Why You Should Embrace Mediocrity | Crispin Thurlow | TED

Translator: Ammana Haya Al-aqilla Reviewer: Nauka N. Prasadini

So a few years ago,

Beberapa tahun lalu,

I had to make a work trip to Stockholm.

saya melakukan perjalanan dinas ke Stockholm.

And because it was the school holidays,

Karena saat itu libur sekolah,

I needed to take my two kids along with me.

saya membawa serta kedua anak saya.

And at the time they were 14 and 12.

Saat itu mereka berusia 14 dan 12 tahun.

Anyway, my local colleagues, needless to say,

Ngomong-ngomong, kolega-kolega saya

were really very supportive.

sangat suportif.

And in fact, knowing that I do research on language and social class,

Mengetahui bahwa saya melakukan penelitian seputar bahasa dan kelas sosial,

they'd also clearly enjoyed arranging to put us into a hotel

mereka jelas suka menyiapkan akomodasi kami di hotel

belonging by a large Swedish chain called Elite Hotels.

yang dimiliki oleh perusahaan besar asal Swedia bernama Hotel Elite.

So on the day that we arrived,

Jadi pada hari kami tiba,

we checked in and then we made our way straight up to our room.

kami check-in dan langsung menuju kamar.

But as soon as we crossed the threshold,

Namun begitu kami melewati pintu masuk,

my oldest son declared with genuine frustration,

putra tertua saya mengatakan kekecewaanya dengan jujur

"But this isn't elite."

“Tapi ini bukan elit.”

(Laughter)

(Tawa)

And I was a little bit surprised,

Dan saya sedikit terkejut,

but also kind of really curious to know exactly what he meant.

tapi juga penasaran untuk mengetahui apa yang dia maksud.

So I sort of pressed him, and he quickly explained to me

Saya sedikit mendesaknya, dan dengan cepat dia menjelaskan

that the room was just not big enough to be elite.

bahwa kamar itu tidak cukup besar untuk disebut elit.

(Laughter)

(Tawa)

So in that moment,

Jadi pada saat itu,

I realized that my son had already learned two really important lessons

saya sadar bahwa anak saya mempelajari dua hal yang sangat penting

about everyday language.

tentang bahasa sehari-hari.

First, that words are very influential,

Pertama, kata-kata itu sangat berpengaruh,

but their meaning can often be slippery.

tapi maknanya sering kali kurang tepat.

And second, that the language of superiority and comparison

Dan kedua, penggunaan bahasa superioritas dan perbandingan

can lead to disappointment.

dapat menyebabkan kekecewaan.

But it's tough.

Tapi itu susah.

Nowadays we're bombarded with messages about excellence,

Zaman sekarang kita dibombardir oleh berbagai pesan tentang kehebatan,

distinction and success,

perbedaan, dan kesuksesan,

and we hear voices telling us you should be a top student,

kita mendengar suara yang mengatakan Anda harus jadi siswa top,

or a winner, or a leader, or preferably all three.

jadi pemenang, pemimpin, atau ketiganya.

And it's this that's started me to think a little bit more

Inilah yang membuat saya merenung lebih dalam

about what's going on here.

tentang apa yang terjadi.

How do we manage this?

Bagaimana kita mengatasi ini?

Because all of this leads to a profound sense

Karena semua ini menjuru pada perasaan mendalam

of what the philosopher Alain de Botton has called status anxiety.

dari yang filsuf Alain de Botton sebut sebagai kecemasan status.

And for me, this is a kind of anxiety that arises through our constant worry

Menurut saya, kecemasan semacam ini muncul secara terus-menerus melalui kekhawatiran

about not being good enough,

tentang tidak cukup baik,

or always needing to be someone better,

selalu perlu jadi orang yang lebih baik

or to have something better.

atau punya sesuatu yang lebih baik.

But the reality is this.

Tapi kenyataannya adalah ini.

Not everyone can be a top student.

Tidak semua orang bisa menjadi siswa top,

Not everyone can be a winner,

tidak semua bisa jadi pemenang,

and not everyone can be a leader.

ataupun pemimpin.

By the simple law of averages,

Dengan hukum rata-rata sederhana,

most of us have to live a life more ordinary.

kebanyakan dari kita harus menjalani kehidupan yang lebih biasa.

Well, it's for this reason that I've started to rethink

Nah, karena alasan inilah saya mulai memikirkan kembali

or perhaps even reclaim the notion of mediocrity.

atau mungkin merebut kembali gagasan biasa-biasa saja.

And I've even been challenging myself to consider the possibility

Saya bahkan menantang diri sendiri untuk merangkul kemungkinan

of embracing mediocrity.

menjadi biasa-biasa saja.

Now, obviously, I understand that mediocrity has a bad reputation

Sekarang, saya mengerti bahwa biasa-biasa saja memiliki reputasi buruk

with sort of connotations like average quality

dengan semacam konotasi seperti kualitas rata-rata

or not very good.

atau tidak terlalu bagus.

But the sociolinguist in me insists on digging just a little bit deeper,

Tetapi sosiolinguis dalam diri saya bersikeras menggali sedikit lebih dalam,

maybe listening to some of the word's origins

mungkin mendengarkan beberapa asal kata itu

and unearthing some of its other meaning potentials.

dan menggali beberapa potensi makna lainnya.

In actual fact,

Pada kenyataannya,

the word mediocre has its roots in the Indo-European "medial,"

kata biasa-biasa saja berasal dari kata “medial” di bahasa Indo-Eropa,

meaning "middle."

yang berarti “tengah.”

So essentially then, mediocrity is just about existing

Jadi pada dasarnya, biasa-biasa saja ada

between two extremes,

di antara dua ekstrem,

hence middling or average

karenanya sedang atau rata-rata

or otherwise unexceptional or ordinary.

atau tidak luar biasa.

So, as I say, statistically speaking,

Jadi, seperti yang saya katakan,

life in the middle is inevitable and unavoidable for most of us.

hidup di tengah-tengah tak terpungkiri dan tak terelakkan bagi kebanyakan dari kita.

And in fact, it seems to me

Dan pada kenyataannya, bagi saya

that the middle is not such a terrible place to be.

tampaknya bagian tengah bukanlah tempat yang buruk.

In fact, it's quite a privileged place to be.

Justru ini tempat yang istimewa untuk berada.

It may not be as good as being at the top,

Ini mungkin tidak sebagus berada di atas,

but it's surely not as bad as being at the bottom.

tapi pasti tidak seburuk berada di bawah.

And the trick, I suppose, is to learn to recognize our mediocrity,

Dan triknya, saya kira, adalah belajar mengenali diri kita yang biasa saja,

or at least our averageness or our ordinariness,

atau setidaknya rata-rata atau kebiasaan kita,

without allowing other people to make us feel like failures or losers.

tanpa membiarkan orang lain membuat kita seperti orang gagal atau pecundang.

Needless to say, this is quite a bit harder to do than it is to say.

Tak perlu dikatakan, ini agak lebih sulit dilakukan daripada dikatakan.

And I think especially so nowadays.

Dan saya pikir terutama saat ini.

When we’re surrounded by these voices pressuring us to be the best

Ketika kita dikelilingi oleh suara yang menekan kita untuk jadi yang terbaik

and to be better,

dan menjadi lebih baik,

we find ourselves, I think, in a world that is bombarded

kita menemukan diri kita, saya rasa, di dunia yang dibanjiri

or confronted constantly with what I've come to think of

atau dihadapkan terus-menerus dengan apa yang saya anggap

as a relentless language of superiority and comparison.

sebagai bahasa superioritas dan perbandingan tanpa henti.

And it's as a sociolinguist

Sebagai sosiolinguis,

that I've been tracking this language for quite some time.

saya telah melacak bahasa ini selama beberapa waktu.

And in this work, what I've been trying to do

Di sini, yang saya lakukan adalah menunjukkan

is show that this is not just a relentless language,

bahwa ini tak hanya bahasa tiada henti,

ini juga bahasa yang terselubung dan sangat licik.

but it's also often a very sneaky, surreptitious language.

Dengan pemikiran inilah saya ingin berbagi dengan Anda

And it's with this in mind that I want to just share with you

a couple of my favorite examples of what this looks like.

beberapa contoh favorit saya tentang gambarannya.

These are my two favorite case studies.

Ini adalah dua studi kasus favorit saya.

And the first of these is the word “elite” itself.

Yang pertama adalah kata “elit” itu sendiri.

And this is a word that circulates everywhere in our lives,

Ini adalah kata yang terdengar di mana pun kita berada,

which is, as my son discovered in Stockholm.

yaitu, seperti yang ditemukan putra saya di Stockholm.

But take a look at a few of the many examples that I've also been collecting.

Tapi lihatlah beberapa dari banyak contoh yang juga saya kumpulkan.

So here we have an elite grocery store in Denmark,

Jadi di sini kita punya toko kelontong elit di Denmark,

we have an elite nail salon in Seattle,

kita punya salon kuku elit di Seattle,

we've got an elite phone shop in the UK,

kita punya toko ponsel elit di Inggris,

an elite electrician's in Switzerland, actually in Bern,

seorang tukang listrik elit di Swiss, tepatnya di Bern,

and then an elite pastry shop or bakery in Poland.

dan kemudian toko kue elit di Polandia.

And all of these, I can assure you,

Dan saya jamin, semua itu

appear in decidedly non-elite spaces.

muncul di ruang yang jelas non-elit.

(Laughter)

(Tawa)

But when I say that elite crops up everywhere, I mean really everywhere.

Tapi ketika saya katakan bahwa elit muncul di mana pun, ini memang di mana pun.

(Laughter)

(Tawa)

I promise that after this talk,

Saya yakin bahwa setelah pembicaraan ini,

you are going to start noticing elite everywhere too.

Anda akan mulai memperhatikan elit di mana-mana juga.

(Laughter)

(Tawa)

And I've never been quite sure what we're supposed to think

Dan saya tidak pernah yakin apa yang harusnya kita pikirkan

when we're being told that our pickles are elite or our tissues.

ketika kita diberitahu bahwa makanan atau tisu kita elit.

What exactly, I wonder, does an elite condom offer?

Saya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya yang ditawarkan kondom elit?

(Laughter)

(Tawa)

And I don't know about you,

Dan saya tidak tahu Anda,

but it's going to take a lot more than the word elite

tapi butuh lebih dari sekadar kata elit

to convince me that a urinal is in any way prestigious.

untuk meyakinkan saya bahwa toilet sangat bergengsi.

(Laughter)

(Tawa)

But the use of the word “elite” like this

Tetapi penggunaan kata “elit” seperti ini

is a very, very common language game nowadays.

adalah permainan bahasa yang umum di masa ini.

We see this word attached to all sorts of goods and services,

Kita melihat kata ini melekat pada semua jenis barang dan jasa,

kind of meaning everything and nothing at the same time.

yang berarti segalanya dan tidak pada saat yang bersamaan.

And in some ways I suppose it's all perfectly harmless,

Dalam beberapa hal saya kira itu tidak bahaya,

a bit playful even.

bahkan sedikit menyenangkan.

But I can't help but think,

Tetapi saya terus berpikir,

and in fact, I genuinely believe that these ubiquitous,

dan pada kenyataannya, saya sungguh percaya bahwa

constant appeals to eliteness

seruan kaum elit yang ada di mana-mana ini

are trying to persuade us that superiority really does matter

mencoba meyakinkan kita bahwa superioritas benar-benar penting

and that status is something

dan status itu adalah sesuatu

that we should be thinking about all the time.

yang harus kita pikirkan sepanjang waktu.

And these little one-word messages also suggests to us

Dan satu kata ini juga menunjukkan kepada kita

that superiority is easily obtained.

bahwa superioritas mudah diperoleh.

To be very clear,

Untuk lebih jelasnya,

the language of superiority and comparison

bahasa superioritas dan perbandingan

is really good for business.

sangat baik untuk bisnis.

All of these relentless little one-word messages,

Satu kata kecil tanpa henti ini,

and ones like them,

dan yang semacam itu,

are trying to keep us aspiring upwards all the time.

membuat kita punya keinginan yang tinggi sepanjang waktu.

And if we're aspiring, we're also acquiring.

Dan jika kita mempunyai keinginan, kita juga berusaha memperolehnya.

In other words, we're shopping.

Lalu kita membeli hal tersebut.

And for this, they don't even need us aspiring to be the best.

Mereka tidak membutuhkan kita untuk menjadi yang terbaik.

Just aspiring to be better is often enough.

Berkeinginan untuk jadi lebih baik sering kali cukup.

Which brings me to my second little case study.

Yang membawa saya ke studi kasus kecil kedua saya.

The one little, one-word message that I'm talking about

Satu pesan, satu kata yang saya bicarakan

in this instance is “premium,”

dalam hal ini adalah “premium,”

and a good example of this appears

dan contoh yang ini muncul

in the so-called premium economy services

dalam sebutan layanan ekonomi premium

offered by most major international airlines nowadays.

yang ditawarkan oleh maskapai besar saat ini.

And it's no coincidence that premium economy

Dan bukan kebetulan bahwa ekonomi premium

can be more profitable for airlines than business class.

bisa lebih menguntungkan bagi maskapai daripada kelas bisnis.

But what's interesting about this little one-word message

Tapi yang menarik tentang pesan satu kata kecil ini

is that it's precisely not about being the best.

justru bukan tentang menjadi yang terbaik.

Premium is all about having just a little bit extra

Premium adalah tentang memiliki sedikit tambahan

or a little bit more,

atau sedikit lebih banyak,

and especially a little bit extra or a little bit more

dan terutama sedikit ekstra atau sedikit unggul

compared with others.

dibandingkan dengan yang lain.

And to be sure, marketers know only too well

Dan yang pasti, pemasar tahu betul

that people will pay good money for feeling better off.

bahwa orang akan membayar banyak uang untuk merasa lebih baik.

Even that is when this comparison doesn't make us feel

Bahkan saat itulah perbandingan ini tidak membuat kita merasa

very good for very long.

baik untuk waktu yang lama.

But the most striking thing about the word premium

Tapi hal paling menonjol dari kata premium

is that it really crops up in way more banal spaces.

adalah bahwa itu merupakan pikiran yang cukup dangkal.

And I'm offering you a few more examples than before,

Saya akan memberikan beberapa contoh lagi

because I really want to impress upon you

karena saya ingin membuat Anda mengerti

just how far-reaching this one-word message is.

betapa luasnya makna pesan satu kata ini.

So we have premium chocolates in Sweden (not Switzerland),

Jadi kita punya cokelat premium di Swedia (bukan Swiss),

we have premium chips in Spain, premium coffee in Australia,

kita punya keripik premium di Spanyol, kopi premium di Australia,

premium tomatoes in New Zealand and burgers in Denmark.

tomat premium di Selandia Baru dan burger di Denmark.

What we seem to have in Switzerland are premium cigarettes

Tampak yang kita punya di Swiss adalah rokok premium

and premium barbecue charcoal.

dan arang premium.

Elsewhere, we've got premium puzzles, premium haircuts

Lainnya, ada puzzle premium, potongan rambut premium,

and my most recent encounter in Poland, premium baby diapers.

dan temuan terbaru saya di Polandia, popok bayi premium.

(Laughter)

(Tawa)

Again, premium is just about having a little bit more

Sekali lagi, premium hanya tentang memiliki sedikit lebih banyak

or a little bit extra compared with others.

atau sedikit tambahan dibandingkan dengan yang lain.

And as I say, these comparisons are usually built on illusions,

Seperti kata saya, perbandingan ini biasanya dibangun dari ilusi,

and these comparisons just don't make us feel good for very long.

dan perbandingan ini tidak membuat kita merasa baik untuk waktu yang lama.

In fact, all of these silly little language games

Faktanya, permainan bahasa yang konyol ini

are a perfect example

adalah contoh sempurna

of what the famous sociologist Pierre Bourdieu called symbolic violence.

dari yang disebut sosiolog terkenal Pierre Bourdieu “kekerasan simbolis.”

And in a nutshell,

Singkatnya,

this is about the way that we allow words to manipulate us,

ini cara kita membiarkan kata-kata memanipulasi kita,

even when it's against our own best interests.

bahkan saat bertentangan dengan kepentingan kita.

So while social comparison may indeed be in our nature,

Jadi di saat perbandingan sosial mungkin memang ada dalam sifat kita,

it invariably leaves us feeling insecure, inadequate, unsatisfied.

itu selalu membuat kita merasa tidak aman, tidak cukup, tidak puas.

There will always be something more or something better.

Akan selalu ada sesuatu yang lebih atau lebih baik.

And there will always be someone better and better off.

Dan akan selalu ada seseorang yang lebih baik lagi.

So the question for me is this:

Jadi pertanyaannya bagi saya adalah ini:

how can we avoid doing symbolic violence to ourselves?

bagaimana kita bisa menghindari kekerasan simbolis terhadap diri kita?

Well, personally,

Yah, secara pribadi,

I find myself returning once again

saya mendapati diri saya kembali lagi

to the possibility that mediocrity might hold the key or a key.

pada kemungkinan bahwa biasa-biasa saja mungkin adalah kunci.

Now I understand that embracing mediocrity

Saya tahu bahwa merangkul biasa-biasa saja

might feel just a little bit extreme or uncomfortable for some people,

mungkin terasa sedikit aneh atau tidak nyaman bagi sebagian orang,

which I think is fair enough.

yang menurut saya cukup adil.

But the point is really just about coming to terms

Tapi intinya sebenarnya hanya tentang berdamai

with the inevitability of our averageness

dengan keniscayaan rata-rata kita

and maybe finding a way

dan mungkin menemukan cara

to find the value and perhaps the privilege in being unexceptional.

untuk menemukan nilai dan mungkin hak istimewa menjadi tidak luar biasa.

And for this, we've got to keep reminding ourselves that it really is OK

Dan kita harus terus mengingatkan diri sendiri bahwa tidak apa-apa untuk

not to be the best.

tidak jadi yang terbaik.

And it's certainly OK not to always want to be someone better

Dan tidak apa-apa untuk tidak berambisi jadi lebih baik

or to have something better.

atau punya barang lebih bagus.

But I think that nowadays,

Tetapi saya berpikir bahwa saat ini,

especially when we are surrounded by this relentless language

terutama ketika kita dikelilingi oleh bahasa

of superiority and comparison,

superioritas perbandingan tanpa henti ini,

it takes determination

dibutuhkan tekad

and it also takes real courage to be ordinary.

dan juga keberanian nyata untuk menjadi biasa.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)