Dear Fellow Refugees, Here’s How I Found Resilience | Chantale Zuzi Leader | TED

Translator: Ezy Wiranda Reviewer: Wulan H.

It was my 13th birthday.

Saat itu adalah ulang tahun saya yang ke-13.

My mother made my favorite dish of rice and beans.

Ibu saya membuat hidangan nasi dan kacang-kacangan favorit saya.

In the afternoon,

Di sore hari,

some neighbors celebrated in front of our house,

beberapa tetangga merayakannya di depan rumah kami,

dancing, laughing, eating.

menari, tertawa, dan makan.

With music, filling the air in our usually quiet small village

Dengan musik yang mengisi udara di desa kecil kami yang biasanya tenang

in the Congo.

di Kongo.

Several hours later,

Beberapa jam kemudian,

the peaceful evening was torn apart.

malam yang damai itu terkoyak.

Torn apart by gunfire.

Terkoyak oleh tembakan.

Terrified screams filled the air.

Jeritan ketakutan memenuhi udara.

My mother and father wanted us children to seek shelter from this danger.

Ibu dan ayah saya ingin anak-anak mencari perlindungan dari bahaya ini.

I remember my mother shouting to us all,

Saya ingat ibu saya berteriak kepada kami semua,

"Go to the tree, go to the tree," she said.

“Pergilah ke pohon, pergi ke pohon,” katanya.

There was no time to say goodbye.

Tidak ada waktu untuk mengucapkan selamat tinggal.

Nine of us children ran to the forest

Sembilan dari kami yang masih anak-anak berlari ke hutan

and huddled together through the night

dan meringkuk bersama sepanjang malam

under that tree.

di bawah pohon itu.

It was our place of sanctuary,

Itu adalah tempat berlindung kami,

our place of safety.

tempat yang aman bagi kami.

After hours of terror, the guns went quiet.

Setelah berjam-jam teror, bunyi senjata menjadi sunyi.

The Sun appeared in the morning.

Matahari muncul di pagi hari.

But not our parents.

Tapi tidak dengan orang tua kami.

They still had not returned.

Mereka masih belum kembali.

The long, stretching branches of our tree

Cabang-cabang pohon yang panjang dan meregang

could not protect us from our growing worry.

tidak dapat melindungi kami dari kekhawatiran kami yang semakin besar.

As we returned to our village, our fear turned to despair.

Ketika kami kembali ke desa, ketakutan kami berubah menjadi keputusasaan.

My mother and father had been killed,

Ibu dan ayah saya telah terbunuh,

along with dozens [of] innocent men,

bersama dengan puluhan pria,

women and children.

wanita, dan anak-anak yang tidak bersalah.

The violence of that night ripped out our precious roots

Kekerasan pada malam itu menghancurkan segala yang kami punya

and set as adrift into the world.

dan membuat kami terkatung-katung di dunia.

We were now orphans, outsiders, refugees

Kami sekarang adalah anak yatim piatu, orang luar, pengungsi

without a place to call home,

tanpa tempat yang bisa disebut rumah,

without a place of safety.

tanpa tempat yang aman.

We were forced to leave our village and everything we knew.

Kami terpaksa meninggalkan desa kami dan semua yang kami kenali.

We traveled miles, crossed borders

Kami melakukan perjalanan bermil-mil, melintasi perbatasan

and joined tens of thousands of other refugees

dan bergabung dengan puluhan ribu pengungsi lainnya

in the refugee settlement in Uganda.

di pemukiman pengungsi di Uganda.

There, our family shared the many challenges

Di sana, keluarga kami berbagi banyak tantangan

faced by displaced people around the world.

yang dihadapi oleh orang-orang terlantar di seluruh dunia.

We learned to live in a constant state of struggle.

Kami belajar untuk berjuang hidup secara terus-menerus.

We ate, kept clean, protected each other,

Kami makan, membersihkan diri, saling melindungi,

all to maintain some level of dignity and hope.

semuanya demi menjaga martabat dan harapan pada tingkat tertentu.

I tell my story not because it is unique.

Saya menceritakan kisah saya bukan karena itu unik.

Just the opposite.

Justru sebaliknya.

I am one of many displaced people around the world.

Saya adalah salah satu dari banyak pengungsi di seluruh dunia.

The number of forcibly displaced people has more than doubled since 2013.

Jumlah orang yang terpaksa mengungsi

meningkat lebih dari dua kali lipat sejak tahun 2013.

It has surpassed 108 million, and it’s continuing to rise.

Ini telah melampaui 108 juta, dan terus meningkat.

Just over half of the displaced people are women and girls,

Lebih dari setengah pengungsi adalah perempuan dan anak perempuan,

and 43.3 million are children.

dan 43,3 juta pengungsi adalah anak-anak.

There is such a fragile border between the basic comfort most of us enjoy

Ada batas rapuh antara kenyamanan utama yang dinikmati sebagian besar dari kita

and the misery that is the daily existence for millions of refugees.

dan kesengsaraan yang menjadi keseharian jutaan pengungsi.

My experience has taught me anyone can become a refugee.

Pengalaman saya telah mengajarkan saya bahwa siapapun bisa menjadi pengungsi.

To lose that place of safety they once had.

Kehilangan tempat aman yang pernah mereka miliki.

But my experience has also taught me something else.

Tetapi pengalaman saya juga mengajari saya sesuatu yang lain.

That it is possible to break through.

Bahwa itu mungkin untuk melawan.

To break through those barriers of distrust and discrimination

Melawan hambatan ketidakpercayaan, diskriminasi,

and uncertainty.

dan ketidakpastian.

To find a place of community, friendship

Untuk menemukan komunitas, persahabatan,

and to even find hope.

dan bahkan menemukan harapan.

Those changes can happen in small and large ways

Perubahan itu dapat terjadi dalam skala kecil dan besar

and in ways that are sometimes difficult to imagine.

dan dengan skala yang terkadang sulit dibayangkan.

Let me explain.

Biar saya jelaskan.

When I was born,

Ketika saya lahir,

my maternal grandmother wanted my mother to kill me.

nenek dari ibu saya ingin ibu saya membunuh saya.

Why?

Mengapa?

Because she and many others held the common belief

Karena dia dan banyak orang lain memiliki keyakinan kuat

that my albinism was a curse.

bahwa albinisme saya adalah kutukan.

My mother refused, believing I was not a curse

Ibu saya menolak, percaya bahwa saya bukan kutukan

but a gift from God.

melainkan hadiah dari Tuhan.

So you see, my mother had saved my life twice.

Jadi Anda tahu, ibu saya telah menyelamatkan hidup saya dua kali.

Once when I was born.

Sekali saat saya lahir.

And on the last day I saw her alive.

Dan pada hari terakhir saya melihatnya masih hidup.

People can change.

Orang bisa berubah.

When I was 12,

Ketika saya berusia 12 tahun,

there was a girl in school who always avoided me

ada seorang gadis di sekolah yang selalu menghindari saya

until one day,

sampai suatu hari,

the teacher assigned her to be a partner on a school project.

guru menugaskannya untuk menjadi rekan kelompok dalam proyek.

The girl asked me,

Gadis itu bertanya pada saya,

"If you touch me,

“Jika kamu menyentuhku,

will my children also look like you?"

akankah anak-anakku juga terlihat sepertimu?”

I explained to her, I'm not a curse.

Saya menjelaskan kepadanya, saya bukan kutukan.

I'm not contagious.

Saya tidak menular.

This is just how I was born.

Begitulah cara saya dilahirkan.

That exchange allowed us to break through

Perubahan itu memungkinkan kami untuk saling mengenal

and spike both a deeper understanding

dan meningkatkan pemahaman yang lebih dalam

and a good friendship.

dan persahabatan yang baik.

Breaking through the barriers of fear and ignorance

Melawan hambatan ketakutan dan ketidaktahuan

are critical to building bridges of understanding

sangat penting untuk membangun jembatan pemahaman

between the refugee population and the community they join.

antara populasi pengungsi dan komunitas yang mereka ikuti.

Just as I learned as a young girl,

Sama seperti yang saya pelajari sebagai seorang gadis muda,

this type of change requires the openness to share one's story

jenis perubahan ini membutuhkan keterbukaan untuk berbagi cerita

and a willingness to grow.

dan kemauan untuk berkembang.

Years later,

Bertahun-tahun kemudian,

my albinism worked in my favor.

albinisme membawa keuntungan bagi saya.

The United Nations High Commission for Refugees

Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi

began to work on plans for my resettlement.

mulai melaksanakan rencana pemukiman kembali untuk saya.

Albinos were being prioritized

Albino diprioritaskan

because of the danger they face in their home countries.

karena bahaya yang mereka hadapi di negara asal mereka.

Violence, discrimination, that some nations, including mine,

Kekerasan, diskriminasi, yang beberapa negara, termasuk negara saya

were unable to protect us from.

tidak dapat melindungi kami darinya.

So in 2018,

Jadi pada tahun 2018,

five years after I lost both my mother and my motherland,

lima tahun setelah saya kehilangan ibu dan tanah air saya,

I left Africa to come to the United States.

saya meninggalkan Afrika dan datang ke Amerika Serikat.

My initial reaction when I arrived in Worcester, Massachusetts was,

Reaksi pertama saya ketika saya tiba di Worcester, Massachusetts adalah,

"It's so cold here."

“Di sini sangat dingin.”

(Laughter)

(Tawa)

As I saw my foster family holding up signs

Ketika saya melihat keluarga angkat saya memegang papan

that said “Welcome to America, Chantale,”

yang bertuliskan “Selamat datang di Amerika, Chantale,”

I felt that I had finally found a home.

saya merasa bahwa saya akhirnya menemukan rumah.

The cold was just the beginning of [a] series of adjustments

Hawa dingin hanyalah awal dari serangkaian penyesuaian

to a very unfamiliar place and an entirely different culture.

ke tempat yang sangat asing dan budaya yang benar-benar berbeda.

Mastering English was a challenge,

Menguasai bahasa Inggris adalah sebuah tantangan,

but it was far surpassed by the great joy of being able to attend school again.

namun hal itu menciptakan kebahagiaan luar biasa karena bisa bersekolah lagi.

Well, I graduated high school in three years and ...

Yah, saya lulus SMA tiga tahun lalu dan...

(Applause)

(Tepuk tangan)

And I'm now a junior at Wellesley College.

Dan sekarang saya junior di Wellesley College.

(Cheers and applause)

(Sorak-sorai dan tepuk tangan)

Majoring in political science.

Jurusan ilmu politik.

(Applause)

(Tepuk tangan)

After reflecting on my own journey and my own experiences,

Setelah merenungkan perjalanan dan pengalaman saya,

I began to dream of creating similar learning [opportunities]

saya mulai bercita-cita menciptakan kesempatan pembelajaran serupa

for young girls still living in the same refugee settlements

untuk gadis-gadis muda yang masih tinggal di pemukiman pengungsi

yang sama dengan tempat saya tinggal ketika masih kecil.

I lived in as a child.

That dream has taken shape

Cita-cita itu telah terbentuk

in the creation of “Refugee Can Be,”

dalam penciptaan “Refugee Can Be,”

a non-profit organization I founded

sebuah organisasi nirlaba yang saya dirikan

with the help of dedicated partners and supporters.

dengan bantuan mitra dan pendukung yang berdedikasi.

Our core mission is to be that tree,

Misi utama kami adalah menjadi pohon,

that place of sanctuary,

tempat perlindungan,

that place of safety,

tempat yang aman,

to provide a secondary education

untuk menyediakan pendidikan menengah

along with livelihood and leadership training

bersama dengan mata pencaharian dan pelatihan kepemimpinan

for the girls in the camp.

bagi gadis-gadis di kamp.

To show them that they, too, can break through.

Untuk menunjukkan kepada mereka bahwa mereka juga bisa bertindak.

I have learned that a refugee can be anything

Saya telah belajar bahwa seorang pengungsi bisa menjadi apa pun yang

she dreams she can be.

dia impikan.

But she can't do it on her own.

Tapi dia tidak bisa melakukannya sendiri.

The course of my life, once dictated by tragedy and loss

Jalan hidup saya, yang dulu didikte oleh tragedi dan kehilangan,

is now in my power.

kini berada dalam kekuasaan saya.

(Applause)

(Tepuk tangan)

There are hundreds of people

Ada ratusan orang

who reached out to help me, to teach me,

yang mengulurkan tangan untuk membantu saya, untuk mengajari saya,

to give me access to incredible opportunities.

untuk memberi saya akses terhadap peluang yang luar biasa.

Now it is my turn to reach out, to use the platform I have

Kini giliran saya yang mengulurkan tangan, menggunakan platform yang saya miliki

to secure for other refugees the chance

untuk memberikan kesempatan bagi pengungsi lain

to realize their own power to break through.

untuk menyadarkan kekuatan mereka sendiri untuk bertindak.

Beyond the essential roles that governments, NGOs,

Di luar peran penting yang dapat dan harus dimainkan oleh pemerintah, LSM,

businesses can and must play to eliminate causes of displacement,

dan bisnis untuk menghilangkan penyebab pengungsian,

each of us are called to take action.

kita semua dipanggil untuk mengambil tindakan.

To help provide that place of safety,

Untuk membantu menyediakan tempat yang aman,

by welcoming those who once lost everything,

dengan menyambut mereka yang pernah kehilangan segalanya,

but have a world of creativity and talent

tetapi memiliki dunia kreativitas dan bakat

to bring into the work of rebuilding their lives

untuk terlibat dalam tugas membangun kembali kehidupan mereka

and enhancing the communities we share with them.

dan membangun komunitas yang kita tinggali bersama mereka.

Meet each refugee with both curiosity and compassion,

Temui setiap pengungsi dengan rasa ingin tahu dan kasih sayang,

understanding their specific needs, learning their specific stories

pahamilah kebutuhan spesifik mereka, pelajarilah cerita spesifik mereka

and calling them by name.

dan panggillah mereka dengan nama mereka.

You are hearing one voice today.

Anda mendengar satu suara hari ini.

It is a voice of a refugee girl

Itu adalah suara seorang gadis pengungsi

who was rescued through the love and generosity of many.

yang diselamatkan melalui cinta dan kemurahan hati banyak orang.

But I feel the voices of millions of refugees speaking through me,

Tetapi saya merasakan suara jutaan pengungsi berbicara melalui saya,

here, as I do.

di sini, seperti yang saya lakukan.

The urgency of those voices

Urgensi suara-suara itu

calling on each one of us

menyerukan kepada kita semua

to help refugees break through,

untuk membantu para pengungsi bertindak,

to find a place of sanctuary,

untuk menemukan tempat perlindungan,

find a place of safety.

menemukan tempat yang aman.

Find a way home.

Menemukan jalan pulang.

Thank you.

Terima kasih.

(Cheers and applause)

(Sorak-sorai dan tepuk tangan)