Why I photograph the quiet moments of grief and loss | Caroline Catlin

Transcriber:

Translator: Rahma Kartika Reviewer: Maria Nainggolan

You know those awkward icebreaker games,

Kamu tahu permainan selingan yang canggung itu,

when everyone goes around and answers something

ketika semua orang berkeliling dan menjawab sesuatu

like, "What's your favorite superpower?"

seperti, “Apa kekuatan super favoritmu?”

When I was a kid, I loved those games.

Saat aku kecil, aku suka permainan itu.

I believed I had the perfect answer.

Aku percaya aku punya jawaban sempurna.

People would start sharing and I would wait,

Orang-orang akan berbagi dan aku akan menunggu,

bouncing in my seat with excitement.

memantul di kursiku dengan gembira.

And when it was my turn,

Dan ketika giliranku,

I would proudly tell everyone, "The superpower I want most of all

aku akan dengan bangga memberi tahu semua, “Kekuatan super yang paling aku inginkan

is to see people's emotions in color, hovering in the air around them."

adalah melihat emosi orang dalam warna, melayang di udara sekitar mereka.”

Wouldn't it be cool if you could see how happy a friend was to see you,

Bukankah keren jika kamu bisa melihat betapa bahagianya teman melihatmu,

like they'd walk in and it would just fill with the color yellow.

mereka akan berjalan masuk dan akan terisi dengan warna kuning.

Or you could tell when a stranger needed help.

Atau kamu bisa tahu saat orang asing membutuhkan bantuan.

You'd pass them on the street

Kamu melewati mereka di jalan

and you'd see this long trail of blue behind them.

dan melihat jejak biru panjang di belakang mereka.

This was usually the moment

Ini biasanya saat

where I would look around at the many blank faces

di mana aku akan melihat banyak muka kosong

telling me yet again,

memberitahuku lagi,

my cool superpower, it hadn't landed well with my fellow fourth graders.

kekuatan superku yang keren, tidak cocok dengan teman-teman kelas empatku.

I was an awkward child.

Aku adalah anak yang canggung.

That hasn't really changed.

Itu tidak benar-benar berubah.

And neither has my deep appreciation for the emotional world around me

Dan juga dengan apresiasi mendalamku terhadap dunia emosi di sekitarku

or my desire to both witness and capture the elusiveness of feelings.

atau keinginanku untuk menyaksikan dan menangkap perasaan yang sulit dipahami.

As I grew older,

Seiring bertambahnya usia,

I started paying attention to the people and the stories I came across

aku mulai memperhatikan orang-orang dan cerita yang aku temui

and I wrote down what I saw.

dan menulis apa yang aku lihat.

When writing didn't feel like enough, I learned photography

Saat menulis terasa tidak cukup, aku belajar fotografi

and I began documenting the moments that felt most precious to me.

dan mulai mendokumentasikan saat-saat yang terasa paling berharga bagiku.

With a camera in hand,

Dengan kamera di tangan,

I learned the art of deciding what to include in the frame

aku belajar seni memutuskan apa yang dimasukkan ke dalam bingkai

and what to let blur into the background.

dan apa yang dibiarkan kabur di latar.

I graduated high school. I went to college.

Aku lulus SMA. Aku masuk kuliah.

I studied a combination of psychology and art.

Aku belajar kombinasi psikologi dan seni.

No shortage of feelings there, I can assure you.

Tidak ada kekurangan perasaan di sana, aku jamin.

And then ...

Kemudian...

I got sick.

aku sakit.

Not in a dramatic way.

Tidak secara dramatis.

I didn't start screaming in agony

Aku tidak berteriak kesakitan

or wake up unable to move or suddenly forget how to speak.

atau bangun tidak bisa bergerak atau tiba-tiba lupa cara berbicara.

Eventually, all those things would happen to some degree,

Akhirnya, aku mendapatkan gelar,

but my path from wellness to illness

tetapi jalanku dari sehat menuju sakit

was a slow, persistent movement towards deep sickness.

adalah pergerakan yang pelan dan tetap menuju penyakit yang berat.

I spent three years trying to identify the cause.

Aku menghabiskan tiga tahun mencoba mengindentifikasi penyebabnya.

I met with numerous doctors and the answer was always the same.

Aku bertemu banyak dokter dan jawabannya selalu sama.

There was nothing wrong with me.

Tidak ada yang salah denganku.

Over and over.

Berulang-ulang.

Despite my persistent low-grade fever and joint pain and muscle aches,

Meskipun demam tingkat rendahku yang tetap dan nyeri sendi dan nyeri otot,

I was told, "Go see a therapist,

aku diberi tahu, “Pergilah ke terapis,

practice more self-care."

latih perawatan diri lagi.”

I started to believe they were right.

Aku mulai percaya bahwa mereka benar.

Maybe nothing was wrong.

Mungkin tidak ada yang salah.

Every test that came back normal

Setiap tes dengan hasil normal

had me falling further into a hole of self-doubt.

membuatku jatuh ke lubang keraguan diri lebih dalam.

I started grad school

Aku memulai pascasarjana

hoping that I would somehow get over this mysterious illness

berharap aku akan melewati penyakit misterius ini bagaimanapun

and I could return to life as it was before.

dan aku bisa kembali ke kehidupanku seperti sebelumnya.

Still there was a small, unwavering part of me that knew.

Tetap ada sedikit bagian tak tergoyahkan dari diriku yang tahu.

Despite my symptoms not lining up with anything that made sense,

Meskipun gejalaku tidak sesuai dengan apapun yang masuk akal,

I knew something was wrong.

aku tahu ada yang salah.

Eventually my cognitive symptoms worsened.

Akhirnya, gejala kognitifku memburuk.

Brain fog and memory loss and word-finding,

Otak berkabut dan hilang ingatan dan pencarian kata,

and a doctor agreed to order an MRI.

dan dokter setuju untuk melakukan MRI.

Assuring me they didn't think they'd find anything concerning.

Mereka meyakinkanku tidak akan ada sesuatu yang mengkhawatirkan.

Instead ...

Sebagai gantinya...

they found a golf ball-sized mass in my right parietal lobe.

mereka menemukan massa seukuran bola golf di lobus parietal kanan saya.

And just like that, everything changed.

Dan hanya seperti itu, semua berubah.

I called my parents

Aku menelepon orangtuaku

and I scheduled a date for brain surgery,

dan menjadwalkan tanggal operasi otak,

and I dropped out of my grad program.

dan aku keluar dari program pascasarjana.

They told me the tumor is probably benign

Mereka bilang tumornya mungkin jinak

and with its removal that I'd likely make a full recovery.

dan dengan menghilangkannya aku akan sembuh total.

I wish with all of my heart

Aku berharap dengan sepenuh hati

I could tell you they were right.

aku bisa berkata mereka benar.

I wish the story ended here.

Aku harap ceritanya selesai di sini.

Six days after surgery, the pathology report came back

Enam hari setelah operasi, laporan patologi datang

telling us the tumor was not benign.

memberi tahu kami tumornya tidak jinak.

It was something called an anaplastic astrocytoma

Itu sesuatu yang disebut dengan astrositoma anaplastik

and while the surgery had been successful and the tumor was gone,

dan ketika operasinya sukses dan tumornya telah diangkat,

the microscopic cancerous cells it left behind remained,

sel kanker mikroskopis tetap tertinggal,

impossible to remove.

mustahil untuk dihilangkan.

In other words, I was officially diagnosed with a rare,

Dengan kata lain, aku secara resmi didiagnosis dengan kanker otak yang langka

aggressive, incurable brain cancer.

agresif, dan tidak dapat disembuhkan.

Not my best day.

Bukan hari terbaikku.

My cancer is treatable, but it's highly recurrent.

Kankerku dapat diobati, tetapi itu sangat berulang.

And when it does recur, it tends to return as terminal.

Dan ketika terulang, itu cenderung kembali sebagai stadium akhir.

The timeline of when, it's unpredictable.

Waktunya kapan, tidak bisa diprediksi.

Some people get 15 years.

Beberapa orang mendapat 15 tahun.

Some people just get one.

Beberapa orang hanya satu tahun.

My doctors explained to me

Dokterku menjelaskan kepadaku

that while chemo and radiation would reduce the likelihood of recurrence,

bahwa ketika kemo dan radiasi akan mengurangi kemungkinan terulangnya,

every three months for the rest of my life,

setiap tiga bulan untuk seumur hidupku,

I would need to return to the hospital to check for new tumor growth.

aku perlu kembali ke rumah sakit untuk memeriksa pertumbuhan tumor baru.

As I listened, I met real grief for the first time.

Saat aku mendengarkan, aku bertemu duka yang nyata untuk pertama kalinya.

I thought of that superpower I'd once wanted

Aku memikirkan kekuatan super yang dulu aku mau

and I imagined a deep dark purple filling the room around us.

dan aku membayangkan ungu gelap mengisi ruangan sekitar kita.

A cloak of color that I knew was going to stay with me.

Jubah warna yang aku tahu akan tinggal bersamaku.

I'm 27.

Aku berumur 27 tahun.

I thought to myself, how can this be happening?

Aku berpikir ke diriku sendiri, bagaimana ini bisa terjadi?

I was as determined as I was devastated.

Aku merasa bertekad dan hancur.

I wanted to fight and recover

Aku ingin melawan dan sembuh

and I wanted as many years of life as possible.

dan aku ingin hidup selama mungkin.

As I once again began to regain my strength,

Saat aku mulai mengumpulkan tenagaku lagi,

I started to pay attention to the people and the stories around me.

aku mulai memperhatikan orang-orang dan cerita-cerita di sekitarku.

In the hospital, I would push my walker down the hallway

Di rumah sakit, aku akan mendorong alat bantu jalanku ke lorong

and I would steal glances into the rooms I'd passed

dan aku akan mencuri pandang ke kamar-kamar yang aku lewati

and I would see these tiny worlds contained within them.

dan aku akan melihat dunia-dunia kecil yang terkandung di dalamnya.

Sometimes I could feel joy so big,

Terkadang aku bisa merasa sangat bahagia,

I just wanted to stop and stand in it.

aku hanya ingin berhenti dan berdiri di dalamnya.

Other times, the despair and the sadness made me want to run.

Di saat lain, keputusasaan dan kesedihan membuatku ingin lari.

About three months after I left the hospital

Sekitar tiga bulan setelah meninggalkan rumah sakit

I found out about an organization

aku menemukan organisasi

that offers free photo sessions

yang menawarkan sesi foto gratis

to critically ill children and their families.

untuk anak yang sakit kritis dan keluarganya.

Right away I called them.

Aku langsung menelepon mereka.

I set up a meeting and I signed up to volunteer.

Aku mengatur pertemuan dan mendaftar sebagai sukarelawan.

Despite my radiation-induced fatigue and my persistent grief,

Meskipun kelelahan karena radiasi dan sedih yang terus menerus,

the idea of giving back in that way,

ide memberi kembali dengan jalan itu,

it lit a spark within me that had been recently extinguished.

itu menyalakan percikan dalam diriku yang baru saja padam.

For the first time in a while,

Untuk pertama kalinya dalam beberapa saat,

I felt hope.

aku merasakan harapan.

It was as if a thin strand of gold

Seakan-akan helaian emas

had begun to weave its way through my coat of grief.

mulai ditenun di jubah dukaku.

And the color was blending slowly into something new.

Dan warnanya perlahan bercampur menjadi sesuatu yang baru.

This organization offers their services

Organisasi ini menawarkan pelayanan mereka

to children at any stage of serious illness.

untuk anak-anak di setiap tahap penyakit serius.

And often they are joy-filled and they're celebratory.

Dan seringkali mereka dipenuhi kegembiraan dan mereka merayakannya.

Other times a family asks for a photographer

Di waktu lain sebuah keluarga meminta fotografer

to document a child at the end of their life.

mendokumentasikan seorang anak yang berada di akhir hidupnya.

Sometimes these are the only professional photos

Terkadang ini satu-satunya foto profesional

a family will ever have of their child.

anak mereka yang dimiliki sebuah keluarga.

Often they're the last ones ever taken.

Seringkali itu foto terakhir yang diambil.

The first call I got

Telepon pertama yang aku dapat

was for an end-of-life session for a three-year-old girl

adalah untuk sesi akhir kehidupan seorang gadis tiga tahun

who'd been very sick for a long time.

yang sudah sakit parah sejak lama.

"She might pass while you're there,"

“Mungkin dia meninggal saat kamu di sana,”

they warned me.

mereka memperingatkanku.

"Are you sure you're up for it?"

“Apa kamu yakin mau melakukannya?”

"Yes," I told them, completely unsure if I was.

“Ya,” aku memberi tahu mereka, benar-benar tidak yakin.

Now, I could tell you about this little girl's death,

Sekarang, aku bisa memberi tahumu tentang kematian gadis kecil ini,

which happened a few days after I photographed her.

yang terjadi beberapa hari setelah aku memotret dia.

I could, but I'm not going to.

Aku bisa, tetapi aku tidak akan melakukannya.

Instead, I want to show you the little girl's mother.

Sebaliknya, aku akan menunjukkan kamu ibu dari gadis kecil ini.

How she kissed and stroked the hair of her daughter

Bagaimana dia mencium dan membelai rambut putrinya

as she lay in that too big hospital bed.

saat dia berbaring di kasur rumah sakit yang besar.

Even as the world as she knew it ended forever,

Meskipun dunia yang dia tahu berakhir selamanya,

she was there to give love to her daughter.

dia di sana untuk memberi cinta kepada putrinya.

I want you to see the dying girl's older brother.

Aku ingin kamu melihat kakak dari gadis yang sekarat.

How he cried,

Bagaimana dia menangis,

but also how he took his yellow airplane

tetapi juga bagaimana dia mengambil pesawat kuningnya

and he flew it above her head.

dan dia menerbangkannya di atas kepalanya.

How I saw then a gesture of hope,

Bagaimana aku melihat sikap dari harapan,

colorful emotion, orange and gold.

emosi penuh warna, oranye dan emas.

I want to bring you with me into the rooms

Aku ingin membawa kamu bersamaku ke dalam kamar-kamar

where the mothers hold their babies and the families say goodbye.

di mana para ibu menggendong bayinya dan keluarga mengucapkan selamat tinggal.

And I want to offer you the chance to see in frames,

Dan aku ingin menawarkan kalian kesempatan untuk melihat bingkai-bingkai,

to choose the point of focus and blur the background,

untuk memilih titik fokus dan mengaburkan latarnya,

to see the details we so often miss, the moments of grace and beauty

untuk melihat detail yang sering luput, saat-saat yang anggun dan indah

we assume don't exist in those desperate places.

yang kita asumsikan tidak ada di tempat-tempat putus asa itu.

In the hardest moments imaginable,

Di momen tersulit yang bisa dibayangkan,

those families,

keluarga-keluarga itu,

they choose to love,

mereka memilih untuk mencintai,

despite and because of it all.

meskipun dan karena itu semua.

I was not raised in religion

Aku tidak dibesarkan dalam agama

and yet I can tell you, whatever you believe,

dan aku bisa memberi tahumu, apapun yang kamu percaya,

those rooms are holy ground.

kamar-kamar itu adalah tempat suci.

When I was first diagnosed,

Ketika aku pertama kali didiagnosis,

I was certain grief would swallow me whole

aku yakin duka akan menelanku bulat-ulat

and some days I still think it might.

dan suatu hari aku masih berpikir seperti itu.

I will never be at peace with the fact

Aku tidak akan pernah tenang dengan fakta

I might not get to be a mother.

aku mungkin tidak akan menjadi seorang ibu.

That I might not see my brothers get married,

Bahwa aku mungkin tidak akan melihat saudara-saudaraku menikah,

that I probably won't become old,

bahwa aku mungkin tidak akan menjadi tua,

like really old,

yang sangat tua,

the kind of old everyone else dreads and tries to fight against.

jenis orang tua yang semua orang takuti dan coba melawan.

I would've made a great old person.

Aku akan menjadi orang tua yang hebat.

My grief --

Dukaku--

it's big.

itu besar.

My fear of dying, of leaving behind the people I love.

Ketakutanku akan kematian, meninggalkan orang-orang yang aku cintai.

It's enormous.

Itu besar sekali.

And my work photographing death has not erased that.

Dan pekerjaanku memotret kematian tidak menghapus itu.

Death itself is rarely beautiful

Kematian sendiri jarang indah

and the images I capture reflect that too.

dan gambar-gambar yang aku tangkap merefleksikan itu juga.

The grief I have seen, the immensity of the loss --

Duka yang pernah aku lihat, besarnya kehilangan--

it's brutal.

itu brutal.

But when I walk into those rooms with that camera,

Tetapi saat aku masuk ke kamar-kamar dengan kamera,

my job is to do what I always wanted to do as a child.

pekerjaanku adalah melakukan apa yang selalu aku ingin lakukan saat kecil.

To capture the feeling and the connection and the emotion

Untuk menangkap perasaan dan hubungan dan emosi

right there in front of me.

tepat di hadapanku.

And what I've learned from all these families

Dan apa yang telah aku pelajari dari semua keluarga ini

and from my own wild terrain of grief

dan dari medan dukaku sendiri yang liar

is if I pay close enough attention,

adalah jika aku cukup memperhatikan,

I don't need to see emotion in color after all.

aku tidak perlu melihat emosi dalam warna sama sekali.

It's there and it's visible in the details.

Itu ada di sana dan terlihat dalam detail.

In the way our communities love each other through anything and everything.

Dalam cara komunitas kita saling mencintai melalui apa saja dan segalanya.

And with my camera,

Dan dengan kameraku,

I can capture the evidence of that forever,

aku bisa menangkap bukti dari itu selamanya,

and I can give it back to them to keep.

dan aku bisa memberikan ke mereka untuk disimpan.

Right now, my cancer is stable.

Saat ini, kankerku stabil.

I am so glad that for now,

Aku sangat senang untuk itu sekarang,

I get to keep living.

aku bisa tetap hidup.

Because that's the other side.

Karena itu adalah sisi lainnya.

My fear of dying, the pain of loss,

Ketakutanku akan kematian, sakitnya kehilangan,

it's only as strong as how much I love this life

sama kuatnya dengan betapa aku mencintai hidup ini

and the people in it with me.

dan orang-orang di dalamnya bersamaku.

None of us are ever ready to say goodbye to the ones we love.

Tidak ada yang siap untuk mengucapkan selamat tinggal ke orang tersayang.

Loss is devastating and try as we might,

Kehilangan itu menghancurkan dan berusaha sekuat tenaga,

we can't avoid that shattering grief that follows in its wake.

kita tidak bisa menghindari duka yang mengikuti.

My guess is no matter who you are or what you've experienced so far,

Tebakanku tidak peduli siapa kamu atau apa yang telah kamu hadapi sejauh ini,

you already knew this.

Kamu sudah tahu.

You too have grieved

Kamu juga pernah berduka

and all of us will grieve again.

dan kita semua akan berduka lagi.

And when that happens, we will have a right to be angry.

Dan ketika itu terjadi, kita mempunyai hak untuk marah.

We can mourn as loudly as we want, and we should.

Kita bisa meratap sekeras yang kita mau, dan kita harus.

But when the worst happens, we have a choice.

Tetapi ketika yang terburuk terjadi, kita memiliki pilihan.

You don't have to stay deep in the dark bitterness of loss

Kamu tidak harus berada jauh dalam gelap pahitnya kehilangan

and let that be the only thing that we see or feel.

dan biarkan itu menjadi satu-satunya hal yang kita lihat atau rasakan.

Because the one thing that's as strong and as powerful as our grief

Karena satu hal yang sekuat duka kita

is our love for those who we have lost.

adalah cinta kita kepada orang yang telah pergi.

And that love will remain

Dan cinta itu akan tetap ada

like thousands of bright, colorful strands,

seperti ribuan helaian yang terang, penuh warna

woven forever through our cloak of grief,

ditenun selamanya di jubah duka kita,

beautiful and awful, side by side,

indah dan mengerikan, berdampingan,

and ours to keep.

dan milik kita untuk disimpan.

Thank you.

Terima kasih.