orang adalah poin terpenting dalam hidup saya.

But then when I just put it on autopilot,

Tapi ketika hal itu jadi kebiasaan,

it went way past the point of diminishing returns

itu menjadi melewati batas di luar kendali

and often became unhealthy for me.

dan menjadi racun bagi saya.

That's my story.

Itulah cerita saya.

Let's spend some time getting to know yours.

Mari luangkan sedikit waktu kenali diri Anda.

I'm going to invite you to do a little bit of reflection activity with me

Saya akan mengajak Anda melakukan sedikit refleksi diri bersama

as you're comfortable,

senyaman Anda,

if you can all just close your eyes wherever you are.

jika Anda ingin Anda bisa menutup mata Anda.

And with your eyes closed,

Dengan mata tertutup,

I'm going to ask you to start to bring to mind a part of you

saya akan bertanya bagian mana dalam hidup Anda

that tends to overwork,

yang kiranya bisa menjadi pekerjaan yang berlebih,

to be a perfectionist or a people-pleaser,

menjadi perfeksionis atau selalu ingin menyenangkan orang,

struggles to set boundaries.

berjuang untuk memberi batasan.

When I ask what it would be like

Ketika saya tanya apa itu

if you tone that part of you back a little.

jika Anda mengingat hal itu dalam diri Anda.

Just let that go a little.

Lepaskanlah perlahan-lahan.

For the piece of you that pops up with some tension or resistance,

Untuk Anda yang masih kesulitan untuk melepaskannya,

let's lean into that and ask, why not?

mari renungkan kembali, mengapa tidak?

What would happen? What would go wrong?

Apa yang akan terjadi? Apa yang bisa kacau?

Would things go wrong, the other shoe would finally drop,

Apakah akan kacau, sampai akhirnya menanti sekian lama,

and it'd be all your fault?

dan apa ini semua salah Anda?

Would you lose success?

Apa Anda akan gagal?

Would you not have anything to talk about in conversation to feel worthy anymore?

Apa Anda akan merasa tidak berharga lagi?

Then let's practice some curiosity

Maka mari kita cari tahu

around where you might have first adapted or learned this.

kapan Anda mengadopsi perilaku ini atau mempelajarinya.

When it might have helped or protected you in life.

Yang mungkin membantu Anda atau melindungi Anda di hidup ini.

Did you learn early on you had to be perfect

Apakah Anda kira Anda harus jadi sempurna

to avoid shame or discipline?

agar tidak diepermalukan atau dihukum?

Or when you were young,

Atau ketika Anda kecil,

did you learn you had to be overly self-reliant,

atau Anda belajar menjadi terlalu mandiri,

you had to take care of everything and everyone

Anda harus mengurus semuanya dan semua orang

because your caretaker couldn't.

karena pengasuh Anda tidak mampu.

Or maybe later in life,

Atau mungkin ketika lebih dewasa,

in college,

di masa kuliah,

did you learn it was worth sacrificing whatever you needed

apa Anda belajar mengorbankan apapun dari diri Anda

to get that win or accolade,

untuk menjadi juara atau mendapat penghargaan,

maybe to make up for not feeling accepted earlier in life?

mungkin untuk mengobati kekecewaan agar lebih diterima?

See what it would be to speak to that part of yourself and say,

Lihatlah itu dan katakan pada diri Anda,

"Thank you so much for making this adaptation.

“Terima kasih banyak karena sudah menyesuaikan diri.

You helped me through such an important time,

Kau sudah membantuku melewati masa yang sulit,

but right now, I don't need you to be on the clock all the time anymore.

tapi sekarang, saya tidak mau kau selalu mengatur hidupku lagi.

I have a beautiful life that I've built with safety and stability,

Aku punya kehidupan yang lebih baik dan stabil,

and I have people in my life that love me for who I am

dan orang-orang di hidupku mencintaiku apa adanya

and not what I do.

bukan sekedar apa pekerjaanku.

You can take a breather so I can to."

Kini saatnya kau beristirahat karena aku juga akan istirahat.”

As you're ready,

Ketika Anda siap,

just gently opening your eyes back up

bukalah mata Anda pelan-pelan

and coming back into the room with me.

dan kembali di ruangan ini bersama saya.

Welcome back.

Selamat datang kembali.

So part of that reflection activity

Jadi bagian dari kegiatan refleksi

is an example of what we would technically call

adalah salah satu contoh yang secara teknis kita sebut

identifying our cognitive schemas.

mengidentifikasi skema kognitif kita.

Our cognitive schemas are essentially how our brain forms

Skema kognitif kita pada dasarnya adalah bagaimana otak kita terbentuk

all of our subconscious behaviors, patterns, thoughts and emotions

dari semua perilaku tak sadar kita, pola, pikiran, serta emosi

which our brain largely learns based on past experiences we've had.

yang otak kita pelajari dari pengalaman masa lampau kita.

A majority of our subconscious schemas,

Kebanyakan skema tak sadar kita,

our behaviors, are formed and adapted early on in life,

perilaku kita, dibentuk dan diadaptasi pada awal kehidupan,

especially in childhood,

terutama di masa kecil,

because our brains are kind of blank slates.

karena otak kita adalah lembaran kosong.

We haven't experienced much of life yet,

Kita belum mengalami banyak hal,

so out of safety and efficiency,

sehingga secara tak sadar,

our brain takes each big experience and wants to say,

otak kita belajar dari pengalaman, dan akan berkata,

OK, this is what I did, these were the factors around,

Oke, saya lakukan ini, karena faktor penyebab ini,

this is what happened

inilah yang terjadi

and therefore is how I should predict,

dan bagaimana sebaiknya bertindak,

I should feel, think and act from here on out."

merasa, berpikir, dan bertindak karenanya.”

And it puts that on autopilot into our subconscious.

Dan kemudian menjadi otomatis di luar kesadaran kita.

This can be very beneficial, and it does keep us safe and efficient.

Ini bisa menjadi sangat berguna, dan membuat kita aman dan efisien.

However, it can also become very outdated and unhealthy for us too,

Tetapi, ini bisa juga sangat kuno dan tidak sehat untuk kita juga,

which is why it's so important to do this work.

sehingga ini penting untuk melakukan perubahan ini.

Now, doing such work is not about saying,

Perubahan ini bukan hanya sekadar mengatakan,

because a lot of our subconscious behaviors were formed in the past,

karena banyak perilaku tak sadar kita yang dibentuk pada masa lalu,

that they're all invalid or wrong.

yang tidak valid dan salah.

What it is about doing is making sure we each do our own due diligence

Apa yang akan kita lakukan adalah memastikan kegigihan kita

to understand where the blueprint of our behaviors came from

untuk memahami dari mana asal perilaku kita itu

and ensure they're still relevant and productive to our current lives.

dan berpikir apakah masih relevan dan bermanfaat pada hidup kita sekarang.

We update everything else important in our lives,

Kita memperbaharui apapun yang penting dalam hidup kita,

from our homes to our technology to our education.

dari rumah hingga teknologi bahkan pendidikan kita.

Why aren't we doing the same with our behaviors that affect our everyday?

Lalu mengapa kita tidak melakukan hal sama dengan perilaku kita?

Now I'm sure some of y'all might be asking,

Sekarang saya yakin Anda mungkin bertanya,

"OK, I thought we were talking about workplace burnout.

“Bukankah kita membahas kelelahan akut di tempat kerja.

Why aren't we talking more about our workplaces and our employers?"

Mengapa tidak membahas tentang tempat kerja dan atasan kita?”

Which is where I'll offer a little bit of a plot twist.

Yang nanti saya akan paparkan sedikit plot twist tentangnya.

Yes, when it comes to burnout,

Ya, ketika menderita kelelahan akut,

our workplaces and employers do own a big part of the equation.

Tempat kerja dan atasan kita sama-sama berperan penting.

However, what I find to be somewhat of an overlooked part

Tetapi, saya menemukan sesuatu yang diabaikan

of the equation today

dari persamaan hari ini

is what piece of the problem we individually own ourselves, too.

adalah masalah apa yang masing-masing kita miliki,

If I inherently have a tendency or a pattern to overwork

Jika saya memiliki kecenderungan atau pola untuk selalu kerja lembur

or not be able to set boundaries

atau tidak mampu memberi batasan

no matter what workplace or organization I change.

tidak peduli di mana pun tempat kerja atau organisasi saya pindah.

If I never take accountability to drive my own internal change,

Jika saya tidak mengambil peran mengontrol perubahan dalam diri saya,

then no matter what external change I make,

maka apapun faktor luar yang saya sudah ubah,

I will likely keep suffering from the same patterns

Saya tetap akan menderita dari pola yang sama

over and over again.

lagi dan lagi.

Now, all that being sad and all that being something I strongly believe in,

Sekarang, apa yang dikatakan dan apa yang saya sangat percaya,

I am also a realist and I know that not all of us

Saya seorang realis dan saya tahu tak seorang pun dari kita

will be ready to do our own deep personal work yet.

akan siap melakukan pekerjaan besar ini.

So where else can we start on this topic?

Jadi dari mana kita bisa memulainya?

What else can we do?

Apa yang bisa kita lakukan?

I'll offer three smaller steps.

Saya sarankan tiga langkah sederhana.

First,

Pertama,

when you find yourself wanting to say "we're like family" around work

ketika Anda ingin mengatakan “kita seperti keluarga” di tempat kerja

or organizations,

atau organisasi,

try to get clearer in your communication

coba katakan dengan lebih jelas

and use language that has better boundaries.

dan gunakan bahasa yang memberi batasan lebih baik.

As Brené Brown says,

Seperti kata Brené Brown,

"Clear is kind. Unclear is unkind."

“Jelas itu baik. Tidak jelas itu buruk.”

So if you find yourself wanting to say "We're like family,"

Jadi saat Anda ingin mengatakan “Kita seperti keluarga,”

but you're really kind of asking for a favor,

tapi Anda benar-benar ingin meminta bantuan,

clarify that, say, "Hey, you know,

jelaskan, katakan, “Hai, kau tahu,

we actually need this deliverable a week sooner.

kita butuh ini dikirim seminggu lebih awal.

What can we do to achieve that?"

Bagaimana kita bisa melakukannya?”

Or if you're just trying to communicate a value about your organization,

Atau saat Anda ingin mengatakan nilai penting pada organisasi Anda

again, clarify the language and use boundaries.

sekali lagi, perjelas bahasa dan gunakan batasan.

Say, "It's a priority for our teams to feel trust and connection."

Katakan, “Penting bagi tim kita untuk saling percaya dan terkoneksi.”

Or, as my friend Trey, the CEO of Kronologic,

Atau, seperti teman saya Trey, CEO Kronologic,

says to his team, he says,

yang berkata pada timnya,

"We're not like a family;

“Kita tidak seperti keluarga:

we're like a professional sports team."

Kita adalah tim olahraga profesional.”

It still infers that same warmth and camaraderie,

Sama-sama mengadopsi konsep kehangatan dan persahabatan,

but within the boundaries of a workplace.

tetapi masih dalam batasan tempat kerja.

Now, when it comes to this topic,

Sekarang, ketika membahas topik ini,

it's not to say that you can't have deep,

bukannya Anda tidak bisa mempunyai,

meaningful relationships from work,

hubungan bermakna dalam pekerjaan,

but it is to point out that we need to practice healthy boundaries

tapi penting bagi kita memberi batasan yang sehat

so that we can sustain healthy workplaces and relationships.

sehingga bisa menciptakan tempat kerja dan hubungan sehat.

The second tip I'll offer is to actually do the work

Saran kedua adalah benar-benar mempraktekkan

to learn and model healthy boundaries for one another.

mempelajari dan membuat model batasan satu sama lain,

If you are a people-pleaser who tends to overscope and overcommit,

Jika Anda suka menyenangkan orang gila kerja dan melakukan segalanya,

try buying some time before you respond and commit.

luangkan sedikit waktu sebelum memberi respon dan bertindak.

Say, "Hey, I need to evaluate this against my other priorities.

Katakan, “Aku perlu evaluasi ini terhadap prioritasku yang lain.

Can I get back to you by the end of the day?"

Bisakah aku memberi jawaban sore nanti?”

Give yourself some time for that behavioral change

Berikan Anda waktu untuk melakukan perubahan itu

instead of getting stuck in the same repetitive pattern.

bukannya terjebak dengan pola yang sama berulang kali.

When you're communicating boundaries,

Saat mengkomunikasikan batasan Anda,

clarify what you need and what the impact will be

perjelas apa yang Anda butuhkan dan apa dampaknya

if you don't get that need met.

jika Anda tidak bisa melakukannya.

Say, "If we need this product a month sooner,

Katakan, “Jika kita perlu produk ini sebulan lebih cepat,

I'm going to need the help of two other people.

Saya butuh dua orang lagi untuk membantu.

Otherwise, the quality is really going to be at risk,

Kalau tidak, akan beresiko pada kualitasnya,

and we might either lose team members or customers."

dan kita bisa kehilangan teman setim atau pelanggan.”

Remember that when you're communicating boundaries,

Ingat ketika Anda mengkomunikasikan batasan,

that's not a "me versus you" fight,

bukanlah berarti “saya lawan kamu”.

but it's what we need to do to collectively come together

tapi kita perlu bekerja sama

to resource ourselves, to sustain our organizations,

mengerahkan energi kita, mendukung organisasi kita

workplaces and relationships.

di tempat kerja dan dalam hubungan.

Last tip I will offer

Saran terakhir dari saya

is to see if you can find one way to empower mental health

adalah carilah satu cara memperkuat kesehatan mental

for yourself or others this year.

bagi diri Anda dan orang lain di tahun ini.

I will recognize that just when it comes to talking about mental, emotional health,

Saya tahu ketika membicarakan tentang kejiwaan, dan kesehatan mental,

our behaviors and our past, that can feel tender, personal.

perilaku dan masa lalu kita, yang mungkin sensitif, pribadi,

But it can especially feel a little scary or stigmatized

Tetapi mungkin sedikit menakutkan atau dianggap negatif

when we are talking about working with experts

ketika berbicara soal pekerjaan pada ahlinya

like psychologist or psychotherapist.

seperti psikologis atau psikoterapis.

I'll close here by offering a reframe in that thinking,

saya akan menutup acara ini dengan mengajak berpikir

a reframe in that stigma.

memikirkan ulang stigma itu.

When it comes to any other important part of our lives,

Ketika menimpa hal lain yang penting dalam hidup kita,

we seek out experts.

kita mencari ahlinya.

When it comes to our physical health, we seek out doctors.

Ketika kita sakit secara fisik, kita mencari dokter.

Financial health, we seek out financial advisors.

Kesehatan finansial, kita cari penasehat keuangan.

Why is it that when it comes to our mental health,

Lalu saat ada yang salah dengan mental kita,

we think we should take care of it on our own?

mengapa kita harus mengatasinya sendiri?

We would never look at a friend who's having a heart attack and be like,

Kita tidak mencari teman yang sakit jantung dan berkata,

"You should really take care of that yourself,

“Kau harus benar-benar merawat dirimu sendiri,

otherwise you're kind of weak.

kalau tidak kau itu lemah.

You should not need to go to the hospital."

Kau itu tidak perlu pergi ke rumah sakit.”

Why is it that we think we can grow or develop our mental health

Mengapa kita pikir bisa memperbaiki kesehatan mental kita

when most of us don't have the tools or education to do so?

ketika kita tidak punya pengetahuan untuk melakukannya?

So today,

Jadi hari ini,

whether it is your propensity to burn out,

apakah Anda memiliki kelelahan akut,

your struggle with setting boundaries or something different,

berjuang membuat batasan atau melakukan perubahan,

I hope you can feel a little bit more free and empowered

saya harap Anda bisa sedikit merasa bebas dan termotivasi

to start building more meaning and sustainability into your life.

untuk memulai hidup yang lebih berarti dan cara hidup yang lebih baik.

Thank you for your time.

Terima kasih atas waktunya.

(Applause)

(Tepuk Tangan)