Dwan Reece: The origins of blackface and Black stereotypes | TED

Transcriber:

Translator: Nesyasita T. Gunawan Reviewer: Karina Prabowo

When I was 10 years old,

Ketika aku berusia 10 tahun,

we traveled from Colorado to New Jersey to visit relatives

kami pergi dari Colorado ke New Jersey untuk mengunjungi saudara

at Christmas time.

saat hari Natal.

We did a host of a variety of things.

Kami melakukan banyak hal saat itu.

I actually got to see the original cast in "The Wiz"

Aku bahkan menemui pemeran asli dari “The Wiz”

and did a lot of sightseeing.

dan banyak bertamasya.

But one of my favorite moments was to stay up late at night

Tapi momen favoritku adalah ketika aku bangun sampai larut malam

and wait till everyone else had gone to bed,

dan menunggu sampai semuanya sudah tidur,

and then I would sneak downstairs to watch television.

baru turun ke lantai bawah untuk menonton televisi.

A host of old movies that I probably had no business watching,

Menonton sejumlah film lama yang mungkin tidak seharusnya aku tonton,

such as "Bonnie and Clyde" and "Oklahoma,"

seperti “Bonnie dan Clyde” dan “Oklahoma”,

that was a little OK.

itu lumayan.

But I remember one evening coming across a show.

Tapi aku ingat menjumpai acara televisi saat suatu malam.

It was an old movie,

Itu adalah sebuah film lama,

and it must have been "White Christmas"

sepertinya itu “White Christmas”

or “Holiday Inn” or that type.

atau “Holiday Inn” atau semacamnya.

But it was a musical.

Tapi dalam bentuk musikal.

And I started watching,

Aku mulai menontonnya,

and then they started to do this musical scene,

dan adegan musikalnya mulai berjalan,

and I noticed I saw Bing Crosby in blackface.

dan aku melihat Bing Crosby melakukan blackface.

And I was confused.

Aku kebingungan.

I couldn't quite understand

Aku tidak cukup mengerti

what the blackface had to do with the singing and dancing.

apa relevansinya blackface terhadap nyanyian dan tarian.

That was my introduction to blackface minstrelsy.

Itu adalah awal aku mengenal blackface minstrelsy.

Blackface minstrelsy originated in New York, and not the South

Blackface minstrelsy berasal dari New York, bukan dari Selatan

as a lot of people would think,

sebagaimana kebanyakan orang kira,

in the 1830s.

pada tahun 1830-an.

It was an incident where white actors would blacken their faces with burnt cork,

Di mana aktor kulit putih akan menggelapkan kulit mereka

dengan gabus gosong, mengecat bibir mereka berwarna merah terang,

paint on bright red lips,

exaggerate the whites of their eyes

membuat bagian putih dari mata mereka mencolok,

and put on a tightly coiled wig

dan memakai rambut palsu yang keriting

to create caricatures of African Americans on the American stage.

untuk membuat sebuah karikatur dari orang Afrika Amerika di panggung.

The typical minstrel show was a parody of Black culture,

Tipikal dari pertunjukan minstrel adalah parodi dari kultur orang hitam,

song and dance and speech,

lagu, tarian, dan pidato

interspersed with stump speeches, jokes,

diselingi dengan pidato politik, candaan,

musical interludes and theatrical skits.

selingan musik, dan sandiwara teater.

The cast included a roster of recurring characters.

Pemerannya merupakan daftar dari para pemeran yang berulang.

The interlocutor acted as the emcee.

Salah satu yang ikut berperan juga berlaga sebagai pembawa acara.

You had Mr. Tambo and Mr. Bones as the end men.

Ada pemain tamborine dan bones yang akan berlaga di akhir.

Then you also had characters like the clownish slave Jim Crow,

Ada juga karakter menyerupai budak yang pelawak seperti Jim Crow,

which was also the name of the Jim Crow laws

yang juga merupakan nama dari hukum Jim Crow

that we knew in the American South.

yang kita kenal dari Amerika Selatan.

Or the maternal mammy, a hypersexualized wench;

Atau karakter mammy yang keibuan, gadis yang hiperseksual;

an arrogant dandy, Zip Coon; and the lazy, childish Sambo.

pria solek yang arogan, Zip Coon; dan Sambo yang malas dan seperti anak kecil

The caricatures were often brutal,

Karikaturnya kerap sangat kejam,

but not to the white audiences

tapi tidak kepada audiens yang berkulit putih

who laughed at the antics of the illiterate slaves

yang tertawa terhadap candaan soal budak yang buta huruf

as they sat secure in their own superiority.

pada saat mereka aman dalam ke-superioritas-an mereka.

The image of the dancing, simple-minded buffoons

Gambaran dari budak yang dungu menari-nari

captured the public's imagination

menangkap imajinasi dari publik

and spread across the country like wildfire.

dan menyebar sampai seisi negara seperti kebakaran hutan.

Blackface minstrelsy grew

Blackface minstrelsy tumbuh

to be the most popular form of American entertainment in the 19th century.

menjadi hiburan paling populer di Amerika pada abad ke-19.

Abraham Lincoln and Mark Twain spoke highly of the American minstrel show,

Abraham Lincoln dan Mark Twain memuji pertunjukan Minstrel Amerika,

applauding the characterizations and the source of its humor.

menyanjung perwatakan pemain dan sumber dari kelucuannya.

Tapi sama sebagaimana itu menghibur,

But just as it entertained,

it also dehumanized the subjects of its ridicule,

itu juga menrendahkan manusia yang menjadi subjek bercandaan,

leaving the abolitionist Frederick Douglass

hingga Frederick Douglass, seorang abilisionis

to describe blackface minstrels as

mendeskripsikan blackface misntrel sebagai

“the filthy scum of white society

“sampah dari masyarakat berkulit putih

who have stolen from us a complexion denied them by nature."

yang mencolong warna kulit kami yang secara natural menolak mereka.“

Ironically, after the Civil War,

Ironisnya, setelah Perang Saudara,

African Americans forged their own careers on the professional stage.

keturunan Afrika Amerika membangun karier mereka di panggung profesional.

The route to success often meant appropriating the mask

Jalan menuju sukses seringkali berarti memantaskan topeng

that was used to mock them.

yang sebelumnya dipakai untuk menghina mereka.

White audiences also embraced Black performance

Audiens berkulit putih juga menerima pertunjukan dari orang hitam

in their local communities.

di komunitas lokal mereka.

These amateur minstrels used instructional guides

Pemain minstrel yang amatir menggunakan panduan instruksional

that provided them with jokes, routines,

yang berisikan lelucon, rutinitas,

songs and costumes they needed to put on their own shows.

lagu, dan kostum yang mereka perlukan untuk pentas.

Such was the habit of politicians, fraternal orders, colleges,

Yang juga adalah kebiasaan dari politisi, kelompok persaudaraan, kampus,

high schools and community performances,

sekolah menengah atas, dan pertunjukan komunitas,

who carried on this tradition well into the 20th century.

yang membawa tradisi ini sampai abad ke-20.

The professional minstrel show left an indelible imprint

Pertunjukan profesional minstrel meninggalkan jejak yang tidak terhapuskan

on the American psyche.

pada jiwa dari masyarakat Amerika.

The images and racial stereotypes

Gambaran dan stereotipe rasis

that continue to circulate in American society

yang terus bersikulasi di masyarakat Amerika

on sheet music, magazines, books,

di partitur lagu, majalah, buku,

vaudeville, theater, film, television,

vaudeville, teater, film, televisi,

radio, records

radio, piringan hitam,

and all kinds of formats.

dan berbagai bentuk lainnya.

These stereotypes were a powerful reinforcement

Stereotipe ini dulunya merupakan dorongan yang kuat

of the ideas of white supremacy and Black inferiority.

terhadap gagasan supremasi kulit putih dan inferioritas orang hitam.

The news headlines of the last few months

Tajuk utama dari bulan-bulan lalu

have shown us that the legacy of blackface minstrelsy

menunjukkan kita bahwa peninggalan dari blackface minstrelsy

continues to haunt us.

masih menghantui kita.

In a survey conducted by the Pew Research Center,

Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Pew Research Center,

they found that one in three Americans say that blackface is always

mereka menemukan bahwa 1 dari 3 orang Amerika menganggap wajah hitam itu

selalu atau kadang-kadang tidak apa

or sometimes OK

if it's used in a Halloween costume.

jika dipakai sebagai kostum Halloween.

So let me ask this question.

Jadi aku akan bertanya hal ini.

What is the appeal of darkening one's skin

Apa yang menarik dari menggelapkan kulit seseorang

in order to impersonate someone of a different race?

untuk meniru seseorang dari ras lain?

Blackface minstrelsy was born out of the realities of slavery

Blackface minstrelsy lahir dari realitas zaman perbudakan

and racial segregation,

dan segregasi rasial,

and its continual reappearance echoes the pain and suffering

dan kemunculannya terus mengingatkan dari rasa sakit dan penderitaan

felt by Black people

yang dirasakan oleh orang kulit hitam

whose bodies and cultures were presented as strange and grotesque.

yang tubuh dan kulturnya dgambarkan sebagai asing dan aneh.

It is a persistent reminder of the racism

Itu adalah pengingat tentang bagaimana rasisme

and prejudices that bred its very existence.

dan prasangka melahirkan keberadaannya.

The way it infiltrated society is a clear example

Bagaimana itu menyerap dalam masyarakat adalah bukti yang jelas

of how deeply ingrained racism is in this country.

tentang bagaimana rasisme sudah mendarah daging di negeri ini.

And the racial subjugation embodied by blackface minstrelsy --

Penindasan rasial yang digambarkan di blackface minstrelsy --

and perpetuated through a continuum of its history -- is a form of aggression,

yang terus diabadikan dalam sejarahnya -- adalah bentuk dari penindasan,

a psychic wound that refuses to heal.

meninggalkan luka batin yang tidak kunjung sembuh.

Racial impersonation of any form cannot escape this legacy.

Bentuk apapun dari peniruan rasial tidak bisa menghindari peninggalannya.

So it's time to shift the power of representation,

Jadi sudah saatnya untuk mengubah kekuatan dari representasi,

to develop more expansive narratives

untuk menciptakan narasi yang lebih luas

about the rich complexity of who we are as human beings.

tentang kemajemukan kita yang kaya sebagai manusia.

Acknowledging and recognizing blackface for what it is

Mengakui dan mengenali wajah hitam apa adanya

and what it symbolizes

dan apa yang dilambangkan

is a step in the right direction.

adalah langkah menuju arah yang benar.

Educating ourselves on how stereotypes reinforce racist ideologies is another.

Juga mengedukasi diri kita bagaimana stereotipe mendorong ideologi rasis.

Success in either case depends on an honest self assessment

Kesuksesan di dua hal tersebut bergantung pada penilaian diri sendiri

of our social and cultural biases and how they came to be.

tentang prasangka pada masyarakat dan kulturnya, dan yang menjadi wujudnya.

The legacy of blackface minstrelsy is our shared history

Peninggalan dari blackface minstrelsy adalah sejarah yang kita tanggung bersama

and requires all of us to take collective responsibility

dan membutuhkan kita semua untuk mengambil pertanggungjawaban kolektif

in dismantling its power to oppress and humiliate.

untuk melemahkan kekuatannya untuk menindas dan merendahkan.

Lain kali saat Anda dihadapkan dengan seseorang yang melakukan blackface

The next time you're confronted with someone in blackface

or see a racist stereotype,

atau melihat stereotipe yang rasis,

tell me: What will you do?

katakan: apa yang akan kamu lakukan?

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)