Why did people wear powdered wigs? - Stephanie Honchell Smith

Translator: Hygna Husada Reviewer: Reno Kanti Riananda

In 1624, 23-year-old King Louis the XIII of France was in crisis.

Pada tahun 1624, Raja Louis XIII dari Prancis

yang berusia 23 tahun mengalami krisis.

He was balding.

Dia mengalami kebotakan.

What would people say, at a time when a monarch's hair

Apa yang akan dikatakan orang, di masa rambut seorang raja

had come to symbolize his power and nobility?

melambangkan kekuasaan dan kebangsawanannya?

Louis was not interested in finding out.

Louis tidak tertarik untuk mencari tahu.

Instead, he made a decision that kicked off a 150-year fashion craze:

Dia malah membuat keputusan yang berakibat kegilaan mode selama 150 tahun:

he wore a particularly full wig.

mengenakan wig yang besar.

Long before Louis people adopted wigs for various reasons—

Jauh sebelum Louis, orang menggunakan wig untuk berbagai alasan—

including hygiene, theater, and anti-aging endeavors.

seperti kebersihan, pertunjukan teater, dan upaya anti-penuaan.

Wigs date at least as far back as ancient Egypt,

Wig sudah ada setidaknya sejak zaman mesir kuno

where well-regarded hairdressers crafted them into intricate styles.

di mana penata rambut terkenal menatanya dengan gaya yang rumit.

And under certain ancient Roman dynasties, women's wigs became particularly ornate,

Di bawah dinasti Romawi kuno tertentu, wig wanita pun menjadi sangat mencolok,

one poet mocking their numerous tiers.

sampai-sampai seorang penyair menyindir ukurannya.

During the Middle Ages, the Catholic Church discouraged wig-wearing,

Selama Abad Pertengahan, Gereja Katolik tidak menyarankan pemakaian wig,

emphasizing instead humility and austerity.

dan sebaliknya, menekankan pada kerendahan hati dan kesederhanaan.

So, those who did wig in medieval western Europe

Jadi, mereka yang mengenakan wig di Eropa barat abad pertengahan

generally wore more natural-looking styles.

umumnya mengenakan gaya yang tampak lebih alami.

But as rules relaxed in the 1500s, wigs became more acceptable accessories.

Namun, ketika aturannya dilonggarkan di tahun 1500-an,

wig menjadi aksesori yang lebih dapat diterima.

Queen Elizabeth I of England owned over 80 red wigs,

Ratu Elizabeth I dari Inggris memiliki lebih dari 80 wig berwarna merah,

which she used to augment her hair and conceal it as it thinned and grayed.

yang ia gunakan untuk memperbesar dan menutupi rambutnya

yang menipis dan beruban.

One of these wigs even adorned her funeral effigy.

Salah satu wig ini bahkan menghiasi patung pemakamannya.

Yet it wasn't until Louis XIII unveiled his magnificent mane

Barulah setelah Louis XIII menunjukkan surainya yang luar biasa,

a couple of decades later that big wigs truly began booming.

beberapa dekade kemudian, wig besar benar-benar mulai populer.

Members of Louis' court, perhaps eager to gain favor,

Anggota parlemen Louis, mungkin karena ingin mendapatkan dukungan,

bewigged themselves and aristocrats elsewhere soon followed suit.

mulai menggunakan wig dan para bangsawan di tempat lain pun mengikutinya.

The fast-growing popularity of wigs might have been accentuated

Popularitas wig yang berkembang pesat mungkin juga diperkuat

by concerns over hair loss caused by mercury,

oleh kekhawatiran akan kerontokan rambut yang disebabkan oleh merkuri,

which doctors then prescribed to treat syphilis and other ailments.

yang kala itu diresepkan para dokter untuk mengobati sifilis dan penyakit lain.

But people also heralded wigs as convenient,

Namun, orang juga berkoar-koar bahwa wig merupakan sesuatu yang nyaman,

since they eliminated the need for daily hair cleaning and styling.

karena mereka tidak perlu membersihkan dan menata rambut setiap hari.

In the mid-1600s, the trend amplified under Louis XIII's son, Louis XIV.

Di pertengahan 1600-an, tren ini menguat di bawah kepemimpinan putra Louis XIII,

Louis XIV.

At the time, Europe took its couture cues from Madrid.

Pada saat itu, Eropa mengambil inspirasi mode dari Madrid.

But Louis XIV's government changed that

Namun, pemerintahan Louis XIV mengubahnya

by investing heavily in France's luxury industry.

dengan berinvestasi besar-besaran di industri mewah Prancis.

They created specialized guilds, formalized seasonal releases,

Mereka membentuk serikat pekerja khusus, meresmikan perilisan musiman,

enforced a dress code at court,

membuat dress code di pengadilan,

and banned imports that could have been made in France or its colonies.

dan melarang barang impor yang bisa dibuat di Prancis atau koloninya.

Louis XIV once even ordered his son— yet another Louis—

Louis XIV bahkan pernah memerintahkan putranya— yang juga bernama Louis—

to burn his coat because it was made of foreign cloth.

untuk membakar mantelnya karena itu terbuat dari kain non-lokal.

Buoyed by its growing colonial empire,

Didukung oleh pertumbuhan kerajaan kolonialnya,

France amassed wealth and influence,

Prancis mengumpulkan kekayaan dan pengaruh,

and Parisian-style big wigs soon perched atop many European heads.

dan wig bergaya Paris mulai bertengger di atas kepala banyak orang Eropa.

These full-bottom men's hairpieces demanded such thick, long locks

Potongan rambut pria berbobot penuh ini menuntut rambut tebal dan panjang

that ten heads of hair could go into just one.

sehingga rambut dari sepuluh kepala hanya bisa menjadi satu wig saja.

Within a century, the number of Parisian wigmakers quadrupled.

Dalam satu abad, jumlah pembuat wig Paris meningkat empat kali lipat.

Even small villages often boasted at least one wigmaker.

Bahkan desa-desa kecil sering membanggakan setidaknya satu pembuat wig.

They generally fabricated their merchandise from human hair—

Umumnya, mereka membuat produk dari rambut manusia—

probably sourced from poor women—

mungkin berasal dari wanita miskin—

or from cheaper materials like wool or horsehair.

atau dari bahan yang lebih murah seperti wol atau bulu kuda.

To clean their wigs, eliminate odors, and absorb sweat,

Untuk membersihkan wig, menghilangkan bau, dan menyerap keringat,

people showered them in perfumed powders of flour, chalk, and aromatics

orang menyemprotkan bubuk tepung, kapur, dan zat aromatik

like violet, rose, clove, and lemon.

seperti violet, mawar, cengkeh, dan lemon.

It was a messy business, with entire rooms designated for the task.

Ini tugas yang sangat rumit, bahkan butuh satu ruangan khusus.

In fact, that's where the term "powder room" is thought to have originated.

Bahkan, dari sanalah istilah “ruang bedak” diperkirakan berasal.

By the mid-1700s, men's wigs remained popular but became simpler,

Pada pertengahan 1700-an, wig pria tetap populer tetapi jadi lebih sederhana,

often styled with curls around the face and a ponytail in back.

sering ditata dengan ikal di sekitar wajah dan kuncir kuda di belakang.

Women's wigs, however, soared to new heights,

Wig wanita, bagaimana pun, melonjak ke ketinggian baru,

literally towering up to a meter.

secara harfiah menjulang hingga satu meter.

Wigmakers often constructed these using rods, ribbons, and wool stuffing.

Pembuat wig sering membuatnya menggunakan batang, pita, dan isian wol.

And once covered with hair,

Dan setelah ditutupi dengan rambut,

the wig could be adorned with all manner of accoutrements.

wig itu bisa dihiasi dengan segala macam perlengkapan.

Lighter colored wigs became fashionable and were only enhanced with powders,

Wig berwarna lebih terang menjadi modis dan hanya disempurnakan dengan bedak.

sometimes tinted purple, pink, or blue.

terkadang berwarna ungu, merah muda, atau biru.

But not everyone bought into the trend.

Namun, tidak semua orang setuju dengan tren ini.

Caricaturists mocked big wig-wearers, framing them as frivolously flamboyant.

Karikaturis mengejek pemakai wig besar, menyebutnya para flamboyan sembrono.

And the hotter temperatures in some of Europe's colonies

Suhu yang lebih panas di beberapa koloni Eropa pun

membuat wig berbedak yang berbobot berat menjadi gangguan.

might have made heavy powdered wigs a nuisance.

Tahun 1740, seorang pengunjung di Maryland mengamati

In 1740, a visitor in Maryland observed that so few people wore wigs,

bahwa begitu sedikit orang yang memakai wig, hingga berucap,

he said, "you would imagine they were all sick, or going to bed."

“Kita kira mereka sedang sakit, atau hendak pergi tidur.”

In the late 1700s,

Pada akhir 1700-an,

a popular backlash against aristocratic decadence gained steam.

rekasi keras rakyat atas dekadensi aristokrat meningkat tajam.

As France faced a bread shortage,

Ketika Prancis menghadapi kekurangan roti,

flour-powdered wigs were viewed as particularly problematic.

bubuk tepung dipandang sebagai masalah besar.

And in 1789, the French Revolution kicked off.

Pada tahun 1789 pun Revolusi Prancis mulai berkobar.

In 1795, England's parliament passed a "powder tax"

Pada tahun 1795, parlemen Inggris meloloskan “pajak bedak”

that led many to abandon their big wigs.

yang menyebabkan banyak orang meninggalkan wig besar mereka.

And so, they fell out of fashion, left high and powder-dry,

Jadi, mereka ketinggalan zaman, terabaikan, dan ditinggal oleh orang.

like mere relics of a hair-brained past craze.

seperti peninggalan kegilaan masa lalu yang nampak konyol.