Anne Scherer: Why we're more honest with machines than people | TED

Transcriber:

Translator: amanda aulia Reviewer: Maria Nainggolan

Now, a few years back, I was having a barbecue with friends and family.

Beberapa tahun yang lalu, saya sedang barbekyu dengan teman-teman dan keluarga.

As usual, we talked about the weather, the good food or TV shows to watch.

Seperti biasa, kami membicarakan tentang cuaca, makanan enak, dan program TV.

So nothing out of the ordinary

Jadi tidak ada yang tidak biasa

until one attendee casually mentioned

Sampai salah satu peserta bilang

that he and his wife hadn't had sex in a long time.

bahwa ia dan istrinya sudah lama tidak berhubungan seksual.

As you can imagine, what followed was an awkward silence.

Seperti yang dibayangkan, selanjutnya adalah keheningan yang canggung

Until a six-year-old boy attending the barbecue with his parents

sampai seorang anak lelaki berumur 6 tahun datang dengan orangtuanya

blurted out that his parents had lots of sex

mengungkapkan bahwa kedua orangtuanya sering berhubungan seksual

and he could hear them all the time.

dan dia bisa mendengar setiap kali orangtuanya berhubungan seksual,

And then the barbecue continued as if nothing had happened.

lalu barbekyu berlanjut seperti tidak terjadi apa-apa.

Now, when I'm not having barbecues,

Ketika saya tidak sedang barbekyu

I am researching how people interact with each other

saya mencari tahu bagaimana orang berinteraksi satu sama lain

and how that transfers to their interactions with technologies,

dan bagaimana itu beralih ke interaksi mereka dengan teknologi.

so not all too surprisingly,

Tidak terlalu mengejutkan,

after this very unique social interaction at the barbecue,

Setelah interaksi sosial yang sangat unik saat barbekyu,

I was left wondering why we, the audience,

saya dibiarkan bertanya-tanya mengapa kita, sebagai pendengar,

were so greatly ignoring what the adult so openly shared with us that evening.

sangat mengabaikan apa yang dikatakan oleh orang dewasa malam itu.

So why the silence and then the laughter at the boy's comment?

Jadi mengapa ada keheningan lalu tawa pada komentar anak kecil itu?

Well, both of them were breaking a social rule:

Keduanya melanggar aturan sosial:

never talk about sex, money or politics at a dinner table.

jangan pernah membicarakan seks, uang, dan politik saat sedang berkumpul.

We assume that an adult knows this rule and sticks to it.

Kita menganggap orang dewasa sudah tahu aturan ini dan mematuhinya.

So when such expectations are broken,

Jad ketika harapan itu tidak terjadi,

we sanction the offender accordingly -- in our case, with ignorance.

kita memberikan sangsi yang sesuai pada pelanggar. Dalam kasus ini, diacuhkan.

When a child, however, breaks such a rule,

Namun, ketika anak kecil yang melanggar aturan tersebut,

we attribute this to their naive understanding of our social manners

kita menghubungkan ini dengan pemahaman naif mereka tentang norma sosial yang ada

and up to a certain age at least, do not openly sanction them for it.

dan tidak memberikan sangsi pada mereka sampai batas usia tertentu.

Clearly, there is no official rule book for socially appropriate behaviors

Sudah jelas bahwa tidak ada aturan resmi untuk perilaku sosial yang sesuai

or even socially accepted dinner topics.

atau bahkan topik makan malam yang diterima secara sosial.

In fact, our social norms are usually unwritten codes of conduct,

Faktanya, norma sosial kita biasanya adalah kode perilaku tidak tertulis

and they change over time as we as a society change and learn.

dan mereka berubah seiring waktu seperti kita sebagai masyarakat berubah.

Seperti misalnya, kurang dari setahun yang lalu,

Less than a year ago, for instance,

it was considered impolite not to shake hands

dianggap tidak sopan, ketika kita tidak berjabat tangan

when introducing yourself to someone.

saat memperkenalkan diri ke orang lain.

A few months and the worldwide spread of the coronavirus later

Dalam beberapa bulan kemudian, virus corona menyebar di seluruh dunia

and shaking hands may be something to be frowned upon

dan berjabat tangan menjadi sesuatu yang tidak disukai

and maybe even a thing of the past.

dan bahkan menjadi sesuatu dari masa lalu.

The way we learn these social rules then

Cara kita belajar aturan sosial dulu

is mostly by social rewards and social punishments.

sebagian besar dengan penghargaan sosial dan hukuman sosial.

Now, as social animals,

Sekarang, sebagai makhluk sosial,

we aim for social approval and want to avoid other's disapproval.

tujuan kita menjadi persetujuan sosial dan menghindari ketidaksetujuan orang lain.

So we act in a way that is socially accepted

Jadi kita bertindak dengan cara yang diterima secara sosial

and present ourselves in a socially desirable way to others.

dan menampilkan diri kita secara sosial sesuai dengan yang diinginkan orang lain.

So we want to be seen as an individual that is smart, successful,

Jadi kita ingin dilihat sebagai individu yang pintar, sukses,

sporty and active, creative, empathic and possibly all that at once.

sportif dan aktif, kreatif, empatik, dan mungkin semuanya sekaligus.

Now, through social media, our strive for social approval,

Sekarang, melalui media sosial, upaya kita untuk persetujuan sosial

and with it, our need for self-presentation and perfection

bersamaan dengan itu, kebutuhan kita untuk tampil dan kesempurnaan

has skyrocketed.

telah meroket.

Clearly, there is a flip side to all of this.

Tentu saja, ada sisi sebaliknya untuk semua ini.

In any social interaction, we do not only look for others' approval,

Dalam interaksi sosial manapun,kita tidak hanya mencari persetujuan orang lain

but we also constantly fear other's disapproval

tapi kita juga senantiasa merasa takut terhadap ketidaksetujuan orang lain

when we cannot live up to their expectations.

ketika kita tidak bisa menjadi sesuai harapan mereka.

Just consider an adult with incontinence problems

Anggap saja seperti orang dewasa dengan kurangnya pengendalian diri

or a drug addiction.

atau pecandu narkoba.

If he or she had to talk to a health care professional,

Apabila ia harus berbicara dengan tenaga medis

what would you expect to find?

apa yang kira-kira akan ditemukan?

Or if a soldier returned from combat

Atau apabila seorang tentara kembali dari perang

and had to talk about their fears or problems,

dan harus berbicara mengenai ketakutan dan masalah mereka,

do you think they would open up easily?

apakah menurutmu mereka akan dengan mudah terbuka?

A team of USC researchers examined just that.

Sebuah tim dari peneliti USC meneliti hal tersebut.

So they looked at the data from the US Army.

Mereka melihat data dari angkatan darat AS.

Traditionally, soldiers had to be interviewed

Biasanya, tentara harus diwawancara

by a human health care professional when returning from combat

oleh tenaga medis ketika mereka kembali dari perang

to check if everything is OK.

untuk memeriksa apakah semuanya baik-baik saja.

Now, interestingly,

Menariknya,

the researchers found that soldiers hardly reported any problems

peneliti menemukan bahwa tentara jarang sekali melaporkan suatu masalah

after their returns.

ketika mereka kembali dari perang.

Surely many of them were truly fine,

Tentu saja beberapa dari mereka memang baik-baik saja

but the researchers also suspected

tetapi para peneliti menduga

that many soldiers did not dare to share their problems openly.

banyak tentara yang tidak berani menceritakannya secara terbuka.

After all, soldiers are trained to be strong and brave individuals

Bagaimanapun juga, tentara dilatih untuk menjadi individu yang kuat dan berani

that learn not to show any weaknesses.

yang belajar untuk tidak menunjukan kelemahannya.

So openly admitting to have health problems,

Jadi mengakui secara terbuka bahwa mereka mempunyai masalah kesehatan,

to have trouble sleeping or to have nightmares

mempunyai masalah tidur, bermimpi buruk

is not something easy to do for soldiers.

bukanlah hal yang mudah bagi seorang tentara.

The question then ultimately becomes

Pertanyaannya kemudian menjadi

how can we help individuals open up more easily

bagaimana kita bisa membantu individu untuk lebih mudah terbuka

and worry less about the judgment of others?

dan tidak khawatir terhadap penilaian orang lain?

Well, remember what I said earlier.

Ingatlah apa yang saya katakan sebelumnya.

We expect social evaluation in any social interaction.

Kita mengharapkan evaluasi sosial dalam setiap interaksi sosial.

So how about we remove the social from the interaction?

Jadi bagaimana kalau kita singkirkan sosial dari interaksi?

This is exactly what the team in the US did.

Ini persis seperti apa yang dilakukan tim di Amerika Serikat.

In fact, they developed a virtual interviewer called SimSensei.

Faktanya, mereka mengembangkan pewawancara maya yang disebut SimSensei.

So SimSensei is a digital avatar that has a humanlike appearance

Jadi SimSensei adalah avatar digital yang menyerupai manusia

and can interact with clients through natural conversations.

dan bisa berintaraksi dengan klien melalui percakapan biasa.

Now, when returning from combat,

Ketika kembali dari perang

soldiers were now interviewed by the digital avatar

seorang tentara diwawancara dengan avatar digital

instead of that human health care professional.

alih-alih manusia yang merupakan tenaga medis

And what happened? Well, once SimSensei was introduced,

lalu apa yang terjadi? Ketika SimSensei baru diperkenalkan,

soldiers reported more health problems,

para tentara lebih banyak melaporkan masalah kesehatan

like having nightmares or trouble sleeping.

seperti mimpi buruk atau kesulitan tidur.

So machines can help remove the social from the equation

Jadi mesin bisa membantu menghilangkan sosial dari interaksi

and help people open up more easily.

dan membantu orang terbuka dengan mudah.

But careful, not all machines are created equal.

Tapi hati-hati, tidak semua mesin dibuat serupa.

Considering the tremendous advancements in technologies like computer graphics

Mempertimbangkan kemajuan yang luar biasa dalam teknologi seperti komputer grafis

or natural language processing,

atau pemrosesan bahasa secara natural

machines have become increasingly humanlike.

mesin bisa menjadi benar-benar seperti manusia.

The question then ultimately becomes,

Lalu pertanyaanya menjadi,

which rules do we apply in these interactions?

aturan mana yang berlaku pada interaksi sepert ini?

Do we still apply social rules when we interact with humanlike machines?

Apakah kita masih menerapkan aturan sosial ketika kita berinteraksi dengan mesin?

So do we start to worry about social judgment again?

Apakah kita mulai khawatir dengan penilaian sosial lagi?

This is exactly what I examine in my research.

Ini persis seperti yang saya bahas dalam penelitian saya.

Together with colleagues, we have developed a series of chatbots.

Bersama dengan rekan kerja, kami mengembangkan beberapa seri chatbots.

These chatbots were programmed to simulate text-based conversations

Chatbots ini diprogram untuk menstimulasi percakapan berbasis teks

and they were designed to be either very social and humanlike

dan mereka dirancang untuk menjadi sangat sosial dan seperti manusia

or very functional and machine-like.

atau menjadi sangat berfungsi seperti mesin.

So, for instance,

Contohnya,

our humanlike bots use so-called speed disfluencies

robot yang dibuat menyerupai manusia ini menggunakan keterbataan bicara

and social language cues,

dan isyarat bahasa sosial

like these "ohos", "ahas", "hmms" we humans love to use in our conversations

seperti “ohos”, “ahas”, “hmms” yang suka digunakan orang dalam percapakan

to signal our presence to conversation partners.

untuk menandakan kehadiran kita terhadap lawan bicara.

In contrast, our machine-like bots

Sebaliknya, robot yang menyerupai mesin memiliki

lacked such social cues and simply kept to the talking points.

kekurangan kemampuan isyarat sosial dan hanya berfokus pada poin pembicaraan.

Since we were interested in how much people would open up

Karena kita tertarik untuk mengetahui sejauh mana orang akan terbuka

in these different conversations,

dalam berbagai percakapan,

we ask participants a number of questions,

kita menanyakan beberapa pertanyaan kepada peserta,

which gradually grew more and more personal,

yang lama kelamaan menjadi lebih mendalam

up to the point where we would ask participants

sampai pada titik dimana kita akan menanyakan peserta

to share possibly very delicate information about themselves.

untuk berbagi informasi yang sangat sensitif tentang diri mereka.

Now, considering the findings from prior research,

Dengan mempertimbangkan temuan dari penelitian sebelumnya,

such as the one from the US Army before,

seperti pada angkatan darat AS yang dibicarakan sebelumnya,

we expected that people would apply more social rules

kita mengharapkan orang akan mengimplementasikan aturan sosial

in their interactions with these humanlike bots

pada interaksi mereka dengan robot yang menyerupai manusia ini

and act accordingly.

dan bertindak sesuai dengan itu.

So what did we find?

Lalu apa yang kami temukan?

Well, exactly that.

Persis seperti itu.

So participants interacting with our humanlike bots

Jadi para peserta berinteraksi dengan robot yang menyerupai manusia

were more concerned about social evaluation

lebih peduli dengan evaluasi sosial

and as a result of this social apprehension,

dan hasil dari tangkapan sosial ini,

they also gave more socially desirable responses.

robot memberikan tanggapan yang lebih diinginkan secara sosial.

Let me give you an example.

Saya berikan contoh

One of the most delicate questions that we asked participants

salah satu pertanyaan paling sensitif yang ditanyakan pada peserta

was the number of prior sex partners they had had.

adalah berapa banyak pasangan seksual yang pernah mereka miliki.

When interacting with our humanlike bot,

Ketika mereka berinteraksi dengan robot yang menyerupai manusia,

men reported to have significantly more prior sex partners

pria diketahui mempunyai pasangan seks secara signifikan lebih banyak

and women reported to have significantly less

dan wanita diketahui lebih sedikit

than those men and women interacting with our mechanistic bot.

dibandingkan pria dan wanita yang berinteraksi dengan robot mekanik.

Jadi apa yang kita ketahui dari hal ini?

So what does this all tell us?

Pertama, pria ingin terlihat keren karena memiliki lebih banyak pasangan seksual

Well, first, men want to look good by having more prior sex partners

dan wanita ingin terlihat baik karena memiliki pasangan seksual lebih sedikit.

and women by having less.

Ini jelas sudah memberitahu banyak hal

Clearly, this already says a lot

about what the different sexes consider socially desirable

terkait apa yang dianggap diinginkan secara sosial oleh kedua gender

and how our expectations in society still differ across genders.

dan bagaimana ekspektasi sosial berbeda pada kedua gender.

But this opens up a whole new topic

Tapi ini mengungkap sebuah topik baru

that I will better leave for other experts to discuss.

yang lebih baik didiskusikan dengan ahlinya.

Second, and maybe more importantly, from a consumer psychology perspective.

Kedua, yang mungkin lebih penting dari perspektif psikologi konsumen.

People open up more easily when they interact with machines

Orang lebih terbuka ketika berinteraksi dengan robot mekanik

that are apparently just that -- machines.

yang memang hanya terlihat sebagai sebuah mesin.

Today, a lot of sweat, money and tears

Sekarang banyak usaha yang dikeluarkan

is put into making machines basically indistinguishable from us.

dalam membuat mesin yang sangat menyerupai kita.

Now, this research can show

Penilitian ini menunjukan

that sometimes letting a machine be a machine is actually a good thing.

bahwa terkadang membiarkan mesin tetap menjadi mesin adalah hal bagus

Which brings me to my third point.

yang membawa saya pada poin ketiga.

These machine interactions have been highly criticized at times.

Interaksi dengan mesin ini menuai sangat banyak kritik.

So you may have heard that Siri, Alexa or others

Anda mungkin pernah mendengar SIri, Alexa, atau lainnya

make your kids rude or impolite.

membuat anak Anda menjadi lebih kasar dan tidak sopan.

Hopefully, this research can show you

Semoga, penelitian ini dapat menunjukan kepada Anda

a great upside of these machine interactions.

keuntungan besar dari interaksi dengan mesin.

In times of social media and our constant hunt for the next “like,”

Pada zaman media sosial dan perburuan terus menerus kita pada “like” selanjutnya

machines can give us grownups --

mesin memberikan orang dewasa

help us find that inner child again

bantuan untuk menemukan ‘anak-anak’ dalam diri kita lagi

and give our constant need for self-presentation and perfection

dan memberikan kebutuhan kita untuk selalu tampil dan kesempurnaan

a time-out.

sebuah jeda.

For once, we do not need to worry

Untuk pertama kali, kita tidak perlu khawatir

if the number of prior sex partners is too high or too low,

apabila jumlah pasangan seks yang dimiliki sebelumnya banyak atau sedikit

and instead it is OK to simply be who we are.

dan alih-alih menjadi diri kita sendiri

Ultimately, then, I think that these machines can remind us

akhirnya saya berpikir bahwa mesin ini bisa mengingatkan kita

of a central element of what makes a good conversation partner:

elemen utama yang menjadikan kita teman bicara yang baik:

being nonjudgmental.

menjadi orang yang tidak menghakimi,

so the next time you might encounter

jadi bila lain kali Anda menjumpai

a unique social situation like mine at the barbecue,

situasi sosial yang unik seperti saya ketika barbekyu,

try to be less judgmental

cobalah menjadi orang yang tidak terlalu menghakimi

when another person openly shares

ketika sesorang berbagi sesuatu,

their thoughts, feelings and problems with you.

pikiran, perasaan, permasalahan mereka denganmu.

Many machines do this already, and maybe so should we.

Banyak mesin sudah melakukan hal serupa dan sebaiknya kita juga seperti itu.

Thank you very much.

Terima kasih banyak.