5 Parenting Tips for Raising Resilient, Self-Reliant Kids | Tameka Montgomery | TED

Translator: Dini Yanu Sayekti Reviewer: Reno Kanti Riananda

How do we raise self-reliant kids

Bagaimana cara membesarkan anak-anak yang mandiri

who have initiative, who are resilient,

yang memiliki inisiatif, teguh,

and who could be problem solvers?

dan dapat menjadi pemecah masalah?

Kids who have the skills and the courage to step outside of their comfort zone

Anak-anak yang mampu dan berani untuk keluar dari zona nyaman,

and take advantage of what life has to offer.

dan memanfaatkan peluang dalam kehidupan.

I'm a mom to these three boys.

Saya adalah seorang ibu tiga anak.

And if you're a parent like me,

Dan jika Anda orang tua seperti saya,

you've probably asked yourself those very same questions.

Anda mungkin pernah menanyakan hal yang sama pada diri sendiri.

And while I'm sure that every caring parent

Saya yakin bahwa setiap orang tua yang peduli

wants those same things for their children,

menginginkan hal yang sama untuk anak-anaknya,

I think we're going about it the wrong way.

saya rasa kita salah menerapkannya.

We want our kids to be happy and successful.

Kita ingin anak-anak kita bahagia dan sukses.

So our instinct is to shield them from hurt and disappointment.

Secara naluriah kita melindungi mereka dari rasa sakit dan kecewa.

We worry about their self-esteem, so we praise them for everything.

Kita khawatir akan kepercayaan diri mereka, jadi kita mengupayakan segalanya.

We are concerned about whether or not they fit in,

Kita khawatir apakah mereka diterima lingkungan atau tidak,

so we indulge them.

sehingga kita memanjakan mereka.

And we don't want them to fail,

Dan kita tidak ingin mereka gagal,

so we step in and take over.

jadi kita maju dan menggantikannya.

And we do all of this in an attempt to curate a perfect life for them.

Semua ini kita lakukan untuk memilih kehidupan yang sempurna untuk mereka.

But what we're really doing

Namun, yang sebenarnya kita lakukan

is raising kids who are afraid to take risks

adalah membesarkan anak-anak yang takut untuk mengambil risiko,

because they fear failure;

karena mereka takut akan kegagalan.

kids who lack the confidence in their ability to figure things out;

Anak-anak yang kurang percaya diri akan kemampuannya mengatasi persoalan;

and then young people who are afraid to launch into adulthood.

juga anak-anak muda yang takut beranjak dewasa.

More young adults are living at home and for longer stretches.

Semakin banyak dewasa muda yang masih tinggal bersama orang tua.

And this was occurring even before the pandemic.

Hal ini terjadi bahkan sebelum pandemi.

A Pew Research study found that 52 percent of young adults

Studi penelitian Pew mengungkapkan bahwa 52% dewasa muda

are living at home,

masih tinggal bersama orang tua,

which is the highest percentage since the Great Depression.

tingkat persentase tertinggi sejak Depresi Besar.

And what we're finding is that young adults are stuck

Dan kami menemukan bahwa para anak-anak muda ini terjebak

between adolescence and adulthood.

di antara masa remaja dan dewasa.

And that's the generation of people that we're raising.

Itulah generasi manusia yang kita ciptakan.

And in fact,

Dan pada kenyataannya,

we hear this in the language that young adults even use

kita mendengar hal ini dari gerak-gerik yang ditunjukkan anak-anak muda,

when they have to make responsible adult decisions.

ketika mereka harus membuat keputusan secara dewasa.

There's a term for it.

Ada istilah untuk itu.

Who knows what that is?

Adakah yang tahu?

Adulting, yes.

Pendewasaan, benar.

The practice of behaving

Latihan untuk bersikap,

in a characteristic of a responsible adult.

dalam karakteristik sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab.

So I am convinced that as parents and caregivers,

Jadi, saya meyakini, sebagai orang tua dan pengasuh,

we are missing out on a great opportunity

bahwa kita kehilangan banyak kesempatan emas,

to raise kids who are resilient

untuk membesarkan anak-anak yang tangguh

and can take hold of their future,

dan bertanggung jawab atas masa depannya.

kids who can step outside of their comfort zone

Anak-anak yang dapat keluar dari zona nyamannya,

and do amazing things.

dan melakukan hal-hal hebat.

Now, these are skills that are necessary

Sekarang, inilah keahlian yang diperlukan.

not only for them to lead fulfilling lives and live out their potential,

Tidak hanya untuk pemenuhan hidup dan memaksimalkan potensi mereka,

but those are skills that are also necessary

tetapi keahlian itulah yang dibutuhkan

for our changing world.

dalam dunia yang terus berubah.

So back to my original question.

Jadi, kembali ke pertanyaan pertama saya.

How do we raise self-reliant kids who have initiative,

Bagaimana cara membesarkan anak-anak mandiri yang penuh inisiatif,

are resilient and can be problem solvers?

tangguh, dan dapat menjadi pemecah masalah?

I believe we do that by raising kids

Saya percaya bahwa kita melakukannya dengan membesarkan anak

who can think and act entrepreneurially.

yang dapat berpikir dan bertindak layaknya pengusaha.

Kids who have the opportunity or have the skill set

Anak-anak yang mempunyai kesempatan atau beragam kemampuan,

to view the world from an entrepreneurial mindset.

untuk melihat dunia dari pola pikir seorang pengusaha.

So let me tell you how I came to this conclusion.

Izinkan saya memberitahu Anda kesimpulan saya ini.

So for more than 20 years,

Selama lebih dari 20 tahun,

my work was centered around supporting adult entrepreneurs.

pekerjaan saya fokus pada dukungan terhadap para pengusaha.

Providing them with training and technical assistance

Menyediakan pelatihan dan pendampingan teknis untuk mereka,

and resources to help them start and grow their businesses.

serta sumber daya untuk membantu mereka memulai dan mengembangkan bisnisnya.

And something I would observe.

Saya mengamati suatu hal.

We'd have two individuals come into our office seeking assistance.

Ada dua orang yang datang ke kantor kami meminta pendampingan.

And on the surface,

Dari luarnya,

it appeared that those individuals were at the same level

tampak bahwa orang-orang itu berada di level yang sama,

in terms of resources, capabilities,

dalam hal sumber daya, kemampuan,

skills and business acumen.

keahlian, dan kepiawaian bisnis.

But what we would find

Namun, yang kami temukan

is that one individual would take that information

adalah orang yang satu mau mengambil informasi

and go with it,

dan menjalaninya,

and then the other individual would just seem to have trouble

sementara orang yang lain terlihat kesulitan

really getting traction and getting going.

untuk memulai dan terus maju.

And what I realized was that it had nothing to do

Saya menyadari bahwa ini tidak ada hubungannya

with skill or capability.

dengan keahlian atau kemampuan.

What it came down to was the mindset of that individual.

Pada akhirnya, ini adalah pola pikir dari orang tersebut.

And observing this got me thinking:

Hasil pengamatan ini membuat saya berpikir:

How might I raise my children

Bagaimana cara saya membesarkan anak-anak

such that they can view the world like an entrepreneur?

agar mereka dapat melihat dunia seperti seorang pengusaha?

That they would have the courage to step out

Bahwa mereka akan berani melangkah

and to change the world with an entrepreneurial lens.

dan mengubah dunia dengan kacamata pengusaha.

So that set us out,

Inilah yang mendorong kami,

my husband and I,

saya dan suami,

on a 15-year journey to raise entrepreneurial kids.

dalam perjalanan selama 15 tahun membesarkan anak-anak bermental pengusaha.

And we really saw this come together

Dan kami mulai melihat hasilnya

when my eldest son, Silas, was nine years old.

saat anak laki-laki tertua kami, Silas, berusia sembilan tahun.

We had been living here in Maryland for about two years,

Kami telah tinggal di Maryland selama kurang lebih dua tahun

and my husband was planning to travel back to Colorado

saat suami saya berencana untuk kembali ke Colorado

to visit his mother.

untuk mengunjungi Ibunya.

And so Silas asked me, he said, "Hey, mom,

Silas meminta izin kepada saya, “Hei, Bu,

can me and my brothers also go with Dad to visit grandma?"

bolehkah aku dan adik-adikku ikut bersama Ayah mengunjungi Nenek?”

And I said, "Well, you know, Silas,

Saya pun berkata, “Silas,

four airline tickets were not in the budget,

uang kita tidak cukup untuk membeli 4 tiket pesawat,

but you can go

tetapi kamu bisa pergi

if you can buy your own ticket."

jika kamu membeli tiket sendiri.”

So he paused for a moment, and he said,

Dia terdiam sejenak, dan berkata,

"OK, well, how much are airline tickets?"

“Baiklah, berapa harga tiket pesawatnya?”

And I said, "About 300 dollars."

Saya bilang, “Sekitar 300 dolar.”

And so his next question, I have to say, it literally blew my mind.

Kemudian pertanyaan selanjutnya, sungguh, membuat saya terhenyak.

So he said, "OK.

Dia bilang, “OK.

Can I find free stuff on Craigslist and then resell it?"

Bisakah aku mencari barang-barang gratis di Craigslist kemudian menjualnya?”

Yeah, I was like, "Yeah, you can."

Saya pun menjawab, “Ya, bisa saja.”

And so then, over the course of that summer,

Kemudian, sepanjang musim panas,

that's exactly what he did.

itulah yang benar-benar dia lakukan.

You know, he would get online and research Craigslist.

Dia masuk ke daring dan mulai mencari tahu tentang Craigslist.

My husband would take him to go pick up those things,

Suami saya akan mengantarnya mengambil barang-barang itu,

and then I would help him take pictures and post them online.

lalu saya membantunya mengambil foto lantas mengunggahnya.

But then he also did some other things that summer, he hustled.

Dia bekerja keras melakukan hal lain juga selama musim panas, dia berusaha.

So he baked and sold cookies.

Dia memanggang dan menjual biskuit.

And then he also washed cars.

Dia juga mencuci mobil.

And throughout that entire process,

Dan selama proses itu berlangsung,

my husband and I, we guided him along.

saya dan suami membimbingnya.

We were there to coach and encourage him,

Kami di sana untuk membimbing dan mendukungnya,

but we allowed him to take the lead.

tetapi kami membiarkannya memimpin.

When it was time for him to make his sales pitch,

Ketika tiba waktunya untuk melakukan presentasi penjualan,

you know, we coached him on how to make the pitch,

kami membimbingnya saat membuat presentasi,

but when it was time to knock on the doors,

tapi ketika tiba waktunya mendatangi pelanggan,

he stood forward, and we stepped back.

dia maju, dan kami yang mundur.

And that summer he raised the money.

Musim panas tersebut, uangnya berhasil terkumpul.

He earned the money to purchase his airline ticket.

Dia menghasilkan uang untuk membeli tiket pesawatnya sendiri.

And he made a little bit more.

Lalu dia melakukan hal yang lainnya.

And he bought me a gift.

Dia membelikan saya hadiah.

But, you know, I'm like,

Namun, saya merasa,

I don't know really who he was thinking about

saya tidak tahu dia sebenarnya memikirkan siapa

when he bought that gift.

ketika membeli hadiah itu.

If it was, like, me or him, I don't know.

Saya atau dia, tak tahulah.

(Laughter)

(Tertawa)

But think about the confidence

Namun, pikirkan tentang kepercayaan diri

that this put in him at nine years old.

yang didapat saat usianya baru sembilan tahun.

That he can have a big goal,

Bahwa dia dapat bermimpi besar,

and that he could persevere to achieve that goal.

dan bahwa dia harus tekun untuk mencapai tujuan tersebut.

Amazing.

Luar biasa.

But when I share that story with other parents,

Namun, ketika saya membagikan cerita itu kepada orang tua lainnya,

many of them shake their head and say, "You know what?

banyak yang tak percaya dan berkata “Kamu tahu tidak?

My kid could never do that

Anak saya tak akan bisa melakukannya

because my kids don't have the entrepreneurial gene."

karena anak-anak saya tidak punya gen pengusaha.”

Well, being entrepreneurial is not genetic.

Namun, sifat pengusaha bukan genetik.

It is a set of behaviors

Itu adalah serangkaian perilaku

that can be learned when given the opportunity.

yang dapat dipelajari ketika ada kesempatan.

Entrepreneurs are not born.

Pengusaha tidak dilahirkan.

The skills and the experiences that cause a person to be entrepreneurial

Kemampuan dan pengalaman yang menjadikan seseorang dapat berwirausaha

can be taught, and they can be nurtured.

dapat diajarkan dan dipupuk.

Now, raising entrepreneurial kids

Membesarkan anak berjiwa pengusaha

is more than just teaching them how to start a business

lebih dari sekadar mengajarkan mereka bagaimana memulai bisnis,

so they can earn money.

agar dapat menghasilkan uang.

Raising entrepreneurial kids is really about preparing kids for life.

Membesarkan anak berjiwa pengusaha adalah menyiapkan mereka akan kehidupan.

Equipping them with everything that they need, with the confidence,

Melengkapi mereka dengan apa pun yang mereka butuhkan, dengan kepercayaan diri,

with the ability to speak up,

dengan kemampuan untuk kritis,

to persevere, to have tenacity,

agar gigih dan tekun,

to bounce back from fear and rejection.

untuk bangkit dari ketakutan dan penolakan.

Those are the things that are required in our world to live to one's potential.

Itulah hal-hal yang diperlukan di dunia kita untuk hidup sesuai potensi.

So in order for me to learn as much as I could

Dalam rangka belajar sebanyak mungkin

about raising entrepreneurial kids,

untuk membesarkan anak berjiwa pengusaha,

I interviewed dozens of parents and kids to find out what they were doing.

saya mewawancarai puluhan orang tua dan anak-anak untuk mengenal mereka.

And so I want to share with you what I learned,

Saya juga ingin berbagi hal yang saya pelajari,

and I want to share with you five strategies

dan ada lima strategi yang ingin saya bagikan,

that I'm actually doing with my children

yang juga saya terapkan kepada anak-anak saya.

and that honestly,

Sejujurnya,

I think every parent should be doing with their children

saya merasa setiap orang tua harus menerapkannya ke anak-anak mereka

to disrupt our conventional way of parenting.

untuk memutus cara pengasuhan kita yang kuno.

So, number one,

Yang pertama,

don't give them an allowance.

jangan berikan uang saku.

(Applause)

(Tepuk tangan)

That's what I'm talking about, too, yes.

Ya, benar.

Don't give them an allowance.

Jangan berikan mereka uang saku.

Instead, challenge them to start a business

Namun, tantang mereka untuk memulai sebuah bisnis

to earn their spending money.

untuk mendapatkan uang jajan.

So this is my boys, and this is one of the ways

Ini anak-anak saya, dan ini salah satu cara

that they've earned money,

bagaimana mereka mendapatkan uang,

their own spending money, is they make bracelets.

uang jajan mereka sendiri, dengan cara membuat gelang.

And there is no better lesson around the value of a dollar

Tidak ada pelajaran yang lebih baik tentang nilai dari uang

than when you have to work hard to earn each one of them.

selain bekerja keras untuk meraihnya.

And through this process,

Melalui proses ini,

our kids will learn confidence, financial literacy,

anak-anak kita akan belajar percaya diri, pemahaman finansial,

public speaking, how to convince people,

berbicara di depan umum, cara mempengaruhi orang,

all skills that are valuable for the world that we live in.

semua bakat yang berguna di dunia yang kita tempati saat ini.

So don't give them an allowance.

Jadi, jangan beri mereka uang saku.

The next thing is make them pay for their wants.

Hal selanjutnya adalah buat mereka mengupayakan keinginan mereka.

You know, key to entrepreneurship

Kunci kewirausahaan adalah

is about personal responsibility and ownership.

tanggung jawab pribadi dan kepemilikan.

And it is amazing how,

Dan betapa hebatnya

when you put the responsibility on someone else

ketika kita memberi tanggung jawab pada seseorang

to buy that thing that they said they really wanted,

untuk membeli sesuatu yang sangat mereka inginkan,

kind of shifts a little bit, right?

semuanya menjadi berubah, kan?

It really, really does.

Benar sekali.

It's no different with the kids.

Tak ada bedanya dengan anak-anak.

And so we actually started this quite early with our children.

Kami memulai ini cukup awal dengan anak-anak kami.

So when Silas was about four years old,

Ketika Silas berusia 4 tahun,

I created “daddy dollars.”

Saya menciptakan “daddy dollars.”

(Laughter)

(Tertawa)

And the boys would earn daddy dollars for doing things such as chores,

Anak-anak akan mendapatkannya dengan melakukan pekerjaan rumah tangga,

for exhibiting positive behavior and for also reading books.

dengan menunjukkan perilaku positif dan juga membaca buku.

And Silas actually purchased his first bike

Silas membeli sepeda pertamanya

from using daddy dollars.

dari hasil daddy dollars.

He had to earn 250 daddy dollars,

Dia harus mengumpulkan 250 daddy dollars

and that allowed him to purchase his first bike.

dan dia akhirnya bisa membeli sepeda pertamanya.

Now, yeah, you know, these are not real dollars.

Seperti yang Anda tahu, ini bukan uang sungguhan.

But to Silas, that experience of working hard to earn that money

Namun, bagi Silas, pengalamannya bekerja keras untuk mendapatkan uang itu,

and to buy that bike

dan untuk membeli sepeda,

was a very real experience for him.

adalah hal yang sangat nyata baginya.

Also, in 2019, our family decided to take a trip to Tanzania.

Kemudian di tahun 2019, kami berlibur ke Tanzania.

And so, you know, the boys were really excited about it.

Sesuai dugaan, mereka sangat antusias.

And I said, "Now, if you want to go to Tanzania --

Saya berkata, “Jika kalian ingin pergi ke Tanzania --

your dad and I are going --

Ayah dan Ibu akan pergi--

but if you want to go to Tanzania, you know what you got to do?"

tapi jika kalian ingin pergi ke Tanzania, tahukah apa yang perlu kalian lakukan?

What do you think I told them?

Apa yang kira-kira saya katakan?

They're going to have to buy their own airline ticket, yes.

Ya, mereka harus membeli tiket pesawat mereka sendiri.

Now, the tickets to Tanzania were not cheap.

Sementara, tiket ke Tanzania tidak murah.

They were 900 dollars apiece.

Harganya $900 per orang.

Yeah.

Ya.

But check this out.

Namun, dengarkan ini.

This is what I just loved, was when I told the boys

Yang saya sukai adalah, ketika memberitahu anak-anak

that they were going to have to buy their own ticket,

bahwa mereka harus membeli tiket sendiri,

Silas, remembering back to what he had done

Silas, mengingat kembali apa yang dia lakukan

when he was about nine years old,

ketika masih berusia 9 tahun,

he said to his brothers,

berkata kepada saudaranya,

"That's easy, don't worry about it.

“Ini mudah, jangan khawatir.

I'll show you how to do it."

Aku akan mengajarimu caranya.”

(Laughter)

(Tertawa)

Yes.

Ya.

And sure enough,

Dan pastinya,

they worked hard over several months, and they did just that.

mereka bekerja keras beberapa bulan dan berhasil.

They were able to earn enough money

Mereka mampu mengumpulkan uang yang cukup

by selling their bracelets that I showed you earlier,

dengan menjual gelang yang saya tunjukkan sebelumnya,

and they all were able to go with their parents to Tanzania.

dan mereka semua bisa berlibur bersama orangtuanya ke Tanzania.

So I would encourage you to make your kids pay

Saya mengajak Anda mendorong anak-anak untuk membayar sendiri

for the things that they say they want.

atas hal-hal yang mereka inginkan.

The next is to reduce their prosperity.

Selanjutnya adalah mengurangi kenyamanan mereka.

Now let's admit it,

Mari akui bahwa,

kids today have a lot of stuff, right?

anak-anak zaman sekarang mempunyai banyak barang, kan?

And when you think about it,

Dan ketika Anda pikirkan kembali,

I understand this need and this desire as parents

saya mengerti kebutuhan dan keinginan setiap orang tua

to want to give our kids experiences and things

untuk memberikan anak-anak kita pengalaman dan hal-hal

that maybe we did not have when we were children.

yang mungkin tidak kita dapatkan sewaktu kita kecil dulu.

But when we choose a parenting style of overindulging our children

Namun, ketika kita memilih pola asuh yang memanjakan anak-anak kita

by providing them with too much, too soon, for too long,

dengan memberikan mereka terlalu banyak, terlalu cepat, untuk sekian lama,

with no effort on their part,

tanpa diiringi upaya,

what we do is actually raise young people who are self-centered and entitled.

yang kita lakukan sebenarnya membesarkan anak muda yang mementingkan diri sendiri.

And so when we, instead ...

Dan alih-alih ketika kita...

In the [1800s],

Pada tahun 1800-an,

it's interesting because Frederick Douglass made a statement

cukup menarik karena Frederick Douglass pernah membuat pernyataan

that I thought was profound even in the [1800s],

yang menurut saya cukup mengena bahkan di tahun 1800-an,

because we're dealing with it today.

karena kita juga mengalaminya saat ini.

And he said,

Dia berkata,

"If you wish to make your son helpless,

“Jika Anda ingin anak yang tak berdaya,

you need not cripple him with a bullet or a bludgeon,

tak perlu melumpuhkannya dengan peluru atau gada,

but simply place him beyond the reach of necessity

cukup berikan dirinya lebih dari yang ia butuhkan

and surround him with luxury and ease."

dan mengelilinginya dengan kemewahan dan kenyamanan.”

Still true today.

Masih relevan hingga saat ini.

Steve Jobs in a graduation speech,

Steve Jobs, di pidato kelulusannya,

told the graduates to stay hungry.

memberitahu wisudawan lainnya untuk tetap “lapar”.

And what we love about entrepreneurs is their hustle.

Kita mengagumi pengusaha karena kerja kerasnya.

And oftentimes that hustle is rooted in a hunger for something.

Seringkali kerja keras tersebut didasari akan kehausan atas sesuatu.

But if our kids never want for anything,

Namun, jika anak-anak kita tidak pernah menginginkan sesuatu,

what's going to motivate them to take action?

apa yang bisa memotivasi mereka untuk melakukan sesuatu?

So I encourage you to reduce your kids' prosperity.

Jadi, saya mengajak Anda untuk mengurangi kenyamanan mereka.

Next is to let them be delight-directed.

Selanjutnya adalah membiarkan mereka menjalani hobinya.

Entrepreneurs are lifelong learners.

Pengusaha adalah pelajar seumur hidup.

They learn to do, not simply to know.

Mereka belajar untuk melakukan, bukan sekadar mengetahui.

And when we encourage our children to seek out learning

Ketika kita mendorong anak-anak untuk mencari tahu dengan belajar

for the things that they are most interested in,

untuk hal-hal yang sangat membuat mereka tertarik,

they become learners who seek to learn to do

mereka menjadi pelajar yang berusaha untuk belajar melakukan sesuatu

because they're teaching themselves

karena mereka mengajari diri sendiri

as opposed to just simply pouring in information,

sebagai bentuk perlawanan dari sekadar memperoleh informasi,

which is sometimes what we get in our education system.

yang terkadang kita dapatkan di sistem pendidikan kita.

And so this is my my son Isaiah.

Ini anak lelaki saya, Isaiah.

His delight is drawing.

Hobinya adalah menggambar.

And so he spends hours drawing, and he seeks out classes

Dia menghabiskan waktu berjam-jam untuk menggambar dan mencari kursus

[that] teach him how to draw.

yang bisa mengajarinya menggambar.

And he was recently awarded

Dan baru-baru ini dia meraih

an award by the Smithsonian Museum of African Art for creating --

sebuah penghargaan dari Museum Seni Smithsonian Afrika karena menciptakan --

(Applause)

(Tepuk tangan)

this superhero,

pahlawan super ini,

from looking at a piece of art in the museum.

setelah melihat sebuah karya seni di museum tersebut.

And he designed this.

Dan dia merancang ini.

But now Isaiah is designing logos for people.

Sekarang, Isaiah merancang logo untuk orang lain.

Yeah, yeah, I love it.

Ya, saya menyukainya.

So give them room and space to follow their delights.

Jadi berikanlah ruang dan kesempatan bagi mereka untuk menekuni hobinya.

And then lastly,

Dan terakhir,

let them solve their own problems.

biarkan mereka memecahkan masalah sendiri.

Entrepreneurs are problem solvers,

Para pengusaha adalah pemecah masalah,

and as parents it is our natural instinct

dan naluri alamiah kita sebagai orang tua

to want to step in and help our kids solve their problems.

untuk ikut andil menolong anak kita menyelesaikan masalahnya.

But when we do that all of the time,

Namun, ketika kita melakukan itu terus menerus,

we kind of squelch the potential that they have

kita seperti memadamkan potensi yang mereka miliki

to discover new things about themselves

untuk mencoba hal baru,

new capabilities that they might have.

kemampuan baru yang mungkin mereka miliki.

It squelches their ability to go out

Menghentikan kemampuan mereka untuk keluar

and find the answers for themselves.

dan menemukan jawaban untuk diri mereka sendiri.

So I want you to think about those five things

Jadi, saya ingin Anda memikirkan kelima hal tersebut

as you begin to raise up young people.

ketika ingin mendidik generasi muda.

And yeah, you know what?

Tahukah Anda?

It's very likely that my boys may not choose business ownership

Sangat mungkin bahwa anak-anak saya tidak memilih untuk berbisnis

when they grow up.

ketika mereka beranjak dewasa.

And that’s OK.

Tidak apa-apa.

Because whether a child chooses to build a company

Apakah seorang anak memilih untuk mendirikan sebuah perusahaan

or become an employee,

atau menjadi pegawai,

it doesn't matter,

tidak menjadi masalah.

because every kid needs to learn how to think like an entrepreneur.

Karena setiap anak perlu belajar bagaimana berpikir seperti pengusaha.

And the sooner we do this as parents,

Semakin cepat kita melakukan ini,

create an environment at home where they have the opportunity

menciptakan lingkungan di rumah agar mereka mempunyai kesempatan

and multiple occasions to challenge their beliefs

dan beberapa alternatif untuk membuktikan keyakinan mereka

about what's possible within them,

tentang kemungkinan dalam diri mereka,

to step outside of their comfort zone,

untuk keluar dari zona nyaman,

to take risks,

untuk mengambil risiko,

to learn from failure, to bounce back from rejection,

untuk belajar dari kesalahan, bangkit dari penolakan,

then the sooner we'll put them on the path

lebih cepat pula mereka berada di jalur yang tepat

of living out their potential

untuk memaksimalkan potensi

to lead very fulfilling and successful lives.

ke arah kehidupan yang sukses dan penuh makna.

Thank you.

Terima kasih.

(Applause)

(Tepuk tangan)