How to Design a School for the Future | Punya Mishra | TED

Translator: Nauka N. Prasadini Reviewer: Intan Andini

This is a story about failure, my failure.

Ini adalah cerita tentang kegagalan, tepatnya kegagalan saya.

And though the story has some kind of a happy ending,

Dan meskipun cerita ini berakhir bahagia,

it's not your typical story where failure is a stepping stone to success.

ini bukanlah cerita biasa dimana kegagalan adalah batu loncatan menuju kesuksesan.

It almost feels like failure is celebrated a lot these days.

Rasanya kegagalan sering kali dirayakan akhir-akhir ini.

For instance, you hear slogans like "Fail forward, fail better, fail faster."

Misal, Anda mendengar slogan semacam

“Gagal maju, gagal lebih baik, gagal lebih cepat.”

And to be honest, these slogans drive me crazy.

Sejujurnya, slogan semacam ini membuat saya gila.

I mean, who wants to fail?

Karena siapa yang mau gagal?

Failure is not fun.

Kegagalan tidaklah menyenangkan.

And I would know because, you know, I'm sort of a poster child for failure.

Saya tahu karena, yah, saya adalah contoh kegagalan.

In fact, when one of my friends was writing a book about the topic,

Bahkan, saat teman saya menulis buku tentang topik ini,

he reached out to me to write a chapter for his book.

ia menghubungi saya untuk menulis sebuah bab untuknya.

But I'm also an educational designer,

Tapi saya perancang pendidikan,

so I see failure in terms of systems and values.

jadi saya melihat kegagalan dalam hal sistem dan nilai.

That failure is often a misalignment of values or bad design.

Kegagalan sering kali hasil dari ketidakselarasan nilai

atau rancangan yang buruk.

But I'm getting ahead of myself.

Tapi saya terlalu cepat menyimpulkan.

Let me take you back to this point of my failure.

Mari kita bahas kembali titik kegagalan saya ini.

So I want to take you back to my undergraduate days,

Saya ingin membawa Anda kembali ke masa kuliah saya,

my freshman year in engineering.

tahun awal saya menjadi anak teknik.

I'm sitting in a physics class.

Saat itu, saya mengikuti kelas fisika.

I'm looking forward to learning.

Saya semangat belajar.

And in my notes I'm writing little limericks and poems

Dan di catatan saya, saya menulis limerik dan puisi pendek

about quantum states.

tentang keadaan kuantum.

That tells you something about who I was when I was that age.

Bisa dibayangkan seperti apa saya pada umur tersebut.

I loved physics and math,

Saya cinta fisika dan matematika,

but I also loved art and literature and poetry and film.

tapi saya juga cinta seni, sastra, puisi, dan film.

And I was excited and engaged to be in this engineering school.

Saya bersemangat dan antusias berada di jurusan teknik ini.

Sadly, that was not the case.

Kenyataannya tak seperti itu.

Sadly, those next four years,

Sayangnya, empat tahun berikutnya

were possibly the worst four years of my life.

adalah empat tahun terburuk dalam hidup saya.

Creativity and imagination was not encouraged.

Kreativitas dan imajinasi tidak didukung.

All we had was lectures upon lectures and tests and tests and tests.

Yang ada hanyalah kelas dan kelas dan tes dan tes dan tes.

There was no scope for understanding.

Tidak ada ruang untuk memahami.

There was no space for having fun with the ideas.

Tidak ada ruang untuk bersenang-senang dengan hal yang kita pelajari.

And these poems I was writing, they were, I'm sure, not great poetry,

Dan puisi-puisi yang saya tulis, saya yakin, bukanlah puisi yang bagus,

but they were meaningful to me.

tapi mereka bermakna bagi saya.

They were a way for me to explore and play with ideas,

Puisi adalah cara saya untuk mengeksplorasi dan bermain dengan ide,

something that was squelched very early on.

sesuatu yang dihancurkan sejak awal.

And so this went on for four years, and I finally graduated.

Hal ini terus berlanjut selama empat tahun hingga saya lulus.

But I never genuinely became an engineer.

Namun saya tak pernah benar-benar menjadi seorang insinyur.

I felt I was worthless, that I had failed.

Saya merasa tidak berharga dan gagal.

And what was sad was it was not a one-shot failure.

Dan yang menyedihkan adalah ini bukanlah satu kegagalan.

It was every day, every month,

Ini terjadi setiap hari, setiap bulan,

semester after semester for four long years.

setiap semester selama empat tahun.

And at this point, I saw a poster for a program in visual communications,

Dan pada titik ini, saya melihat poster jurusan komunikasi visual,

and on a whim I decided to apply.

dan seketika, saya putuskan mendaftar.

Clearly, I was not going to be an engineer or a scientist,

Jelas, saya tak akan menjadi insinyur atau ilmuwan,

so maybe, maybe I could make educational film

jadi mungkin, saya bisa membuat film pendidikan

because I had grown up inspired by people like Carl Sagan and Jacob Bronowski.

karena dulu, tokoh seperti Carl Sagan dan Jacob Bronowski menginspirasi saya.

Long story short, I got into the program, and almost overnight my life changed.

Singkatnya, saya diterima di jurusan ini, dan sekejap, hidup saya berubah.

The system and structure and culture of the institution were very different.

Sistem, struktur, dan budaya di lembaga tersebut sangat berbeda.

Creativity was encouraged.

Kreativitas didorong.

Flexibility and playing with ideas was supported.

Keluwesan dan kesempatan bermain dengan ide didukung.

So even these things that I --

Jadi, bahkan hal-hal yang saya—

these haphazard things that I had been interested in,

hal-hal serampangan yang menarik minat saya,

dabbling with art and science and poetry,

berkecimpung dalam seni, sains, dan puisi,

somehow were meaningful all of a sudden.

tiba-tiba saja menjadi bermakna.

And it was also there that I was introduced to the idea of design,

Dan di sanalah saya juga diperkenalkan dengan konsep desain,

something I didn't know much about, but I felt very much at home in.

sesuatu yang saya tidak tahu banyak, tapi membuat saya merasa nyaman.

For four years in engineering,

Empat tahun di jurusan teknik,

I had never felt that I had become an engineer.

saya tak pernah merasa menjadi seorang insinyur.

I had never felt like I belonged.

Saya tak merasa bagian dari mereka.

But somehow this design seemed to give me a purpose and meaning.

Tapi entah bagaimana desain ini memberi saya tujuan dan makna.

And what was amazing was how quick that change was.

Yang menakjubkan adalah betapa cepat perubahan itu terjadi.

You know, in May of that year,

Pada Mei tahun itu,

I was feeling worthless, as if I was a failure.

saya merasa tak berharga, seolah-olah saya gagal.

And by September of that same year, I had found a purpose.

Dan pada September di tahun yang sama, saya menemukan tujuan.

I had found a community.

Saya menemukan komunitas.

I had found a field that I could live within.

Saya menemukan bidang yang saya bisa jalani.

So even today, I call myself an educational designer.

Bahkan sekarang, saya menyebut diri sebagai perancang pendidikan.

And what that made me realize

Dan yang membuat saya sadar adalah

is that my success or failure depended on a variety of systems and values

keberhasilan atau kegagalan saya tergantung pada berbagai sistem dan nilai

that were often hidden from me.

yang seringkali disembunyikan dari saya.

And this lens of design then allowed me at look at the world

Lensa desain ini memungkinkan saya untuk melihat dunia

as something that had been made up.

sebagai sesuatu yang telah dibuat.

And that made me question what are the other things that we have made up.

Hal ini membuat saya mempertanyakan hal lainnya yang telah kita buat.

Well, one of the biggest things we have made up is this idea of school.

Salah satu hal terbesar yang telah kita buat adalah konsep sekolah.

There is nothing natural about schools and universities.

Tak ada yang alami dari sekolah dan universitas.

You know, there's nothing natural

Anda tahu, tak ada yang alami

about credit hours and multiple choice exams and so on.

dari kredit semester, ujian pilihan ganda, dan seterusnya.

But underlying them are certain key values

Namun, di balik itu semua, ada nilai-nilai utama

about what is worth learning and what is not.

yang mendasari apa yang layak dan tidak layak dipelajari.

So this has led me to the work that I do today.

Hal ini yang menuntun saya pada pekerjaan saya saat ini.

To design learner-centered, just and equitable systems

Merancang pembelajaran adil, merata, dan berpusat pada peserta didik,

that question these assumptions that we have made

yang mempertanyakan berbagai asumsi kita

about how learning should and can happen.

tentang pembelajaran yang harus dan dapat dilakukan.

Now, how does that work?

Jadi, bagaimana caranya?

So let me give you a story.

Izinkan saya bercerita.

A few years back,

Beberapa tahun yang lalu,

a local school district reached out to us

sebuah distrik sekolah menghubungi kami

to help them design a school for the future.

untuk membantu mereka merancang sekolah masa depan.

Now that's a tall order. What does that even mean?

Ini permintaan yang berat. Apa maksudnya itu?

How did we go about doing it?

Bagaimana kami mewujudkannya?

Well, first we created a design team:

Pertama, kami membentuk tim perencanaan:

an eclectic collection of teachers, administrators,

kelompok eklektik yang terdiri dari guru, staf administrasi,

parents, members of the community.

orang tua, dan anggota masyarakat.

And then we set out to listen.

Kemudian kami mulai mendengarkan.

So we talked to the chambers of commerce.

Kami berbincang dengan kamar dagang.

We created focus groups. We talked to parent groups.

Kami membentuk beberapa kelompok fokus. Kami berbincang dengan kelompok orang tua.

And most importantly, all through this,

Yang terpenting, selama proses ini,

we kept asking ourselves: Who is at the table, and who is not?

kami terus bertanya pada diri kami: Siapa yang ada dan tak ada di sini?

And how could we bring those who were not into the conversation?

Bagaimana kami bisa melibatkan mereka yang tidak hadir dalam pembicaraan?

For instance, one group that we never talk to

Misalnya, kelompok yang tak pernah atau sangat jarang

or very rarely talk to are children,

dilibatkan adalah anak-anak,

which is very strange given that they are the ones

yang sebenarnya sangat aneh mengingat mereka

who are going to actually be in these schools.

adalah yang akan belajar di sekolah-sekolah ini.

So we talked to kids, lots of them.

Jadi kami berbicara dengan banyak anak.

We in fact followed them for a day.

Kami bahkan mengamati mereka selama sehari.

You know, sitting in their classes, listening to lectures, doing worksheets,

duduk di kelas, mendengarkan penjelasan, mengerjakan lembar kerja,

eating cafeteria food and really enjoying the joy of recess.

menikmati makanan kafetaria dan kegembiraan waktu istirahat.

And while we were doing this and listening,

Saat melakukan ini dan mendengarkan mereka,

we kept asking ourselves questions.

kami terus bertanya pada diri sendiri.

What were we seeing? What does this mean?

Apa yang kami lihat? Apa arti dari semua ini?

And we began to question assumptions.

Kami mulai mempertanyakan berbagai asumsi.

Like why are things a certain way?

Mengapa segala sesuatunya harus seperti itu?

How might we create a school that actually connects with the community?

Bagaimana kita bisa membuat sekolah yang terhubung dengan masyarakat?

How might we think of technology in ways that allow for expression and creativity?

Bagaimana cara kita memanfaatkan teknologi untuk ekspresi diri dan kreativitas?

How might we create a school

Bagaimana kita bisa membuat sekolah yang digerakkan oleh semangat para siswa?

which is driven by the impulses of the learner?

How might we create a school

Bagaimana kita bisa menciptakan sekolah yang mendobrak “satu guru, satu kelas”?

where we break the "one teacher, one classroom" model?

And in these conversations we developed a set of design principles,

Dalam percakapan ini, kami mengembangkan sebuah asas perancangan,

a set of values that would guide our discussions and our design.

serangkaian nilai yang akan memandu diskusi dan rancangan kami.

These were things that as a community, we believed in.

Hal-hal ini adalah yang kami yakini sebagai sebuah komunitas.

And it was at this point in time where things seemed to go a little slow,

Pada saat itulah kami berada di titik di mana semuanya tampak melambat,

where we had so many possibilities, but yet they seemed like very few.

di mana kami punya banyak kemungkinan, namun nyatanya tampak sangat sedikit.

And we wondered what the next step forward would be.

Dan kami bertanya-tanya tentang langkah selanjutnya.

And there were all kinds of the usual hassles of internet failures

Ada berbagai kendala yang biasa terjadi akibat gangguan internet

and scheduling problems.

dan permasalahan penjadwalan.

But then chance happened.

Tapi ada satu kesempatan yang terjadi.

We learned about this building,

Kami menemukan bangunan ini,

which was somewhat unused in the school district

yang tak digunakan di distrik sekolah

that they said we could play with,

dan kami boleh mengutak-atiknya,

and suddenly the whole design team was energized.

dan tiba-tiba seluruh tim perancangan pun bersemangat.

And if there's a lesson here, it is that you need to be prepared.

Pelajaran dari hal ini adalah Anda harus siap.

And if an opportunity comes your way,

Jika ada kesempatan menghampiri,

you grab it with both hands and don't let go.

gengamlah dengan kedua tangan dan jangan lepaskan.

And that's exactly what we did.

Dan itulah yang kami lakukan.

All the work we had done

Semua yang kami kerjakan

with the focus groups and the design principles and so on

dengan kelompok fokus, prinsip desain, dan lainnya

came together in this school

menyatu dalam sekolah ini

and over two years of work later,

dan setelah lebih dari dua tahun kerja,

this school exists today.

sekolah ini berdiri hingga sekarang.

It is a school that reflects the values of the community.

Sekolah ini mencerminkan nilai-nilai masyarakat.

It's a school that's very different from the ones that you see around you.

Ini adalah sekolah yang sangat berbeda dibandingkan yang ada di sekitar Anda.

We had to break down, both literally and figuratively,

Kami harus merobohkan, baik secara harfiah maupun kiasan,

a whole bunch of walls to create this space

sejumlah besar dinding untuk menciptakan ruang ini,

where 100-plus kids would learn and work together.

di mana lebih dari 100 anak belajar dan bekerja sama.

It is a space where they're surrounded by an array of responsible adults

Di ruang ini, mereka dikelilingi oleh orang dewasa yang bertanggung jawab

who work in teams, working in small groups and large,

dan bekerja dalam tim, baik dalam kelompok kecil maupun besar,

to meet the needs of these learners.

untuk memenuhi kebutuhan para muridnya.

It is a school which is open to the community,

Ini adalah sekolah yang terbuka bagi masyarakat,

both in its demographics,

baik untuk demografisnya,

as well as allowing parents and community members

maupun juga orang tua dan anggota masyarakat

to go in and out as and when needed.

keluar masuk sesuai kebutuhan.

This is truly a special place.

Ini adalah tempat yang spesial.

And that doesn’t mean that we have figured everything out.

Ini bukan berarti kami telah memecahkan semua masalah.

But I’m proud to say that that school is expanded.

Tapi saya bangga menyatakan bahwa sekolah itu berkembang.

It went in the next year to another studio space,

Sekolah itu pindah pada tahun berikutnya ke ruang studio lain,

and then now it goes all the way from K through eight.

dan sekarang mencakup jenjang TK hingga kelas delapan.

And for my team, this is truly one of our greatest successes.

Bagi tim saya, ini adalah salah satu pencapaian terbesar kami.

To circle back to the beginning.

Mari kembali ke awal.

You know, one could argue that it was that failure that led to this success,

Seseorang bisa berpendapat bahwa kegagalan yang membawa kesuksesan ini,

but I think that would be missing the point.

tapi saya rasa itu bukan intinya.

It would be missing the point

Itu bukan intinya

karena pendapat itu mengabaikan rasa sakit dan luka akibat kegagalan.

because it ignores the pain and hurt that failure causes.

It ignores the agony that I went through for four long years.

Hal itu mengabaikan penderitaan saya selama empat tahun.

At that point, when I graduated from my undergraduate degree,

Pada saat itu, saat lulus sarjana,

I felt I had failed, I did not blame the system.

saya merasa gagal, tetapi tak menyalahkan sistem.

But now, when I look at it,

Namun, saat berkaca kembali,

I realize maybe it was a system that had failed me.

saya sadar, mungkin sistem yang telah mengecewakan saya.

A system that fails a lot of our children.

Sistem yang telah mengecewakan banyak anak-anak kita.

Focusing on the individual prevents us from looking deeper.

Berfokus pada satu hal menghalangi kita melihat lebih dalam.

It prevents us from questioning the systems that led to the failure.

Ini menahan kita untuk mempertanyakan sistem yang menyebabkan kita gagal.

It prevents us from questioning the values that underlie these systems.

Ini mencegah kita mempertanyakan nilai di balik sistem tersebut.

We can and must do better.

Kita bisa dan harus melakukan yang lebih baik.

I think our children deserve better.

Anak-anak berhak dapat yang terbaik.

That 18-year-old me writing poetry in physics class deserved better.

Diri 18 tahun saya yang menulis puisi di kelas fisika

berhak mendapat yang terbaik.

Thank you.

Terima kasih.